Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

GANGGUAN PANIK

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N

Umur : 44 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Minasa Upa

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

Warga Negara : Indonesia

Status Perkawinan : Menikah

Pendidikan Terakhir : Sarjana S1

Tanggal Pemeriksaan : 8 Agustus 2017

Tempat Pemeriksaan : Poli Jiwa

1
LAPORAN PSIKIATRIK

I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama

Cemas.

B. Riwayat Gangguan Sekarang


Seorang perempuan 44 tahun datang konsultasi ke Poli Jiwa
Bhayangkara dengan keluhan cemas yang dialami sejak tahun 2014.
Pasien merasa jantungnya berdebar-debar, keringat dingin, sakit
kepala, tegang leher, sulit tidur dan ketika tidur pasien sering
terbangun pada malam hari, merasa khawatir akan terjadi sesuatu
terhadap dirinya dan keluarganya, pasien juga sering merasakan takut
mati dan sering mimpi buruk tentang kematian, namun keluhan
tersebut tidak dialami secara terus menerus. Pasien mengaku keluhan
timbul setelah ibu pasien meninggal dunia pada tahun 2013, dan 3
bulan setelahnya ayah pasien juga meninggal dunia.
Sejak saat itu suami pasien mulai berubah menjadi kasar kepada
pasien dan anaknya. Pasien juga mengatakan sering bertengkar dengan
suaminya sejak 3 tahun terakhir dikarenakan sang suami berselingkuh
dan saat ini pasien tinggal bersama anaknya di Makassar sedangkan
suaminya tinggal di Barru.
Hendaya Disfungsi
Hendaya Sosial (-)
Hendaya Pekerjaan (-)
Hendaya waktu senggang (-)
Faktor Stressor Psikososial
Pasien tidak memiliki hubungan baik dengan suaminya. Pasien
sering bertengkar dengan suaminya.
Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit
sebelumnya.

2
Pasien pernah berobat ke poliklinik Jiwa RS Barru sebelumnya
A. RIWAYAT GANGGUAN SEBELUMNYA
Riwayat penyakit dahulu :
Gastritis
Riwayat penggunaan zat psikoaktif :
Tidak ada
Riwayat gangguan psikiatrik sebelumnya:
Tidak ada

B. RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI


1. Riwayat prenatal dan perinatal
Pasien lahir di Makassar tahun 1973 lahir cukup bulan dan persalinan
di tolong oleh bidan. Pasien merupakan anak terakhir dari delapan
bersaudara.Pasien mendapatkan ASI hingga usia 2 tahun.
2. Riwayat masa kanak awal (usia 1-3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangannya sama dengan anak seusianya.
Pasien juga memperoleh perhatian yang cukup dari kedua orang
tuanya.
3. Riwayat masa kanak pertengahan (usia 4-11 tahun)
Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya. Pertumbuhan dan
perkembangan baik. Pasien masuk SD saat berusia 6 tahun.
Pertumbuhan dan perkembangannya sama dengan anak seusianya.
Pasien juga memiliki banyak teman dan ramah pada orang lain.
4. Riwayat masa kanak akhir dan remaja (usia 12-18 tahun)
Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Pertumbuhan dan
perkembangan baik.
5. Riwayat masa dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Setelah tamat SD, pasien melanjutkan ke SMP lalu melanjutkan
ke tingkat SMA kemudian melanjutkan kuliah di UNHAS
Fakultas Kehutanan.

3
b. Riwayat Pekerjaan
Tahun 2008 - sekarang : bekerja di dinas kehutanan
c. Riwayat Kehidupan pribadi
Pasien dikenal sebagai seorang yang ramah dan pandai
bersosialisasi.
d. Riwayat kehidupan keluarga
Pasien merupakan anak perempuan ke 8 dari 8 bersaudara dan
saudaranya terdiri dari 2 saudara laki-laki dan 6 saudara
perempuan.
e. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Tidak ada
f. Situasi Kehidupan sekarang
Saat ini pasien tinggal di Makassar bersama anak perempuannya
dan suaminya tinggal di Barru.
g. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
Pasien berharap gejala yang dirasakan dapat hilang.

II. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
Penampilan:
Tampak seorang perempuan, wajah sesuai umur meggunakan
baju berwarna coklat dan rok panjang coklat. Perawatan diri cukup
dan perawakan biasa.
Kesadaran: baik
Perilaku dan aktivitas psikomotor : pasien bersikap tenang dan
ramah
Pembicaraan : pasien menjawab spontan, lancar, intonasi biasa
dengan nada yang biasa
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

4
B. Keadaan afektif
Mood : Cemas
Afek : Apropriate
Empati : Dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)


Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
Pengetahuan dan kecerdasan sesuai taraf pendidikannya.
Daya konsentrasi : baik
Orientasi : Baik
Daya ingat
Jangka Pendek : Baik
Jangka Sedang : Baik
Jangka Panjang : Baik
Bakat kreatif : tidak ada
Kemampuan menolong diri sendiri : baik

D. Gangguan persepsi
Halusinasi : Tidak ada
Ilusi : Tidak ada
Depersonalisasi : Tidak ada
Derealisasi : Tidak ada

E. Proses berpikir
Arus pikiran :
A.Produktivitas : Cukup
B. Kontinuitas : Relevan
C. Hendaya berbahasa : Tidak ada
Isi Pikiran
A. Preokupasi : Tidak ada
B. Gangguan isi pikiran : Tidak ada

5
F. Pengendalian impuls
Baik

G. Daya nilai
Norma sosial : Tidak terganggu
Uji daya nilai : Tidak terganggu
Penilaian Realitas : Tidak terganggu

H. Tilikan (insight)
Derajat VI: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh pengobatan dari
dokter

I. Taraf dapat dipercaya


Dapat dipercaya.

III. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


Pemeriksaan fisik :
Status internus: TD : 110/70 mmHg, N:85x/menit, S: 36 C, P : 20 x/menit.

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Seorang perempuan 44 tahun datang konsultasi ke Poli Jiwa
Bhayangkara dengan keluhan cemas yang dialami sejak tahun 2014.
Pasien merasa jantungnya berdebar-debar, keringat dingin, sakit kepala,
tegang leher, sulit tidur dan ketika tidur pasien sering terbangun pada
malam hari, merasa khawatir akan terjadi sesuatu terhadap dirinya dan
keluarganya, pasien juga sering merasakan takut mati dan sering mimpi
buruk tentang kematian, namun keluhan tersebut tidak dialami secara
terus menerus. Pasien mengaku keluhan timbul setelah ibu pasien
meninggal dunia pada tahun 2013, dan 3 bulan setelahnya ayah pasien juga
meninggal dunia.
Sejak saat itu suami pasien mulai berubah menjadi kasar kepada
pasien dan anaknya. Pasien juga mengatakan sering bertengkar dengan

6
suaminya sejak 3 tahun terakhir dikarenakan sang suami berselingkuh dan
saat ini pasien tinggal bersama anaknya di Makassar sedangkan suaminya
tinggal di Barru.
Kesadaran composmentis, perilaku dan aktivitas psikomotor tenang,
pembicaraan spontan, lancar, intonasi cukup. Sikap terhadap pemeriksa
kooperatif. Keadaan mood cemas, afek apropriate, empati dapat
dirabarasakan. Fungsi kognitif, taraf pendidikan, pengetahuan umum dan
kecerdasan sesuai dengan taraf pendidikan. Daya konsentrasi baik,
orientasi waktu, tempat dan orang baik, daya ingat jangka panjang dan
pendek baik. Gangguan persepsi tidak ada, tidak ada gangguan isi pikir,
tilikan 6. Taraf dapat dipercaya.

V. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I
Berdasarkan autoanamnesa didapatkan adanya gejala klinis
yang bermakna yaitu cemas. Saat serangan, pasien merasa
jantungnya berdebar-debar, keringat dingin, sakit kepala, tegang leher,
sulit tidur. Keadaan ini menimbulkan penderitaan atau
distress sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
Gangguan Jiwa.
Pada pemeriksaan status mental pasien tidak ada hendaya berat
dalam menilai realita, tidak terdapat halusinasi ataupun waham dll,
sehingga pasien didiagnosa sebagai Gangguan Jiwa Non Psikotik.
Pada riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status
interna tidak ditemukan adanya kelainan yang mengindikasi gangguan
medis umum yang menimbulkan gangguan fungsi otak serta dapat
mengakibatkan gangguan jiwa yang diderita pasien ini, sehingga
diagnose gangguan mental dapat disingkirkan dan didiagnosa
Gangguan Jiwa Non Psikotik Non Organik.

7
Dari autoanamnesis dan pemeriksaan status mental, didapatkan
adanya serangan panic dan cemas. Berdasarkan PPDGJ III, pasien
dapat digolongkan dalam Gangguan Panik (F41.0)

Aksis II
Pasien merupakan orang yang ramah dan mudah bergaul dikeluarga
dan lingkungannya, sehingga diarahkan pada pasien dengan ciri
kepribadian tidak khas.

Aksis III
Tidak ada

Aksis IV
Stressor psikososial yaitu orang tua pasien yang telah meninggan dan
pasien tidak memiliki hubungan yang baik dengan suaminya.

Aksis V
GAF Scale sekarang 90-81: gejala minimal, berfungsi baik, cukup
puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa.

VI. DAFTAR MASALAH


Organobiologik
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tetapi diduga
terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter sehingga pasien
memerlukan psikofarmako.
Psikologik
Ditemukan adanya masalah/stressor psikososial sehingga pasien
memerlukan psikoterapi.

8
VII. RENCANA TERAPI
Farmakoterapi :
Benzodiazepin: Alprazolam 0,5 mg 0 - 0 - 1
SSRI: Fluoxetine 20 mg 1 x 1

Psikoterapi suportif
Ventilasi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi
hati dan keinginannya sehingga pasien merasa lega.
Cognitive Behavioral Theraphy (CBT)
Membantu pasien untuk dapat merubah sistem keyakinan yang
negative, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi)
menjadi positif dan rasional sehingga secara bertahap mempunyai
reaksi somatik dan perilaku yang lebih sehat dan normal.
Menjelaskan bahwa segala masalah pasti memiliki jalan keluar,
jika pasien memendam masalah tersebut terus menerus tanpa
mencari solusinya maka rasa cemas akan terus timbul dan
mempengaruhi pikiran pasien.
Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang
sekitarnya sehingga tercipta dukungan sosial dengan lingkungan
yang kondusif untuk membantu proses penyembuhan pasien serta
melakukan kunjungan berkala.

VIII. PROGNOSIS
Bonam
Factor yang mempengruhi

Pasien menyadari penyakitnya


Kenginan yang jelas dari pasien untuk sembuh
Tidak ada kelainan organobiologik.

9
GANGGUAN PANIK

A. Definisi
Menurut edisi terbaru dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-V), gangguan panik adalah timbulnya serangan
panik berulang yang tak terduga dan terus-menerus khawatir mendapatkan
serangan panik kembali atau mengubah tingkah lakunya dengan cara
maladaptif karena serangan panik (misalnya, menghindari aktivitas atau
lokasi yang asing). Serangan panik adalah lonjakan tiba-tiba rasa takut yang
intens atau ketidaknyamanan yang mencapai puncaknya dalam beberapa
menit, disertai dengan gejala fisik dan / atau kognitif. Serangan panik dengan
gejala terbatas meliputi kurang dari empat gejala. Serangan panik dapat
diduga kemunculannya, seperti dalam respon terhadap objek atau situasi yang
biasanya ditakuti, atau tidak terduga, yang berarti bahwa serangan panik
terjadi tanpa alasan yang jelas. Serangan panik berperan sebagai penanda dan
faktor prognostik untuk tingkat keparahan diagnosis, perjalanan penyakit, dan
komorbiditas. Serangan panik juga dapat digunakan sebagai penentu
deskriptif untuk setiap gangguan kecemasan serta gangguan mental lainnya.1

B. Etiologi
Etiologi gangguan panik belum dimengerti secara pasti. Tetapi
penelitian sejak beberapa dekade yang lalu terus memberikan informasi
mengenai konstribusi biologik dan psikososial untuk perawatan dan
perkembangan gangguan panik. Studi tentang adanya penyakit jiwa di kerabat
dekat, menunjukkan adanya faktor keturunan/genetik (sekitar 43%) untuk
gangguan panik. Pasien dengan gangguan panik juga menunjukkan angka
yang tinggi (sekitar 80%) untuk risiko menderita gangguan kejiwaan lainnya.
Meskipun gangguan panik adalah penyakit dengan faktor genetik yang
signifikan, dasar yang tepat dari faktor genetik tersebut tidak jelas. Ini
menunjukkan bahwa gangguan panik adalah kondisi multifaktorial, dimana

10
beberapa gen menciptakan kerentanan terhadap kondisi, ditambah dengan
pengaruh dari lingkungan.3, 4 5
Dari segi biologik, adanya hipersensitivitas dari beberapa daerah otak
dapat menyebabkan perubahan perilaku, vegetatif, perubahan neuroendokrin
serta kelainan EEG nonspesifik pada 25% pasien. Beberapa penelitian
menunjukkan peran yang menonjol dari faktor stres dan trauma,
menunjukkan adanya kemungkinan tumpang tindih dengan etiologi dari
gangguan stres pasca trauma, gangguan yang kadang juga menunjukkan
adanya serangan panik.4

C. Epidemiologi
Prevalensi gangguan panik dalam perkiraan 12-bulan di seluruh
Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa adalah sekitar 2% pada remaja
dan dewasa. Sedangkan untuk angka prevalensi seumur hidup, berkisar antara
4,4 5,7% pada remaja dan dewasa. Perkiraan yang lebih rendah telah
dilaporkan di beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, berkisar
antara 0,1 0,8%.6, 7
Menurut beberapa penelitian, gangguan panik lebih sering dialami
oleh perempuan daripada laki-laki dengan rasio 2:1. Meskipun serangan
panik juga terjadi pada anak-anak, prevalensi gangguan panik rendah sebelum
usia 14 tahun (<0,4%). Jumlah gangguan panik meningkat pada usia remaja,
terutama pada perempuan, dan kemungkinan mengikuti onset pubertas.
Gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda, rata-rata timbulnya
gangguan pada usia 24 tahun. Angka prevalensi seumur hidup menurun pada
lansia (60 tahun keatas) yakni sekitar 2%.6, 7
Secara umum, variasi prevalensi berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
budaya, dan kelompok umur dapat disebabkan oleh beberapa faktor; meliputi
gejala yang timbul, penyebab fisiologis atau biologis, perbedaan derajat
kekhawatiran mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh gejala otonom dan
gejala mental, serta sensitivitas dari instrumen yang digunakan dalam
penegakan diagnosa gangguan panik.7

11
D. Pendekatan Klinis
I. Kriteria Diagnostik
Penegakan diagnosis untuk gangguan panik dapat ditegakkan melalui
kriteria-kriteria berikut: 1, 8
A. Adanya serangan panik berulang yang tak terduga. Sebuah serangan panik
adalah lonjakan tiba-tiba rasa takut yang intens atau ketidaknyamanan
yang mencapai puncaknya dalam beberapa menit. Serangan panik dapat
muncul baik dalam keadaan tenang atau cemas, dan selama serangan
tersebut, empat (atau lebih) gejala berikut timbul;
1. Palpitasi atau jantung berdebar.
2. Berkeringat.
3. Gemetar.
4. Sensasi sesak napas.
5. Perasaan tersedak.
6. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman.
7. Mual atau distress abdominal.
8. Merasa pusing, tidak seimbang, atau pingsan.
9. Menggigil atau sensasi panas.
10. Parestesia (mati rasa atau sensasi kesemutan).
11. Derealisasi (perasaan tak nyata) atau depersonalisasi (terpisah dari diri
sendiri).
12. Takut kehilangan kendali atau "menjadi gila"
13. Takut mati.
B. Setidaknya satu dari serangan panik telah diikuti selama satu bulan (atau
lebih) oleh salah satu atau dua keadaan berikut :
1. Rasa khawatir yang terus-menerus tentang adanya serangan panik
susulan atau risiko yang ditimbulkan serangan panik tersebut.
(misalnya; kehilangan kendali, serangan jantung, menjadi gila).
2. Sebuah perubahan maladaptif yang signifikan pada kebiasaan yang
terkait dengan serangan (misalnya; kebiasaan yang dilakukan untuk

12
menghindari serangan panik, seperti menghindari aktivitas atau lokasi
yang asing).
C. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi (misalnya,
penyalahgunaan obat) atau kondisi medis lain (misalnya, hipertiroidisme,
gangguan kardiopulmonal).
D. Gangguan ini tidak dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lain
(misalnya, serangan panik tidak hanya terjadi dalam respon terhadap
situasi sosial yang ditakuti, seperti dalam gangguan kecemasan sosial;
dalam respon terhadap objek fobia atau situasi tertentu, seperti pada fobia
spesifik; dalam respon terhadap obsesi, seperti pada gangguan obsesif-
kompulsif; dalam respon terhadap ingatan tentang peristiwa traumatis,
seperti pada gangguan stres pasca trauma; atau dalam respon terhadap
perpisahan dari orang yang dikasihi, seperti pada gangguan kecemasan
berpisah).
Gangguan panik mengacu pada serangan panik berulang yang tak
terduga (Kriteria A). Istilah berulang berarti lebih dari satu serangan panik
yang tak terduga. Istilah yang tak terduga mengacu pada serangan panik
yang terjadi tanpa ada isyarat atau pemicu yang jelas pada saat terjadi.
Sebaliknya, serangan panik yang terduga adalah serangan yang disertai
isyarat atau pemicu yang jelas, seperti situasi di mana serangan panik
biasanya terjadi. Penentuan apakah serangan panik terduga atau tidak terduga
dibuat oleh dokter, penilaian ini didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan
mengenai urutan peristiwa sebelumnya atau menjelang serangan dan
penilaian individu itu sendiri apakah ada atau tidak alasan yang jelas serangan
itu terjadi.1
Frekuensi dan tingkat keparahan serangan panik bervariasi. Dalam hal
frekuensi, dapat timbul serangan yang cukup sering (moderately frequent)
misalnya, satu kali per minggu selama beberapa bulan; atau rentetan singkat
serangan yang lebih sering (more frequent) misalnya, serangan timbul setiap
hari yang dipisahkan oleh beberapa minggu atau bulan tanpa serangan; atau
serangan kurang sering (less frequent) misalnya, dua kali per bulan selama

13
beberapa tahun. Orang yang jarang mengalami serangan panik dan orang
dengan serangan panik lebih sering, bisa saja serupa dalam hal gejala
serangan, karakteristik demografi, komorbiditas untuk gangguan lain, riwayat
keluarga, dan data biologis. Dalam hal tingkat keparahan, individu dengan
gangguan panik mungkin memiliki gejala-lengkap (full-symptom) yakni
terdapat empat atau lebih gejala, dan gejala-terbatas (limited-symptom) yakni
kurang dari empat gejala serangan. Jumlah dan jenis gejala serangan panik
sering berbeda antara satu serangan panik dengan serangan berikutnya.1

II. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang dapat mengecualikan gangguan medis
selain gangguan panik adalah sebagai berikut:3
1. elektrolit serum untuk mengecualikan hipokalemia dan asidosis
2. glukosa serum untuk mengecualikan hipoglikemia
3. enzim jantung pada pasien yang diduga sindrom koroner akut
4. Serum hemoglobin pada pasien dengan dekat-sinkop
5. Thyroid-stimulating hormone (TSH) pada pasien yang diduga
hipertiroidisme
6. Urine layar toksikologi untuk amfetamin, ganja, kokain, dan phencyclidine
pada pasien yang diduga keracunan
7. D-dimer assay untuk mengecualikan emboli paru
Analisis gas darah arteri berguna untuk mengonfirmasi hiperventilasi
(alkalosis pernapasan) dan menyingkirkan dugaan hipoksemia atau asidosis
metabolik. Adanya hipoksemia dengan hipokapnia harus meningkatkan
kecurigaan emboli paru.3
Analisis elektrolit umumnya tidak perlu dilakukan, meskipun beberapa
kelainan mungkin ada dalam pengaturan hiperventilasi. Fosfor serum dan
kalsium terionisasi dapat berkurang pada pasien dengan hiperventilasi.3
Subyek manusia dengan gangguan panik menunjukkan peningkatan
kadar orexin dalam cairan serebrospinal. Orexin, juga dikenal sebagai

14
hypocretin, diduga berperan penting dalam patogenesis panik pada model
tikus.3
Sedangkan untuk pemeriksaan radiologi, tidak ditemukan gambaran
yang spesifik untuk membantu penegakan diagnosa gangguan panik. Namun
pemeriksaan dapat dilakukan untuk mengevaluasi bukti anatomik guna
menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain.3

E. Penatalaksanaan
I. Terapi perilaku kognitif
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT), dianjurkan untuk pasien
dengan gangguan panik yang lebih memilih manajemen nonfarmakologis dan
yang mampu serta bersedia meluangkan waktu dan usaha untuk berpartisipasi
dalam sesi mingguan. 3
Pada CBT, dokter dapat memilih untuk lebih fokus pada perawatan
komponen tertentu dari pada yang lain, tergantung pada profil gejala pasien
dan respon terhadap teknik CBT yang berbeda. CBT yang berfokus terhadap
gangguan panik umumnya diberikan dalam 10-15 sesi mingguan. Terapi
biasanya dimulai dengan sesi psikoedukasi yang berfungsi untuk
mengidentifikasi gejala-gejala pasien, serta memberikan informasi yang
akurat tentang sifat dan penyebab dari kecemasan dan ketakutan.
Pengumpulan informasi dan pemberian edukasi dilakukan secara interaktif,
dengan fokus terus-menerus pada penerapan model CBT untuk gejala dan
situasi tertentu pasien. Hal ini penting untuk mengidentifikasi frekuensi dan
sifat dari gejala gangguan panik serta pemicu gejala panik untuk manajemen
yang rasional dan efektif.3, 9
Beberapa pasien yang menjalani CBT jangka pendek (misalnya 10
15 sesi) merasakan manfaat yang bertahan lama. Pada penelitian dengan
jangka waktu follow-up terlama, dilaporkan oleh Fava dkk, 200 pasien
dengan gangguan panik menerima 12 sesi terapi. Dari 200 pasien 165 pasien
bebas dari panik setelah terapi, dan 132 diantaranya menerima follow-up
selama 2 14 tahun (rata-rata 8 tahun).9

15
II. Terapi Kelompok (Group Therapy)
Temuan klinis menunjukkan bahwa terapi dengan format kelompok
untuk mengobati gangguan panik, memiliki manfaat antara lain; 1)
mengurangi stigma dan rasa malu melalui berbagi pengalaman dengan orang
lain yang memiliki gejala dan kesulitan yang sama; 2) memberikan
kesempatan untuk modeling, memberi inspirasi, dan dukungan, oleh anggota
kelompok lainnya; dan 3) menyediakan wadah untuk pasien yang takut
mengalami gejala panik dalam situasi sosial. Sebagian besar pendekatan
terapi kelompok untuk gangguan panik belum diuji secara empiris. Namun,
CBT kelompok untuk gangguan panik telah terbukti efektif dalam studi
terkontrol dan karena itu dapat direkomendasikan sebagai pengobatan untuk
gangguan panik. Ketika mempertimbangkan pasien untuk dimasukkan dalam
kelompok CBT, terapis harus mempertimbangkan tingkat keparahan
gangguan panik pasien, gangguan lain yang menyertai, tingkat wawasan,
keterampilan interpersonal, dan preferensi pasien untuk kelompok
dibandingkan format yang individual. 7, 9

III. Patient Support Groups


Metode ini dapat membantu beberapa pasien dengan gangguan panik.
Pasien yang berpartisipasi dalam kelompok memiliki kesempatan untuk
memahami bahwa mereka tidak aneh dalam mengalami serangan panik,
dan untuk berbagi cara mengatasi penyakit mereka. Anggota keluarga pasien
dengan gangguan panik juga dapat mengambil manfaat dari aspek edukasi
pada Patient support groups. Sebelum memutuskan untuk merujuk pasien
atau anggota keluarga untuk Patient support groups, psikiater perlu
memperoleh informasi tentang sifat kelompok. Patient support groups bukan
pengganti pengobatan yang efektif; melainkan saling melengkapi.7, 9

IV. Terapi Farmakologi


Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), Serotonin-
Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI), Tricyclic Antidepressant (TCA),

16
dan benzodiazepin, telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai uji coba
terkontrol dan direkomendasikan untuk pengobatan gangguan panik. Inhibitor
monoamine oxidase efektif untuk gangguan panik, tetapi umumnya diberikan
untuk pasien yang telah gagal berespon terhadap beberapa perawatan lini
pertama. Obat-obat lain yang didukung oleh sedikit bukti empiris (misalnya,
mirtazapine, antikonvulsan seperti gabapentin) dapat dianggap sebagai
monoterapi atau terapi tambahan untuk gangguan panik ketika pasien telah
gagal berespon terhadap beberapa perawatan standar atau adanya keadaan
tertentu lainnya.
SSRI, SNRI, TCA, dan benzodiazepin memiliki keberhasilan yang
kurang lebih sebanding dalam mengatasi gangguan panik. Maka, dalam
memilih obat untuk pasien gangguan panik, yang perlu dipertimbangkan
adalah efek samping, biaya, sifat farmakologi, potensi interaksi obat, riwayat
pengobatan sebelumnya, kondisi medis dan psikiatri yang menyertai secara
umum, dan kekuatan bukti dari obat tertentu dalam kemampuannya
mengatasi gangguan panik.
SSRI dan SNRI memiliki efek samping yang relatif lebih aman
sehingga sering digunakan sebagai pilihan pertama dalam pengobatan pasien
dengan gangguan panik. Meskipun TCA efektif, efek samping dan toksisitas
yang lebih besar dari obat tersebut seringkali membatasi penerimaannya oleh
pasien dan penggunaan obat tersebut secara klinis.
SSRI, SNRI, atau TCA lebih dipilih daripada benzodiazepin sebagai
monoterapi untuk pasien yang disertai dengan depresi atau penggunaan zat.
Meskipun pertimbangan harus diberikan kepada potensi efek samping
benzodiazepin (misalnya, sedasi, gangguan memori, meningkatkan risiko
jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor), salah satu keuntungan dari
benzodiazepin adalah onset aksi yang lebih cepat dibandingkan dengan
antidepresan. Benzodiazepin mungkin berguna sebagai terapi tambahan
bersama antidepresan untuk mengobati gejala kecemasan residual.
Benzodiazepin dapat menjadi pilihan (sebagai monoterapi atau
dikombinasikan dengan antidepresan) untuk pasien dengan gejala yang sangat

17
menyulitkan atau mengganggu, dimana kontrol gejala yang cepat sangat
dibutuhkan. Manfaat dari respon yang lebih cepat oleh benzodiazepin harus
seimbang terhadap kemungkinan efek samping (misalnya, obat penenang)
dan ketergantungan fisiologis yang dapat menyebabkan kesulitan
menghentikan obat.4, 9

A. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)


Enam SSRI sudah tersedia di Amerika Serikat : fluoxetine, sertraline,
paroxetine, fluvoxamine, citalopram, dan escitalopram. Berbagai penelitian
telah menunjukkan masing-masing efektif untuk gangguan panik, dan tiga
diantaranya -fluoxetine, sertraline, paroxetine- telah disetujui oleh US Food
and Drug Administration (FDA) untuk indikasi tersebut. Tidak ada bukti
yang menunjukkan perbedaan tingkat keberhasilan obat dari kelas ini, meski
ada perbedaan efek samping, waktu paruh, kecenderungan interaksi obat, dan
ketersediaan formula generik.
Dosis awal dan dosis terapeutik yang direkomendasikan untuk SSRI,
dapat dilihat pada tabel berikut.
Dosis terapeutik
SSRI Dosis awal (mg/hari)
(mg/hari)

Citalopram 10 2040

Escitalopram 510 1020

Fluoxetine 510 2040

Fluvoxamine 2550 100200

Paroxetine 10 2040

Paroxetine CR 12.5 2550

Sertraline 25 100200

18
Meski beberapa pasien dapat berespon pada dosis yang lebih rendah
dan beberapa pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi, uji secara klinis
telah memperkuat dosis terapeutik diatas. Disarankan pemberian awal SSRI
dosis rendah dipertahankan selama 3-7 hari sebelum dinaikkan secara
bertahap ke dosis harian standar, disesuaian dengan daya toleransi pasien.
Selain itu, karena eliminasi SSRI melibatkan metabolisme hati, maka dosis
mungkin perlu disesuaikan untuk pasien dengan penyakit hati.
Penghentian terapi SSRI secara tiba-tiba dapat menyebabkan
sindrom dengan gejala-gejala neurosensorik (misalnya parestesia, myalgia),
neuromotor (misalnya tremor, gangguan penglihatan, gait tidak stabil),
gastrointestinal (misalnya mual, diare), neuropsikiatrik (misalnya cemas,
iritabilitas), vasomotor, dan manifestasi lainnya (misalnya insomnia, pusing,
lelah). SSRI dengan waktu paruh yang panjang memiliki kemungkinan lebih
sedikit untuk mengakibatkan sindrom tersebut. Gejala sindrom
pemberhentian SSRI umumnya muncul setelah 24 jam, memuncak pada 5
hari setelah pemberhentian dan secara umum membaik setelah 2 minggu.
Tapering dosis SSRI setidaknya selama 7-10 hari atau lebih, dapat
membantu menurunkan risiko terjadinya sindrom diatas.
Dalam hal efek samping, SSRI tergolong lebih aman dari TCA dan
monoamine oxidase inhibitor (MAOI). SSRI jarang bersifat letal pada
overdosis dan memiliki sedikit efek pada fungsi kardiovaskular. Beberapa
efek samping yang paling umum dari SSRI antara lain; sakit kepala,
iritabilitas, mual, insomnia, disfungsi seksual, peningkatan berat badan,
pusing, dan tremor. Beberapa dari gejala tersebut hanya berlangsung
sementara, sekitar 1-2 minggu. Beberapa gejala dapat terus dirasakan
selama terapi berlangsung. Efek samping dari SSRI dapat sangat berbeda
untuk tiap individu.9

B. Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI)


Venlafaxine ER pada dosis antara 75 225 mg/hari, telah terbukti
efektif untuk gangguan panik. Sama seperti SSRI dan TCA, obat golongan

19
SNRI juga harus diberikan dengan dosis yang bertahap untuk mengurangi
efek sampingnya. Seperti yang tampak pada tabel berikut, dosis SNRI
umumnya dimulai pada 37,5 mg untuk 3-7 hari pertama, kemudian
ditingkatkan sampai minimum 75 mg/hari.
Dosis terapeutik
SNRI Dosis awal (mg/hari)
(mg/hari)

Duloxtine 20-30 60-120

Venlafaxine ER 37.5 150-225

Venlafaxine ER umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan


memiliki profil efek samping yang mirip dengan SSRI. Efek samping yang
paling umum dari SNRI dalam studi gangguan panik termasuk mual, mulut
kering, konstipasi, anoreksia, insomnia, berkeringat, mengantuk, tremor,
dan disfungsi seksual. Sebagian kecil individu dapat memngalami hipertensi
berkelanjutan, efek ini mungkin terkait dengan dosis, maka perlu untuk
menilai tekanan darah sebelum dan selama pengobatan, terutama ketika
Venlafaxine ER dititrasi ke dosis yang lebih tinggi.
Saat ini tidak ada data sistematis yang mendukung penggunaan
SNRI lain, yakni duloxetine, untuk gangguan panik, meskipun mekanisme
kerjanya, yang mirip dengan venlafaxine, menunjukkan obat itu mungkin
menjadi agen efektif.
Penghentian mendadak SNRI dapat menghasilkan sindrom
penghentian mirip dengan yang terkait dengan SSRI. Gejalanya bisa berupa
pusing, sakit kepala, dan mual. Tapering SNRI selama setidaknya 7-10 hari,
atau waktu yang lebih lama, dapat meminimalkan risiko sindrom
penghentian.9

C. Tricyclic antidepressants (TCA)


Imipramine efektif untuk gangguan panik dan yang paling banyak
diteliti diantara golongan TCA. Clomipramine juga didukung cukup banyak

20
bukti empiris. Meninjau ekuivalensinya dalam mengobati depresi, TCA
diharapkan dapat mengatasi gangguan panik. Namun, TCA yang lebih
noradrenergik (misalnya, desipramine, maprotiline) mungkin kurang efektif
daripada agen yang lebih serotonergik.
Efek samping yang paling umum dari TCA seperti yang dilaporkan
dalam uji klinis untuk gangguan panik adalah 1) efek antikolinergik,
termasuk mulut kering, sembelit, kesulitan buang air kecil, peningkatan
denyut jantung, dan pandangan kabur; 2) berkeringat; 3) gangguan tidur; 4)
hipotensi ortostatik dan pusing; 5) kelelahan dan kelemahan; 6) gangguan
kognitif; 7) peningkatan berat badan, terutama untuk pengguna jangka
panjang; dan 8) disfungsi seksual. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pasien kadang-kadang mengalami respon merangsang, termasuk kecemasan,
agitasi, atau insomnia, ketika pengobatan dengan obat antidepresan dari
kelas apapun mulai diberikan. Untuk alasan ini, disarankan bahwa, (mirip
dengan SSRI dan SNRI) TCA dimulai untuk pasien dengan gangguan panik
pada dosis yang jauh lebih rendah dari yang biasa diberikan untuk pasien
dengan depresi atau kondisi kejiwaan lainnya. Salah satu strategi yang
umum adalah memulai dengan 10 mg/hari imipramine dan secara bertahap
titrasi dosis ke atas selama minggu-minggu berikutnya.
Dosis terapeutik
TCA Dosis awal (mg/hari)
(mg/hari)

Imipramine 10 100300

Clomipramine 1025 50150

Desipramine 2550 100200

Nortriptyline 25 50150

Hasil uji klinis menunjukkan bahwa titrasi dosis imipramine pasien


dengan gangguan panik adalah sekitar 100 mg/hari dan perlu menunggu
setidaknya 4 minggu untuk melihat apakah ada respon. Jika ditoleransi,

21
dosis dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari jika respon awal tidak ada atau
tidak memadai. Bukti menunjukkan bahwa clomipramine mungkin efektif
dalam dosis sedikit lebih rendah dari imipramine; clomipramine umumnya
dapat digunakan secara efektif dalam dosis mulai dari 50 - 150 mg/hari. 9

D. Benzodiazepine
Alprazolam memiliki jumlah terbesar dari uji klinis yang mendukung
keberhasilannya untuk pengobatan gangguan panik. Namun, karena waktu
paruhnya yang pendek, dosis yang sering (3-4 kali sehari) diperlukan,
sehingga kurang praktis bagi banyak pasien dan sering menimbulkan gejala
untuk penarikan obat atau dosis yang terlewati.
Kebanyakan pasien memerlukan 3-4 dosis per hari untuk
menghindari gejala rebound, meskipun beberapa pasien mungkin mencapai
kontrol gejala dengan dua dosis alprazolam per hari. Untuk pasien yang
belum pernah mengonsumsi alprazolam sebelumnya, dosis awal harus 0,25
mg, 3 atau 4 kali sehari. Dosis harus dititrasi hingga 2-3 mg/hari selama
minggu pertama atau kedua. Dosis alprazolam yang disarankan untuk
pengobatan gangguan panik adalah diatas 4 mg/hari, dan dosis hingga 10
mg/hari kadang-kadang diperlukan. Namun, sangat sedikit penelitian yang
telah dievaluasi secara empiris mengenai persyaratan dosis.
Clonazepam juga disetujui untuk pengobatan gangguan panik, dan
beberapa uji klinis mendukung kemanjurannya. Waktu paruhnya yang lebih
panjang menghasilkan gejala penarikan yang lebih ringan dan
memungkinkan administrasi cukup sekali atau dua kali sehari. Faktor-faktor
ini menyebabkan clonazepam lebih dipilih daripada benzodiazepin lainnya
untuk pengobatan jangka panjang dari gangguan panik, terutama karena
kemudahan pengaturan dosisnya. Pasien tanpa pengobatan clonazepam
sebelumnya, dosis awal biasanya di kisaran 0,5-1 mg/hari dan dapat dititrasi
ke dosis yang lebih tinggi yang diperlukan. Penelitian tentang clonazepam
menunjukkan bahwa dosis harian dari 1-2 mg memberi keseimbangan

22
terbaik dari manfaat terapeutik dan efek samping. Dosis ini setara dengan 2-
4 mg alprazolam. Pasien biasanya dapat beralih dari alprazolam ke
clonazepam dengan mengambil dosis total alprazolam harian dalam
miligram dan mengambil setengah dosis harian clonazepam dalam
miligram.
Studi tambahan juga menunjukkan bahwa benzodiazepin lainnya
(misalnya, diazepam, lorazepam), jika diberikan dalam dosis setara,
mungkin sama efektifnya dengan alprazolam dalam pengobatan gangguan
panik.
Dosis terapeutik
Benzodiazepines Dosis awal (mg/hari)
(mg/hari)

Alprazolam 0.75 1.0 24

Clonazepam 0.5 1.0 1-2

Lorazepam 1.5 2.0 4-8

Secara umum, benzodiazepin tampaknya dapat ditoleransi dengan


baik oleh pasien dengan gangguan panik, dengan sangat sedikit efek
samping yang serius. Efek samping benzodiazepin yang terjadi pada pasien
dengan gangguan panik, mirip dengan yang dilaporkan saat benzodiazepin
digunakan untuk indikasi lain. Efek samping yang termasuk terutama sedasi,
kelelahan, ataksia, bicara cadel, gangguan memori, dan kelemahan. Pasien
geriatri yang mengonsumsi benzodiazepin mungkin berada pada risiko yang
lebih tinggi untuk jatuh dan patah tulang karena efek samping ini.9

E. Agen lainnya
1) Antikonvulsan
Terdapat data terbatas tentang penggunaan obat antikonvulsan dalam
pengobatan gangguan panik. Salah satu uji coba terkontrol secara acak
dari gabapentin menunjukkan efek positif dan keamanan dalam

23
pengobatan gangguan panik, tetapi tidak ada penelitian lebih lanjut telah
dilakukan. Dengan demikian, gabapentin tidak bisa dianggap sebagai
pengobatan lini pertama, tetapi mungkin berguna dalam suatu keadaan
individu, baik sebagai monoterapi atau sebagai tambahan untuk
antidepresan. Suatu studi kecil telah menyarankan bahwa asam valproik
mungkin bermanfaat bagi beberapa pasien dengan gangguan panik, tapi
obat ini memiliki efek samping yang signifikan, dan investigasi
terkontrol diperlukan sebelum dapat direkomendasikan. Sebuah uji coba
terkontrol plasebo kecil menyarankan bahwa carbamazepine tidak efektif
untuk gangguan panik

2) Agen antipsikotik
Generasi pertama (yaitu, tipikal) obat antipsikotik jarang digunakan
dalam pengobatan gangguan panik. Tidak ada bukti bahwa mereka
efektif, dan risiko efek samping neurologis melebihi manfaat potensial.
Di antara generasi kedua (yaitu, atipikal), ada sedikit bukti positif untuk
olanzapine dan risperidone, menunjukkan kemungkinan bahwa
antipsikotik generasi kedua mungkin berguna untuk pasien dengan
gangguan panik. Saat ini, bukti untuk kemanjuran terbatas, dan ada
kekhawatiran tentang efek samping dari antipsikotik generasi kedua,
termasuk peningkatan berat badan, kontrol glikemik yang buruk, dan
sindrom metabolik. Akibatnya, saat ini agen ini tidak dapat secara luas
direkomendasikan untuk pasien dengan gangguan panik, meskipun
mereka mungkin memiliki peran dalam keadaan individual.

3) Anti hipertensi
Sedikitnya literatur yang ada menunjukkan bahwa agen memblokir
beta-adrenergik (misalnya, propranolol, atenolol) tidak efektif untuk
gangguan panik. Namun, agen ini terus digunakan sesekali oleh psikiater
yang telah mengamati bahwa mereka dapat membantu mengurangi
sensasi somatik (misalnya, palpitasi) pada beberapa pasien. Mengingat
efek samping yang sering dikaitkan dengan agen beta-adrenergik

24
blocking (misalnya, kelelahan, gangguan tidur, dan mungkin,
memburuknya depresi), agen ini seharusnya tidak dipertimbangkan
dalam pengobatan rutin gangguan panik. Data yang terbatas juga
menunjukkan clonidine mungkin memiliki efek yang ringan dan / atau
transient saja. Dengan demikian, calcium channel blockers dan clonidine
tidak dapat direkomendasikan sebagai lini pertama atau perawatan
tambahan untuk gangguan panik.9
F. Prognosis

Terapi farmakologis yang tepat dan terapi kognitif-perilaku (CBT),


secara individu atau dalam kelompok, efektif dalam lebih dari 85% kasus.
Pasien dengan fungsi premorbid yang baik dan durasi gejala singkat
cenderung memiliki prognosis yang baik. Sedangkan, sekitar 10-20% pasien
terus memiliki gejala yang signifikan.3, 10

Secara keseluruhan, prognosis jangka panjang biasanya baik, dengan


hampir 65% dari pasien dengan gangguan panik mencapai remisi, biasanya
dalam waktu 6 bulan. Namun, faktor pemicu dapat menyebabkan serangan
panik muncul kembali. Beberapa pemicu ini berhubungan dengan beberapa
faktor, termasuk penyakit berat pada saat penilaian awal, kelas sosial rendah,
pemisahan dari orang tua dengan kematian selama awal kehidupan,
perceraian, dan status belum menikah.3

Risiko penyakit arteri koroner pada pasien dengan gangguan panik


hampir dua kali lipat. Pada pasien dengan penyakit koroner, panik dapat
menginduksi iskemia miokard. Risiko kematian mendadak mungkin juga
secara teoritis akan meningkat karena tingkat variabilitas jantung berkurang
dan peningkatan variabilitas interval QT. Tingkat bunuh diri pada individu
dengan gangguan panik juga berkali-kali lebih tinggi daripada populasi
umum.3

25
G. Kesimpulan
Serangan panik adalah lonjakan tiba-tiba rasa takut yang intens atau
ketidaknyamanan yang mencapai puncaknya dalam beberapa menit, disertai
dengan gejala fisik dan / atau kognitif.
Gangguan panik adalah timbulnya serangan panik berulang yang tak terduga
dan terus-menerus khawatir akan mendapatkan serangan panik kembali atau
mengubah tingkah lakunya dengan cara maladaptif karena serangan panik
(misalnya, menghindari aktivitas atau lokasi yang asing).
Etiologi gangguan panik belum dimengerti secara pasti. Tetapi penelitian
sejak beberapa dekade yang lalu terus memberikan informasi mengenai
konstribusi biologik dan psikologik.
Diagnosis untuk gangguan panik dapat ditegakkan setelah timbulnya
serangan panik berulang yang tak terduga dan memenuhi kriteria-kriteria
antara lain;
o timbul 4 (atau lebih) dari 13 gejala fisik dan/atau kognitif selama
serangan panik berlangsung,
o Setidaknya satu dari serangan panik telah diikuti selama satu bulan (atau
lebih) oleh rasa khawatir terus-menerus akan serangan panik berikutnya
dan/atau sebuah perubahan maladaptif yang signifikan,
o Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi atau
kondisi medis lain,
o Gangguan ini tidak dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lain
Terapi farmakologis yang tepat dan terapi kognitif-perilaku (CBT) baik
secara individu atau kelompok, efektif dalam mengobati gangguan panik.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), Serotonin-Norepinephrine
Reuptake Inhibitor (SNRI), Tricyclic Antidepressant (TCA), dan

26
benzodiazepin, telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai uji coba
terkontrol dan direkomendasikan untuk pengobatan gangguan panik.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual


of Mental Disorders (5th Ed.). Arlington, VA: American Psychiatric
Publishing.
2. Kearney, C. and T.J. Trull. 2016. Abnormal Psychology and Life: A
Dimensional Approach. Canada: Cengage Learning.
3. Medscape. Panic Disorder. Diperbaharui: Nov 09, 2016. Diakses: Feb 07,
2017. Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/article/287913
4. Robert, E. et al. 2014. The American Psychiatric Publishing Textbook of
Psychiatry, Sixth Edition. USA: American Psychiatric Publishing.
5. Schumacher, J., et al., 2011. The Genetics Of Panic Disorder, Journal of
Medical Genetics. 48(6): p. 361-368.
6. National Institute of Mental Health. Panic Disorder Among Adults. Diakses
pada: Februari 07, 2017. Tersedia online di:
https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/prevalence/panic-disorder-among-
adults.shtml.
7. Simos, Gregoris et al. 2013. CBT For Anxiety Disorders: A Practitioner
Book. UK: Wiley & Sons, Ltd.
8. Katona, C., C. Cooper, dan M. Robertson. 2015. Psychiatry at a Glance. UK:
Wiley & Sons, Ltd.
9. American Psychiatric Association. 2010. Practice Guideline For The
Treatment of Patients With Panic Disorder, Second Edition.
10. Sadock J Bejamin, Sadock A Virginia. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
kedua. Jakarta.: EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai