Anda di halaman 1dari 21

PENGOLAHAN ENERGI

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL)

RESUME

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengolahan Energi


Pada Program Studi Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Jambi

Disusun Oleh :
Febrian Dimas Adi Nugraha (M1B114001)

Dosen Pembimbing :
Nazarudin,.S.Si,.M.Si,.Ph.D

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS JAMBI
2017
Energi Geothermal di Indonesia

Energi panas bumi (atau sering disebut energi geothermal) adalah sumber energi yang
relatif ramah lingkungan karena berasal dari panas dalam bumi. Air yang dipompa ke dalam
bumi oleh manusia atau sebab-sebab alami (contoh : hujan) dikumpulkan ke permukaan bumi
dalam bentuk uap (steam), yang bisa digunakan untuk menggerakkan turbin-turbin untuk
memproduksi listrik. Biaya eksplorasi dan juga biaya modal pembangkit listrik geotermal lebih
tinggi dibandingkan pembangkit-pembangkit listrik lain yang menggunakan bahan bakar fosil
(contoh : batu bara). Namun, setelah mulai beroperasi, biaya produksinya menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar fosil tersebut.

Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panas bumi pertama kali dilakukan di daerah
Kawah Kamojang pada tahun 1918. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur eksplorasi
dibor dimana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yaitu sumur KMJ3 masih
memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Terjadinya perang dunia dan perang
kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya kegiatan eksplorasi
di daerah tersebut.

Kegiatan eksplorasi panas bumi di Indonesia ini baru dilakukan secara luas pada tahun
1972. Direktorat Vulkanologi dan Pertamina, dengan bantuan Pemerintah Perancis dan New
Zealand melakukan survey pendahuluan di seluruh wilayah Indonesia. Dari hasil survey
dilaporkan bahwa di Indonesia terdapat 217 prospek panas bumi, yaitu di sepanjang jalur
vulkanik mulai dari bagian Barat Sumatera, menuju ke Pulau Jawa, Bali, Nusa tenggara dan
kemudian membelok ke arah utara melalui Maluku dan Sulawesi. Survey yang dilakukan
selanjutnya telah berhasil menemukan beberapa daerah prospek baru sehingga jumlahnya
meningkat menjadi 256 prospek, yaitu 84 prospek di Sumatera, 76 prospek di Jawa, 51 prospek
di Sulawesi, 21 prospek di Nusa tenggara, 3 prospek di Irian, 15 prospek di Maluku dan 5
prospek di Kalimantan. Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim
hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225C), hanya beberapa diantaranya yang
mempunyai temperatur sedang (150225C).
Dalam beberapa tahun terakhir, pasar untuk tenaga geothermal mulai mengalami
peningkatan tajam, terutama di pasar-pasar negara berkembang seperi Indonesia karena - akibat
pertumbuhan ekonomi - semakin banyak komunitas-komunitas di pedesaan berpenghasilan
rendah yang mendapat akses ke jaringan listrik. Banyak pemerintah juga makin meningkatkan
fokus untuk mengurangi kebergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal dan tidak ramah
lingkungan, yaitu : batu bara, minyak dan gas bumi.

Indonesia adalah salah satu dari negara-negara berkembang ini yang menghadapi
perningkatan permintaan listrik sebanyak 10% setiap tahunnya (terutama pulau-pulau di luar
Jawa) dan karena itu negara ini membutuhkan tambahan kapasitas untuk menghasilkan listrik
sekitar 6 Giga Watt per tahun. Rasio kelistrikan Indonesia yaitu persentase rumah tangga
Indonesia yang terhubung dengan jaringan listrik sekitar 80,38% pada akhir 2013,
mengimplikasikan bahwa masih ada sekitar 50 juta penduduk Indonesia yang tidak memiliki
akses listrik khususnya di desa terpencil. Pemerintah Indonesia memiliki harapan-harapan tinggi
untuk energi geothermal. Indonesia memiliki cadangan-cadangan geothermal terbesar di dunia,
karena itu Pemerintah bertujuan meningkatkan peran energi geothermal sebagai penghasil listrik.
Karena permintaan energi meningkat tajam di Indonesia (negara dengan ekonomi terbesar di
Asia Tenggara) diakibatkan oleh pertambahan penduduk yang dikombinasikan dengan ekspansi
atau penyebaran secara struktural ekonomi menyebabkan semakin bertambahnya jumlah
kalangan menengah dan juga pertumbuhan industrialisasi dan investasi-investasi baru .
Pemerintah, baru-baru ini, telah melakukan usaha-usaha untuk mempermudah investasi dalam
ekspansi geothermal setelah selama ini cenderung mengabaikan sektor ini.

Di masa lalu keadaannya terbalik, Pemerintah bergantung pada batu bara, gas bumi,
dan minyak mentah untuk menjadi bahan bakar pembangkit-pembangkit listrik. Sejalan dengan
masa lalu ini, Pemerintah juga telah mengabaikan potensi sumber-sumber energi terbarukan yang
lain (seperti energi hidroelektrik, tenaga surya, biofuel dan biomass). Pihak swasta juga kurang
berminat untuk berinvestasi pada sumber-sumber energi terbarukan di Indonesia karena iklim
daripada investasi di negara ini yang rumit (birokrasi yang buruk, korupsi,
kurangnya infrastruktur yang layak, dan kurangnya kepastian hukum). Terlebih lagi,
berlimpahnya batu bara yang murah di Indonesia membuat investasi dalam energi yang
terbarukan kurang menarik.
A. Produksi dan Konsumsi Energi Geothermal

Sekitar 40% cadangan energi geothermal dunia terletak di bawah tanah Indonesia, maka
negara ini diperkirakan memiliki cadangan-cadangan energi geothermal terbesar di dunia dan
karena itu memiliki potensi yang tinggi untuk sumber energi terbarukan. Namun, sebagian besar
dari potensi ini faktanya belum digunakan. Saat ini, Indonesia hanya menggunakan 4-5% dari
kapasitas geothermal-nya.

Faktor utama yang menghalangi investasi pengembangan geothermal di Indonesia adalah


hukum di Indonesia sendiri. Dulu aktivitas geothermal didefinisikan sebagai aktivitas
pertambangan (Undang-Undang No. 27/2003) yang mengimplikasikan bahwa hal ini dilarang
untuk dilaksanakan di wilayah hutan lindung dan area konservasi (Undang-Undang No.
41/1999), walaupun faktanya aktivitas-aktivitas tambang geothermal hanya memberikan dampak
kecil pada lingkungan (dibandingkan aktivitas-aktivitas pertambangan yang lain). Namun,
sekitar 80% dari cadangan geothermal Indonesia terletak di hutan lindung dan area konservasi,
oleh karena itu mustahil untuk memanfaatkan potensi ini. Pada Agustus 2014, waktu periode
kedua administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir selesai, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Indonesia mengesahkan Undang-Undang Geothermal No. 21/2014 (menggantikan
Undang-Undang No. 27/2003) yang memisahkan geotermal dari aktivitas-aktivitas
pertambangan yang lain dan karena itu membuka jalan untuk eksplorasi geothermal di wilayah
hutan lindung dan area konservasi. Pengesahan Undang-Undang ini adalah gebrakan yang
penting. Namun, pada saat tulisan ini dibuat (Desember 2014), Undang-Undang baru ini masih
perlu diatur pelaksanaannya dengan peraturan-peraturan kementerian yang lain.

Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan berbagai upaya lain untuk membuat
investasi energi panas bumi lebih menarik. Geothermal Fund Facility (GFF) menyediakan
dukungan untuk memitigasi resiko-resiko dan menyediakan informasi mengenai biaya
pengembangan awal geothermal yang relatif tinggi.

Hambatan lain di Indonesia adalah tarif listrik yang tidak kompetitif. Melalui subsidi
pemerintah, tarif listrik menjadi murah. Selain itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki
monopoli distribusi listrik di Indonesia dan karena itu energi listrik dari produsen-produsen
independen harus dijual kepada PLN. Namun, di Juni 2014, Pemerintah Indonesia
mengumumkan akan membuat harga pembelian (dibayar oleh PLN) menjadi lebih menarik
melalui kebijakan tarif feed-in yang baru.

Terakhir, eksplorasi geothermal di Indonesia dihalangi oleh keadaan infrastruktur yang


buruk di wilayah-wilayah terpencil, adanya perlawanan masyarakat lokal pada proyek-proyek
ini, dan juga birokrasi yang buruk (prosedur perizinan yang panjang dan mahal yang melibatkan
pemerintah pusat provinsi, dan kabupaten).

Cadangan energi panas bumi yang terbesar terletak di wilayah barat Indonesia dimana
ada permintaan energi yang paling tinggi: Sumatra, Jawa dan Bali. Sulawesi Utara adalah
provinsi yang paling maju dalam penggunaan geotermal untuk energi listrik: sekitar 40% dari
pasokan listriknya didapat dari energi geothermal.

Terjadinya sumber energi panas bumi diIndonesia serta karakteristiknya dijelaskan oleh
Budihardi (1998) sebagai berikut. Ada tiga lempengan yang berinteraksi di Indonesia, yaitu
lempeng Pasifik, lempeng IndiaAustralia dan lempeng Eurasia. Tumbukan yang terjadi antara
ketiga lempeng tektonik tersebut telah memberikan peranan yang sangat penting bagi
terbentuknya sumber energi panas bumi di Indonesia. Tumbukan antara lempeng IndiaAustralia
di sebelah selatan dan lempeng Eurasia di sebelah utarabmengasilkan zona penunjaman
(subduksi) di kedalaman 160 210 km di bawah Pulau Jawa-Nusa tenggara dan di kedalaman
sekitar 100 km (Rocks et. al, 1982) di bawah Pulau Sumatera. Hal ini menyebabkan proses
magmatisasi di bawah Pulau Sumatera lebih dangkal dibandingkan dengan dibbawah Pulau Jawa
atau Nusa tenggara. Karena perbedaan kedalaman jenis magma yang dihasilkannya berbeda.
Pada kedalaman yang lebih besar jenis magma yang dihasilkan akan lebih bersifat basabdan
lebih cair dengan kandungan gas magmatik yang lebih tinggi sehingga menghasilkan erupsi
gunung api yang lebih kuat yang pada akhirnya akan menghasilkan endapan vulkanik yang lebih
tebal dan terhampar luas. Oleh karena itu, reservoir panas bumi di Pulau Jawa umumnya lebih
dalam dan menempati batuan volkanik, sedangkan reservoir panas bumi di Sumatera terdapat di
dalam batuan sedimen dan ditemukan pada kedalaman yang lebih dangkal.

Sistem panas bumi di Pulau Sumatera umumnya berkaitan dengan kegiatan gunung api
andesitisriolitis yang disebabkan oleh sumber magma yang bersifat lebih asam dan lebih kental,
sedangkan di Pulau Jawa, Nusa tenggara dan Sulawesi umumnya berasosiasi dengan kegiatan
vulkanik yang bersifat andesitisbasaltis dengan sumber magma yang lebih cair. Karakteristik
geologi untuk daerah panas bumi di ujung utara Pulau Sulawesi memperlihatkan kesamaan
karakteristik dengan di Pulau Jawa.

Akibat dari sistem penunjaman yang berbeda, tekanan atau kompresi yang dihasilkan
oleh tumbukan miring (oblique) antara lempeng IndiaAustralia dan lempeng Eurasia
menghasilkan sesar regional yang memanjang sepanjang Pulau Sumatera yang merupakan sarana
bagi kemunculan sumber-sumber panas bumi yang berkaitan dengan gununggunung api muda.
Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa sistem panas bumi di Pulau Sumatera umumnya lebih
dikontrol oleh sistim patahan regional yang terkait dengan sistim sesar Sumatera, sedangkan di
Jawa sampai Sulawesi, sistim panas buminya lebih dikontrol oleh sistim pensesaran yang bersifat
lokal dan oleh sistim depresi kaldera yang terbentuk karena pemindahan masa batuan bawah
permukaan pada saat letusan gunung api yang intensif dan ekstensif. Reservoir panas bumi di
Sumatera umumnya menempati batuan sedimen yang telah mengalami beberapa kali deformasi
tektonik atau pensesaran setidaktidaknya sejak Tersier sampai Resen. Hal ini menyebabkan
terbentuknya porositas atau permeabilitas sekunder pada batuan sedimen dominan yang pada
akhirnya menghasilkan permeabilitas reservoir panas bumi yang besar, lebih besar dibandingkan
dengan permeabilitas reservoir pada lapanganlapangan panas bumi di Pulau Jawa ataupun di
Sulawesi.
B. Sistem Hidrothermal

Sistem panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hidrothermal yang


mempunyai temperatur tinggi (>225C), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai
temperature sedang (150225C). Pada dasarnya sistim panas bumi jenis hidrothermal terbentuk
sebagai hasil perpindahan panas dari suatu sumber panas ke sekelilingnya yang terjadi secara
konduksi dan secara konveksi. Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan,
sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya kontak antara air dengan
suatu sumber panas. Perpindahan panas secara konveksi pada dasarnya terjadi karena gaya apung
(bouyancy). Air karena gaya gravitasi selalu mempunyai kecenderungan untuk bergerak
kebawah, akan tetapi apabila air tersebut kontak dengan suatu sumber panas maka akan terjadi
perpindahan panas sehingga temperatur air menjadi lebih tinggi dan air menjadi lebih ringan.
Keadaan ini menyebabkan air yang lebih panas bergerak ke atas dan air yang lebih dingin
bergerak turun ke bawah, sehingga terjadi sirkulasi air atau arus konveksi.

Adanya suatu sistem hidrothermal di bawah permukaan sering kali ditunjukkan oleh
adanya manifestasi panasbumi di permukaan (geothermal surface manifestation), seperti mata air
panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan manifestasi panasbumi lainnya, dimana
beberapa diantaranya, yaitu mata air panas, kolam air panas sering dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat untuk mandi, berendam, mencuci, masak dll. Manifestasi panasbumi di
permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau
karena adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panasbumi (uap dan air panas)
mengalir ke permukaan.

Berdasarkan pada jenis fluida produksi dan jenis kandungan fluida utamanya, sistim
hidrotermal dibedakan menjadi dua, yaitu sistem satu fasa atau sistim dua fasa. Sistim dua fasa
dapat merupakan sistem dominasi air atau sistem dominasi uap. Sistim dominasi uap merupakan
sistim yang sangat jarang dijumpai dimana reservoir panas buminya mempunyai kandungan fasa
uap yang lebih dominan dibandingkan dengan fasa airnya. Rekahan umumnya terisi oleh uap dan
pori-pori batuan masih menyimpan air. Reservoir air panasnya umumnya terletak jauh di
kedalaman di bawah reservoir dominasi uapnya. Sistem dominasi air merupakan sistim panas
bumi yang umum terdapat di dunia dimana reservoir-nya mempunyai kandungan air yang sangat
dominan walaupun boiling sering terjadi pada bagian atas reservoir membentuk lapisan
penudung uap yang mempunyai temperatur dan tekanan tinggi.

Dibandingkan dengan temperatur reservoir minyak, temperatur reservoir panas bumi


relatif sangat tinggi, bisa mencapai 3500C. Berdasarkan pada besarnya temperatur, Hochstein
(1990) membedakan sistim panasbumi menjadi tiga, yaitu:

1. Sistim panas bumi bertemperatur rendah, yaitu suatu sistim yang reservoirnya
mengandung fluida dengan temperatur lebih kecil dari 1250C.

2. Sistim/reservoir bertemperatur sedang, yaitu suatu sistim yang reservoirnya


mengandung fluida bertemperatur antara 1250C dan 2250C.

3. Sistim/reservoir bertemperatur tinggi, yaitu suatu sistim yang reservoir-nya


mengandung fluida bertemperatur diatas 2250C.

Sistem panas bumi sering kali juga diklasifikasikan berdasarkan entalpi fluida yaitu
sistim entalpi rendah, sedang dan tinggi. Kriteria yang digunakan sebagai dasar klasifikasi pada
kenyataannya tidak berdasarkan pada harga entalphi, akan tetapi berdasarkan pada temperatur
mengingat entalphi adalah fungsi dari temperatur.
C. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Sistim panas bumi di Indonesia umumnya merupakan sistim hidrothermal yang


mempunyai temperatur tinggi (>225C), hanya beberapa diantaranya yang mempunyai
temperatur sedang (150-225C). Pengalaman dari lapangan-lapangan panas bumi yang telah
dikembangkan di dunia maupun di Indonesia menunjukkan bahwa sistem panas bumi
bertemperatur tinggi dan sedang, sangat potensial bila diusahakan untuk pembangkit listrik.
Potensi sumber daya panas bumi Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 27500 MWe , sekitar 30]
40% potensi panas bumi dunia. Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) pada prinsipnya
sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hanya pada PLTU uap dibuat di
permukaan menggunakan boiler, sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panas bumi.
Apabila fluida di kepala sumur berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke
turbin, dan kemudian turbin akan mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan
memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik.

PLTU PLTP

Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala sumur sebagai campuran fluida dua fasa
(fasa uap dan fasa cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal ini
dimungkinkan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap akan terpisahkan
dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah yang kemudian dialirkan ke
turbin.

Apabila sumber daya panas bumi mempunyai temperatur sedang, fluida panas bumi
masih dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dengan menggunakan pembangkit listrik
siklus binari (binary plant). Dalam siklus pembangkit ini, fluida sekunder (isobutane, isopentane
or ammonia) dipanasi oleh fluida panasbumi melalui mesin penukar kalor atau heat exchanger.
Fluida sekunder menguap pada temperatur lebih rendah dari temperatur titik didih air pada
tekanan yang sama. Fluida sekunder mengalir ke turbin dan setelah dimanfaatkan
dikondensasikan sebelum dipanaskan kembali oleh fluida panas bumi. Siklus tertutup dimana
fluida panas bumi tidak diambil masanya, tetapi hanya panasnya saja yang diekstraksi oleh fluida
kedua, sementara fluida panas bumi diinjeksikan kembali ke dalam reservoir.
Masih ada beberapa sistem pembangkitan listrik dari fluida panas bumi lainnya yang
telah diterapkan di lapangan, diantaranya: Single Flash Steam, Double Flash Steam, Multi Flash
Steam, Combined Cycle, Hybrid/fossilgeothermal conversion system.

D. Energi Panas Bumi Ramah Lingkungan

Energi panas bumi merupakan energi yang ramah lingkungan karena fluida panas bumi
setelah energi panas diubah menjadi energi listrik, fluida dikembalikan ke bawah permukaan
(reservoir) melalui sumur injeksi. Penginjeksian air kedalam reservoir merupakan suatu
keharusan untuk menjaga keseimbangan masa sehingga memperlambat penurunan tekanan
reservoir dan mencegah akan terjadinya subsidence. Penginjeksian kembali fluida panas bumi
setelah fluida tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, serta adanya recharge
(rembesan) air permukaan, menjadikan energi panas bumi sebagai energi yang berkelanjutan
(sustainable energy). Emisi dari pembangkit listrik panasbumi sangat rendah bila dibandingkan
dengan minyak dan batubara. Karena emisinya yang rendah, energi panasbumi memiliki
kesempatan untuk memanfaatkan Clean Development Mechanism (CDM) produk Kyoto
Protocol. Mekanisme ini menetapkan bahwa negara maju harus mengurangi emisi gas rumah
kaca (GRK) sebesar 5.2% terhadap emisi tahun 1990, dapat melalui pembelian energi bersih dari
negara berkembang yang proyeknya dibangun diatas tahun 2000. Energi bersih tersebut termasuk
panas bumi.
Lapangan panas bumi umumnya dikembangkan secara bertahap. Untuk tahap awal
dimana ketidakpastian tentang karakterisasi reservoir masih cukup tinggi, dibeberapa lapangan
dipilih unit pembangkit berkapasitas kecil. Unit pembangkit digunakan untuk mempelajari
karakteristik reservoir dan sumur, serta kemungkinan terjadi masalah teknis lainnya. Pada
prinsipnya, pengembangan lapangan panas bumi dilakukan dengan sangat hati-hati selalu
mempertimbangkan aspek teknis, ekonomi dan lingkungan. Untuk memasok uap ke pembangkit
listrik panas bumi perlu dilakukan pemboran sejumlah sumur. Untuk menekan biaya dan
efisiensi pemakaian lahan, dari satu lokasi (well pad) umumnya tidak hanya dibor satu sumur,
tapi beberapa sumur, yaitu dengan melakukan pemboran miring (directional drilling).
Keuntungan menempatkan sumur dalam satu lokasi adalah akan menghemat pemakaian lahan,
menghemat waktu untuk pemindahan menara bor (rig), menghemat biaya jalan masuk dan biaya
pemipaan.

Keunggulan lain dari geothermal energi adalah dalam faktor kapasitasnya (capacity
factor), yaitu perbandingan antara beban ratarata yang dibangkitkan oleh pembangkit dalam
suatu perioda (average load generated in period) dengan beban maksimum yang dapat
dibangkitkan oleh PLTP tersebut (maximum load). Faktor kapasitas dari pembangkit listrik panas
bumi ratarata 95%, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan faktor kapasitas dari pembangkit
listrik yang menggunakan batubara, yang besarnya hanya 6070% ((U.S Department of Energy).
E. Peluang Dan Keunggulan Panas Bumi

Penetapan panas bumi menjadi pembangkit utama, dibandingkan jenis pembangkit lain,
dalam Rencana Proyek 10.000 MW Tahap II merupakan keputusan yang tepat oleh Pemerintah
mengingat pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut, di antaranya potensi panas bumi yang
sangat besar di Indonesia, yaitu sekitar 29.000 MW, tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

a. Pengembangan panas bumi, secara total, memberikan nilai tambah yang cukup besar bagi
pemerintah walaupun harga listrik panas bumi dianggap "tinggi" apabila dibandingkan
dengan pembangkit batubara pada asumsi harga batubara tertentu (Studi JICA/West JEC,
2007). Sementara itu, harga energi panas bumi sangat stabil karena tidak dikaitkan
dengan perubahan harga minyak bumi dan kondisi politik dunia.
b. Energi panas bumi sangat terbatas lingkup pemanfaatannya. Tidak dapat diekspor,bhanya
dapat digunakan untuk konsumsin didalam negeri, utamanya dalam penyediaan bahan
bakar pembangkitan tenaga listrik.
c. Pembangkit listrik panas bumi bebas dari resiko kenaikan (fluktuasi) harga bahan bakar
fosil serta tidak tergantung dari cuaca, supplier, kesediaan fasilitas pengangkutan dan
bongkar muat dalam pasokan bahan bakar.
d. Pengusahaaan panas bumi tidak memerlukan lahan yang luas (no foot print).
e. Tingkat keandalan pembangkit yang tinggi (capacity dan availability factor); menjadi
alternatif baseload bagi PLN.
f. Ramah Lingkungan; mendukung kebijakan pemerintah dalam me-respon isu daripada
global warming.
g. Panas bumi merupakan energi terbarukan.
h. Konservasi bahan bakar fosil.
i. Pemanfaatannya bisa mempunyai waktu yang tidak terbatas.
j. Kebijakan Pemerintah sangat pro pada peningkatan pemanfaatan energi terbarukan dan
bahkan dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II
memprioritaskan pengembangan panas bumi.

F. Tantangan Dalam Pengusahaan Panas Bumi

Pengusahaan geothermal memang mempunyai sifat yang unik. Produksi dari


pengusahaan hulu adalah uap panas yang sebagaian besar hanya bisa digunakan untuk
pembangkit listrik. Karena itu, pengusaha hulu panas bumi, sebelum melakukan eksplorasi dan
eksploitasi panas bumi harus yakin bahwa produksi uapnya akan dapat dimanfaatkan dan dibeli
dengan harga yang sesuai dengan investasi dan tingkat resiko eksplorasi yang diambil. Dengan
demikian, menggabungkan usaha hulu (upstream), eksplorasi dan eksploitasi panas bumi, dan
hilir, pembangkit tenaga listrik, merupakan satu hal yang logis walaupun dapat saja terjadi
sebagian dari uap akan dijual kepada power producer yang lain, seperti terjadi di wilayah
Kamojang, Gunung Salak, Drajat dan Lahendong pada masa awal pengembangan panas bumi di
Indonesia. Tetapi pengalaman para pengembang yang melakukan negosiasi dan atau penjualan
uap di masa lalu, mengalami banyak sekali masalah dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN)
sebagai single buyer ketenagalistrikan di Indonesia, sehingga skema bisnis seperti ini sudah tidak
disukai olah para pengembang listrik panas bumi. Sebagai alternatif dikembangkan skema bisnis
dengan pola total proyek dari hulu sampai ke hilir dengan membangun pembangkit listrik.
Dengan skema ini, pengusaha hulu yakin bahwa tidak ada keterlambatan di dalam pemanfaatan
hasil produksi uap.

Masalahnya adalah penjualan listrik yang hanya dapat dilakukan kepada satu pembeli
yakni PLN, maka PLN adalah "price setter" sedangkan investor adalah "price taker". Karena itu
sebelum pengusaha panas bumi melakukan suatu kegiatan atau memutuskan suatu investasi,
mulai dari mengikuti tender wilayah kerja panas bumi, sudah harus diketahui berapa harga listrik
yang akan diterima kalau mereka berhasil memproduksi uap dan listrik. Ini berbeda dengan
tender wilayah kerja pertambangan minyak bumi atau batubara yang produksinya dapat dijual di
pasar bebas dengan harga pasar. Karena itu ketika pemerintah melelang Wilayah Kerja panas
bumi (WKP), sebaiknya sekaligus dengan pembangunan pembangkit listrik, dengan "harga jual
listrik" sebagai penentu pemenang. Penyatuan hulu (upstream) dan hilir (downstream) juga akan
mempercepat proses pembangunan pembangkit listrik karena investor hulu sudah melakukan
perencanaan sejak kegiatan eksplorasi dimulai.

Kepastian harga listrik sebelum investor melakukan kegiatan investasi berupa


penanaman modal adalah sangat penting mengingat besarnya biaya dan resiko eksplorasi dan
eksploitasi panas bumi. Sebagai contoh dan perkiraaan untuk pembangkit sebesar 110 MW
diperlukan sekitar US$ 150 juta lebih untuk biaya survei pendahuluan, eksplorasi dan pemboran
sumur-sumur produksi dan sumur-sumur injeksi. Tentu menjadi tidak mungkin bila investor
harus mengeluarkan dana sebesar itu baru kemudian akan melakukan negosiasi harga listrik
setelah pekerjaan hulu selesai.
Pengembangan pengusahaan geothermal hulu dan hilir secara terpadu di Indonesia
sudah terbukti dilaksanakan di Wayang Windu, Darajat- 2, Gunung Salak, Kamojang-4 dan
Dieng dengan baik dan bahkan sekarang pada semua lapangan yang baru masuk dalam tahapan
pengembangan. Kombinasi yang terjadi antara resiko tinggi di hulu dan resiko sedang dan
rendah di hilir dapat merupakan kombinasi yang menarik untuk investor. Yang penting adalah
harga jual listrik yang mencerminkan keekonomian dengan tingkat resiko tersebut. Ini semua
merupakan tantangan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.

Beberapa hal lain yang dapat dikategorikan sebagai tantangan pengembangan panas
bumi adalah:

Harga listrik panas bumi yang dianggap lebih tinggi dari harga listrik dari batubara pada
kondisi tanpa memperhitungkan faktor lingkungan, sehingga sulit bersaing secara bebas
apalagi dalam keadaan harga energi diberikan subsidi oleh Pemerintah kepada minyak bumi
dan energi fosil lainnya.

Belum adanya dan belum konsistennya formulasi kebijakan fiskal yang dapat menarik bagi
para pengembang seperti yang pernah diberikan dalam Keppres No.49 Tahun 1991.

Kondisi politik dan legalitas yang kondusif bagi kemajuan penggunaan panas bumi.

Perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan
kemudahan perizinan dan lain-lain.

Kelanjutan dari kebijakan subsidi harga energi terhadap BBM yang menyebabkan harga energi
tidak diperhitungkan sesuai dengan sistem keekonomiannya.

Masih adanya pertanyaan seberapa seriuskah Pemerintah dan kemauan politik dalam
memanfaatkan panas bumi tersebut.

Kekurangan SDM yang berpengalaman pada semua level baik pengembang, regulator dan
peneliti yang kompeten untuk melakukan pengembangan panas bumi Indonesia yang
demikian besar potensinya.

Tidak adanya teknologi dan kurangnya dukungan R & D dari Pemerintah dalam
pengembangan panas bumi.
Kurangnya kebijakan yang insentif dalam pengemabangan energi terbarukan.

Kurangnya apresiasi terhadap resiko dan upaya akan mitigasi yang diambil dalam
pengembangan panas bumi.

Tidak adanya perencanaan energi yang terintegrasi dengan baik sehingga penggunaan panas
bumi tidak dapat lebih optimal dan tidak bertentangan dalam perencanaan sektor lainnya.

Kurangnya informasi dan publikasi mengenai potensi dan keuntungan-keuntungan dalam


pengembangan panas bumi Indonesia.

G. Masalah Harga Beli Tenaga Listrik Panas Bumi Oleh PLN

Masalah yang paling utama yang menghambat akan pengembangan panas bumi adalah
masalah penentuan harga beli tenaga listrik panas bumi oleh PLN (tarif). Untuk dapat
memberikan kepastian terhadap PLN dalam menentukan harga yang dapat diterima, telah
dilakukan beberapa kajian baik oleh Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) maupun oleh beberapa
pihak yang independen termasuk JICA.

Permen ESDM Nomor 14/2008 dan Nomor 5/ 2009, Permen No.32 Tahun 2009,
Permen No.2 tahun 2011 dan Permen No. 22 Tahun 2012 merupakan upaya Pemerintah melalui
Menteri ESDM untuk mendapatkan harga patokan listrik yang tepat dari pemanfatan panas bumi.
Tetapi dengan banyaknya pertimbangan untuk menyerahkan negosiasi akhir kepada PLN untuk
membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) ataupun menerima hasil tender dengan patokan harga
tertinggi dan bahkan dengan menetapkan harga semacam Feed in Tariff (FIT) memperlihatkan
bahwa tidak konsistennya pada mekanisme penentuan harga listrik panas bumi yang harus
diterima PLN. Karena itulah, sebaiknya harga listrik panas bumi harus kembali ditetapkan
melalui suatu mekanisme yang disebut dengan "Pedoman Penentuan Harga Listrik Panas Bumi"
sebagai yang ditetapkan dalam PP No.59 Tahun 2007. Dengan adanya Pedoman ini, maka
diharapkan semua pihak akan siap menerima harga listrik dari panas bumi yang tentu saja
dianggap sebagai harga yang memenuhi azas keekonomian dan berkeadilan bagi masyarakat dan
para stakeholder lainnya. Hal inilah yang seharusnya dipikirkan oleh Pemerintah agar fair bagi
semua pihak dan perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah.

H. Studi Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API)


Kajian internal yang dilakukan API pada tahun 2009 dengan dibantu konsultan
independen dan existing producers, telah menghasilkan tarif pembelian harga listrik oleh PLN
yang diharapkan dapat menarik investor. Tarif minimal yang menarik untuk investor berdasarkan
penelahaan API adalah tarif yang dapat menghasilkan Project IRR sebesar 16%. IRR akan
menjadi lebih menarik menjadi 17% jika diperhitungan potensi penerimaan dari hasil penjualan
carbon credit melalui Clean Development Mechanism (CDM). IRR tersebut menjadi sangat
wajar mengingat besarnya resiko investasi yang dihadapi oleh pengembang, termasuk di
antaranya resiko eksplorasi, pengembangan dan finansial. Resiko lainnya adalah mencakup
resiko PLN selaku pembeli (perceived PLN risk) dan lamanya waktu yang diperlukan untuk
pengembangan panas bumi (5-7 tahun).
Harga yang diusulkan oleh API adalah sebesar US$ 9,7 cents per Kwh untuk PLTP
berkapasitas 110 MW sebagai harga dasar pada tahun-tahun pertama produksi (atau diperkirakan
pada tahun 2014/2015) dengan eskalasi menggunakan indeks harga konsumen untuk komponen
biaya operasi dan perawatan (atau atas 25% dari harga dasar). Jika menggunakan formulasi
eskalasi yang berlaku saat ini pada kontrak existing (Joint Operation Contract), yaitu dengan
eskalasi penuh terhadap harga dasar (100%), harga listrik akan lebih rendah menjadi sebesar US$
8,7 cents per Kwh. Harga ini masih dibawah Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN tahun 2009
sebesar US$ 13 cents (Rp 1.300) per Kwh. Tentu saja untuk PLTP berkapasitas lebih kecil, harga
tersebut harus disesuaikan atau akan lebih besar dari US$9,7 cents per Kwh. Ambil sebagai
contoh adalah hasil studi tentang "Insentif Fiskal dan Non-fiskal Untuk Mempercepat
Pengembangan Energi Panasbumi di Indonesia Dengan Partisipasi Swasta" yang dilakukan
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu bekerjasama dengan JICA (Japan International
Cooperation Agency), dengan menggunakan konsultan Jepang, West JEC (West Japan
Engineering Consultant, Inc), pada bulan Juni 2009, harga listrik panas bumi yang diusulkan
untuk PLTP berkapasitas 60 MW adalah US$ 11,9 cents per Kwh, tanpa eskalasi tersebut.

I. Resiko Eksplorasi, Eksploitasi dan Pengembangan Lapangan Panas Bumi


Proyek panas bumi memiliki resiko yang tinggi dan memerlukan dana yang besar, oleh
karena itu sebelum suatu lapangan panas bumi dikembangkan perlu dilakukan pengkajian yang
lebih hatihati untuk menilai apakah sumberdaya panas bumi yang terdapat di daerah tersebut
menarik dan layak untuk diproduksi. Penilaian kelayakan meliputi beberapa aspek, yang utama
adalah: aspek teknis, pasar dan pemasaran, finansial, legal serta sosial ekonomi
Dari segi aspek teknis, halhal yang harus dipertimbangkan adalah:
1. Sumberdaya mempunyai kandungan panas atau cadangan yang besar sehingga mampu
memproduksikan uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 2530 tahun.
2. Reservoir-nya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km.
3. Sumbe rdaya panas bumi terdapat di daerah yang relatif tidak sulit dicapai.
4. Sumber daya pana sbumi memproduksikan fluida yang mempunyai pH hampir netral agar laju
korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat terkorosi. Selain itu
hendaknya kecenderungan fluida membentuk scale (kerak) relatif rendah.
5. Sumber daya panas bumi terletak di daerah dengan kemungkinan terjadinya erupsi
hydrothermal relatif rendah. Diproduksikannya fluida panas bumi dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya erupsi hidrotermal.
6. Hasil kajian terhadap dampak lingkungan

Dari aspek pasar dan pemasaran, halhal yang harus dipertimbangkan adalah kebutuhan
konsumen dan ketersediaan jaringan distribusi. Dari aspek finansial, perlu dilakukan pengkajian
terhadap dana yang diperlukan, sumber dana, proyeksi arus kas, indikator ekonomi, seperti NPV,
IRR, PI dll, serta perlu juga dipertimbangkan pengaruh perubahan ekonomi makro. Dari aspek
sosial ekonomi, perlu dipertimbangkan pengaruh proyek terhadap penerimaan negara, kontribusi
proyek terhadap penerimaan pajak, jasajasa umum yang dapat dinikmati manfaatnya oleh
masyarakat dan kontribusi proyek terhadap kesempatan kerja, alih teknologi dan pemberdayaan
usaha kecil
Menurut Sanyal dan Koenig (1995), ada beberapa resiko dalam pengusahaan panas bumi,
yaitu:
1. Resiko yang berkaitan dengan sumber daya (resource risk), yaitu resiko yang berkaitan
dengan:
Kemungkinan tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di daerah yang sedang
dieksplorasi (resiko eksplorasi).
Kemungkinan besarnya cadangan dan potensi listrik di daerah tersebut lebih kecil dari
yang diperkirakan atau tidak bernilai komersial (resiko eksplorasi).
Kemungkinan jumlah sumur eksplorasi yang berhasil lebih sedikit dari yang diharapkan
(resiko eksplorasi).
Kemungkinan potensi sumur (well output), baik sumur eksplorasi lebih kecil dari yang
diperkirakan semula (resiko eksplorasi).
Kemungkinan jumlah sumur pengembangan yang berhasil lebih sedikit dari yang
diharapkan (resiko pengembangan).
Kemungkinan potensi sumur (well output) sumur pengembangan lebih kecil dari yang
diperkirakan semula (resiko pengembangan).
Kemungkinan biaya eksplorasi, pengembangan lapangan dan pembangunan PLTP
lebih mahal dari yang diperkirakan semula.
Kemungkinan terjadinya problemproblem teknis, seperti korosi dan scaling (resiko
teknologi) dan problemproblem lingkungan.
2. Resiko yang berkaitan dengan kemungkinan penurunan laju produksi atau penurunan
temperatur lebih cepat dari yang diperkirakan semula (resource degradation).
3. Resiko yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan pasar dan harga (market
access dan price risk).
4. Resiko pembangunan (construction risk).
5. Resiko yang berkaitan dengan perubahan manajemen

J. Proses dan Perkembangan Teknologi Geothermal


Sumber geothermal memiliki panas yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Akibatnya, untuk mendapatkan dan memanfaatkan panas tersebut diperlukan metode yang
berbeda-beda. Secara garis besar sumber geothermal memiliki temperatur dari 50 derajat hingga
350. Bentuk yang dihasilkan pun bisa beragam, dari uap hingga cairan. Untuk mendapatkan
panas geothermal dari bumi tersebut, air merupakan salah satu medium yang masih digunakan
hingga saat ini. Pada umumnya, mencari sumber mata air merupakan hal yang penting untuk
dilakukan dalam melakukan eksplorasi. Teknologi yang umumnya dipakai untuk mengalihkan
sumber energi yang bertemperatur tinggi menjadi listrik dibagi menjadi beberapa 3, yaitu:
1. Flash Steam Power Plant
Tipe ini merupakan yang paling umum digunakan dalam pembangkit listrik yang
menggunakan geothermal. Uap yang telah dipisahkan dari air disalurkan ke pipa menuju rumah
pembangkit. Kemudian uap yang sudah terkumpul tersebut digunakan untuk menggerakkan
turbin uap. Uap yang meninggalkan turbin dikondensasikan, sehingga menciptakan kehampaan
sementara yang dapat memaksimalkan pembangkit listrik yang digerakkan oleh turbin-generator.
Umumnya uap panas tersebut dikondensasikan dengan cara direct contact condenser, atau heat
exchanger type condenser. Dalam direct contact condenser, air yang sudah didinginkan
disemprotkan sehingga bercampur dengan uap panas. Uap yang sudah terkondensasi tersebut
menjadi bagian dari sirkuit air yang sudah didinginkan tersebut, sementara sebagian lagi
menguap dan bergabung dengan atmosfer melalui cooling tower. Hasil keluaran dari air yang
sudah didinginkan ini dinamakan blow down sering dibuang ke dalam sumur injeksi yang
dangkal.
2. Binary Cycle Power Plants
Dalam reservoirs, di mana temperatur umumnya kurang dari 220 (430 F) binary cycle
plants umumnya digunakan. Cairan yang berasal dari reservoir, baik berupa air, uap, maupun
campuran keduanya, disalurkan melalui heat exchanger. Cairan dalam binary plant kemudian
didaur ulang ke dalam heat exchanger. Cairan yang sudah dingin tersebut kemudian diinjeksikan
lagi ke dalam reservoir. Umumnya efisiensi binary cycle type plants mencapai 7 sampai 12
persen tergantung dari temperatur primer cairan yang ingin dikondensasikan. Binary Cycle plant
secara tipikal bervariasi antara 500 KW hingga 10 MW.
3. Combined Cycle (Flash and Binary) Combined Cycle Power Plants
Pembangkit semacam ini merupakan suatu kombinasi dari teknologi turbin uap yang
konvensional dengan teknologi binary cycle. Dengan memadukan kedua teknologi ini, efisiensi
penggunaan peralatan bisa dilakukan karena pada dasarnya turbin uap konvensional jauh lebih
efisien dala membangkitkan listrik dari uap yang bertemperatur tinggi. Sementara itu teknologi
binary cycle berguna untuk memisahkan air dari uap yang bertemperatur sangat rendah. Sebagai
tambahan, untuk menggantikan condenser-cooling tower, sistem pendingin yang digunakan
dalam teknologi gabungan ini bisa menghasilkan panas yang bisa digunakan lagi untuk
memproduksi sebuah listrik. Selain berbagai teknologi yang digunakan dalam pembangkit
bertenaga geothermal, sebenarnya geothermal bisa juga digunakan secara langsung (direct use).
Hal ini berarti geothermal dapat digunakan secara langsung tanpa perlu disalurkan dulu ke dalam
bentuk pembangkit listrik. Umumnya penggunaan geothermal secara langsung dilakukan bila
sumber geothermal memiliki temperatur yang lebih rendah, kurang dari 150. Terlepas dari
penggunaan langsung maupun sebagai pembangkit listrik, pemanfaatan geothermal umumnya
memiliki beberapa implikasi. Terkadang cairan geothermal mengandung sejumlah gas, seperti
hidrogen sulfida yang bias berbahaya. Untuk itu dalam proyek pemanfaatan geothermal ini
diperlukan perencanaan yang matang, sehingga peralatan yang digunakan tidak mudah rusak.
Beberapa teknologi bisa dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya kerusakankerusakan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai