Anda di halaman 1dari 2

Stereotypes in Media Communication

February 3, 2009 at 17:30 Filed under Communication

Stereotype adalah citra mental yang melekat pada sebuah grup/atau kelompok. Didunia yang
kompleks dan ambigu, kita sering mencari cara menghadapi dan menyederhanakan kenyataan
hidup sehari-hari. Kebanyakan pengetahuan yang kita ketahui berdasarkan pengalaman, dan
kita cenderung untuk membagi informasi orang kedua dan menerapkannya dalam
menggambarkan paham tentang sebuah kelompok dalam masyarakat.

Ketika ini terjadi, kita berpartisipasi dalam proses stereotyping. Stereotype dapat menuntun
kepada ketidakadilan sosial bagi mereka yang merupakan korban tidak bersalah. Dan
timbulah masalah serius soal etika. Kadangkala stereotype berkembang diluar keadilan sosial.
Sehingga perlu dipisah dalam beberapa bab.

Ada kecenderungan menghubungkan stereotype dengan isu rasis dan gender, dan praduga
etnis. Tidak diragukan lagi hal ini yang menjadi isu kontroversial tentang stereotype.
Pemberian julukan menyebar ke semua sampai ke masalah interaksi sosial.

Ambil contoh orang-orang yang kelebihan berat badan. Mereka digambarkan sebagai orang
lambat dan teledor. Jurnalis kadang menggambarkannya sebagai tak berharga, mencari
barang bekas demi mencari berita.

Bahkan Aristotle, malaikat pelindung kebaikan pernah salah mengenai stereotyping. Pada
masa perbudakan abad keempat ia membenarkan pemisahan perlakuan seorang budak
dibanding manusia bebas, karena ia beranggapan sudah menjadi hukum alam memanfaatkan
tubuh budak sebagai pekerja rendahan. Ia membentuk stereotype untuk membenarkan
pemisahan ini.

Konsep stereotyping modern pertama kali diperkenalkan dalam kehidupan sosial oleh penulis
dan kolumnis Walter Lipmann. Dalam artikel public Opinion tahun 1922, Lipmann membuat
observasi tentang keharusan yang tidak dapat dielakkan menjadikan stereotyping untuk
mengatur lingkungan dan hubungan sosial.

Ada jarak antar manusia untuk saling berinteraksi. Seperti antara pekerja dan majikan,
petugas dan pemilih. Tidak ada kesempatan untuk perkenalan intim. Meskipun perlu dicatat
jarak lah yang menyebabkan tipe dan membentuk pengertian stereotyping di kepala kita.

Dengan kata lain stereotypes merupakan cara untuk melihat dunia secara ekonomi. Karena
setiap individu tidak memiliki pengalaman personal terhadap setiap kejadian yang bisa
membuatnya tertarik. Kebanyakan dari kita lebih percaya dengan testimony orang lain untuk
memperkaya pengetahuan. Media massa tentunya jendela paling penting untuk mewakili
pengalaman dan fungsi sebagaimana mata dan telinga kita sebagai bagian dari alam semesta
yang tidak dapat secara langsung kita amati.

Praktisi media memiliki tanggung jawab moral untuk memahami perbedaan diantara
seterotype dan kenyataan.
Lippman mencatat dengan sangat jelas bahwa pola stereotype tidak netral karena
stereotyping melibatkan persepsi perorangan terhadap kenyataan. persepsi ini lebih
didominasi oleh perasaan yang mengikat pada diri mereka sendiri, dengan begitu ia
menginstruksikan kita, stereotype adalah mekanisme pertahanan vital dimana kita dapat
merasa tetap aman dimana kita berada. Pandangan ini menyarankan stereotyping sebagai
proses natural. Ada aturan yang perlu dimainkan untuk menjaga pikiran sehat dan membuang
sifat semau maunya yang tidak penting.

Meskipun demikian dalam masyarakat egaliter, stereotype tidak adil. Penerapannya


menimbulkan rasa curiga diantara anggota kelompok. Mereka membentuk pola asumsi umum
daripada melihat kondisi aktual. Dengan demikian saat kita menilai orang berdasarkan
stereotype yang salah kita telah mengabaikan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri
yang menjadi nilai dasar dalam kehidupan sosial.

Media memiliki kebiasaaan melambangkan pria homoseksual sebagai flamboyan dan


kewanita-wanitaan. Perilaku tersebut mewakili sifat gay tapi tidak mewakili sifat grup
tersebut sepenuhnya. Karena image seperti itu seringkali menegakkan benteng psikologis
antara komunitas gay dan masyarakat luas. Pertanyaannya, apakah mereka harus dihindari
meski sebenarnya mereka merupakan penggambaran akurat dari sebuah grup terlarang.

Media telah menjadi alat untuk mengkritik pengekalan stereotype. Media dalam beberapa
tahun ini lebih sensitif terhadap pengaduan steretotyp, sehingga stereotype menerang
perlahan menghilang. Ironisnya, beberapa kritik ditujukan pada praktsisi media yang
menampilkan penggambaran nonstreotypikal. Sebagai contoh, kritikan pada film spike Lee
Do the right thing. Pemerhati film mengobservasi dalam lingkungan tersebut tidak dipenuhi
oleh pecandu dan pengendar narkoba. Kritikan ini mengabaikan fakta bahwa jutaan orang
kulit hitam di Amerika tidak hidup dalam lingkungan gangster dan narkoba.

Meskipun demikian, media profesional tetap harus berjuang melawan dilema moral saat
merespon obyek untuk menyatakan kebenaran atau penggambaran yang tidak realistis.
Dengan kata lain stereotyping dalam media tak dapat dielakan. Tapi media harus berani
mengungkapkan kebenaran atas ketidakadilan di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai