Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya alam hayati yang beranekaragam dan


memiliki kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia. Hal ini sejalan
dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa perlu adanya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hewan adalah salah satu sumber daya alam hayati
yang memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Manusia
membutuhkan hewan untuk dikonsumsi, namun juga untuk beberapa hewan, manusia
membutuhkan hewan sebagai teman dalam menjalani kehidupannya.

Negara-negara di dunia telah membicarakan mengenai kesejahteraan hewan


sebagai bagian yang penting dalam kehidupan manusia. Pemerintah diharapkan ikut turut
campur tangan untuk membentuk suatu peraturan hukum yang menyangkut tentang
kesejahteraan hewan. Indonesia sendiri telah mengakomodir pengaturan kesejahteraan
hewan atau animal welfare dalam beberapa peraturan, salah satunya yakni Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pengertian kesejahteraan hewan adalah segala
urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran
perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari
perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
Penilaian tingkat kesejahteraan hewan telah dikenal dengan konsep Lima Kebebasan
(Five of Freedom) yang dicetuskan oleh Inggris sejak tahun 1992. Lima unsur kebebasan
tersebut adalah : 1. Bebas dari rasa lapar dan haus (Freedom from hunger and thirst, 2.
Bebas dari rasa tidak nyaman (Freedom from discomfort), 3. Bebas dari rasa sakit, luka,
dan penyakit (Freedom from pain, injury and diseases), 4. Bebas dari rasa takut dan stress

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 1


(Freedom from fear and distress), 5. Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiah
(Freedom to express natural behavior).

Adanya rancangan Undang-Undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan


akan berfungsi sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pembangunan peternakan dan
kesehatan hewan sehingga pembangunan peternakan khususnya dalam bidang
pemotongan hewan bisa menjamin kesejahteraan bagi hewan ternak dan produk daging
yang dihasilkan dari proses pemotongan terbukti ASUH ( Aman, Sehat, Umum dan Halal).

B. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini bertujuan sebagai salah satu tugas wajib mata kuliah
Kebijakan Perundang-undangan Peternakan dan diharapkan dapat memberikan ilmu
pengetahuan kepada mahasiswa.

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

Perusahaan peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan
terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersial
yang meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur, susu serta
usaha penggemukan suatu jenis ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan
memasarkannya yang untuk tiap jenis ternak jumlahnya melebihi jumlah yang ditetapkan
untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat. Perusahaan di bidang Peternakan adalah suatu
usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka
waktu tertentu untuk tujuan komersial yang meliputi perusahaan pemotongan, pabrik pakan
dan perusahaan perdagangan sarana produksi peternakan. Yang telah di tetapkan dalan
rancangan Undang-Undang nomor 1 ayat 15 tahun 2009.
Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang
berbentuk badan hukum maupun badan yang bukan badan hukum, yang di dirikan dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha
peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. Sedangkan usaha dalam bidang peternakan
adalah segala sesuatu yang di hasilkan (produk) dan jasa penunjang usaha budidaya ternak.
Yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 1 ayat 16 tahun 2009
usaha di bidang peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang
menunjang usaha budidaya ternak. Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-
hasil ternak dan hasil ikutannya bagi konsumen.yang tercantum dalam Undang-Undang
nomor 29 ayat 1 tentang Budidaya ternak dapat di lakukan oleh peternak, perusahaan, serta
pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
Jenis ternak dan atau jumlah ternak tertentu merupakan syarat dalam pendirian
suatu perusahaan peternakan melebihi ketetapandalam persetujuan prinsip akan
mempengaruhi dalam pembuatan izin usaya. Sedangkan jenis dan usaha ternak di bawah
skala usaha usaha tertentu di berikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota. Yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 29 ayat 2 tahun 2009.
Peternak yang melakukan budidaya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di bawah skala

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 3


usaha tertentu di berikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota
Dan Undang-Undang no 29 ayat 3, Perusahaan peternakan yang melakukan budidaya ternak
dengan jenis dan jumlah ternak di atas skala usaha tertentu wajib memiliki izin usaha
peternakan dari pemerintah daerah kabupaten/kota dalam suatu pendirian perusahaan
peternakan wajib adanya izin usaha.
Pedoman perizinan dan pendaftaran usaha peternakan ini dimaksudkan untuk
memberikan pedoman bagi aparatur yang bertugas dibidang pelayanan perizinan, pembinaan
dan pengawasan usaha peternakan di Kabupaten / Kota dengan tujuan untuk mempermudah
dan memberikan kepastian usaha dibidang peternakan. Setiap Perusahaan Peternakan yang
dalam skala usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada lampiran 1 keputusan ini wajib
memenuhi ketentuan di bidang perizinan usaha yang meliputi : Persetujuan Prinsip,
Pemberian Izin Usaha, Permohonan Izin Usaha Peternakan.

A. Persetujuan Prinsip

Persetujuan Prinsip diberikan kepada pemohon izin usaha peternakan untuk dapat
melakukan kegiatan persiapan fisik dana administrasi termasuk perizinan terkait antara lain
Izin Lokasi /HG /sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Izin Tempat Usaha/HO, Izin Tenaga Kerja Asing, Izin Pemasangan Instalasi serta peralatan
yang diperlukan, serta membuat Upaya Kelestarian Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL/UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Permohonan Persetujuan Prinsip disampaikan kepada Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk sesuai kewenangan dengan menggunakan Formulir Model IUPi-I.
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk selambat- lambatnya dalam waktu 20
hari kerja atau jangka waktu yang ditetapkan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, sejak diterimanya permohonan secara lengkap yang dibuktikan dengan tanda terima
telah memberikan persetujuan prinsip dengan menggunakan Formulir Model IUPi-I atau
menolaknya dengan Formulir model IUPi-II. Persetujuan Prinsip dapat diubah satu kali
berdasarkan permohonan pihak pemohon dengan menggunakan Formulir Model IUPi-I.1.2
serta mengikuti ketentuan pada diatas.

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 4


Persetujuan atau penolakan permohonan terhadap Persetujuan Prinsip diberikan
dengan Formulir Model IUPi-I atau Formulir Model IUPi-II. Persetujuan Prinsip berlaku
selama jangka waktu 1(satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 kali selama satu tahun. Dalam
melaksanakan Persetujuan Prinsip ,Perusahaan Peternakan wajib menyampaikan laporan
kemajuan kegiatannya setiap 6 (Enam) bulan sekali dengan menggunakan Formulir Model
IUPi-III kepada Bupati / Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

B. Pemberian Izin Usaha

Setiap orang atau Badan Hukum yang melakukan kegiatan usaha peternakan
wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk
olehnya sesuai kewenangannya. Untuk memperoleh Izin Usaha Permohonan tersebut harus
memperoleh Persetujuan Prinsip lebih dahulu. Jangka waktu berlakunya izin usaha
peternakan ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya dan berlaku
untuk seterusnya selama perusahaan peternakan yang bersangkutan melakukan kegiatan
usahanya.

C. Permohonan Izin Usaha Peternakan

Izin usaha peternakan diberikan kepada Pemohon yang telah memiliki


Persetujuan Prinsip dan siap melakukan kegiatan produksi, termasuk untuk memasukkan
ternak. Permohonan Izin Usaha Peternakan ditujukan kepada Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk olehnya. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya selambat-
lambatnya dalam waktu 20 hari kerja saat diterimanya permohonan izin dimaksud secara
lengkap yang dibuktikan dengan tanda terima telah melakukan pemeriksaan kesiapan
perusahaan untuk berproduksi sesuai dengan pedoman cara budidaya yang baik.
Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas tidak dilaksanakan,
pemohon yang bersangkutan dapat membuat surat pernyataan telah memenuhi pedoman cara
budidaya yang baik dan telah siap melakukan kegiatan produksi kepada Bupati/Walikota atau
pejabat yang ditunjuk olehnya. Selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja atau waktu
yang ditetapkan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya setelah dilakukan

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 5


pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas atau pernyataan sebagaimana dimaksud yang
dibuktikan dengan tanda terima, Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya
mengeluarkan Izin Usaha Peternakan dengan menggunakan Formulir Model IUPi-IV atau
menundanya dengan menggunakan Formulir Model IUPi-II. Penundaan pemberian Izin
Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan apabila pemohon belum
memiliki/memenuhi salah satu syarat sebagai berikut :
1) Persetujuan Prinsip
2) Good Farming Practice
3) Upaya Kelestarian lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-
UPL).

Terhadap penundaan sebagaimana dimaksud diatas Perusahaan Peternakan diberi


kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam
waktu 1 (satu) tahun atau waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk olehnya sejak menerima surat penundaan. Apabila kesempatan untuk
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud tidak dipenuhi maka permohonan Izin Usaha
Peternakan ditolak dengan menggunakan Formulir Model IUPi-II. Apabila pemohon sudah
melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud diatas maka Izin Usaha Peternakan diberikan
dengan menggunakan Formulir model IUPi-IV.1.

Penolakan pemberian Izin Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud dilakukan


apabila lokasi kegiatan peternakan tidak sesuai dengan lokasi yang tercantum dalam
Persetujuan Prinsip, Kepala Dinas Peternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi
peternakan sesuai kewenangannya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak menerima surat penolakan yang dibuktikan dengan tanda terima, pemohon dapat
mengajukan permohonan banding kepada Bupati/walikota dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Peternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan.

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 6


D. Izin Perluasan Usaha

Perusahaan Peternakan yang telah memiliki Izin Usaha Peternakan dapat


melakukan perluasan kegiatan usahanya setelah memperoleh Izin Perluasan Usaha. Tata cara
permohonan dan pemberian izin Perluasan secara mutates mutandis berlaku ketentuan
sebagaimana telah diatur dalam tata cara pemberian izin usaha peternakan. Persetujuan
perluasan tersebut tidak diperlukan bagi Perusahaan Peternakan yang menambah jumlah
ternak tidak melebihi 30% dari jumlah ternak yang diizinkan dalam Izin Usaha Peternakan.
Dalam hal perluasan tersebut disetujui, maka Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk
olehnya sesuai kewenangannya mengeluarkan izin perluasan dengan menggunakan Formulir
Model IUPi-IV. Izin usaha peternakan yang tercantum dalam Undang-undang no 29 ayat 4
tahun 2009 peternak, perusahaan peternakan dan pihak tertentu yang mengusahakan ternak
dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budidaya ternak yang baik dengan
tidak menggangu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang di tetapkan oleh menteri.
Sedangkan pemerintah sendiri wajib melindungi suatu usaha peternakan dalam negeri dari
persaingan dagang yang tidak sehat yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 29 ayat 5
tahun 2009 pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari
persaingan tidak sehat di antara pelakunya.
Dapat di jelaskan dalam Undang-Undang no 60 ayat 1 tentang setiap orang yang
mempunyai unit usaha produk hewan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh
nomor kontrol veteriner kepada pemerintah daerah provinsi berdasarkan pedoman yang di
tetapkan oleh menteri. Yang di maksud dengan nomor kontrol veteriner adalah nomor
regristrasi unit usaha produk hewan sebagai bukti telah terpenuhinya persyaratan hygiene dan
sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan produk hewan. Bagi unit usaha produk
hewan yang mengedarkan produk hewan segar di seluruh Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau memasukan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki
NVK. Prosedur dalam mendirikan suatu usaha secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengajukan permohonan rekomendasi kepada Walikota/Bupati dengan
syarat-syarat dibawah ini. Dalam formulir surat rekomendasi tersebut
terdapat beberapa data yang harus diisi yaitu :

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 7


a) Data pemohon meliputi nama, pekerjaan dan alamat calon pemilik
usaha.
b) Data tanah meliputi luas tanah (dalam m), lokasi (kelurahan dan
kecamatan), alamat, jenis tanah (darat/sawah), status tanah (tanah
sertifikat/akta jual beli/sewa/kontrak), kondisi fisik (tanah
kosong/ada bangunan) serta kondisi tanah tersebut saat ini
(sudah/belum dibangun).
c) Fotocopy KTP
d) Fotocopy tanda lunas PBB
e) Fotocopy NPWP
f) Jika berbadan usaha melampirkan Akte Pendirian Perusahaan
g) Bukti kepemilikan tanah
h) Gambar situasi
i) IMB yang sudah ada bangunan/IMB lama
j) Surat ijin tetangga diatas segel Rp. 6000 diketahui Lurah dan
Camat
k) Surat kuasa apabila dikuasakan diatas materai Rp. 6000.

2. Mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan cara


mengisi formulir surat Izin Mendirikan Bangunan yang ditujukan kepada
walikota/bupati dengan Cq. Kepala dinas permukiman, disertai dengan
persyaratan dokumen yang diperlukan.
3. Mengajukan Permohonan Izin Gangguan.
4. Mengisi formulir surat pernyataan kesanggupan mematuhi ketentuan
teknis.
5. Membuat Tanda Daftar Industri (TDI).

Setelah calon pemilik usaha memenuhi syarat-syarat tersebut, maka selanjutnya


adalah calon pemilik mengajukan seluruh syarat permohonan pendirian usaha ke Dinas
Perindustrian dan Perdagangan setempat. Selain tentang perizinan untuk mendirikan suatu

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 8


perusahaan peternakan perlu di perhatiakan juga tata ruang dan lokasi dalam penentuan suatu
perusahaan peternakan, yaitu :

1) Lokasi
Lokasi adalah tempat kegiatan peternakan beserta sarana pendukungnya
dilahan tertentu yang tercantum dalam izin usaha peternakan. Seperti yang di
sebutkan dala Undang-Undang nomor 5 ayat 1 Penyediaan lahan sebagai mana di
maksud dalam pasal 4 di masukan ke dalam tata ruang wilayah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana untuk menjamin kepastian
terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan di perlukan penyediaan lahan yang
memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan Undang-Undang
nomor 4.
Yang di maksud dengan lahan yang memenuhi persyaratan teknis adalah hamparan
tanah yang sesuai dengan keperluan budi daya ternak antara lain ,tersedianya sumber
air, topografi, agroklimat, dan bebas dari bakteri pathogen yang membahayakan
ternak.

2) Air
Dimana air adalah sumber utama kehidupan makhuk hidup dan merupakan
persyaratan umum dalam pendirian perusahaan peternakan. Tercantum dalam
Undang-Undang no 7 ayat 1 air yang di gunakan untuk kepentingan peternakan dan
kesehatan hewan harus memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan
peruntukannya Dan ayat 2 apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan
kawasan , kebutuhan air untuk hewan perlu di prioritaskan setelah kebutuhan
masyarakat terpenuhi. Ketentuan persyaratan baku mutu air di maksudkan untuk
menjamin mutu, keamanan pangan asal hewan dan kesehatan ternak yang di
budidayakan , serta menghindari cemaran mikroba dan bahan kimia pada produk
hewan.

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 9


3) Sumber Daya Genetik
Sumber daya genetik merupakan hal yang paling utama dalam pendirian suatu
usaha peternakan yang tercantum dalam Undang-Undang peternakan pasal 8 ayat 3
sumber daya genetik di kelola melalui kegiatan pemanfaatan dan pelestarianya.

4) Benih, bibit dan bakalan


Benih, bibit dan bakalan merupakan sumber utama dalam suatu pendirian
perusahaan peternakan yang tercantum daam Undang-Undang peternakan pasal 13
ayat 2 pemeintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan
dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin
ketersediaan benih,bibit atau bakalan .

5) Pakan
Pasal 19 ayat 1 setiap orang yang melakukan budidaya ternak wajib
mencukupi kebutuhan pakan dan kesehatan ternaknya . Yang di maksud pakan
meliputi bahan pakan, pakan konsentrat, tumbuhab pakan, imbuhan pakan, pelengkap
pakan, pakan olahan dan bahan lain yang dapat di gunakan sebagai pakan ternak.

6) Panen, Pasca panen , Pemasaran, dan Industri pengolahan hasil peternakan


Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan
pasal 34 ayat 1 Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang
baik untuk mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.

Sanksi administrative Pasal 85

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (1), pasal 11 ayat (1), pasal 13 ayat (4), pasal 15 ayat (3), pasal 18 ayat (2), pasal 19 ayat
(1), pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), pasal 23, pasal 24 ayat (2), pasal 25 ayat (1) ,pasal 29 ayat
(3), pasal 42 ayat (5), pasal 45 ayat (1), pasal 47 ayat (1) atau ayat (3), pasal 50 ayat (3),
pasal 51 ayat (2), pasal 52 ayat (1), pasal 54 ayat ( 3), pasal 58 ayat (5), pasal 59 ayat (2),

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 10


pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), pasal 69 ayat (2), dan pasal 72
ayat (1)dikenai sanksi administrative.

(2) Sanksi administrative sebagaimana yang di maksud pada ayat (1) dapat berupa;

a. Peringatan secara tertulis


b. Penghentian sementara dari kegiatan ,produksi, dan/atau peredaran
c. Pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan obat hewan, pakan,alat dan
mesin,atau produk hewan dari peredaran
d. Pencabutan izin; atau
e. Pengenaan denda.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrative
sebagaimana di maksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d di atur dengan
peraturan pemerintah.

(4) Besarnya denda sebagaimana yang di maksud pada huruf e di kenakan kepada
setiap orang yang ; a. Menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif paling sedikit
sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) ;
b. Menyembelih ternak ruminansia besar betina produktif paling sedikit Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) ;dan
c. Melanggar selain sebagaimana di maksud pada huruf a dan huruf b paling sedikit Rp
5.000.000,00(lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(5) Besarnya denda sebagaimana di maksud pada ayat (4) di tambah 1/3
(sepertiga) dari denda tersebut jika pelanggaran sebagaimana di maksud pada ayat (1) di
lakukan oleh pejabat yang berwenag atau korporasi.

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 11


Pasal 89 yaitu setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukan hewan,
produk hewan , atau media pembawa penyakit hewan lainya ke dalam wilayah bebas dari
wilayah tertular sebagaimana di maksud dalam pasal 46 ayat (5), pasal 59 ayat (5), dan 60
ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 12


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Undang-Undang pasal 1 ayat (15)


perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan
hukum maupun badan yang bukan badan hukum, yang di dirikan dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan
kriteria dan skala tertentu. Dari rancangan Undang-Undang tahun 2009 bahwa pendirian
perusahaan peternakan sudah di atur dalam Undang-Undang nomor 29 ayat 4 peternak,
perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan ternak dengan skala usaha
tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya ternak yang baik dengan tidak menggangu
ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang di tetapkan oleh menteri.
Persyaratan pendirian persahaan peternakan adalah adanya izin usaha, lahan atau
lokasi dan air yang tercantum pada Undang-Undang pasal 4; untuk menjamin
terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan di perlukan penyediaan lahan yang
memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan. Undang-Undang pasal 7
ayat (1) air yang di gumnakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan harus
memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukanya. Tindakan pidana yang
melanggar pasal-pasal mengenai pendirian perusahaan peternakan telah di sebutkan dalam
pasal 85 ayat (1),(2),(3),(4),(5) dan pasal 89 ayat (2).

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 13


DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Agus. 2013. Perundang-undangan Peternakan. [Online]. Tersedia :


http://agusanggaadi.blogspot.co.id/2013/05/undang-undang-peternakan.html. terekam pada
01 Mei 2003 13:45 WIB. [29 Oktober 2017].
Mauly N, Borgo. Ringkasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009.
[Online]. Tersedia : http://borgomaulyn.blogspot.co.id/2014/03/ringkasan-undang-undang-
republik.html. Yang terekam pada 23 Maret 2014 13:45 WIB. [29 Oktober 2017].

Kebijakan Perundang-undangan Peternakan, Kelompok 1 Page 14

Anda mungkin juga menyukai