Anda di halaman 1dari 56

i

KASUS

Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan
sesak nafas serta nyeri dada kanan setelah jatuh dari pohon mangga.

RESUME

STEP I

Keluhan pasien:

1. Sesak nafas
2. Nyeri dada kanan
STEP II

Congenital

Infeksi
Another
Tamponade jantung
Emboli paru
Sesak nafas

Nyeri dada sebelah


kanan

Neoplasma
Autoimun

Trauma

Hematothorax

Flail chest

Fraktur costa
3

STEP III

1. Emboli Paru
a. Definisi

Emboli paru (EP) merupakan kondisi akibat tersumbatnya arteri paru,


yang dapat menyebabkan kematian pada semua usia. Penyakit ini sering
ditemukan dan sering disebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah dari
bagian tubuh lain dan tersangkut di paru-paru, sering berasal dari vena dalam
di ekstremitas bawah, rongga perut, dan terkadang ekstremitas atas atau
jantung kanan (Sudoyo,2014).

Selain itu, emboli paru (Pulmonary Embolism) dapat diartikan sebagai


penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu embolus, yang
terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah
(trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang,
pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan mengikuti aliran darah
sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah (Sudoyo,2014).

Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam


jumlah yang memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian
jaringan bisa dihindari. Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh yang
sangat besar atau orang tersebut memiliki kelainan paru-paru sebelumnya,
4

maka jumlah darah mungkin tidak mencukupi untuk mencegah kematian


paru-paru (Sudoyo,2014).

Sekitar 10% penderita emboli paru mengalami kematian jaringan


paru-paru, yang disebut infark paru.Jika tubuh bisa memecah gumpalan
tersebut, kerusakan dapat diminimalkan.Gumpalan yang besar membutuhkan
waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan yang
ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak
(Sudoyo,2014).

Emboli paru merupakan suatu keadaan darurat medis. 1 sampai 2 jam


setelah terjadinya emboli adalah periode yang paling kritis dan mungkin saja
dapat terjadi kematian karena komplikasi seperti infark paru-paru (terjadinya
nekrosis jaringan paru) atau hipertensi paru-paru (meningkatnya tekanan
arteri pulmonal), perdarahan paru-paru, kor pulmonal akut dengan gagal
jantung dan disritmias (gangguan irama jantung), usia sangat rentan terhadap
komplikasi-komplikasi tersebut sebab telah terjadi perubahan-perubahan dari
keadaan normal dalam system pulmonal (penurunan complains paru
klasifikasi tulang rawan di vertebra) dan system kardiovaskular (penyempitan
pembuluh darah, penebalan dinding kapilar) (Sudoyo,2014).

Penyumbatan Arteri pulmonalis oleh suatu embolus biasanya terjadi


secara tiba-tiba. Suatu Emboli bisa merupakan gumpalan darah (Trobus),
tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor
atau gelembung udara yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya
menyumbat pembuluh darah. Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat
memberikan darah dalam jumlah yang memadai kejaringan paru-paru yang
terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari tetapi bila yang tersumbat
adalah pumbuluh yang sangat besar atau orang memiliki kelainan paru-paru
sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak mencukupi untuk mencegah
kematian paru-paru (Sudoyo,2014).

Penyumbatan Arteri pulmonalis oleh suatu embolus biasanya terjadi


secara tiba-tiba. Suatu Emboli bisa merupakan gumpalan darah (Trobus),
5

tetapi bias juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor
atau gelembung udara yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya
menyumbat pembuluh darah. Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat
memberikan darah dalam jumlah yang memadai kejaringan paru-paru yang
terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari tetapi bila yang tersumbat
adalah pumbuluh yang sangat besar atau orang memiliki kelainan paru- paru
sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak mencukupi untuk mencegah
kematian paru-paru (Sudoyo,2014).

b. Epidemiologi

Penyakit ini sering terjadi, namun jarang terdiagnosis sehingga


laporan mengenai penyakit ini di Indonesia jarang ditemukan.

Survei epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kira-kira


terdapat 50.000 kasus penyakit ini tiap tahunnya.Penelitian lebih lanjut
menunjukkanbahwa kirang dari 10% pasien emboli paru meninggal karena
penyakit ini.Oleh karenanya dj Amerika Serikat dapat diperkirakan insiden
ini lebih dari 50.000 kasus tiap tahunnya.Seluruh insiden ini kelihatannya
diverifikasi oleh statistic autopsy. Bukti emboli yang baru atau lama
ditentukan pada 25% sampai 30% autopsy rutin; dengan teknik khusus, nilai
ini melebihi 60%. Data ini bahkan meremehkan insiden yang ada, karena
banyak emboli paru hilang tanpa dapat ditelusuri kembali dan tidak
ditemukan pda pemeriksaan pasca kematian (Sudoyo,2014).

Insiden sebenarnya dari emboli paru tidak dapat ditentukan, karena


sulit membuat diagnose klinis, tetapi emboli paru merupakan penyebab
penting morbiditas dan mortilitas pasien-pasien rumah sakit. Penelitian-
penelitian autopsy memperlihatkan bahwa sebenarnya 60% pasien yang
meninggal di rumah sakit disebabkan oleh emboli paru, namun sebanyak 70%
kasus tidak diketahui (Sudoyo,2014).

Emboli paru sering mengalami pencairan (trombolisis endogen) dan


tidak ditemukan pada autopsy, sehingga perkiraan jumlah emboli paru hanya
berdasarkan jumlah pasien emboli paru yang mati dan berhasil ditemukan
6

pada autopsy saja, jauh lebih kecil daripada angka sebenarnya. Lebih sulit
lagi untuk menentukan angka epidemiologis penyakit ini karena diagnosis
emboli paru antarmoten sulit ditegakkan, walaupun kenyataannya seorang
pasien betul-betul menderita penyakit ini tetapi tidak terdiagnosis
(Sudoyo,2014).

c. Etiologi

Penyebab emboli paru semula belum jelas, tetapi hasil-hasil penelitian


dari autopsy paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukkan
dengan jelas bahwa penyebab penyakit tersebut adalah thrombus pada
pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari lepasnya thrombus di
pembuluh darah vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber
emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena
(emboli vena), amnion, udara, lemak, sumsum tulang, focus septic (pada
endokarditis) dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam
peredaran darah sampai di sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-
cabang arteri pulmonal, member akibat timbulnya gejala klinis. Emboli paru
karena thrombus di arteri pulmonalis sangat jarang (Sudoyo,2014).

Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut Vichrow


1856 atau sering disebut sebagai physiological risk factors, meliputi:

1. Adanya aliran darah lambat (statis)


2. Kerusakan dinding pembuluh darah vena
3. Keadaan darah mudah membeku (hiperkoagulasi)

Aliran darah lambat (statis) dapat ditemukan dalam beberapa keadaan,


misalnya pasien yang mengalami tirah baring cukup lama, kegemukan,
varises, dan gagal jantung kongestif. Darah yang mengalir lambat member
kesempatan lebih banyak untuk membeku (thrombus) (Sudoyo,2014).

Sebagian besar pasien dengan emboli paru memiliki kondisi klinis


yang berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi ini, seperti trauma mayor,
pembedahan dalam waktu dekat sebelumnya, obesitas dan imobilitas,
7

merokok, peningkatan usia, penyakit keganasan, pil kontrasepsi oral,


kehamilan, terapi sulih hormone, dan keadaan lain yang lebih jarang
(misalnya sindrom hiperviskositas, sindrom nefrotik) (Sudoyo,2014).

Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya akibat


operasi, trauma pembuluh darah (suntikan kateterisasi jantung) dan luka
bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan dikeluarkan
bahan yang dapat mengaktifkan factor pembekuan darah (factor Hageman)
dan kemudian dimulailah proses pembekuan darah. Keadaan darah mudah
membeku (hiperkoagulabel) juga merupakan factor predisposisi terjadinya
thrombus, misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia
sel stabil, trauma dada, kelainan jantung bawaan, splenektomi dengan
trombositosis, hemosistinuria, penggunaan obat kontrasepsi oral (estrogen),
dan trombositopati (Sudoyo,2014).

Selain hal diatas, thrombosis vena juga lebih mudah terjadi pada
keadaan dengan peningkatan factor V, VIII, fibrinogen abnormal, defisiensi
antitrombin III, menurunnya kadar activator plasminogen pada endotel vena
atau menurunnya pengeluaran activator plasminogen akibat berbagai
rangsangan, defisiensi protein C, difesiensi protein S (Sudoyo,2014).

Beberapa pasien dengan emboli paru memiliki abnormalitas


pembekuan primer dasar yang memudahkan mereka mengalami
hiperkoagulasi, seperti defek fibrinolisis, peningkatan kadar antibody
antifosfolipid dan defisiensi congenital antitrombin III, protein C, protein A,
atau plasminogen (Sudoyo,2014).

Abnormalitas koagulasi ini jarang dan tes skrining rutin tidak efektif
dari segi biaya, kecuali untuk pasien yang berusia kurang dari 50 tahun,
pasien dengan riwayat keluarga dengan tromboemboli dan pasien dengan
episode emboli paru berulang tanpa adanya penyebab yang jelas. Resistensi
terhadap protein C teraktivasi, yang disebabkan oleh mutasi gen factor V
(mutasi Leiden), telah diidentifikasi. Resistensi ini dapat terjadi pada 5%
8

populasi, meningkatkan risiko thrombosis sebesar 8-10 kali pada kelompok


ini, dan ditentukan pada 20% pasien dengan thrombosis (Sudoyo,2014).

d. Patofisiologi

Thrombus dapat berasal dari arteri dan vena.Thrombus arteri terjadi


karena rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan intima).Thrombus vena
terjad karena aliran darah vena yang lambat, selain itu dapat pula karena
pembekuan darah dalam vena apabila terjadi kerusakan endotel
vena.Thrombus vena dapat juga berasal dari pecahnya thrombus besar yang
terbawa aliran vena.Biasanya thrombus berisi partikel-partikel fibrin
(terbanyak), eritrosit dan trombosit. Ukurannya bervariasi, mulai dari
beberapa millimeter sampai sebesar lumen venanya sendiri (Sudoyo,2014).

Adanya perlambatan aliran darah vena (stasis) akan makin


mempercepat terbentuknya thrombus yang makin besar. Adanya kerusakan
dinding pembuluh darah vena (misalnya operasi rekonstruksi vena femoralis)
jarang menimbulkan thrombus vena. Thrombus yang lepas ikut aliran darah
vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut
pada beberapa cabang arteri pulmonalis, dapat menimbulkan obstruksi total
atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut. Thrombus pada vena dalam
tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli tetapi kira-kira 80%
nya akan mengalami pencairan spontan (lisis endogen) (Sudoyo,2014).

Hanya 10% dari kasus emboli paru yang diikuti infark, hal ini terjadi
karena paru mendapat oksigen melalui 3 cara yaitu :

1. Dari sirkulasi arteri pulmonalis


2. Dari sirkulasi arteri bronkhialis
3. Dari saluran udara pernafasan

Pada infark paru, hemoptisis timbul setelah 12 jam terjadi emboli paru
dan sesudah 24 jam daerah infark menjadi terbatas dikelilingi oleh daerah paru
yang sehat karena adanya konsolidasi perdarahan dan atelektasis. Selanjutnya
sel - sel septum intraalveoli akan mengalami nekrosis dengan pembengkakan
9

dan menghilangnya struktur histology. Dua minggu sesudahnya mulai terjadi


perubahan dengan adanya penetrasi kapiler-kapiler baru dari arah paru yang
sehat kearah paru yang terkena infark. Peredaran mulai diserap perlahan-lahan
dan jaringan nekrosis diganti dengan jaringan ikat yang selanjutnya akan
menjadi parut atau fibrosis (Sudoyo,2014).

a. Embolus vena

Sebagian besar berasal dari vena profunda tungkai dan di angkut oleh
sirkulasi vena ke paru, lainnya dari vena pelvis.Emboli paru sebelum masuk
organ ini melewati vena kava, jantung kanan dan baru kemudian ke sirkulasi
paru.Di sini emboli dapat menyumbat arteri dan cabang-cabang utama arteri
pulmonalis dan membentuk embolus pelana dan menimbulkan kematian
mendadak. Emboli kecil akan mengikuti aliran pembuluh yang lebih kecil dan
perifer. Emboli yang menyeberang dari rongga kanan jantung melalui foramen
ovale atau defek septum interventrikulare sisi kiri dan memasuki jantung
bagian kiri disebut emboli paradoks. Efek embolus parubisa tidak nyata,
hemoragi, atau infark, bergantung pada kondisi paru dan kardiovaskular
(Sudoyo,2014).

b. Embolus lemak

Lemak dalam bentuk butir-butir yang berasal dari struktur tubuh yang
banyak mengandung lemak dapat masuk ke dalam peredaran darah.Embolus
terbentuk bila butir lemak menyumbat arteri atau kapiler.Embolus lemak
merupakan penyulit yang khas pada fraktur tulang-tulang panjang seperti
femur dan tibia atau jaringan lemak.Butir-butir lemak di angkut ke paru dan
menyebabkan gangguan pada organ ini.Di sini embolus dapat menimbulkan
kegawatan dan juga kematian.Butir-butir ini bisa juga di filtrasi melalui
sirkulasi paru kedalam aliran darah arteri sistemik dan mencapai berbagai
organ tubuh.Sumbatan pembuluh darah otak paling sering menimbulkan
hemoragi peteki mutipel. Luka bakar kulit, radang tulang atau jaringan lemak,
perlemakan hati akibat gizi buruk atau alkoholisme dapat mengakibatkan
embolus lemak, juga pada wanita dalam masa nifas (Sudoyo,2014).
10

c. Embolus cairan amnion

Emboli jenis ini terjadi jika cairan amnion masuk ke dalam sirkulasi
vena rahim ibu hamil yang sedang melahirkan.Embolus cairan amnion dalam
arteri pulmonalis ini mengandung skuama janin, verniks kaseosa, lender dan
lanugo. Pasien yang mengalami embolus cairan amnion akan memperlihatkan
gejala-gejala sesak nafas, syok atau mati mendadak. Pada autopsi di temukan
edema, bendungan paru dan dilatasi jantung kanan mendadak (Sudoyo,2014).

d. Embolus gas

Dalam keadaan tertentu gas atau udara atmosfir dalam jumlah besar
dapat masuk ke dalam sirkulasi sehingga timbul sumbatan bahkan
kematian.Misalnya, ketika timbul robekan pembuluh vena besar yang tidak di
sengaja pada waktu tindakan bedah toraks. Embolus dapat terjadi pada
transfusi darah, cairan intravena karena udara tersedot ke dalam vena setelah
infusan habis (Sudoyo,2014).

e. Embolus aterom

Tindakan bedah seperti pemotongan arteri (endarterektomi) atau bedah


jantung kadang-kadang di lakukan untuk mengatasi aorta atau pembuluh darah
besar yang dilekati oleh plak aterom yang mengalami ulserasi. Aterom yang
merupakan Kristal-kristal kolesterol dapat lepas dari plak aterom tersebut.
Akibat yang timbul dari embolus aterom antara lain infark pada ginjal atau
organ lain (Sudoyo,2014).

f. Embolus trombosit

Trombosit merupakan komponen darah dengan ukuran sangat kecil


yang terlibat pada proses awal terbentuknya aterom. Emboli ini sering di
kaitkan dengan serangan iskemik sepintas (transient ischaemic attack) yang
berlangsung kurang dari 24 jam (Sudoyo,2014).

g. Embolus sel tumor


11

Seperti sudah di katakana di atas fragmen atau sel tumor ganas yang
hanyut terbawa aliran darah atau limfe akan menyebarkan tumor ke tempat
lain atau menimbulkan proses metastasis. Inilah yang di sebut dengan embolus
sel tumor. (Sudoyo,2014)

h. Embolus korpus alienum

Orang-orang yang kecanduan obat-obatan tidak jarang menyayat kulit


mereka untuk memasukkan obat kedalam tubuh. Kadang-kadang mereka juga
menggunakan alat-alat suntik untuk tujuan yang sama, termasuk obat yang
dalam bentuk bubuk. Serbuk ini lazim masuk kedalam tubuh pengguna obat
semacam itu berupa emboli (Price, Sylvia.2015).

i. Embolus infeksi

Penyakit katup jantung biasanya disertai oleh adanya vegetasi pada


katup organ tersebut.Kalau vegetasi ini mengandung kuman akibat infeksi dan
lepas serta terbawa darah, maka terjadilah embolus infeksi (Price,
Sylvia.2015).

Ketika trombus menyumbat sebagian atau seluruh arteri pulmonal,


ruang rugi alveolar membesar karena area, meski terus mendapat ventilasi,
menerima aliran darah sedikit maupun tidak sama sekali. Selain itu sejumlah
subtansi yang dilepaskan dari bekuan dan menyebabkan pembuluh darah
bronkhiolus berkonstriksi. Reaksi ini diseimbangi ketidak seimbangan
ventilasi perfusi, menyebabkan darah terpirau dan mengakibatkan penurunan
kadar O dan peningkatan CO(Price, Sylvia.2015).

Konsekuensi himidinamik adalah peningkatan tahanan vascular paru


akibat penurunan ukuran jarring-jaring vascular pulmonal., menyebabkan
peningkatan tekanan arteri pulmonal dan akhirnya mningkatkan kerja
ventrikel kanan untuk mempertahankan aliran darah pulmonal. Bila kebutuhan
ventrikel kanan melebihi kapasitasnya, maka akan terjadi gagal ventrikl kanan
yang mengarah pada penurunan tekanan darah sistemik dan terjadinya syok
(Price, Sylvia.2015).
12

Embolus berjalan keparu-paru dan diam di pembuluh darah paru-


paru.Ukuran dan jumlah emboli ditentukan oleh lokasi.Aliran darah
terobstruksi sehingga menyebabkan penurunan perfusi dari bagian paru-paru
yang disuplai oleh pembuluh darah (Price, Sylvia.2015).

Akibat buruk yang paling awal terjadi tromboemboli adalah obstruksi


komplit atau parsial aliran darah arteri pulmonalis bagian distal. Obstruksi ini
akan mengakibatkan serangkaian kejadian patofisiologik yang dapat
dikelompokkan sebagai Pernapasan dan Hemodinamik sebagai akibat
emboli paru-paru (EP) (Price, Sylvia.2015).

Klasifikasi emboli paru berdasarkan ukuran:

1. Embolus besar
a. Tersangkut di arteri pulmonalis besar atau dari percabangan arteri
pulmonali.
b. Dapat menyebabkan kematian seketika
c. Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan gangguan
hemodinamik.
2. Embolus Kecil
a. Tidak menimbulkan gejala klinis pada penderita tanpa kelemahan

kardiovaskuler.

b. Dapat menyebabkan nyeri dadasepintas dankadang-kadang


hemoptisi karena pendarahan paru
c. Pada penderita dengan kelemahan sirkulasi pulmoner (payah
jantung)dapat menyebabkan infark

e. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis emboli paru bervariasi, dari yang paling ringan tanpa
gejala (asimtomatik) sampai yang paling berat dengan gejala yang
kompleks.Variasi gambaran klinis emboli pari tergantung pada obstruksi
pembuluh darah, jumlah emboli paru (multiple atau bilateral), ukurannya
13

(kecil, sedang atau massif), lokasi emboli, umur pasien, dan penyakit
kardiopulmonal yang ada (Price, Sylvia.2015).

Selain itu gejala klinis yang timbul merupakan gangguan lebih lanjut
karena adanya obstruksi arteri pulmonalis oleh emboli paru, yaitu timbulnya
gangguan hemodinamik berupa gejalan-gejala akibat vasokonstriksi arteri
pulmonalus dan timbulnya gangguan respirasi berupa gejala-gejala akibat
bronkokonstriksi daerah paru yang terkena emboli paru tadi (Price,
Sylvia.2015).

1. Gambaran Klinis Emboli Paru Massif

Emboli paru massif memberikan gejala karena tersumbatnya arteri


pulmonalis atau cabang pertama. Pasien akan mengalami pingsan mendadak
(sinkop), renjatan, pucat, berkeringat berlebihan, nyeri dada sentral atau sesak
nafas, nafas sangat cepat. Kesadaran mungkin hilang untuk sementara.Denyut
nadi kecil dan cepat.Tekanan darah menurun.Bagian perifer menjadi pucat dan
dingin.Ditemukan tanda sianosis tipe sentral, yang mingkin tidak responsive
terhadap pemberian oksigen. Apabilaa pasien sadar, dia akan merasakan nyeri
dada hebat (Sudoyo.2014).

Pemeriksaan terhadap jantung, selain adanya hipotensi akan ditemukan


tanda-tanda beban jantung kanan berlebihan, misalnya dapat ditemukan vena
jugularis terisi penuh, hepato jugular refluks (+), adanya tanda-tanda hipertrofi
ventrikel kanan (iktus jantung bergeser ke kiri, melebar, adanya pulsasi para
sterna, sternum kuat angkat), bunyi jantung P mengeras, bising sistolik akibat
insufisiensi katup tricuspid (Sudoyo.2014).

Bila gangguan hemodinamika hebat, dalam waktu dua jam pasien


dapat meninggal, dan sering didiagnosa sebagai henti jantung.Fibrilasi
ventrikel mungkin muncul, mungkin juga tidak.Pijat jantung dapat coba
dilakukan tetapi biasanya tidak berhasil (Sudoyo.2014).
14

2. Gambaran klinis emboli paru ukuran sedang

Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis


segmental dan subsegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri pleura,
sesak napas, demam diatas 37,5C, hemoptisis. Tidak ditemukan sinkop atau
hipotensi, kecuali apabila telah ada kelainan jantung dan paru yang diderita
sebelumnya.

Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda kelainan yang


nyata, kecuali oada pasien yang menderita emboli paru yang berulang, dapat
timbul korpulmonal dengan hipertensi pulmonal berat dan berlanjut timbul
gagal jantung kanan. Pada pemeriksaan paru ditemukan:

1. Tanda-tanda pleuritis (nyeri pleura, suara gesek pleura daerah yang


terkena)
2. Area konsolidasi paru (gerak napas daerah paru yang terkena berkurang,
fremitus raba mengeras, perkusi redup pada daerah paru yuang terkena,
suara bronchial dan egofoni mengeras, dll)
3. Tanda-tanda fisis adanya efusi pleura (dada daerah yang terkena
mencembung, gerakan napas berkurang, fremitus menurun, suara perkusi
pekak dan suara napas mengurang atau menghilang)

Bila terdapat nyeri tekan di atas daerah efusi pleura mungkin terdapat
empiema.Apabila terdapat infark paru, dapat ditemukan adanya demam,
leukositosis dan ikterus ringan.Wheezing jarang ditemukan, tetapi pada 15%
kasus dapat ditemukan wheezing. Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi
berulang dalam beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien
usia lanjut yang harus tirah baring lama (Sudoyo.2014).

3. Gambaran klinis emboli paru ukuran kecil

Emboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian, karena sumbatan
mengenai cabang-cabang kecil arteri pulmonalis.Baru sesudah sebagian besar
sistem sirkulasi pulmonal tersumbat, mencullah gejalanya (Sudoyo.2014).
15

Gejalanya ialah sesak napas waktu bekerja mirip dengan keluhan


pasien gagal jantung kiri. Apabila emboli paru terjadi berulang kali dan
berlangsung berbulan-bulan akan mengakibatkan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal ini akan mengakibatkan ventrikel kanan membesar.
Adanya keluhan mudah lelah, pingsdan waktu kerja (sinkop) dan angina
pectoris menunjukkan bahwa curah jantung sudah terbatas.Sebagian pasien
mengalami mikroemboli paru (emboli ukuran kecil) bersama-sama dengan
kehamilan atau bersamaan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral
(Sudoyo.2014).

4. Gambaran klinis infark paru

Gambaran klinis infark paru mirip dengan emboli paru.Mungkin


dijumpai sesak napas mendadak, takipnea, batuk-batuk, hemoptisis, nyeri
pleuritit (dirasakan di dinding dada daerah paru yang terkena atau menjalar ke
tempat lain, misalnya bahu ipsilateral).Nyeri pleuritik tadi menyebabkan
pergerakkan dada daerah yang terkena menjadi berkurang.Gejala umum
lainnya misalnya terdapat demam dan takikardia (Sudoyo.2014).

Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri atau cabang (kecil),


yang mencolok tanda klinisnya ialah gangguan respires (bronkokonstriksi).
Hilangnya surfaktan dari sebagian besar alveoli paru karena iskemia paru
akan menyebabkan timbulnya atelektasis paru yang progresif (Sudoyo.2014).

Tanda-tanda fisis paru sebenarnya terdiri atas tiga bagian:

1. Pleurits
2. Elevasi diafragma daerah yang terkena
3. Tanda-tanda konsolidasi daerah paru yang terkena

Keikutsertaan pleura pada infark paru hampir pasti ada, sehingga


selalu dijumpai keluhan nyeri pleuritik, adanya tanda-tanda efusi pleura,
adanya suara gesek pleura dan lain-lain.Elevasi diafragma karena tarikan ke
atas oleh atelektasis daerah infark paru menunjukkan area konsolidasi
(Sudoyo.2014).
16

Secara umum tanda gan gejala emboli paru adalah sebagai berikut:

1. Batuk (timbul secara mendadak, bisa disertai dengan dahak berdarah)


2. Sesak nafas yang timbul secara mendadak, baik ketika istirahat maupun
ketika sedang melakukan aktivitas
3. Nyeri dada (dirasakan dibawah tulang dada atau pada salah satu sisi dada,
sifatnya tajam atau menusuk)
4. Nyeri semakin memburuk jika penderita menarik nafas dalam, batuk,
makan atau membungkuk
5. Pernafasan cepat
6. Denyut jantung cepat (takikardia).

Selain itu juga terdapat gejala lainnya yang mungkin ditemukan, diantaranya :

1. Wheezing (bengek)
2. Kulit lembab
3. Kulit berwarna kebiruan
4. Nyeri pinggul
5. Nyeri tungkai (salah satu atau keduanya)
6. Pembengkakan tungkai
7. Tekanan darah rendah
8. Denyut nadi lemah atau tak teraba
9. Pusing
10. Pingsan
11. Berkeringat
12. Cemas

f. Diagnosa

Pemeriksaan fisik seringkali tidak sensitif.Kadang ditemukan tanda


sesuai dengan thrombosis vena dalam tungkai bawah seperti edema, eritema
atau nyeri tekan.Tanda tersebut tidak spesifik untuk DVT namun memberikan
petunjuk untuk evaluasi lebih lanjut.Komponen pulmonal bunyi jantung 2
mungkin mengeras pada emboli paru akut.Emboli paru harus dipertimbangkan
17

pada pada pasien dengan sesak napas yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.Nyeri dada pleuritik dengan atau tanpa sesak merupakan salah satu
gejala yang paling sering terjadi.Gejala ini biasanya disebabkan oleh emboli
distal yang menyebabkan iritasi pleura.Keluhan sesak biasanya timbul akibat
emboli lebih ke sentral dan tidak melibatkan pleura (Sudoyo.2014).

Gejala lain sering menyerupai angina, kemungkinan disebabkan oleh


iskemia ventrikel kanan. Gangguan hemodinamik yang timbul biasanya lebih
berat berupa sinkop atau renjatan.Kondisi ini ditandai oleh hipotensi sistemik,
oligouria, akral dingin dengan atau tanpa gagal jantung kanan akut
(Sudoyo.2014).

Terdapat atau tidaknya faktor risiko timbulnya emboli paru harus


selalu merupakan bagian tidak terpisahkan dari penilaian klinis terdapat atau
tidaknya emboli paru.Semakin banyak faktor risiko semakin tinggi
kemungkinan terjadinya emboli paru.Walaupun demikian emboli paru bisa
juga terjadi tanpa ada faktor risiko (Sudoyo.2014).

g. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium:

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat dipakai untuk


menegakkan suatu diagnosis emboli paru. Tidak satupun pemeriksaan
yang bisa memastikan diagnosis, tetapi pemeriksaan laboratorium
dipakai sebagai informasi tambahan, menilai kemajuan terapi dan
dapat menilai kemungkinan diagnosis lain. Pemeriksaan leukosit bisa
melebihi nilai 20.000/mm3.Hipoksemia bisa ditemukan pada emboli
paru.Tekanan parsial O2 ditemukan rendah pada kemungkinan emboli
paru akut, walaupun bisa saja ditemukan normal.Tekan parsial CO2
ditemukan < 35 mmHg, tapi ada juga ditemukan >45mmHg walaupun
kasusnya sedikit (Sudoyo.2014).

2. Pemeriksaan D-dimer:
18

Trombosis vena terdiri dari fibrin dan eritrosit yang


terperangkap dalam benang benang fibrin.Fibrin ini terbentuk akibat
adanya aktivasi sistem koagulasi yang tidak dapat dinetralkan oleh
antikoagulan alamiah. Jika terjadi aktivasi koagulasi maka akan
terbentuk thrombin dari protrombin dengan melepaskan fragmen
protrombin 1 dan 2 (F1.2). Trombin akan diikat oleh antitrombin
sehingga terbentuk kompleks trombin-antitrombin (TAT). Trombin
juga mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer yang akan
mengalami polimerasi membentuk fibrin polimer. Selanjutnya F XIII
akan terjadi ikatan silang sehingga terbentuk cross-linked fibrin.
Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin menghasilkan D-
dimer. Oleh karena itu, parameter yang dapat dipakai untuk menilai
aktivasi koagulasi adalah F 1.2, TAT, fibrin monomer dan D-
dimer.Dari semua parameter, yang sering dipakai adalah D-dimer
(Sudoyo.2014).

Pemeriksaan D-dimer cara ELISA dengan nilai cut off 500


ng/ml mempunyai sensitifitas paling tinggi yaitu > 99%. Namun
ELISA cara klasik membutuhkan waktu lama, sehingga
dikembangkan berbagai cara cepat antara lain SimpliRed yang
memakai darah lengkap dan Vidas DD yang berdasarkan enzyme
linked fluorescence assay .SimpliRed mempunyai sensitifitas 85% dan
spesifisitas 71% dan nilai prediksi negatif 92%.Vidas DD mempunyai
sensitifitas 98% dan spesifisitas 41% dengan nilai prediksi negatif
98% (Sudoyo.2014).

Penelitian prospektif yang dilakukan Palareti dkk tahun 2006


di Italia mengenai penggunaan tes D-dimer pada pasien tromboemboli
idiopatik yang menggunakan antikoagulan jangka panjang dan yang
tidak. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang memiliki nilai
abnormal D-dimer abnormal setelah penghentian pemakaian
antikoagulan 1 bulan mempunyai insiden berulang yang signifikan
terjadinya tromboemboli vena (15% dibandingkan dengan yang tetap
19

memakai antikoagulan 2,9%) dan akan berkurang bila kembali


digunakan antikoagulan (Sudoyo.2014).

3. Pemeriksaan Foto Toraks:

Gambaran foto toraks biasanya menunjukkan kelainan,


walaupun tidak jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis.
Gambaran yang nampak berupa atelektasis atau infiltrate. Gambaran
lain dapat berupa konsolidasi, perubahan letak diafragma, penurunan
gambaran vaskuler paru, edema paru (Sudoyo.2014).

4. Pemeriksaan Angiogram:

Pemeriksaan angiogram paru ini merupakan standar baku emas


untuk memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini invasif dan
mempunyai resiko. Temuan angiografik emboli paru berupa filling
defect dan abrupt cutoff dari pembuluh darah (Sudoyo.2014).

Arteriogram negatif menyingkirkan diagnosis tromboemboli,


sedangkan arteriogram positif merupakan konfirmasi diagnosis. Di
tangan operator yang berpengalaman, komplikasi angiografi paru ini
jarang terjadi.Komplikasi ini meliputi reaksi pirogen terhadap kontras,
reaksi alergik terhadap kontras, perforasi arteri pulmoner, aritmia,
bronkospasme, perforasi ventrikel kanan dan gagal jantung
kongestif.Arteriografi sangat invasif, tidak nyaman pada penderita,
mahal dan tidak selalu dapat dilakukan serta menimbulkan resiko pada
penderita (Sudoyo.2014).

5. Pemeriksaan Computed Tomography (CT):

Computed Tomography (CT) merupakan tes yang dapat


mendiagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
86% dan spesifisitas 96%. Pada saat sekarang dapat dipakai untuk
menyikirkan diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko rendah
dan mendekati intermediet, serta dapat mengkonfirmasi
20

diagnosisemboli paru pada pasien dengan resiko intermediat dan tinggi


(Sudoyo.2014).

Pemeriksaan CT Pulmonary Angiogram (CTPA) telah lama


dipakai dalam evaluasi emboli paru (gambar 4). CTPA ini memberi
banyak keunggulan dalam mendiagnosis emboli paru yaitu:

a. Visualisasi langsung embolus


b. Kemampuan menilai etiologi lain pada pasien lain seperti
pneumonia

Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa CT angiografi


mempunyai sensitifitas 50 % sampai 100% dan spesifisitasnya 81%
sampai 100%.

Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Sood dkk tahun 2006


dengan membandingkan CT angiografi dengan angiografi paru
konvensional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa CT angiografi dapat
dipakai sebagai alternatif untuk mendiagnosis emboli paru dengan
sensitivitas 80% dan spesifisitas 85% dengan keuntungan tidak invasif
dan harga lebih murah (Sudoyo.2014).

6. Pemeriksaan Ventilation Perfusion Scanning:

Walaupun ada keterbatasan, pemeriksaan Ventilation-Perfusion


Scanning dapat memberikan informasi yang berguna dan dapat
diinterpretasikan dengan cepat. Gabungan Ventilation-Perfusion
Scanning dan penilaian klinis dapat memberikan akurasi diagnosis
yang baik dibandingkan dengan hanya scan (Sudoyo.2014).

Payar perfusi (Perfusion Lung Scan) yang benar-benar normal


dapat menyingkirkan dugaan klinis emboli paru. Kriteria untuk
kemungkinan besar positif atau kemungkinan kecil negatif bervariasi
menurut penafsiran, tetapi secara umum tergantung pada ukuran,
jumlah dan distribusi defek perfusi, yang dihubungkan dengan foto
toraks dan abnormalitas payar ventilasi. Emboli yang terisolasi di
21

lobus atas jarang terjadi pada penderita berobat jalan, karena aliran
darah saat posisi berdiri lebih terdistribusi ke basal (berbeda dengan
penderita yang harus tirah baring). Defek perfusi yang lebih luas dari
konsolidasi yang tampak pada foto toraks pada daerah yang sama
menyokong ada emboli, defek dengan ukuran sama atau lebih kecil
dari abnormalitas radiologi tidak mendukung kearah emboli
(Sudoyo.2014).

Payar ventilasi paru (Ventilation Lung Scan) memperbaiki


spesifisitas diagnosis emboli.Daerah dengan pengurangan aktifitas
ventilasi regional yang terganggu (Sudoyo.2014).

Penelitian yang dilakukan Stein dkk bertujuan untuk


menentukan apakah paparan radiasi untuk pasien yang diduga dengan
emboli paru bisa menurun dengan meningkatkan penggunaan
ventilasi-perfusi (V/Q) scanning dan mengurangi penggunaan CT paru
angiografi (CTPA) melalui intervensi pendidikan. Jumlah
pemeriksaan yang dilakukan CTPA menurun dari 1.234 pada tahun
2006 untuk 920 tahun 2007, dan jumlah V/Q scan meningkat dari 745
pada 2006 menjadi 1.216 pada tahun 2007. Berarti dosis efektif
berkurang sebesar 20%, dari 8,0 mSv pada 2006-6,4 mSv pada tahun
2007 (p <0,0001). Para pasien yang menjalani CTPA dan V/Q scan
pada tahun 2006 adalah usia yang sama. Pada tahun 2007, pasien yang
menjalani V/Q scan secara signifikan lebih muda. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam tingkat false-negatif (kisaran, 0,8-
1,2%) antara CTPA dan V/Q scan pada tahun 2006 dan 2007
(Sudoyo.2014).

7. Pemeriksaan Elektrokardiografi:

Temuan elektrokardiografi tidak spesifik. Elektrokardiogram


normal tidak menyingkirkan diagnosis emboli paru, bila ditemukan
perubahan, seringkali bersifat sementara berupa:

a. Deviasi axis ke kanan


22

b. Sinus takikardi atau aritmia supraventrikuler


c. RBBB komplit atau tidak komplit
d. Inversi gelombang T

8. Pemeriksaan Ekokardiografi:

Pemeriksaan ekhokardiografi transtorakal atau transesofageal


terbatas penggunaannya untuk diagnosis emboli paru.Pada
ekokardiografi dapat dilihat perubahan ukuran dan fungsi ventrikel
kanan dan regurgitasi trikuspid jantung kanan akut menandakan
adanya regangan.Dengan penilaian klinis yang tepat, perubahan
ventrikel kanan dapat menandakan emboli paru akut (Sudoyo.2014).

Pemeriksaan untuk diagnosis harus disesuaikan dengan tingkat


kegawatan klinis pasien berdasarkan kondisi pasien, nilai keadaan
hemodinamik stabil atau tidak stabil (Sudoyo.2014).

g. Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan kepada pasein emboli paru atau dengan


infark paru terdiri atas:

1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien

Karena emboli paru merupakan kegawat darurat, tindakan pertama


pada pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien untuk
mempertahankan fungsi-fungsi vital tubuh. Yang perlu dilakukan misalnya:
pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksemua, memberikan
cairan infuse untuk mempertahankan kestabilan keluaran ventrikel kanan dan
aliran darah pulmonal dan itubasi (bila diperlukan) (Davey, Patrick. 2014).

2. Pengobatan atas indikasi khusus

Emboli terutama emboli paru massif merupakan keadaan gawat


darurat, sedikit atau banyak menimbulkan gangguan terhadap fungsi jantung,
maka perlu dilakukan tindakan pengobatan terhadap gangguan pada jantung
23

tadi, yang dengan sendirinya diberikan atas dasar indikasi khusus sesuai
masalah.Misalnya ada indikasi untuk memberikan obat vasopressor, obat
inotropik, anti aritmia, digitasi dan sebagainya (Davey, Patrick. 2014).

3. Pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru

Pengobatan utama terhadap emboli paru atau infark paru yang sampai
sekarang dilakukan adalah pengobatan antikoagulan dengan heparin dan
warfarin serta pengobatan trombolitik (Davey, Patrick. 2014).

Tujuan pengobatan utama ini ialah: segera menghambat pertumbuhan


tromboemboli, melarutkan tromboemboli dan mencegah timbulnya emboli
ulang.

a. Pengobatan antikoagulan

Heparin, sekarang ini merupakan pengobatan standar awal pada pasien


tromboemboli vena karena memiliki fungsi seperti membuat pelarutan
thrombus oleh sibat fibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh pertumbuhan
thrombus dan heparin mencegah timbulnya emboli berulan serta heparin juga
menghambat agregasi trombosit (Davey, Patrick. 2014).

Pemberian heparin dapat dengan berbagai cara: Drip heparin dengan


infuse IV, suntikan IV intermiten dan suntikan subkutan. Dosis heparin: bolus
3000-5000 unit IV diikuti sebanyak 30.000-35.000 unit/hari dalam infuse
glukosa 5% atau NaCl 0,9% atau disesuaikan. Pengobatan sampai mencapai
target PTT (partian tromboplastin time) mencapai 1,5-2 kali nilai normal.
Pengobatan diberikan selama 7-10 hari lalu dilanjutkan dengan obat
antikoagulan oral (Davey, Patrick. 2014).

Pemberian subkutan lebih menguntungkan karena lebih mudah. Dosis


mulai dengan suntikan bolus IV 3000-5000 unit bersama suntikan subkutan
pertama, kemudian suntikan subkutan diberikan 5000 unit/4 jam atau 10.000
unit/8 jam atau 15.000-20.000 unit tiap 12 jam sampai mencapai PTT 1,5-2,5
kali nilai normal. Heparin tidak boleh diberikan intramuscular karena dapat
menyebabkan hematom pada tempat suntikan (Davey, Patrick. 2014).
24

Kesuksesan pengobatan dengan heparin mencapai 92% dan bisa


diberikan pada ibu hamil karena aman tidak melewati plasenta.

Warfarin, obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas vitamin K,


yaitu dengan mempengaruhi sintersis prokoagulan primer (factor II, VII dan
X).Karena awal kerjanya lambat, oleh karena itu pemberian warfarin
dilakukan setelah heparin.Warfarin diberikan pada pasien dengan thrombosis
vena atau emboli paru berulang dan pada pasien dengan factor risiko menetap
(Davey, Patrick. 2014).

Dosis yang diberikan ialah 10-15 mg/kg BB, dengan target sampai
terjadi pemanjangan (lebih dari 15-25%) dari nilai normal waktu protombin
yang maksimum.Pemberian warfarin adalah secara oral. Lama pemberian
warfarin sekitar 3 bulan (12 minggu) terus menerus. Warfarin diberikan terus
pada pasien defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C atau S, pasien
dengan antikoagulan lupus atau antikardiolipin (Davey, Patrick. 2014).

b. Pengobatan Trombolitik

Cara ini merupakan pengobatan difinitif karena bertujuan untuk


menghilangkan sumbatan mekanik karena tromboemboli.Cara kerja obat ini
adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia ada dua sediaan yaitu:
streptokinase dan urokinase. Streptokinase adalah protein nonenzim, disekresi
oleh kuman streptokokus beta hemolitik grup C. sedangkan urokinase adalah
protein enzim, dihasilkan oleh parenkim ginjal manusia. Urokinase sekarang
dapat diproduksi lewat kultur jaringan ginjal (Davey, Patrick. 2014).

Dua macam obat ini kerjanya memperkuat aktivitas fibrinolisis


endogen dengan lebih mengaktifkan plasmin.Plasmin dapat langsung
melisiskan dan mempunyai efek sekunder sebagai antikoagulan.Tetapi
trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru, juga dapat menurunkan
tekanan arteri pulmonalis dan jantung kanan serta memperbaiki fungsi
ventrikel kiri dan kanan pada kasus yang jelas menderita emboli paru (Davey,
Patrick. 2014).
25

Terapi ini sering diindikasikan pada pasien emboli paru massif akut,
thrombosis vena dalam, emboli paru dengan gangguan hemodinamik dan
teradapat penyakit jantung atau paru tetapi belum mengalami perbaikan
dengan terapi heparin.Terapi trombolitik boleh diberikan bila gejala-gejala
yang timbul (emboli paru) kurang dari 7 hari.Selama pengobatan trombolitik
tidak boleh melakukan suntikan intra arteri, intravena atau intramuscular pada
pasien, dan jangan memberikan obat antikoagulan, anti platelet bersama
(Davey, Patrick. 2014).

Dosis awal streptokinase: 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis


atau glukosa 5%, diberikan IV selama 30 menit. Dosis pemeliharaannya:
100.000 unit/jam diberikan selama 24-72 jam (Davey, Patrick. 2014).

Dosis awal urokinase: 4.400 unit/kg BB, dalam larutan garam


fisiologis atau glukosa 5%, diberikan IV selama 15-30 menit. Dosis
pemeliharaannya: 4.400 unit/kg BB/ jam selama 12-24 jam. Perbaikan atau
keberhasilan terapi sudah terlihat dalam waktu 12 jam untuk urokinase dan 24
jam untuk streptokinase (Davey, Patrick. 2014).

Terapi trombolitik tidak boleh dilakukan apabila pasien dalm 10 hari


terakhir terdapat tindakan atau biopsy didaerah yang sulit dievaluasi,
hipertensi maligna dan perdarahan aktif di traktus,
gastrointestinal.Komplikasi terapi trombolitik adalah sering terjadi
perdarahan dengan insidensi 5-7% (Davey, Patrick. 2014).

4. Pengobatan lainnya

Yang terpenting adalah pengobatan pembedahan.Pengobatan


pembedahan pada emboli paru diperuntukkan bagi pasien yang tidak adekuat
atau tidak dapat diberikan heparin. Dengan tindakan pembedahan dapat
dilakukan: venous interruption dan embolektomi paru (Davey, Patrick. 2014).

Tujuan venous interruption adalah mencegah emboli ulang dari


thrombus vena dalam tungkai bawah. Sekarang yang banyak dilakukan adalah
pemasangan filter di vena kava inferior secara intravena, yang tidak
26

menyumbat aliran vena, dapat mencegah emboli yang lebih besar dari 2 mm
dan jarang mengalami thrombosis di filter tersebut (Davey, Patrick. 2014).

Tindakan embolektomi paru ini dulu banyak dikerjakan jika


terdapat kontraindikasi terhadap pemakaian antikoagulan atau pada pasien
emboli paru kronik.Karena risiko kematian cukup besar, maka tindakan
embolektomi paru ini sekarang ditinggalkan, lebih-lebih sekarang telah ada
kemajuan terapi trombolitik (Davey, Patrick. 2014).

h. Pencegahan

Pada orang-orang yang memiliki resiko menderita emboli paru,


dilakukan berbagai usaha untuk mencegah pembentukan gumpalan darah di
dalam vena. Untuk penderita yang baru menjalani pembedahan (terutama
orang tua), disarankan untuk:

a) menggunakan stoking elastis


b) melakukan latihan kaki
c) bangun dari tempat tidur dan bergerak aktif sesegera mungkin untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya pembentukan gumpalan.

Stoking kaki dirancang untuk mempertahankan aliran darah,


mengurangi kemungkinan pembentukan gumpalan, sehingga menurunkan
resiko emboli paru.Terapi yang paling banyak digunakan untuk mengurangi
pembentukan gumpalan pada vena tungkai setelah pembedahan adalah
heparin.Dosis kecil disuntikkan tepat dibawah kulit sebelum operasi dan
selama 7 hari setelah operasi.

Heparin bisa menyebabkan perdarahan dan memperlambat


penyembuhan, sehingga hanya diberikan kepada orang yang memiliki resiko
tinggi mengalami pembentukan gumpalan, yaitu:

a) penderita gagal jantung atau syok


b) penyakit paru menahun
c) kegemukan
d) sebelumnya sudah mempunyai gumpalan.
27

Heparin tidak digunakan pada operasi tulang belakang atau otak


karena bahaya perdarahan pada daerah ini lebih besar. Kepada pasien rawat
inap yang mempunyai resiko tinggi menderita emboli paru bisa diberikan
heparin dosis kecil meskipun tidak akan menjalani pembedahan. Dekstran
yang harus diberikan melalui infus, juga membantu mencegah pembentukan
gumpalan.Seperti halnya heparin, dekstran juga bisa menyebabkan perdarahan
(Davey, Patrick. 2014).

Padapembedahan tertentu yang dapat menyebabkan terbentuknya


gumpalan, (misalnya pembedahan patah tulang panggul atau pembedahan
untuk memperbaiki posisi sendi), bisa diberikan warfarin per-oral. Terapi ini
bisa dilanjutkan untuk beberapa minggu atau bulan setelah
pembedahan(Davey, Patrick. 2014).

2. Flail Chest

Menurut Sjamsuhidajat (2005), flail chest adalah area toraks yang

melayang, disebabkan adanya fraktur iga multipel berturutan lebih atau

sama dengan 3 iga, dan memiliki garis fraktur lebih atau sama dengan 2

pada tiap iganya.

Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail yang akan

bergerak paradoksal dari gerakan mekanik pernapasan dinding toraks. Area

tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi dan bergerak keluar pada

saat ekspirasi.

a. Karakteristik (Brunicardi, 2006)

1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat

inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator

2. Menunjukkan trauma hebat


28

3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala,

abdomen,ekstremitas)

Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya

ineffectiveair movement, yang seringkali diperberat oleh edema atau

kontusio paru, dannyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak

dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara

eksterna, seperti melakukan splint atau bandage yang melingkari

toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan

secara keseluruhan (Brunicardi, 2006).

b. Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006)

1. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-

tanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas

yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD (Analisa

gas darah) berkala dan takipneu

2. Pain control

3. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi

internal melalui operasi)

4. Bronchial toilet

5. Fisioterapi agresif

6. Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet

c. Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:

1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain, seperti

hematotoraks masif.
29

2. Gagal atau sulit weaning ventilator.

3. Menghindari cacat permanen.

4. Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong

hospitalstay.

5. Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga

tidak didapatkan lagi area yang melayang atau flail.

3. Fraktur Costa

a. Definisi

Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat


trauma tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang
mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang
sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering
terjadi pada iga IV-X dan sering menyebabkan kerusakan pada organ
intra toraks dan intra abdomen.Toraks terdiri dari 12 tulang toraks
dengan bagian depan terdapat; manubrium, sternum, xyphoid, clavicula
dan scapula terletak dibagian belakang. Fraktur kosta adalah patah
tulang yang terjadi pada tulang iga.Flail chest secara khusus
didefinisikan dengan patah tulang pada 4 atau lebih patah tulang kosta
pada dua atau lebih lokasi yang menyebabkan adanya
gerakanparadoksal dari dinding toraks selama pernafasan. 2

b. Patofisiologi

Dinding toraks melindungi dan mengelilingi bagian organ


didalamnya dengan tulang padat seperti tulang kosta, clavicula, sternum
dan scapula.Pada pernafasan normal dibutuhkan sebuah dinding toraks
yang normal. Fraktur tulang kosta mengganggu proses ventilasi dengan
berbagai mekanisme. Nyeri dari patah tulang kosta dapat disebabkan
karena penekanan respirasi yang menghasilkan atelectasis dan
pneumonia. Patah tulang kosta yang berdekatan seperti flail chest
mengganggu sudut costovertebral normal dan otot diaphragma,
30

menyebabkan penurunan ventilasi. Fragmen tulang dari tulang kosta


yang patah dapat menusuk bagian paru yang menimbulkan hemothorax
atau pneumothorax.2

Fraktur kosta merupakan cedera yang paling sering terjadi pada


trauma tumpul toraks lanjut usia. Posisi dari patahan fraktur kosta
membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan cedera pada organ
dibawahnya.Fraktur pada kosta pertama menggambarkan trauma serius
pada spinal atau pembuluh darah.Fraktur pada kosta pertama dapat
menjadi prediksi terjadinya cedera serius.Tulang kosta pertama
dilindungi dengan baik oleh bahu, otot leher bagian belakang dan
clavikula sehingga bila terjadi patah pada tulang ini, memerlukan energi
lebih dibandingkan dengan patah pada tulang kosta lainnya.Angka
kematian sekitar 36% sudah dilaporkan pada fraktur tulang kosta
pertama berhubungan dengan cedera pada paru, aorta acendens, arteri
subclavia dan plexus brachialis.Tulang kosta biasanya mengalami
patah pada bagian posterior karena secara struktural bagian ini
merupakan yang paling lemah.Tulang kosta ke 4 sampai 9 lebih sering
terjadi cedera.Mekanisme terjadinya cedera tulang kosta pertama pada
kecelakaan lalulintas terjadikarena kontraksi otot akibat gerakan tiba-
tiba dari kepala dan leher.2

c. Manifestasi Klinis

Pasien dengan patah tulang kosta biasanya dengan nyeri berat


khususnya saat inspirasi atau ketika bergerak.Tanda dan gejala lainnya
termasuk tenderness dan kesulitan dalam pernafasan. Ketidaksimetrisan
dari pergerakan dinding toraks (flail chest). Pasien juga biasanya
ditemukan tanda adanya kecemasan, kelemahan, keluhan nyeri kepala
dan mengantuk.2

d. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan fisik dilakukan setelah dilakukan anamnesa untuk


mengetahui mekanisme kejadian kemudian perlu dilakukan
31

pemeriksaan untuk menunjang diagnosis. Beberapa pemeriksaan


penunjang yang dilakukan meliputi:

1.Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna


untuk mengevaluasi pada kasus isolated rib fractures. Pemeriksaan
urinalisis pada kasus patah tulang kosta bagian bawah diindikasikan
pada trauma ginjal.Tes fungsi paru seperti analisa gas darah
digunakan untuk mengetahui adanya kontusio paru tetapi bukan
pemeriksaan untuk patah tulang toraks itu sendiri.2

2.Foto Polos Toraks

Pemeriksaan pertama pada pasien dengan trauma toraks adalah


foto polos toraks. X-ray hanya membutuhkan sedikit waktu sesudah
terjadinya cedera. Deteksi dini adanya kontusio paru, hematoma,
laserasi sangat penting untuk mengetahui kelainan patologis dan
perencanaan perawatan.Angka kematian dapat diturunkan dengan
kerjasama antara radiologis dengan dokter emergensi.2
Pemeriksaan foto polos toraks sangat berguna untuk
mengetahui cedera lainnya seperti adanya hemothorax,
pneumothorax, kontusio paru, atelectasis, pneumonia dan cedera
pembuluh darah.Adanya patah tulang sternum dan scapula dapat
menjadi kecurigaan adanya patah tulang kosta.Cedera aorta tampak
ada pelebaran > 8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari
hasil foto polos Toraks.2
32

Gambar 1 Foto Toraks Kontusio Paru

3.Ultrasonography

Pemeriksaan USG memberikan diagnosa yang cepat tanpa


radiasi.Pemeriksaan Ultrasonography juga dapat mendeteksi
kartilago tulang kosta dan costochondraljunction. Proses
penyembuhan dengan callous formation juga dapat dideteksi dengan
USG. Ultrasonography dilaporkan mempunyai sensitivitas yang bisa
diterima dengan hasil sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan
radiografi (0.92 vs. 0.44) tetapi hasil ini sangat tergantung pada
operator alat dan alat yang digunakan.2

4.CT Scan Toraks

CT scan toraks lebih sensitif daripada foto polos toraks untuk


mengetahui fraktur tulang kosta.Jika dicurigai adanya komplikasi
dari fraktur kosta pada pemeriksaan foto polos toraks, CT scan
toraks dapat dilakukan untuk mengetahui cedera yang spesifik
sehingga dapat membantu penanganan selanjutnya.Foto polos toraks
dapat menjadi tidak efektif pada beberapa kondisi sehingga
diperlukan CT scan toraks yang dapat mencegah dari kondisi yang
33

serius.Computed tomography (CT) sangat sensitif untuk


mendiagnosa kontusio paru dengan ukuran 3 dimensi.CT scan dapat
membedakan area dari kontusio paru terjadi atelectasis atau
aspirasi.2

Gambar 2 CT Scan Toraks Axial

5.Angiography

Patah tulang kosta pertama dan kedua biasanya berhubungan


dengan cedera pembuluh darah maka dokter di unit gawat darurat
dapat melakukan angiography khususnya pada pasien dengan tanda
dan gejala gangguan neurovascular. Hal ini penting khususnya pada
fraktur kosta tulang kedua dengan kemungkinan hasil abnormal yang
lebih tinggi ditemukan daripada patah tulang kosta yang lain. 2

6.MRI

MRI digunakan untuk mengetahui angulasi patah tulang kosta


bagian posterior lateral meskipun MRI tidak digunakan untuk diagnosa
pertama pada patah tulang kosta.2

e. Penatalaksanaan Fraktur Kosta


1.Penatalaksanaan Prehospital
34

Penatalaksanaan prehospital harus fokus dalam


mempertahankan jalan nafas dan dengan bantuan oksigenasi. 2

2.Penatalaksanaan di unit gawat darurat

Tujuan utama dari penatalaksanaan di unit gawat darurat


adalah untuk menstabilkan kondisi pasien trauma dan evaluasi dari
multi trauma.Manajemen dan kontrol nyeri mutlak pada
penatalaksanaan fraktur tulang kosta.Untuk menurunkan alveolar
yang kolap dan membersihkan sekresi paru.Manajemen nyeri dapat
dimulai dengan pemberian analgetik NSAID bila tidak ada
kontraindikasi.Dilanjutkan dengan golongan narkotik bila hasilnya
tidak memuaskan. Pilihan lain adalah narkotik parenteral untuk
mencegah depresi pernafasan. Beberapa penelitian
merekomendasikan rawat inap untuk pasien dengan 3 atau lebih
patah tulang kosta dan perawatan ICU untuk pasien lanjut usia
dengan 6 atau lebih patah tulang kosta karena ada hubungan yang
signifikan dari patah tulang tersebut dengan adanya cedera serius
pada organ dalam seperti pneumothorax dan kontusio paru. 3
Kontrol nyeri perlu dipertahankan selama perawatan kontrol
nyeri merupakan dasar dari kualitas perawatan pasien untuk
menjamin kenyamanan pasien. Pasien dengan patah tulang kosta
akan mengalami nyeri berat ketika bernafas, berbicara, batuk
maupun ketika menggerakkan tubuh. Sehingga kontrol nyeri
merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek sistemik
dari fraktur seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu
terjadinya hypoxia, atelectasis, dan pneumonia.3

Penggunaan fiksasi patah tulang kosta meningkat untuk

penanganan flail chest karena peningkatan jumlah publikasi

tentang peningkatan outcome pasien. Belum ada publiksasi

tentang keunggulan dari fiksasi patah tulang kosta tetapi ada


35

perbedaan dari teknik muscle sparing dan tradisional untuk

penanganan toraks dan pembedahan spinal. Fiksasi patah tulang

melalui pembedahan/ Surgical Rib fixation (SRF) merupakan

suatu penanganan pada flail chest untuk menjaga stabilitas

dinding toraks.

4. Hematothorax
a. Definisi
Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura.Sumber
mungkin darahdari dinding dada, parenkim paru paru, jantung atau
pembuluh darah besar. kondisi diasanya merupakan konsekuensi dari
trauma tumpul atau tajam. Ini juga mungkin merupakan komplikasi dari
beberapa penyakit.
b. Etiologi
Dibagi menjadi dua yaitu :
1. Traumatik
a. Trauma tumpul.
b. Trauma tembus (termasuk iatrogenik)
2. Nontraumatik / spontan
a. Neoplasma.
b. komplikasi antikoagulan.
c. emboli paru dengan infark
d. robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks
spontan.
e. Bullous emphysema.
f. Nekrosis akibat infeksi.
g. Tuberculosis.
h. fistula arteri atau vena pulmonal.
i. telangiectasia hemoragik herediter.
j. kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars
thoraxica, aneurisma arteri mamaria interna).
36

k. sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.


l. patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm,
hemoperitoneum).
m. Catamenial
c. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala Hemotoraks
1. Denyut jantung yang cepat
2. Kecemasan
3. Kegelisahan
4. Kelelahan
5. Kulit yang dingin dan berkeringat
6. Kulit yang pucat
7. Rasa sakit di dada
8. Sesak nafas

Derajat Pendarahan Hemothorax

a. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

a) Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.


b) Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi,
dan frekuensi pernapasan.
c) Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk
kehilangan darah sekitar 10%

b. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)Gejala klinisnya:

1. Takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit)


2. Takipnea
3. Penurunan tekanan nadi
4. Kulit teraba dingin
5. Perlambatan pengisian kapiler, dan
6. Anxietas ringan
37

c. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)Gejalanya:

1. Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan


tekanan darah sistolik, oliguria, dan perubahan status mental
yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
2. Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-
40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
3. Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi
keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada
respon awal terhadap cairan.

d. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)Gejala-gejalanya


berupa:

1. Takikardi, penurunan tekanan darah sistolik


2. Tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur)
3. Berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar
4. Penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan
5. Kulit dingin dan pucat.

d. Patofisiologi

Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-
paru atau arteri, menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam
seperti pisau atau peluru menembus paru-paru mengakibatkan pecahnya
membran serosa yang melapisi atau menutupi thorax dan paru-paru. Pecahnya
membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga pleura. Setiap
sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.

Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan


Intra Alveoler, kolaps terjadi pendarahan akibat pecahnya arteri dan kapiler-
kapiler kecil , sehingga tekanan perifer pembuluh darah paru meningkat, dan
38

aliran darah menurun yang mengakibakan kadar Hb dalam darah menurun,


anemia, syok hipovalemik, sesak napas, tahipnea, sianosis, tachikardia.

e. Manifestasi klinis

Blunt trauma hematothorax dengan dinding dada cedera tumpul .Jarang


hematothorax sendirian menemukan dalam trauma tumpul. Associated dinding
dada atau cedera paru hampir selalu hadir .

Cedera tulang sederhana terdiri dari satu atau beberapa patah tulang rusak
adalah yang paling umum dada cedera tumpul . Hematothorax kecil dapat
berhubungan dengan bahkan satu patah tulang rusuk tetapi sering tetap
diperhatikan selama pemeriksaan fisik dan bahkan setelah dada radiography .
Koleksi kecil seperti jarang membutuhkan pengobatan .

Kompleks dinding dada cedera adalah mereka yang baik 4 / lebih secara
berurutan satu patah tulang rusuk hadir atau memukul dada ada . Jenis cedera ini
terkait dengan tingkat signifikan kerusakan dinding dada dan sering
menghasilkan koleksi besar darah dalam rongga pleura dan gangguan
pernapasan substansial . Paru memar dan pneumotorax yang umumnya terkait
cedera . Mengakibatkan luka luka lecet dari internal interkostal / arteri mamae
dapat menghasilkan ukuran hematothorax signifikan dan hemodinamik
signifikan kompromi . Kapal ini adalah yang paling umum perdarahan terus
menerus sumber dari dada setelah trauma

Delayed hematothorax can accur at some interval after blunt chest trauma.
Dalam kasus tersebut evaluasi awal, termasuk dada radiography , mengngkapkan
temuan dari patah tulang rusuk yang menyertainya tanpa intrathoracic patologi ,
Namun jam untuk hari kemudian , seorang hematothorax terlihat . Mekanisme
diyakini baik pecah terkait trauma dinding dada hematom ke dalam rongga
pleura / perpindahan dari tulang rusuk patah ujungnya dengan interkostalis
akhirnya gangguan terhadap kapal kapal selama gerakan pernapasan atau
batuk .
39

a. Trauma tumpul

Hematothorax besar biasanya berhubungan struktur vaskular


cedera . Gangguan atau robekan besar struktur arteri / vena di dalam dada
dapat menyebebkan perdarahan masif / exsanguinating .

b. Trauma tembus

Hematothorax dari cedera penetrasi paling sering disebabkan oleh


lecet langsung dari pembuluh darah . Sementara arteri dinding dada paling
sering , sumber menembus hematothorax cedera , intrathoracic struktur ,
termasuk jantung , juga harus dipertimbangkan .

Parenkim paru cedera sangat umum dalam kasus kasus cedera


menembus dan biasanya menghasilkan kombinasi hematothorax dan
pneumothorax .

f. Pemeriksaan Diagnostik

1. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura,


dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
2. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau
menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
3. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
4. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.
5. Hematokrit cairan pleura. Biasanya tidak diperlukan untuk pasien
hemotoraks traumatik. Diperlukan untuk analisis dari efusi yang
mengandung darah dengan penyebab nontraumatik. Dalam kasus ini,
efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50% dari hematokrit
sirkulasi mengindikasikan kemungkinan kemotoraks.
6. USG
7. CT-scan
40

g. Komplikasi

Komplikasi dapat berupa :

1. Kegagalan pernafasan
2. Kematian
3. Fibrosis atau parut dari membran pleura
4. Syok

h. Penatalaksanaan

Kematian penderita hemothorax dapat disebabkan karena banyaknya


darah yang hilang dan terjadinya kegagalan pernapasan.
Kegagalan pernapasan disebabkan adanya sejumlah besar darah dalam rongga
pleura menekan jaringan paru serta berkurangnya jaringan paru yang melakukan
ventilasi.Maka pengobatan hemothorax sebagai berikut :

1. Pengosongan rongga pleura dari darah.


2. Menghentikan perdarahan.
3. Memperbaiki keadaan umum.
4. Lain-lain.

1. Dipasang Chest tube dan dihubungkan dengan system WSD, hal ini dapat
mempercepat paru mengembang.
2. Apabila dengan pemasangan WSD, darah tetap tidak behenti maka
dipertimbangkan untuk thorakotomi.
3. Pemberian oksigen 2 4 liter/menit, lamanya disesuaikan dengan perubahan
klinis, lebih baik lagi apabila dimonitor dengan analisa gas darah. Usahakan
sampai gas darah penderita normal kembali.
4. Pemberian tranfusi darah : dilihat dari adanya penurunan Hb. Sebagai patokan
dapat dipakai perhitungan sebagai berikut, setiap 250 cc darah (dari penderita
dengan Hb 15 g %) dapat menaikkan g % Hb. Diberikan dengan tetesan
normal kira-kira 20 30 tetes / menit dan dijaga jangan sampai terjadi
gangguan pada fungsi jantung atau menimbulkan gangguan pada jantung.
41

5. Pemberian antibiotika, dilakukan apabila ada infeksi sekunder.

a. Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur.


b. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit
gawat, maka penderita dapat diberi broad spectrum antibiotic, misalnya
Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.
c. Juga dipertimbangkan dekortikasi apabila terjadi penebalan pleura.

5. Tamponade Jantung
1. Definisi
Tamponade jantung adalah sindrom klinik dimana terjadi penekanan
yang cepat atau lambat terhadap jantung akibat akumulasi cairan, nanah,
darah, bekuan darah, atau gas di perikardium, sebagai akibat adanya efusi,
trauma, atau ruptur jantung.(Dorlan, 2013). Jumlah cairan yang cukup untuk
menimbulkan tamponade jantung adalah 250 cc bila pengumpulan cairan
tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc bila pengumpulan cairan tersebut
berlangsung lambat, karena pericardium mempunyai kesempatan untuk
meregang dan menyesuaikan diri dengan volume cairan yang bertambah
tersebut. (Guyton, 2014)

Gambar.Penampang Jantung dan Pericardium. (Guyton, 2014)

2. Etiologi
42

Etiologinya bermacam-macam yang paling banyak maligna,


perikarditis, uremia dan trauma.Tamponade jantung bisa disebabkan karena
neoplasma, perikarditis, uremia dan perdarahan ke dalam ruang pericardial
akibat trauma, operasi, atau infeksi.Penyebab tersering adalah neoplasma,
idiopatik dan uremia.Perdarahan intraperikard juga dapat terjadi akibat
katerisasi jantung intervensi koroner, pemasangan pacu jantung, tuberculosis,
dan penggunaan antikoagulan. (Sylvia, 2014)

3. Patofisiologi
Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi perikardium
menyebabkan hambatan serius aliran darah ke jantung (gangguan diastolik
ventrikel).Penyebab tersering adalah neolasma dan uremi. Neoplasma
menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung,
sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang menyebabkan
pembentukan massa (tumor). Hal ini yang dapat mengakibatkan ruang pada
kantong jantung (perikardium) dengan lapisan paling luar jantung
(epikardium) mengalami kebocoran.Uremia juga mengakibatkan temponade
jantung, dimana orang yang mengalami uremia di dalam darahnya terdapat
toksik metabolik yang dapat menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi
terjadi pada perikardium). Selain itu, temponade jantung juga dapat di
sebabkan akibat trauma tumpul / tembus, jika trauma ini mengenai ruang
perikardium akan terjadi perdarahan sehingga darah banyak terkumpul di
ruang perikardium, hal ini mengakibatkan jantung terdesak oleh akumulasi
ciran tersebut. (Sylvia, 2014)
43

Gambar. Tamponade Jantung. (Sylvia, 2014)


4. Manifestasi Klinis
1. Gejala yang muncul bergantung kecepatan akumulasi cairan
perikardium. Bila terjadi secara lambat dapat memberi kesempatan
mekanisme kompensasi seperti takikardi, peningkatan resistensi
vascular perifer dan peningkatan volume intravaskular. Bila cepat,
maka dalam beberapa menit bisa fatal.
2. Tamponade jantung akut biasanya disertai gejala peningkatan tekanan
vena jugularis, pulsus paradoksus >10mmHg, tekanan nadi <30mmHg,
tekanan sistolik <100mmHg, dan bunyi jantung yang melemah.
3. Sedangkan pada yang kronis ditemukan peningkatan tekanan vena
jugularis, takikardi, dan pulsus paradoksus (gambaran lain yang
menandai perubahan yang tidak terduga tekanan vena). (Sylvia, 2014)
Keluhan dan gejala yang mungkin ada yaitu adanya jejas
trauma tajam dan tumpul di daerah dada atau yang diperkirakan
menembus jantung, gelisah, pucat, keringat dingin, peninggian vena
jugularis, pekak jantung melebar, suara jantung redup dan pulsus
paradoksus.Trias classic beck berupa distensis vena leher, bunyi
jantung melemah dan hipotensi didapat pada sepertiga penderita
dengan tamponade. (Sylvia, 2014)
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada
Menunjukkan gambaran water bottle-shape heart,
kalsifikasi perkardial.
44

2. Kardiomegali bentuk bulat atau segitiga, dengan gambaran paru


yang bersih.
Foto lateral kadang terlihat double fat stripe. (Sudoyo, 2014)

Gambar. Foto Thorax AP : Jantung membesar berbentuk botol. (Sudoyo, 2014)

3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan etiologi terjadinya
tamponade jantung, misalnya pemeriksaan berikut :
a. Peningkatan creatine kinase dan isoenzim pada MI dan trauma jantung.
b. Profil renal dan CBC uremia dan penyakit infeksi yang berkaitan
dengan pericarditis
c. Protrombin time (PT) dan aPTT (activated partial thromboplastin
time) menilai resiko perdarahan selama intervensi misalnya drainase
perikardial. (Sudoyo, 2014)
4. Elektrokardiografi (EKG)
a. Didapatkan PEA (Pulseless Electric Activity), sebelumnya dikenal
sebagai Electromechanical Dissociation, merupakan dimana pada
EKG didapatkan irama sedangkan pada perabaan nadi tidakditemukan
pulsasi. PEA Amplitude gelombang P dan QRS berkurang pada setiap
gelombang berikutnya.
b. PEA dapat ditemukan pada tamponade jantung, tension
pneumothorax, hipovolemia, atau ruptur jantung.
45

c. Dengan EKG 12 lead berikut suspek tamponade jantung :


1) Sinus tachycardia
2) Kompleks QRS Low-voltage
3) Electrical alternans : kompleks QRS alternan, biasanya rasio 2:1, terjadi
karena pergerakan jantung pada ruang pericardium. Electrical
ditemukan juga pada pasien dengan myocardial ischemia, acute
pulmonary embolism, dan tachyarrhythmias.
4) PR segment depression

d. EKG juga digunakan untuk memonitor jantung ketika melakukan


aspirasi perikardium.

Gambar. Hasil EKG. (Sudoyo, 2014)

5. Echocardiografi
Meskipun echocardiografi menyediakan informasi yang berguna,
tamponade jantung adalah diagnosis klinis. Berikut ini dapat diamati dengan
echocardiografi 2-dimensi :
a. Zona ruang bebas posterior dan anterior ventrikel kiri dan di belakang
atrium kiri : Setelah operasi jantung, suatu pengumpulan cairan lokal
posterior tanpa efusi anterior yang signifikan dapat terjadi dan dapat
membahayakan cardiac output.
b. Kolapsnya diastolic awal dari dinding bebas ventrikel kanan
c. kompresi end diastolic / kolapsnya atrium kanan
d. Plethora vena cava inferior dengan inspirasi minimal atau tidak kolaps
e. Lebih dari 40% peningkatan inspirasi relatif dari sisi kanan aliran
46

f. Lebih dari 25% penurunan relatif pada aliran inspirasi di katup


mitral. (Sudoyo, 2014)
6. Penatalaksanaan
Pada keadaan ini dapat dilakukan perikardiosintesis.Sebuah jarum
berongga ukuran 16 sepanjang 6 inci ditusukkan di bawah prosesus
xifoideus dan diarahkan ke apeks jantung.Jarum tersebut kemudian
dihubungkan dengan alat EKG 12 sadapan melalui klem aligator untuk
membantu menentukan apakah jarumnya mengenai jantung. Defleksi yang
tajam akan terlihat pada pola EKG. Perikardiosintesis dapat disertai
dengan denyut jantung false-positive yang signifikan karena klinisi bisa
saja mengaspirasi darah yang berasal dari ventrikel kanan sendiri.
Petunjuk yang akan mengarahkan pengambilan keputusan adalah bahwa
darah yang bersal dari kantong perikardium biasanya tidak akan membeku.
Yang paling baik, perikardiosistesis adalah prosedur yang bersifat
sementara untuk memperbaiki fungsi jantung sambil menunggu
pembedahan.Di beberapa rumah sakit, lubang atau jendela pada selaput
perikardium dibuat secara darurat di UGD oleh dokter bedah atau dokter
spesialis kardiotoraks. (Sudoyo, 2014)

Gambar.Perikardiosintesis. (Sudoyo, 2014)

Penatalaksanaan pra rumah sakit bagi temponade cardio pada


tingkat EMP-A memerlukan transportasi cepat ke rumah sakit, ini
merupakan satu dari beberapa kedaruratan yang harus ditransport dengan
sirine dan lampu merah. Perhatian ketat harus dicurahkan untuk
47

menghindari pemberian cairan berlebihan ke pasien.Sering sukar


membedakan antara temponade pericardium dan tension pneumotoraks
tanpa bantuan radiography.EMT harus cermat mengamati penderita dan
mengingatkan dokter di rumah sakit terhadap kemungkinan tamponade
pericardium. (Sudoyo, 2014)
Pada tingkat paramedic EMT, setelah diagnositik dan konsultasi ke
dokter rumah sakit, tamponade pericardium dapat diaspirasi.Aspirasi dapat
dilakukan dengan menggunakan jarum interkardiak untuk suntikan
ephineprin, dengan hanya menarik penuh semprit yang
kosong.Pendekatannya dari subxifoid, menuju scapula kiri tepat seperti
suntikan intrakardia.Perbedaannya dalam memasukkan jarum
selanjutnya.Pemasukan jarum harus dihentika tepat setelah memasuki
kantong pericardium, sebelum masuk ke ventrikel.Identifikasi lokasi ujung
jarum dengan tepat dapat dibantu dengan menempatkan sadapan V
elektrograf ke batang baja.Jarum ini dengan klem alligator.Sewaktu
jarum dimasukkan, segera dapat diketahui arus luka sewaktu ujung jarum
menyentuh miokardium.Dengan menarik mundur sedikit ke kantong
pericardium, EMT kemudian dapat mengaspirasi darah tanpa mencederai
myocardium.
Seratus lima puluh sampai 250 ml darah di kantong pericardium sudah
cukup untuk menimbulkan tamponade berat. Pengambilan beberapa
milliliter bisa mengurangi tekanan yang memungkinkan peningkatan curah
jantung pasien, peningkatan tekanan darah distal dan penurunan tekanan di
sisi kanannya.Prasat ini (mengeluarkan 50-75 ml darah) merupakan
tindakan yang menyelamatkan nyawa pada tamponade berat.Harus diingat
bahwa terapi ini bukan definitif melaikan hanya suatu tindakan sementara
sampai penderita bisa dibawa ke kamar operasi, tempat dapat dilakukan
perikardiotomi formal sebelum penatalaksanaan difinitive masalah jantung
dengan anastesi lokal.Perlukaan pada pembuluh darah jantung dan struktur
vaskuler intertoraks ditangani dalam masa pra rumah sakit seperti syok
hemoragik lainnya dengan pakaian anti syok dan infus IV. (Boswick, 1997
: 80). Pemberian oksigen sesuai indikasi juga diperlukan untuk pasien
48

tamponade, agar mencegah terjadinya hipoksia jaringan akibat oksigen


yang tidak adekuat karena penurunan curah jantung. (Sudoyo, 2014)

STEP IV
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.W
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 47 Tahun
Alamat : Cirebon
2. Anamnesis
Keluhan Utama : sesak nafas
Keluhan tambahan : nyeri dada kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dateng ke IGD RS dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas
dirasakan sejak 2 jam yang alu, setelah terjatuh dari pohon mangga dengan
ketinggian 5 meter. Sesak dirasakan terus menerus dan semakin lama
semakin memberat.Sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas maupun
perubahan posisi tubuh.Sesak nafas tidak disertai dengan bunyi
ngik.Pasien juga mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan.Nyeri
dirasakan terus menerus.Nyeri bertambah saat pasien menarik nafas
dalam.Sesaat setelah kejadian pasien sadar, pingsan (-), mual (-), muntah
(-).Pasien tidak mengeluhkan batuk, pusing (-), pandangan mata kabur (-),
kejang (-), demam (-).Pasien merasa dirinya dalam keadaan sehat sebelum
terjatuh.

Riwayat Penyakit Dahulu

2 jam sebelm masuk RS, pasien terjatuh dari pohon mangga


dengan ketinggian 5 meter. Pasien terjatuh dengan posisi miring sebelah
kanan dengan dada kanan membentur tanah terlebih dahulu.Riwayat sesak
nafas sebelumnya disangkal.Riwayat menderita penyakit keganasan
disangkal.
49

Riwayat Keluarga

Riwayat keluhan yang serupa disangkal. Riwayat Hipertensi, alergi


maupun diabetes melitus disangkal. Riwayat menderita penyakit
keganasan disangkal

Riwayat Kebiasaan/Pola Hidup

Pasien sehai-hari beraktivitas sebagai buruh tani.Riwayat merokok


(-) riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang disangkal.

3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
a. Keadaan umum : Pasien tampak sakit berat
b. Kesadaran/ GCS : Compos Mentis / 15 ( E 4 M 6 V 5)
c. Tanda- tanda vital
a) Tekanan darah : 80/60 mmHg
b) Nadi : 106 x/menit ( kuat,regular)
c) Pernafasan : 36 x/menit
d) Suhu : 36,3oC
e) Bb : 60 kg
f) Tb : 170 cm
g) Kepala : Normochepal, simetris
h) Mata : Conjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-),
edemaPalpebra (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor,
diameter 3 mm
i) Hidung : Nafas cuping hidung (+/+)
j) Mulut : Bibir sianosis (+)
k) Telinga : Simetris, sekret (-), darah (-)
l) Leher : Deviasi trakea kiri (+), pembesaran kelenjar tiroid
(-),
Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
m) Thoraks
1. Paru :
50

1) Inspeksi : pergerakan dinding dada tampak


asimetris ( kanan tertinggal), retraksi intercostal (+),
terdapat Jejas di hematothoraks dextra ukuran 2 x 5
cm
2) Palpasi : Vokal premitus ( meningkat/+),
krepitasi di Hemithoraks dekstra (+), nyeri tekan (+)
3) Perkusi : Hemitoraks dekstra redup,
hemitroraks Sinistra sonor.
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler ( menurun/+),
ronki (-/-), wheezing (-/-)
2. Jantung :
1) Auskultasi : BJ1 = BJ2, murmur (-), gallop (-)
2) Inspeksi : Ictus cordis di SIC V 2 jarilateral
LMCS
3) Palpasi : Ictus cordis kuat angkat (-) thrill (-)
4) Perkusi : Batas jantung DBN
n) Abdomen
1) Inspeksi : Cembung
2) Palpasi : nyeri tekan (+) pada seluruh
kuadran, Test undulasi (-) hepatojugular refleks (-)
3) Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-
)
4) Auskultasi : bising usus (+)
o) Ekstermitas : akral dingin (+)

4. Diagnosa Banding
a. Hematotoraks
b. Empiema
c. Pneumothoraks
d. Flail Chest
e. Kontusioparu
5. Diagnosa Awal
51

Hematothorax dekstra
6. Tatalaksana Awal
Primary Survey
a. C : Circulation : Lakukan resusitasi cairan
a) Loading RL 1000 cc (20 cc/kgBB) dalam - 1 jam sampai dengan
tekanan darah naik ( maintenance RL/4 jam)
b) Jika tekanan darah masih rendah pasang line ke 2 loading HES
500 cc (maintenance HES/12 jam)
b. A : Airway :-
c. B : Breathing : Oksigen via NRBM ~ 10 lpm

1. Inj. Ketorolac 1 x 30 mg (iv)


2. Inj. Ranitidine 1 x 50 mg (iv)
3. Inj. Ceftriaxone 1 x 1 gr (iv) lanjut bila skin test (-)
4. Pro tranfusi PRC bila HB < 10 g/dl
5. Pasang chest tube
6. Pasang kateter urin
7. Observasi

4. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah Rutin
a. HB : 8,2 gr/dl
b. HT : 19,8 %
c. T : 257 x 103/l
d. L : 9,86 x 103/l
2) Hitung Jenis
a. Basophil : 0%
b. Eosinophil : 0%
c. Batang : 3%
d. Segmen : 79%
e. Limfosit : 17%
f. Monosit : 1%
52

3) Kimia Darah
a. SGOT : 25,3 U/l
b. SGPT : 17,1 U/l
c. BUN : 13,4 mg/dl
d. Cr : 0,76 mg/dl
e. Na : 137 mmol/l
f. K : 4,53 mmol/l
g. Cl : 102,1 mmol/l

5. Diagnosis Kerja:
Hemotoraks dextra + closed fraktur costa VIII dextra.

6. Pembahasan

Trauma pada thoraks

Laserasi paru atau laserasi pembuluh darah Nyeri dada


intercostalis atau arteri mammaria interna

Perdarahan darah terakumulasi di Menekan paru


rongga pleura (hemothoraks)
Gangguan pengembangan
Progresif
paru

Kehilangan Darah Gangguan ventilasi

CO O2 CO2
Takikardi

Tekanan Darah Takipnea

Aliran darah ke perifer Wajah, bibir sianosis

<<
Kulit pucat, dingin, keringat dingin
53

Hemothorax

Clinical unstable Clinical stable

Approach according to Blood sampling ( Hb, HCT,


ATLS guidline PTT, Tromb, Electrocyte)
Thorax sonography in

The indication for urgent upright position CT-Thorax )

thoracotomy as outlined by
the ATLS protocol : Blood pleural Minimal collection of blood
effusion >300ml (defined as <300ml)
Chest drainage >1500
ml initial or
>200ml/hari
Analgetictheraphy for pain
Developing cardiac Drainage
tamponade control CXR at 4-6 hours
Chest wall defect and 24 hours
Great vassal injury
Diaphragmatic injury
Cardiac injury Unstable Stable

>1500ml/24h <1500 ml/24h

>250 ml/h <250 ml/h

Thoracotomy is prefered or Closed tube thoracotomy,


VATS VATS or thoracotomy

Chest tube (Tube Thoracostomy Drainage): tube thoracostomy drainage


merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks. Insersi chest tube
melalui dinding dada utuk drainase darah dan udara. Pemasangannya selama
beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran normal.

a. Indikasi untuk pemasangan thoraks tube antara lain:


54

a) Adanya udara pada rongga dada (pneumothorax)


b) Perdarahan di rongga dada (hemothorax)
c) Post opearsi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax or
hemothorax)
d) Abses paru atau pus di rongga dada (empyema)
b. Adapun langkah-langkah dalam pemasangan chest tube thoracostomy
adalah sebagai berikut:
a) Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
b) Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VI atau ICS
VII posterior Axillary Line
c) Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakan lidokain
d) Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line
e) Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjutnya
dihubungkan dengan WSD (Water Sealed Drainage)
f) Lakukan penjahitan pada tempat pemasangan tube
55

Thoracotomy merupakan prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi rongga dada


ketika hemothoraks masif atau terjadi perdaraham persisten. Thoracotomy juga
dilakukan ketika hemothoraks parah dan chest tube sendiri tidak dapat mengontrol
perdarahan sehingga operasi (thoracotomy) diperlukan untuk menghentikan
perdarahan. Perdarahan ersisten atau berkelanjutan yang segera memerlukan
tindakan operasi untuk menghentikan sumber perdarahan diantaranya seperti
fraktur aorta pada trauma berat. Operasi (thoracotomy) diindikasikan apabila:
a. 1 liter atau lebih dievakuasi segera dengan chest tube
b. Perdarahan persisten, sebanyak 150-200 cc/jam selama 2-4 jam
c. Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik
d. Adanya sisa clot sebanyak 500cc atau lebih
56

Foto thoraks

Anda mungkin juga menyukai