PENDAHULUAN
penyakit kencing manis adalah salah satu penyakit degeneratif yang mendapat
mengestimasikan bahwa lebih dari 346 juta orang di seluruh dunia menderita DM.
Jumlah ini kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030
Sekitar 1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4% meninggal sebelum usia
70 tahun. Diabetes melitus pada tahun 2030 diperkirakan akan menempati urutan
ke-7 penyebab kematian dunia dan di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 akan
penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Data
prevalensi menunjukkan penderita DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%
pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta
penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya,
berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan
ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi
DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta
penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (Perkeni, 2011).
1
2
Sampai saat ini DM termasuk suatu penyakit yang masih belum dapat
disembuhkan, tetapi sudah dapat dikendalikan agar tidak terjadi komplikasi dengan
lainnya, yaitu 90% dari seluruh kasus diabetes melitus. Menurut estimasi WHO,
154% dari 2000 prevalensi pada tahun 2030 (Widyahening & Soewondo, 2012).
diet dan pelatihan jasmani secara teratur. Intervensi farmakologis diberikan jika
intervensi non farmakologis dirasa tidak cukup mampu mengatur kadar glukosa
diabetes diantaranya Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang meliputi pemicu sekresi
(Perkeni, 2011). Adanya berbagai macam dan jenis obat tersebut memungkinkan
dokter mempunyai banyak alternatif dalam memilih obat yang dikehendaki dalam
menangani pasien. Banyaknya jenis obat yang tersedia ternyata juga memberikan
masalah tersendiri dalam praktik, terutama dalam memilih dan menggunakan obat
secara benar dan aman, sehingga para pemberi pelayanan (provider) atau para
dokter (prescriber) harus mengetahui secara rinci obat apa yang sering digunakan
penderita yang tidak menyadari bahwa dirinya mengidap diabetes melitus. Kerap
terjadi, penderita baru mengetahui bahwa dirinya mengidap diabetes melitus setelah
diperoleh pasien. Regimen terapi yang kompleks akan sebanding dengan resiko
kontrol kadar gula darah pada pasien DM tipe 2 rawat jalan yang diterapi dengan
insulin, menunjukkan bahwa DRPs yang terjadi sebesar 89% dari total kasus dalam
penelitian yang meliputi 4% dari total kasus pasien yang mengalami obat salah,
56% kasus dari total kasus pasien yang mengalami dosis terlalu rendah, 67% kasus
dari total kasus pasien yang mengalami advers drug reaction, 35% kasus dari total
kasus ketidakpatuhan dan tidak ditemukan kejadian terapi tanpa indikasi dan dosis
4
pasien. Penggunaan obat yang tidak tepat memberikan dampak negatif berupa
obat, interaksi obat, pemborosan anggaran, dan secara tidak langsung akan
2011).
lokasi. Dari hasil identifikasi tersebut kemudian dibandingkan dengan standar yang
kesehatan berupa rawat jalan, rawat inap dan rawat darurat yang mencakup
pelayanan medis dan penunjangnya. Berdasarkan data Profil Rumah Sakit Umum
Negara Tahun 2013, diabetes melitus tipe 2 menduduki peringkat no 2 dari 10 besar
penyakit instalasi rawat inap pada tahun 2013. Berdasarkan data tersebut dapat
pasien DM tipe 2 di kota Negara. Selain itu hasil dari penelitian dapat digunakan
5
Negara, Bali.
B. Rumusan Masalah
di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember
2014 ?
penggunaan obat antidiabetika pada pasien diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat
C. Tujuan Penelitian
di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara pada periode Januari-Desember
2014.
penggunaan obat antidiabetika pada pasien diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat
D. Manfaat Penelitian
obat diabetes melitus tipe 2 sehingga dapat digunakan sebagai dasar pembanding
diabetes melitus tipe 2 di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Negara sehingga
dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi rumah sakit untuk menyusun standar
terapi dan peningkatan mutu pelayanan medis khususnya pada penyakit diabetes
E. Tinjauan Pustaka
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
diakibatkan oleh penurunan aksi insulin pada jaringan target (Craig et al., 2009).
7
1995 terdapat sekitar 135.000.000 orang menderita diabetes dan peningkatan 300
juta kasus diperkirakan terjadi pada tahun 2025. Akhir tahun 2012 diperkirakan
sejumlah 347 juta menderita diabetes, dan diprediksikan pada tahun 2030 akan
terdapat 552 juta kasus diabetes yaitu 9,9% dari orang dewasa di dunia (Vlad &
Remus, 2012). Prevalensi diabetes untuk semua kelompok umur di seluruh dunia
diperkirakan menjadi 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada 2030. Jumlah penderita
diabetes diperkirakan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta
tahun 2030. Sebagian besar penderita diabetes di negara berkembang berada pada
pada rentang usia 45-64 tahun sebaliknya pada negara maju berada pada usia >64
di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun
2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,
Gejala diabetes melitus tidak begitu khas sehingga banyak penderita yang
Diabetes Association (ADA), gejala yang sering muncul pada penderita diabetes
melitus adalah poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), polifagia
(cepat merasa lapar), penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya,
Federation (IDF) juga menyebutkan gejala yang sama pada penderita DM (kecuali
namun munculnya satu atau beberapa gejala belum tentu dapat digunakan untuk
diagnosis awal DM tipe 2. Pasien DM tipe 2 pada umumnya tidak menyadari bahwa
dan keluhan lain. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat
berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
disebabkan oleh:
9
Diabetes melitus yang dipengaruhi oleh sistem imun dikenal dengan istilah
Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM). DM ini terjadi pada 5-10 % dari kasus
remaja, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada berbagai tingkat usia.
Penderita juga rentan terhadap gangguan autoimun lain seperti Graves disease,
2) Idiopatik
Etiologi diabetes tipe ini tidak diketahui. Beberapa pasien berada dalam
kondisi kekurangan insulin yang permanen dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi
Melitus (NIDDM) terjadi pada 90-95% kasus diabetes dan ditandai dengan
mengalami obesitas yang akan memicu resistensi insulin. DM tipe ini sering kali
bertahap dan dalam tahap awal gejala yang ditimbulkan tidak cukup berat dirasakan
oleh pasien sehingga pasien kurang peka terhadap kemungkinan terjadinya diabetes
(ADA, 2010).
10
Beberapa kasus diabetes terkait dengan penurunan fungsi sel beta. Tipe
diabetes ini dikarakterisasi dengan onset hiperglikemia pada usia dini (kurang dari
2010).
Obat atau senyawa kimia dapat menyebabkan diabetes pada individu yang
mengalami resistensi insulin. Contoh obat dan senyawa kimia yang menginduksi
2010).
3) Infeksi
DM tipe ini terjadi karena paparan virus. Virus tersebut antara lain
4) Endokrinopati
seperti pada akromegali dan Cushings syndrome dapat memicu terjadinya diabetes.
Hal ini terjadi pada individu yang mengalami kekurangan sekresi insulin dan
hiperglikemia bisa diatasi jika kelebihan hormon tersebut diatasi (ADA, 2010).
11
dimana onset atau deteksi awal terjadinya DM pada masa kehamilan. Sebanyak 7%
Pada pulau langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu
sel yang memproduksi glukagon, sel yang memproduksi insulin, dan sel yang
Fungsi dari sel juga menjadi tidak normal (sekresi glukagon berlebihan).
Normalnya jika terjadi hiperglikemia maka sekresi glukagon akan menurun, namun
tipe 1 ini adalah ketoasidosis diabetik jika tidak segera diberikan insulin (Rodboard
et al., 2007).
terungkap jelas. Faktor genetik dan lingkungan yang cukup besar mempengaruhi
munculnya DM tipe 2 ini, diantaranya obesitas, diet tinggi lemak dan sedikit serat,
genetik untuk mengonversi proinsulin menjadi insulin akibat kelainan fungsi sel -
pankreas atau kelainan insulin), penyakit eksokrin pada pankreas, dan paparan
spesifik dikarakterisasi dengan gangguan sekresi insulin dengan minimal atau tanpa
d. Diabetes gestasional
kehamilan. DM tipe ini bersifat sementara dan dapat kembali normal setelah
setelah trimester kedua. Terjadinya GDM dapat berakibat buruk pada janin yang
dikandung antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi saat
diketahui dan diatasi, semakin mudah untuk mengontrol kadar glukosa darah dan
mencegah komplikasi yang dapat terjadi. Faktor resiko untuk DM adalah (Depkes,
2005):
bayi dengan berat badan (BB) > 4 kg, PCOS (Polycystic Ovary Syndrome), IFG
atau IGT
13
c. Usia, usia yang rentan terkena DM adalah 20-59 tahun sebesar 8,7%,
d. Ras
f. Hiperlipidemia, jika kadar HDL <35 mg/dL atau kadar lipid >250 mg/dL
Faktor lain, kurang olah raga dan pola makan rendah serat.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosauria. Guna penentuan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Diagnosis DM dapat
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
glukosa lebih sensitif dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
persiapan khusus.
14
yang timbul sebagai tambahan penyakit lain yang sudah ada. Komplikasi pada DM
dapat berupa akut maupun kronis. Komplikasi ini akan berpengaruh pada pemilihan
makrovaskuler (penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan
dan modifikasi gaya hidup dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi tersebut
3 bagian yakni tujuan jangka pendek, tujuan jangka panjang dan tujuan akhir.
Pendekatan utama dalam tata laksana terapi DM adalah tanpa obat dan
modifikasi gaya hidup dan olah raga, jika target belum tercapai baru ditambahkan
obat (Depkes, 2005). Pilar penatalaksanaan DM adalah edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Terapi tanpa obat (pengaturan makan
dan olah raga) dilakukan selama 2-4 minggu. Jika target kadar glukosa darah belum
Diagnosis
a. Edukasi
mengubah perilaku dan gaya hidup menjadi lebih sehat untuk meningkatkan
motivasi penderita. Edukasi bertujuan untuk promosi hidup sehat sebagai bentuk
usaha pencegahan DM dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
penanganan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Materi edukasi tingkat awal berisi tentang
(Perkeni, 2006):
1) Perjalanan penyakit DM
5) Interaksi antara makanan, aktivitas fisik, obat hipoglikemik oral, insulin, dan
obat lain
6) Cara pemantauan kadar glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah dan
urin mandiri
9) Perawatan kaki
walaupun sampai saat ini tidak ada satupun pengaturan diet yang sesuai untuk
semua pasien diabetes. Prinsip pengaturan makan yang seimbang pada penyandang
diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni,
2011).
3) Protein yang dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi. Pada pasien
dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari atau
10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
18
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram
6) Olah raga
kali dalam seminggu selama 30 menit. Latihan jasmani mempunyai efek positif
Pelaksanaan latihan jasmani seperti jalan, sepeda santai, joging, berenang tentunya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien (Nathan et al., 2009).
7) Intervensi farmakologi
tercapai dengan pengaturan diet dan latihan jasmani. Terapi farmakologis diberikan
(1) Sulfonilurea
insulin pada pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat
19
berproduksi (Sukandar et al., 2008). Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal atau kurang, namun masih boleh diberikan
lebih rendah dibandingkan dengan sulfonilurea generasi 2 (Triplitt et. al., 2009).
(2) Glinid
sekresi insulin, meskipun glinid mengikat reseptor di sisi yang berbeda dengan
dan harus diberikan lebih sering. Golongan ini terdiri dari repaglinid (derivat asam
dengan metformin dan sulfonilurea dalam mengurangi level A1C. Nateglinid agak
kurang efektif dalam menurunkan A1C daripada repaglinid bila digunakan sebagai
monoterapi atau terapi kombinasi. Resiko berat badan mirip dengan sulfonilurea,
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
I-IV karena dapat memperberat edema/resistensi cairan dan juga pada gangguan
faal hati. Pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >
dapat memberikan efek samping mual. Metformin dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan untuk mengurangi keluhan tersebut. Selain itu harus diperhatikan
memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut (Perkeni, 2011).
e) Penghambat DPP-4
Obat golongan baru ini mempunyai cara kerja menghambat suatu enzim
yang mendegredasi hormon inkretin endogen, hormon GLP-1 dan GLP yang
berasal dari usus sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin, mengurangi sekresi
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
glukagon. Namun demikian, GLP-1 secara cepat akan diubah oleh enzim dipeptidyl
(Perkeni, 2011).
diberikan obat yang dapat menghambat kinerja enzim DPP-IV, atau langsung
ini mempunyai profil keamanan yang cukup tinggi tanpa efek samping yang berat,
Insulin or Insulin Analog Nama dan Tempat Pabrik Profil Kerja (jam)
Awal Puncak
Kerja sangat cepat
(ultra-rapid-acting)
Insulin lispro (Humalog) Eli Lilly 0,2-0,5 0,5-2
Insulin aspart (Novorapid) Novo Nordisk 0,2-0,5 0,5-2
Insulin glulisin (Apidra) Aventis Pharmaceuticals. Inc 0,2-0,5 0,5-2
Kerja pendek
(short-acting)
Reguler (Human) Humulin Eli Lilly/ Novo Nordisk 0,5-1 2-3
R/ Actrapid
Kerja menengah
(intermediate-acting)
NPH (Human) Humulin Eli Lilly/ Novo Nordisk 1,5-4 4-10
N/ Insulatard
Kerja panjang
(long-acting)
Insulin glargine (Lantus) Aventis Pharmaceuticals. Inc 1-3 Tanpa
puncak
Insulin detemir (Levemir) Novo Nordisk 1-3 Tanpa
puncak
Campuran
(mixtures, manusia)
70/30 Humulin/Mixtard Eli Lilly/ Novo Nordisk 0,5-1 3-12
(70% NPH, 30% regular)
50/50 Humulin Eli Lilly/ Novo Nordisk 0,5-1 2-12
(50% NPH, 50% regular)*
Campuran
(mixtures, insulin analog)
75/25 Humalog Eli Lilly 0,2-0,5 1-4
(75% NPL, 25% lispro)
50/50 Humalog Eli Lilly 0,2-0,5 1-4
(50% NPL, 50% lispro)
70/30 Novomix 30 Novo Nordisk 0,2-0,5 1-4
(70% protamine aspart, 30%
aspart)
50/50 Novomix
(50% protamine aspart, 50%
aspart)*
(Sumber : Perkeni 2011)
NPH netral protamine Hagedon ; NPL netral protamine lispro, Insulin manusia (human insulin).
Dimodifikasi sesuai dengan nama dan sediaan yang ada di Indonesia.
* Belum beredar
23
2) Insulin
berasal dari pemecahan peptida proinsulin yang besar di sel beta menjadi bentuk
peptida insulin yang aktif dan C-peptida yang dapat digunakan sebagai marker
produksi insulin endogen (Triplitt et. al., 2009). Mekanisme aksi insulin dalam
menurunkan kadar glukosa darah dengan memicu pengambilan glukosa perifer dan
menghambat produksi glukosa hepatik (Sukandar et. al., 2008). Insulin yang
disekresi terdiri dari insulin basal dan insulin prandial. Defisiensi insulin basal akan
penderita DM tipe 1. Pasien DM tipe 1 dengan sel beta langerhans yang rusak, tidak
2005). Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi insulin kerja cepat (rapid
acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah
(intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin), dan insulin
campuran tetap (premixed insulin). Pemberian insulin bisa secara tunggal maupun
insulin. Insulin kerja cepat dan insulin kerja pendek digunakan untuk mengoreksi
defisiensi insulin prandial, sedangkan insulin kerja menengah dan insulin kerja
3) Terapi Kombinasi
untuk kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Kombinasi tiga OHO dari kelompok yang
berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin dapat dilakukan apabila sasaran
glukosa darah belum tercapai (Perkeni, 2011). Kombinasi OHO dan insulin basal
(insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur
memberikan efek kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang diberikan
sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti diatas kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkontrol maka OHO dihentikan dan
bahwa pasien menerima terapi yang sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis
dan penggunaan biaya terendah bagi pasien dan lingkungan sekitarnya (Quick et
pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara
obat harus didasarkan bahwa terapi yang diberikan efektif dan aman.
b. Tepat obat (drug appropriate), seleksi obat didasarkan pada efikasi, keamanan,
c. Tepat dosis, durasi, dan cara pemberian (administration, dosage, and duration
appropriate).
efek samping yang minimal, serta obat tersebut cocok untuk pasien.
informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien, cara pemakaian
Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi
tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari pemberian suatu obat. Dengan
kata lain, penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika (Depkes, 2000):
26
b. Pemilihan obat tidak tepat, artinya yang dipilih bukan obat terbukti paling
c. Cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian,
d. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secraa cermat, penyesuaian dosis atau
e. Pemberian obat tidak disertai penjelasan yang sesuai kepada pasien atau
keluarganya.
f. Pengaruh pemberian obat baik yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan,
Akibat yang dapat timbul dari penggunaan obat yang tidak rasional antara
mortalitas dan morbiditas pasien, mengurangi availabilitas obat vital yang akhirnya
yang tidak diinginkan seperti reaksi efek samping obat dan resistensi obat, serta
psikososial pada pasien yang menyebabkan sugesti untuk selalu menggunakan obat
F. Landasan Teori
mencapai 90% lebih tinggi daripada DM tipe lainnya. Menurut ADA (2013) pasien
DM tipe 2 banyak terjadi saat usia dewasa, namun beberapa tahun terakhir
ditemukan peningkatan kejadian DM tipe 2 pada anak dan remaja. Penelitian yang
dilakukan oleh Dabelea et al., (2014) menyebutkan pada tahun 2001, 588 dari 1,7
juta remaja didiagnosis dengan DM tipe 2 (prevalensi 0,34 per 1000) dan
mengalami peningkatan pada tahun 2009 dimana 819 dari 1,8 juta remaja
didiagnosis DM tipe 2 (prevalensi 0,46 per 1000). DM tipe 2 pada remaja terjadi
pada fase kedua hidup dengan usia rata-rata 13 tahun yang bertepatan dengan
tipe 2 meningkat seiring dengan peningkatan usia, walaupun pada usia muda atau
ketelitian dalam pemilihan intervensi. Penelitian pola penggunaan obat pada pasien
DM tipe 2 di Rumah Sakir Dr. Sardjito yang dilakukan oleh Tisom pada tahun 2009
berupa insulin (79%), OHO (3%), kombinasi insulin dan OHO (4%) dan non obat
(14%).
terapi secara berkelanjutan. Glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM
yang diperoleh pasien. Banyaknya pilihan terapi dan kompleksnya terapi kerap
tipe 2 di RSUP PROF. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 menunjukkan
terapi tepat pasien sebesar 100%, terapi tepat indikasi 86,96%, terapi tepat obat
100% dan terapi tepat dosis 97,32%. Ketepatan dalam pemilihan terapi diharapkan
Isnaini pada tahun 2012 yang melihat hubungan antara kepatuhan dan rasionalitas
penggunaan terapi kombinasi oral insulin (TKOI) terhadap kontrol gula darah pada
TKOI secara bersama-sama terhadap kontrol gula darah dengan nilai Fhitung (82,09)
G. Kerangka Konsep
Ketepatan pengobatan
1. Tepat indikasi Outcome terapi :
2. Tepat pasien
3. Tepat obat Kadar glukosa darah
4. Tepat dosis
H. Hipotesis
rawat inap Rumah Sakit Umum Negara, Bali pada periode Januari-Desember 2014.