Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

Konsep Dasar
1.1.1 Pengertian
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul
akibat kenaikan suhu tubuh. Kejang demam ialah bangkitan kejang yg
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam,
salah satu diantaranya adalah : Kejang demam adalah suatu kejadian pada
bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang
demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
1.1.2 Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf
terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari
cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla
spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous
system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua
cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous
system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan
parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan
dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk
melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau
guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan
piamater.

1
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan
superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum
cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan
medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat
bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan
/ visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah
substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah
berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri
inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali
impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi
thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.
Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III
hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing
mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus
merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam
seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu
tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila
terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-
perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus
berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang
mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya
proses-proses patologik ekstrakranium.

2
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang
otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi
aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini
terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan
dikirim ke cortex cerebri.
b. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati
fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum
yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung
keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus
cranialis ada 12 pasang :
1) N. I : Nervus Olfaktorius
2) N. II : Nervus Optikus
3) N. III : Nervus Okulamotorius
4) N. IV : Nervus Troklearis
5) N. V : Nervus Trigeminus
6) N. VI : Nervus Abducen
7) N. VII : Nervus Fasialis
8) N. VIII : Nervus Akustikus
9) N. IX : Nervus Glossofaringeus
10) N. X : Nervus Vagus
11) N. XI : Nervus Accesorius
12) N. XII : Nervus Hipoglosus.
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf
pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf
aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di
mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system
simpatis dan parasimpatis.

3
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus
symphatis
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari
ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:
1. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang
otak
2. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.
1.1.3 Klasifikasi
Menurut ngatiyah (2005), klasifikasi kejang demam adalah :
1.1.3.1 Kejang demam sederhana
Yaitu berlangsung kurang dari 15 menit, dan umum, adapun pedoman
untuk mendiagnosa kejang demam sederhana, dapat diketahui melalui
kriteria living stone, yaitu :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan 5 tahun
b. Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang timbul setelah 16 jam pertama setelah timbul demam
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
1.1.3.2 Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi satu dari criteria livingstone.
Menurut masjoer (2000 :434 ) biasanya dari kejang kompleks ditandai
dengan kejang yang berlangsing lebih dari 15 menit, fokal atau multiple
(lebih dari 1 kali dalam 24 jam) disini anak sebelumnya dapat mempunyai
neurologi atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat
keluarga.

4
1.1.4 Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan
Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak
selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia,
alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang
disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus
pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).
1.1.5 Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron
terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat
dirubah dengan adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
sehingga terjadi kejang.

5
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang
kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang
kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih.

6
7
1.1.6 Tanda dan Gejala
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data
antara lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah,
badan klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
1.1.7 Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya
terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang
terjadi. Mula mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu
timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan
kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental

1.1.8 Penatalaksanaan / Pengobatan


Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a. Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan utama
adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia dapat
diberikan fenobarbital secara intramuskulus.

b. Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk
mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen
terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan ditambah
dengan pemberian oksigen. Tanda tanda vital diobservasi secara ketat,
cairan intravena diberikan dengan monitoring.

8
c. Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah.
Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari
diberikan obat campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus
diberikan pada anak bila menderita demam lagi
Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang
stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang di kemudian hari.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang
diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas
dan otitis media akut.

9
2.1 Asuhan Keperawatan
2.1.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta
menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan
perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai
langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam
pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah.
Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan
datadata, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga ditemukan
diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997). Berdasarkan sumber data, data
dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, yaitu data tersebut
diperoleh dari klien yang sadar maupun klien tidak sadar sehingga tidak
dapat berkomunikasi misalnya data tentang kebersihan diri atau data
tentang kesadaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari
klien, seperti dari perawat, dokter, catatan perawat, serta dari pemeriksaan
seperti pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lainnya,
dari keluarga atau dari kerabat dekat.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan datadata yang akurat
terhadap Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Hal hal yang perlu dikaji antara lain :
a. Identitas pasien
1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa
dan alamat
b. Kesehatan fisik
1) Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat
disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi
makan sehari hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa,
frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.

10
2) Pola eliminasi
3) Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya
tidur serta kebiasaan sebelum tidur

4) Pola hygiene tubuh


Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong
kuku dan rambut
5) Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
c. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Riwayat prenatal
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan
kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat
obatan yang diminum saat hamil.
2) Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan bantuan, aterm atau
premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan,
ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa,
pernahkah menderita penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada
keluarga yang pernah menderita kejang.
4) Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak
sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.
5) Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur
pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya.

11
d. Riwayat penyakit sekarang
1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah
24 jam pertama setelah demam
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu
badan meningkat
3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan
dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan
untuk mengatasi kejang.
4) Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
5) Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua
sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.
e. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala
2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit
5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut
serta kebersihannya
6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media
Akut / Kronis
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan
9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
11) Paru paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual mual dan muntah

12
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut
dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data
khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data fisiologis, data
psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data
yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
rontgen dan sebagainya.
2.1.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status
atau masalah kesehatan aktual atau rester / resti (Gaffar, 1997). Pada tahap
diagnosa keperawatan penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari
hasil pengkajian dan mengidentifikasi masalah keperawatan, baik yang
dapat dicegah, dapat dikurangi maupun yang dapat ditanggulangi dengan
tindakan keperawatan.
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile
menurut Doenges (2000), adalah :
a. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
b. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-
rata, proses infeksi
d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
2.1.3 Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat
setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Tujuan perencanaan adalah
untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan
klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal (Gaffar,
1997).

13
Pada tahap perencanaan setelah memprioritaskan masalah
keperawatn, penulis menetapkan tujuan dan kriteria tindakan yang dapat
mencegah, mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan
tujuan yang ditetapkan harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan
waktu pencapaian.
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut
Doenges (2002), yaitu :
1. Diagnosa keperawatan I
Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan
sesudahnya
Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan :
1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang
dapat menjadi pencetus kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin
komplikasi yang dapat terjadi
1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang
terpasang dengan posisi tempat tidur rendah
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat
tidur
1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu
melalui lubang telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama
/ setelah kejang
Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi
gejala lanjut

14
1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan
kepala ke salah satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas
sesuia indikasi
Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret,
dan memfasilitasi saat melakukan suction
1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau
bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera

2. Diagnosa keperawatan II
Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam
batas normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan
kepala, selama serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah
jatuh, dan menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda
lunak sesuai dengan indikasi
Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat
melakukan suction
2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia

15
3. Diagnosa keperawatan III
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-
rata, proses infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan
mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan,
tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1 Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius
akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis
3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di
tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3.3 Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek
vasodilatasi air hangat melalui proses evaporase
3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat
berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan
meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.

4 Diagnosa keperawatan IV
Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang
yang dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara
sederhana.

16
Rencana Tindakan :
4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan
persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang
ditangani
4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat
merupakan penyebab kecemasan keluarga
2.1.4 Pelaksanaan/Implementasi
Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan
rencana setelah dilakukan validasi, penugasan ketrampilan interpersonal,
intelektual dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).
Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis juga
melaksanakan tindakan observasi dan pengumpulan data untuk melihat
perkembangan klien selanjutnya.
Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :
a. Tindakan keperawatan mandiri dilakukan
tanpa perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan
dengan standar praktik American Nursing Association (1973),
undangundang praktik perawat negara bagian dan kebijakan institusi
perawat kesehatan.
b. Tindakan keperawatan kolaboratif,
diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan
kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang
bertujuan untuk mengatasi masalah masalah klien.
c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan
respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi merupakan
pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang otentik dengan
mempertahankan catatan catatan yang tertulis. Dokumentasi
merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional ke
profesional lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien

17
memberikan bukti tindakan keperawatan mandiri dan kolaboratif yang
diimplementasikan oleh perawat.
2.1.5 Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi
terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi
asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan
untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang
dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam
meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal,
anak menunjukkan rasa nymannya secara verbal maupun non verbal,
kebutuhan cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan
sesudah kejang dan pengatahuan orang tua bertambah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta

Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan, EGC, Jakarta

Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3,


EGC, Jakarta

Gaffar, La Ode Jumadi (1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC,


Jakarta

Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta

Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta


Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta
Saifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan,
Diagnosa dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta

Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai