Anda di halaman 1dari 20

JOURNAL READING

Maternal Outcomes After 12 Hours And 24 Hours Of Magnesium Sulfate Therapy


For Eclampsia

Pembimbing :
dr. Daliman, Sp.OG (K)FM

Disusun Oleh :
Nyimas Eva Fitriani G4A015064
Nur Qisthiyah G4A015065
Meliana Shanti Rizka G4A015097
Bayu Aji Pamungkas G4A016018

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui tugas Journal Reading:


Maternal Outcomes After 12 Hours And 24 Hours Of Magnesium Sulfate Therapy
For Eclampsia

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Nyimas Eva Fitriani G4A015064


Nur Qisthiyah G4A015065
Meliana Shanti Rizka G4A015097
Bayu Aji Pamungkas G4A016018

Purwokerto, November 2016


Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Daliman, Sp.OG (K)FM


I. PENDAHULUAN

Hipertensi kehamilan menjadi salah satu penyebab penting terjadinya


kesakitan, dan kematian pada ibu hamil dan bayi yang dikandungnya, terjadi
sekitar 10% dari seluruh wanita hamil didunia. Hipertensi pada kehamilan dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu pre-eklampsia, eklampsia, hipertensi
gestasional dan hipertensi kronik (WHO, 2011). Eklampsia adalah kejadian
kejang yang didahului dengan adanya preeklampsia (tanda tanda preeklampsia
seperti hipertensi, proteinuria, dan edema yang terjadi setelah usia kehamilan 20
minggu), eklampsia merupakan salah satu komplikasi yang berat dari
preeklampsia (Munro, 2016). Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyebab
utama kasus kesakitan dan kematian ibu dan bayi di dunia, khususnya di negara
berkembang, dengan frekuensi kejadian mencapai 0.3 0.7 %. Sedangkan di
negara maju angka kejadian relatif lebih sedikit yaitu hanya 0.05 0.1 % kejadian
(Djannah., Arianti, 2010).
Faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian eklampsia salah satunya
adalah obesitas, kehamilan kembar, usia ibu (>35 tahun), dan etnis (Afrika
Amerika). Risiko terjadinya eklampsia meningkat dari 4,3% pada perempuan
dengan indeks massa tubuh <20 kg/m2 menjadi 13,3% pada perempuan dengan
indeks massa tubuh >35 kg/m2 (Cuningham, 2012).
Survei secara deskriptif prospektif yang dilakukan di Inggris pada tahun
1992 oleh 279 konsultan obstetrics, dilaporkan 383 kasus mengalami eklampsia
dari 582 kasus kehamilan yang berisiko. Hal ini hampir sama dengan kasus yang
dilaporkan di Amerika Serikat, dari tahun 1983 sampai 1986 4,3/10.000
mengalami eklampsia, 68% mengalami kejang di rumah sakit. Kemudian
dilaporkan 44% mengalami kejang postpartum, 18% kasus mengalami kejang
intrapartum, dan sisanya mengalami kejang antepartum. Dari semua kasus wanita
yang mengalami kejang di Inggris, 18% kasus tidak memiliki riwayat
preeklampsia atau eklampsia sebelumnya, selain itu 1,8% pasien meninggal dan
35% mengalami komplikasi yang besar seperti HELLP syndrome, gagal ginjal
akut, edem pulmo, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan henti
jantung (Munro, 2016). Eklampsia dapat dicegah dengan melakukan asuhan
antenatal care secara rutin, pada beberapa tahun terakhir dinegara maju
diperkirakan kejadian eklampsia semakin menurun (Cuningham, 2012).
Insidensi kematian ibu akibat preeklampsia dan eklampsia di negara
Indonesia mencapai 1,5 25 %, sedangkan kematian pada bayi yang
dikandungnya mencapai 45 50% (Djannah., Arianti, 2010).
Adanya perkembangan dunia kedokteran khususnya dibidang obstetrik, kini
diketahui bahwa Magnesium Sulfat (MgSO4) merupakan antikonvulsan yang
efektif untuk mencegah dan menghentikan kejang. Efek yang diberikan tidak
menekan sistem saraf pusat pada ibu maupun janin. MgSO4 dapat diberikan secara
intravena ataupun intramuskular melalui injeksi berkala. MgSO4 bukan
merupakan terapi untuk antihipertensi, melainkan memiliki efek antikonvulsan
pada korteks cerebri. Pada umumnya pasien akan berhenti kejang setelah
diberikan dosis awal MgSO4 sebanyak 4 gram, namun sekitar 10 15 % pasien
akan mengalami kejang berulang, untuk itu dosis MgSO 4 ditambah 2 gram
diberikan secara intravena dengan perlahan (Cuningham, 2012). Eklampsia
didunia kedokteran obstetrik masih menjadi masalah yang besar, untuk itu masih
sangat penting untuk dilakukan bahasan mengenai eklampsia dan penanganan
eklampsia untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil.
II. ISI JURNAL
A. ABSTRAK
Objektif : tujuannya untuk menilai efektifitas Magnesium Sulfat
(MgSO4) dalam durasi kurang dari 12 jam pada eklampsia. Metode : dengan
desain penelitian prospektif acak, wanita dengan eklampsia (prepartum,
intrapartum, atau postpartum) datang ke Universitas Kedokteran Jawaharlal
Nehru, Aligarh India, antara bulan Januari 2012 sampai September 2013.
Adapun kriteria inklusi dan eklusi pada penelitian ini adalah wanita dengan
tekanan darah minimal 140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan,
proteinuria (dipstik +1), dan mengalami kejang tanpa sebab yang lain.
Wanita yang menjadi partisipan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok kasus. Semua partisipan
diberikan dosis awal MgSO4 (4 gram, intravena), kemudian dilanjutkan
dengan pemberian MgSO4 dosis rumatan (1 gram/jam), untuk kelompok kasus
diberikan selama 12 jam, sedangkan kelompok kontrol diberikan selama 24
jam. Partisipan yang mengalami kejang setelah pemberian MgSO 4,
dikeluarkan dalam penelitian. Hasil : penelitian ini diikuti oleh 132 partisipan
kelompok kasus, dan 72 partisipan kelompok kontrol, pada kedua kelompok
penelitian ini tidak ada yang mengalami kejang berulang setelah pemberian
MgSO4. Kesimpulan : pemberian MgSO4 dalam waktu 12 jam, dapat
mencegah kejang berulang pada wanita dengan eklampsia.

B. INTRODUCTION
Eklampsia merupakan penyebab penting dari kesakitan dan kematian
maternal, terutama pada negara dengan sarana dan prasarana yang rendah.
Pre-eklampsia dan eklampsia menyebabkan kematian maternal sebanyak
40.000 setiap tahun, di India, 5% kematian maternal disebabkan karena
eklampsia.
Tujuan dari pengobatan ini adalah : mencegah terjadinya kejang, untuk
mengontrol tekanan darah secara adekuat, stabilisasi sistem kardiovaskular,
renal dan status elektrolit. Pemberian MgSO4 selama 24 jam pasca pelahiran
memiliki nilai empirik terbaik, namun masih belum dilakukan penelitian
ilmiah secara tepat. Penurunan durasi pemberian MgSO4 akan memberikan
keuntungan bagi pasien maupun sistem kesehatan. Salah satu penelitian
menunjukan bahwa kejang dapat dicegah dengan hanya memberikan dosis
awal MgSO4, dan kejadian kejang berulang ditemukan sebanyak 3,96% pada
partisipan yang mendapatkan dosis awal MgSO4 dan diantaranya yang
mendapatkan regimen standar (3,51%; nilai signifikan 0,05).
Tujuan penelitian ini untuk melihat efek dari penurunan durasi
pemberian MgSO4 secara intravena dari 24 jam menjadi 12 jam pasca
pelahiran pada ibu dengan kejadian eklampsia.

C. MATERIAL DAN METHODS


Pada penelitian prospektif acak ini, wanita dengan eklampsia datang ke
Departemen Obstsetri dan Ginekologi Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran
Jawaharlal Nehru, Universitas Muslim Aligarh, Aligarh India, dari 1 Januari
2012 sampai 30 september 2013. Adapun kriteria inklusi dari penelitian ini
adalah wanita eklampsiaa selama prepartum, intrapartum, atau postpartum
dengan tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu,
proteinuria dengan nilai dipstik +1, mengalami kejang tanpa sebab lain.
Sedangkan kriteria eklusinya adalah wanita eklampsiaa dengan komplikasi
(seperti gagal ginjal akut, HELLP syndrome, atau edem pulmo) atau penyakit
maternal lain, memenuhi kriteria kontraindikasi pemberian MgSO4 (seperti
hipersensitivitas terhadap obat, myastenia gravis, anuria, atau oligouria),
wanita yang mengkonsumsi obat anti kejang, dan wanita dengan riwayat
epilepsi. Penelitian ini sudah disetujui oleh bagian komisi etik, dan wanita
yang menjadi partisipan telah diberikan informed consent untuk diberikan
MgSO4.
Pasien eklampsia yang mengikuti penelitian dikelompokan secara acak
menjadi kelompok kasus (MgSO4 selama 12 jam) dan kelompok kontrol
(MgSO4 selama 24 jam). Pasien yang mendaftar pada 6 bulan pertama
dimasukan kedalam kelompok kontrol, dan pasien yang mendaftar pada 6
bulan selanjutnya dimasukan kedalam kelompok kasus. Partisipan penelitian
tidak diberitahu masuk kedalam kelompok kontrol atau kasus, tetapi karena
masing-masing kelompok mendapatkan pengobatan dalam durasi waktu yang
berbeda, maka hal tersebut tidak dapat dipastikan. Peneliti dan analis data
tidak ditutupi pada kelompok penelitian.
Semua pasien yang diperiksa pada saat masuk ditanyakan riwayat
penyakitnya. Dilakukan pemeriksaan darah lengkap, koagulogram, test fungsi
hati dan ginjal, dan pemeriksaan proteinuria. Wanita yang termasuk pada
kelompok kasus diberikan dosis awal MgSO4 sebanyak 4 gram intravena,
kemudian diikuti dengan dosis rumatan 1 gram/jam selama 12 jam pasca
pelahiran. Kelompok kontrol diberikan dosis awal MgSO4 sebanyak 4 gram
intravena, kemudian diikuti dengan dosis rumatan 1 gram/jam selama 24 jam
pasca pelahiran.
Pengawasan pada semua durasi pemberian infus MgSO4 dilakukan oleh
dokter obstetrik dan ginekologi. Pengawasan tersebut meliputi tekanan darah,
refleks patella, laju pernafasan, pengeluaran urin, dan terulangnya kejang.
Pada kasus dengan keracunan MgSO4, rencana terapi adalah menghentikan
infus MgSO4, dan memberikan kalsium glukonat 1 gram secara intravena (10
mL dalam larutan 10%), kemudian mengganti dengan obat anti kejang
lainnya. Pasien tersebut dianggap gagal menjalani pengobatan. Setelah selesai
diberikan infus MgSO4, kemudian pasien dilakukan monitoring setiap 4 jam
sampai tekanan darah kembali normal, kemudian setiap 12 jam sampai pasien
dipulangkan.
Labetolol digunakan sebagai obat antihipertensi sesuai protokol
penelitian. Pasien yang diinduksi, diperbolehkan untuk melahirkan secara
spontan atau sectio secarea, tergantung pada indikasi obstetrik dan keadaan
umum pasien.
Harapan utama adalah kejang berulang terjadi setelah pemberian
MgSO4 selesai. Apabila kejang berulang terjadi sebelum terapi selesai, pasien
akan di infus dengan MgSO4 dosis awal 2 gram, dan wanita di kelompok
kasus berubah menjadi kelompok yang menerima dosis rumatan MgSO4
selama 24 jam. Apabila saat dilakukan observasi selama terapi terjadi kejang
kedua, maka terapi MgSO4 digantikan dengan fenitoin, dan hal tersebut
dianggap gagal terapi MgSO4.
Harapan kedua berhubungan dengan pemulihan pasien, yang diteliti
berdasarkan dosis total pemberian MgSO4, lamanya perawatan dirumah sakit,
dan lamanya penggunaan kateterisasi Foley. Pasien terus dilakukan
pengawasan sampai pasien pulang dari rumah sakit.
Analisis data penelitian dengan menggunakan SPSS versi 21 (IBM,
Armonk, NY, USA). Kelompok kasus dan kontrol di bandingkan dengan
menggunakan t test dan test X2, pasien yang gagal terapi dikeluarkan dari
penelitian. Nilai P<0.001 dianggap signifikan.

D. RESULT
Selama masa penelitian, tercatat 5705 kelahiran, dan 223 (3,9%)
diantaranya mengalami eklampsi. Semua pasien yang mengalami eklampsi
dipantau dengan ketat, dan apabila keadaan terus memburuk, pasien akan
dipindahkan ke bagian Intensive Care Unit (ICU). Dari beberapa kasus,
terdapat variasi tekanan darah, dari nilai sistolik sebesar 130 sampai 140
mmHg, namun dari seluruh pasien yang mengalami eklampsi memiliki
proteinuria positif. Kematian maternal akibat dari eklampsi mencapai 15
kasus (6,7%).
Setelah melakukan eksklusi pada 15 pasien yang mengalami komplikasi
eklampsi, terdapat 208 pasien yang masuk dalam kriteria penelitian (Gambar
1), diantaranya 162 (77,9%) mengalami eklampsi antepartum, 7 (3,4%)
mengalami eklampsi intrapartum, dan 39 (18,8%) mengalami eklampsi
postpartum. Diantara semua pasien yang termasuk dalam penelitian, 2 (1,0%)
melakukan Ante Natal Care (ANC), 146 (70,2%) berasal dari latarbelakang
pedesaan, 8 (3,8%) memiliki pengetahuan tinggi, dan 206 (99,0%) tidak
berpendidikan. Beberapa pasien yang dirujuk ke rumah sakit pendidikan
mengalami kejang berulang dan tidak diketahui oleh anggota keluarga yang
lain, namun walaupun seperti itu, setidaknya pasien pernah dilaporkan
mengalami kejang berulang 2 3 kali (data tidak ditampilkan).
Dari 208 pasien penelitian, 132 pasien masuk kedalam kelompok kasus
dan menerima MgSO4 selama 12 jam. Dan 76 pasien masuk kedalam
kelompok kontrol yang menerima terapi konvensional MgSO4 selama 24 jam.
Namun, 10 pasien pada kelompok kontrol mengalami kejang berulang selama
2 jam pertama pengobatan, 6 pasien memberikan respon terapi setelah
diberikan loading dose MgSO4 2 gram kemudian menjalani langkah
pengobatan MgSO4 selama 24 jam, namun 4 pasien sisanya dialihkan menjadi
terapi fenitoin. Empat kasus yang dialihkan pengobatannya, dimasukan dalam
kasus yang gagal dan di eksklusi dari penelitian. Oleh sebab itu, tingkat
kegagalan terapi MgSO4 mencapai 1,9%.
Diantara pasien yang termasuk dalam kriteria inkluasi penelitian, dari
masing masing kelompok memiliki usia sama, paritas sama, dan tinggi fundus
uteri sama (tabel 1). Selain itu, tekanan darah sistolik dan diastolik, serta
albumin saat masuk dan keluar dari rumah sakit memiliki nilai sama pada tiap
kelompok.
Hasil primer didapatkan bahwa, tidak ada kejang berulang setelah
selesai pemberian MgSO4 baik pada kelompok 12 jam atau 24 jam.
Sedangkan hasil sekunder didapatkan, jumlah total MgSO4, durasi kateterisasi
foleym dan durasi pemantauan didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok kasus ( p<0,001 untuk semua) (tabel 2).
Setelah masuk, tidak terdapat pasien yang mengalami komplikasi eklampsi.
Dari 169 persalinan setelah eklampsi, 79 (46,7%) bayi lahir
pervaginam, dan 90 (53,3%) lahir dengan sesio sesarea. Secara keseluruhan,
113 (66,9%) bayi lahir hidup, 31 (18,3%) bayi mati intrauterin, dan 25
(14,8%) bayi mati setelah lahir. APGAR score di ruang ICU dan pemantauan
tidak tercatat.
Pasien pasien yang mengalami persalinan pervaginam memiliki waktu
tinggal di rumah sakit sekitar 5,3 0,8 hari pada kelompok kasus dan 7,5
1,5 hari pada kelompok kontrol (p<0,001). Hal serupa dialami dengan
persalinan dengan seksio sesaria, kelompok kasus pada persalinan sesio
sesarea memiliki waktu tinggal di rumah sakit rata rata 7,7 0,9 hari, dan
kelompok kontrol memiliki waktu lebih lama yaitu 10,5 1,5 hari (p<0,001).
Tidak ada efek toksik MgSO4 yang tercatat pada kedua kelompok.

E. DISCUSSION

Pada penelitian ini, tidak ada kejadian kejang didapatkan setelah infus
MgSO4 baik selama 12 jam atau 24 jam setelah persalinan atau setelah
kejadian kejang terakhir pada wanita dengan eklamsia. Penemuan ini bisa
menjadi sebuah terobosan pada penanganan pasien dengan eklamsia di negara
dengan sumber daya rendah dan kejadian eklamsia tinggi yang menjadi
sebuah peningkatan beban pada sistem kesehatan.
Angka kejadian eklamsia adalah sebesar 3,9% pada penelitian ini, yang
lebih tinggi dari hasil yang didapatkan sebelumnya yaitu 0,7%, 0,8%, dan
3,2%. Angka kejadian eklamsia pada penelitian ini lebih tinggi bisa
disebabkan oleh karena pada daerah pedesaan, pasien biasanya dirujuk
adalam keadaan persalinan dengan komplikasi, yang berefek pada tingginya
angka case fatality rate (6,7%). Perlu dicatat juga bahwa 99% responden
penelitian tidak terdaftar sebelumnya.

Studi sebelumnya telah menilai jumlah dan durasi minimal pemberian


MgSO4 untuk mencegah kejang berulang pada kasus eklamsia. Misalnya,
Sardesai et al. melaporkan bahwa kejang dapat dikendalikan pada 94% kasus
eklamsia. Begum et al. juga menemukan hal serupa berupa 98% angka
pengendalian eklamsia dengan regimen MgSO4 termodifikasi (Dhaka).

Pada studi ini, 10 pasien mengalami kejang berulang selama 2 jam


pertama terapi. Enam dari responden harus mengalami pengulangan dosis
loading MgSO4 sebanyak 2 gram, tapi 4 diantaranya dialihkan ke fenitoin
sesuai dengan protocol rumah sakit. Setelah penyelesaian terapi, tidak
ditemukan lahi kejang berulang di semua kelompok. Tidak ada data
sebelumnya mengenai pengulangan kejang paska 24 jam penyelesaian terapi.
Pada studi ini, pasien yang mengalami kejang berulang dalam 2 jam pertama
terapi secara rutin diberikan MgSO4 selama 24 jam. Studi lanjutan diperlukan
unutuk menentukan efek penurunan dosis dan durasi pemberian MgSO4 pada
eklamsia dengan komplikasi.

Studi ini mendapatkan bahwa rerata durasi monitoring adalah 19,3 4,9
jam pada grup 12 jam jika dibandingkan dengan hasil 31,8 4,7 jam pada
kelompok 24 jam. Penurunan ini akan bermanfaat pada pusat pelayanan
kesehatan tingkat tersier, rumah sakit daerah, dan fasilitas kesehatan primer di
negara dengan keterbatasan sumber daya. Hal ini akan menurunkan beban
sstem kesehatan dan memberikan ikatan batin ibu-bayi yang kuat. Rerata
MgSO4 yang diberikan adalah 23,2 2,8 gram pada kelompok 12 jam
sedangkan pada kelompok 24 jam ditemukan 34,9 3,2 gram. Pada studi
kolaboratif eklamsia, rerata dosis MgSO4 adalah 38 9,7 gram yang serupa
dengan hasil di studi ini pada kelompok 24 jam. Dosis MgSO4 yang lebih
kecil pada kelompok 12 jam akan melindungi pasien dari risiko toksisitas
MgSO4.

Pelepasan kateter folley secara dini berguna untuk mobilisasi dini


pasien dan mengindikasikan fungsi vesika urinaria. Durasi rerata pemasangan
kateter Foley pada penelitian ini adalah 19,6 jam pada kelompok 12 jam dan
selama 31,5 jam pada kelompok 24 jam.

Pada pasien dengan persalinan pervaginam, rerata durasi mondok di


rumah sakit adalah 5,3 hari dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
selama 7,5 hari. Penurunan durasi mondok tersebut juga didapatkan pada
pasien dengan seksi sesaria. (7,7 vs 10,7 hari). Penurunan durasi mondok
bermanfaat untuk pasien dan penyedia layanan kesehatan karena menurunkan
biaya perawatan dan menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial, dan
memperbaiki utilisasi dari fasilitas kesehatan yang tersedia.

Kelamahan pada penelitian ini perlu diperhatikan, diantaranya adalah


tidak adanya kriteria untuk menilai kegunaan mobilitas dini. Selain itu, kultur
ujung kateter juga bisa dilakukan secara kuantitatif untuk menilai penurunan
risiko infeksi saluran kemih sebagai dampak dari pelepasan dini kateter Foley.

Kesimpulannya, pemberian MgSO4 selama 12 jam efektif dalam


mencegah terjadinya kejang berulang pada pasien dengan eklamsia. Dosis
yang lebih rendah berujung pada penurunan durasi monitoring dan
kateterisasi, serta penurunan durasi mondok di rumah sakit sehingga harus
dipertimbangkan dalam system kesehatan di negara dengan sumber daya
kurang.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. EKLAMPSIA

1. Definisi
Eklampsia merupakan keadaan kejang pada wanita hamil, yang
timbul secara tiba tiba, bukan disebabkan karena kelainan neurologis lain.
Eklampsia banyak terjadi pada trimester akhir, dan semakin meningkat
pada saat menjelang perlahiran, dengan disertai adanya tanda tanda
preeklampsia sebelumnya (Anderson E, 2015; ). Tanda tanda
preeklampsia terdiri dari mengalami tekanan darah sistolik >140 mmHg
atau diastolik 90 mmHg (diukur dua kali), kenaikan tekanan darah pada
usia kehamilan >20 minggu, proteinuria 30 mg/hari (dipstik 1+), tanda
tanda tersebut hilang setelah 6 minggu postpartum (Uzan et al, 2011).

2. Faktor Risiko
Faktor Risiko yang dapat meningkatkan kejadian eklampsia adalah
sebagai berikut (Uzan et al, 2011):
a. Mengandung pada usia 35 tahun
b. Kehamilan pertama
c. Memiliki riwayat hipertensi kronik
d. Memiliki riwayat sakit ginjal kronik
e. Memiliki riwayat diabetes
f. Obesitas
g. Ras Afrika
h. Kehamilan kembar atau kehamilan mola
i. Memiliki riwayat preeklampsia sebelumnya

3. Patomekanisme
Kejadian eklampsia pada wanita hamil diawali dengan adanya
preeklampsia. Etiopatologi dari preeklampsia ditimbulkan akibat adanya
pajanan vili korionik yang pertama kali, pajanan vili korionik yang
berlebihan seperti pada kehamilan ganda atau mola hidatidosa, memiliki
penyakit ginjal dan cardivaskular, memiliki riwayat hipertensi dalam
kehamilan. Hal tersebut dapat menyebabkan sejumlah kelainan yang
menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah, vasospasme, transudasi
plasma, dan komplikasi iskemik dan trombolitik (Cuningham, 2012).
Invasi trofoblastik yang abnormal dapat menjadi pemicu terjadinya
preeklampsia yang berlanjut menjadi eklampsia apabila tidak ditangani.
Pada implantasi normal, akibat adanya invasi trofoblas endovaskular
maka arteriola uteri spiralis mengalami remodeling ekstensif, sehingga
pembuluh darah dapat melebar. Namun pada keadaan preeklampsia,
terjadi invasi trofoblastik yang inkomplit, akibatnya lapisan trofoblas
hanya meninvasi bagian pembuluh darah desidua, bagian dalam pembuluh
darah miometrium tidak terinvasi oleh trofoblas, sehingga pembuluh
darah tidak dapat melebar, lumen arteriola yang terlalu sempit akan
menyebabkan gangguan aliran darah plasenta (Cuningham, 2012).
Keadaan yang terjadi saat kehamilan normal adalah vili trofoblas
menginvasi bagian dalam dari miometrium sehingga arteri spiralis
kehilangan lapisan endotelium dan didominasi oleh otot serat. Akibat dari
perubahan tersebut maka resistensi arteri spiral menjadi rendah, kurang
dan tidak sensitif terhadap zat vasokonstriksi. Pada keadaan preeklampsia,
terjadi proses tersebut tidak terjadi, akibatnya terjadi peningkatan
resistensi perifer, sangat sensitif terhadap zat vasokonstriktor, kemudian
akan terjadi iskemik plasenta kronik dan stress oksidatif, adanya iskemik
plasenta kronik akan menyebabkan komplikasi pada janin, seperti Intra
Uterin Growth Retriction (IUGR) atau Intra Uterin Fetal Death (IUFD)
(Uzan et al, 2011).

Stress oksidatif yang terjadi dapat memicu pelepasan radikal bebas,


sitokin, dan lemak teroksidasi yang dapat menyebabkan disfungsi
endotelial (hiperpermeabel, trombofilia) akibat adanya penurunan aliran
darah tersebut maka arteri uterina melakukan kompensasi dengan
melakukan vasokontriksi. Disfungsi endotel yang terjadi dapat memicu
keadaan HELLP syndrome (Hemolysis Endothelium Liver Enzymes and
Low Platelet Count), gangguan pada cerebral sehingga dapat
menyebabkan terjadinya kejang (eklampsiaa) (Uzan et al, 2011).

4. Penegakan Diagnosis
Eklampsia merupakan komplikasi akut dari preeklampsia yang
disertai dengan kejang menyeluruh. Eklampsia sama dengan preeklampsia
dapat terjadi anterpartum, intrapartum dan postpartum. Penderita
preeklampsia yang akan mengalami kejang (Eklampsia), umumnya akan
memberikan gejala gejala atau tanda tanda khas, yang disebut dengan
impending eclampsia. Tanda tanda impending eclampsia terdiri dari tanda
tanda preeklampsia berat disertai dengan gejala gejala subjektif seperti
nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah muntah, nyeri epigastrium,
dan adanya kenaikan tekanan darah yang progresif (Prawirohardjo, 2010).
Diagnosis preeklampsia berat dapat ditegakan apabila terdapat
salah satu atau lebih tanda tanda berikut (Prawirohardjo, 2010):
a. Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110
mmHg
b. Proteinuria masif, >5 gr/24 jam
c. Oliguria, produksi urin <500 cc/24 jam
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma
e. Adanya gangguan visus dan serebral, seperti penurunan kesadaran,
nyeri kepala, nyeri kepala, dan pandangan kabur
f. Nyeri epigastrium, atau nyeri kuadran atas abdomen,
g. Edema paru paru
h. Trombositopenia (trombosit <100.00 sel/mm3), atau adanya penurunan
trombosit dengan begitu cepat
i. Gangguan fungsi hepar, adanya peningkatan AST/ALT
j. Terjadinya Intra Uterin Growth Retriction (IUGR)

5. Penatalaksanaan dan Pencegahan


Prinsip penatalaksanaan eklampsia adalah (Cuningham, 2012):
a. Pengendalian kejang degan menggunakan MgSO4, dosis awal
diberikan secara intravena, kemudian dilanjutkan dengan dosis MgSO 4
maintenance
b. Pemberian obat antihipertensi intermiten untuk menurunkan tekanan
darah, yang dianggap berbahaya apabila terlalu tinggi
c. Menghindari penggunaan diuretik, kecuali terdapat edema paru yang
sudah jelas, pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila
ditemukan adanya kehilangan cairan yang banyak, dan tidak
menggunakan agen hiperosmotik
d. Melahirkan janin untuk menyembuhkan.
Magnesium Sulfat (MgSO4) merupakan obat antikonvulsan yang
efektif untuk mencegah dan menghentikan kejang. MgSO4 diberikan
dapat diberikan secara intravena, infus kontinu atau secara intramuskular
injeksi berkala, namun pemberian MgSO4 secara intramuskular
dibeberapa bagian tidak lagi digunakan. Pemberian MgSO 4 pada pasien
preeklampsia atau eklampsia biasanya diberikan selama persalinan dan 24
jam pascapartum, karena proses persalinan merupakan waktu yang
mungkin dapat terjadi kejang (Cuningham, 2012).

B. MgSO4
1. Definisi
MgSO4 (magnesium sulfat/sulfat magnesikus) yang digunakan
untuk terapi preeklamsia dan eklamsia adalah senyawa MgSO4.7H20
yang mengandung 8.12 mEq MgSO4 per 1 gram. MgSO4 (MS) adalah
regimen antikejang dan tokolitik yang dipakai pada wanita hamil. MS
parenteral diekskresi melalui ginjal sehingga intoksikasi MgSO4 sangat
jarang jika glomerular filtration rate (GFR) dalam batas normal atau
hanya sedikit menurun. Jika GFR tidak cukup untuk memprediksi fungsi
ginjal, maka perlu dinilai juga kadar kreatitinin serum (Cunningham et al.,
2014).

2. Indikasi dan Kontraindikasi MgSO4


a. Indikasi penggunaan MgSO4 pada ibu hamil antara lain adalah
sebagai berikut (Cunningham et al., 2014):
1) Preeklamsia
2) Eklampsia
3) Hipertensi gestasional
4) Sementara itu, penggunaan MgSO4 lainnya bukan pada ibu hamil
antara lain adalah pada keadaan sebagai berikut (Duley et al.,
2010):
a) Ensefalopati pada anak
b) Nefritis akut
c) Hypomagnesemia
d) Cardiac arrest
e) Asma bronkial setelah beta agonis dan antikolinergik dicoba
f) Penurunan risiko cerebral palsy
g) Keracunan barium klorida

b. Kontraindikasi MgSO4 (Cunningham et al., 2014)

1) Fungsi ginjal terganggu (GFR turun, serum ureum dan kreatinin


tinggi)
2) Reflex patella (-)
3) Laju pernapasan <16 kali/menit
4) Kadar MgSO4 >7 mEq/L
5) Gagal jantung (irama jantung irregular)
6) Alergi

c. Efek Samping MgSO4 adalah sebagai berikut :

1) Flushing
2) Hipotensi
3) Mual muntah
4) Kelemahan otot
5) Sedasi
6) Depresi napas

3. Farmakodinamik dan farmakokinetik MgSO4


MgSO4 adalah sebuah obat tokolitik yang berfungsi untuk mencegah
masuknya ion kalsium ke dalam sel otot sehingga tidak terjadi kontraksi
di dalam uterus atau pembuluh darah sehingga tidak terjadi atau terjadi
penurunan his dan vasodilatasi akibat relaksasi otot polos pembuluh darah
(Cunningham et al., 2014). Mekanisme kerja MgSO4 dalam fungsinya
sebagai neuroprotektor antara lain adalah (Cunningham et al., 2014):
a. Menurunkan pelepasan glutamate presinaps
b. Memblokade reseptor glutaminergic N-methyl-d-aspartet (NMDA)
c. Melakukan potensiasi aksi adenosine
d. Meningkatan keseimbangan kalsium di mitokondria
e. Memblokade influx kalsium melalui voltage-gated channels kalsium.

4. Syarat pemberian MgSO4


Syarat pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut (Rustam, 2012):
a. Harus tersedia antidotum, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram dalam
10 cc) diberikan intravena dalam 3 menit.
b. Frekuensi pernapasan 16 kali per menit.
c. Diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir
d. Reflek patella positif

5. Alur Pemberian MgSO4


Alur pemberian MgSO4 untuk preeklampsiaa berat dan eklampsia yaitu
(Cunningham, 2012):
a. Infus intravena kontinu
1) Berikan dosis awal MgSO4 4 sampai 6 g yang diencerkan dalam 100
mL cairan IV dan diberikan dalam 15 hingga 20 menit
2) Mulai infus rumatan 2 g/jam dalam 100 mL cairan IV. Beberapa ahli
menganjurkan dosis 1 g/jam
3) Pantau toksisitas magnesium:
a) Periksa refleks tendon dalam secara berkala
b) Beberapa ahli mengukur kadar magnesium serum pada jam ke-4
hingga 6 dan menyesuaikan kecepatan infus untuk
mempertahankan kadar magnesium antara 4 dan 7 meq/L (4,8-8,4
mg/dL)
c) Ukur kadar magnesium serum jika kadar kreatinin serum 1,0
mg/dL
4) Pemberian MgSO4 dihentikan 24 jam pascapelahiran
b. Injeksi intramuskular intermiten
1) Berikan 4 g larutan MgSO4 20% secara MgSO4 IV dengan kecepatan
tidak melebihi 1 g/menit.
2) Lanjutkan segera dengan 10 g larutan MgSO 4 50%, separuhnya
disuntikan dalam-dalam di kuadran lateral atas bokong
menggunakan jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci (penambahan 1 mL
lidokain 2% dapat meminimalkan nyeri). Jika kejang menetap
setelah 15 menit, berikan kembali larutan MgSO 4 20% dengan dosis
hingga 2 g dan kecepatantidak melebihi 1 g/menit. Jika perempuan
tersebut bertubuh besar, dapat diberikan dosis hingga 4 g secara
perlahan
3) Setelah itu, tiap 4 jam, berikan 5 g larutan MgSO 4 50% yang
disuntikan dalam-dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian
kiri kanan, tetapi dilakukan setelah memastikan:
a) Reflek patella postif
b) Tidak terdapat depresi pernapasan
c) Pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 mL
d) MgSO4 dihentikan 24 jam pascapelahiran
IV. DAFTAR PUSTAKA

Anderson E. 2015. Eclampsia And Severe Preeclampsia Clinical Guideline.


Human Resources Departement
Anjum S, Goel N, Sharma R, Mohsin Z, Garg N. 2015. Maternal Outcomes After
12 Hours And 24 Hours Of Magnesium Sulfate Therapy For Eclampsia.
International Journal Of Gynecology and Obstetrics. No 132. Hal 68 71
Cuningham F G, 2012. Obstetri Williams Edisi 23 Volume 2. Jakarta: EGC
Cunningham, G., et al., 2014. Williams obstetrics 24th edition. New York:
McGraw-Hill
Djannah S T., Arianti I S. 2010. Gambaran Epidemiologi Kejadian
Preeklampsia/Eklampsia Di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2007 2009. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol 13. No 4. Jal 378
385
Duley, L., et al. 2010. Magnesium sulfate and other anticonvulsants for women
with preeclamspsia. The Cochrane database of systematic reviews (11)
Munro P T. 2016. Management Of Eclampsia In The Accident And Emergency
Departement. J Accid Emerg Med. Vol 17. No 7. Hal 7 11
Prawirohardjo. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi J M. 2011. Preeclampsia:
Pathopysiology, Diagnosis And Management. Vascular Health And Risk
Management. No 7. Hal 467 474
World Health Organization (WHO). 2011. WHO Recommendations For
Prevention And Treatment Of Pre Eclampsia and Eclampsia. WHO press:
Geneva

Anda mungkin juga menyukai