Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu tantangan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat global

maupun pemangku kepentingan terutama di bidang kesehatan mental adalah

prevalensi gangguan mental yang terus meningkat tiap tahunnya. Pada tahun

1990, gangguan mental dan neurologis berkontribusi sebesar 10% dari total

Disability-Adjusted Life Years (DALY), kemudian pada tahun 2000 menjadi

sebesar 12%, dan diperkirakan terus akan meningkat hingga 15% pada tahun

2020 (World Health Organization, 2001). Menurut Harvey dan Gumport

(2015) masalah global terkait kesehatan mental yang masih dihadapi saat ini

yaitu prevalensi gangguan mental yang tinggi dan terus meningkat, mayoritas

individu yang terdiagnosis gangguan mental tidak mampu mengakses

penanganan yang tepat, dan walaupun terdapat bukti bahwa penanganan

psikologis berbasis empiris efektif, namun aksesnya terbatas.

Prevalensi jumlah penderita gangguan mental dilaporkan tinggi secara

global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75%

responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia Baru, Ukraina, dan

Amerika Serikat) mengalami salah satu dari gangguan mental, seperti phobia,

gangguan impulsif, kecemasan, gangguan mood, dan penyalahgunaan narkoba

atau alkohol.

Prevalensi gangguan mental meningkatkan beban penduduk secara

global (Global Burden Diasease/ GBD) secara progresif. WHO (2006)

1
2

menjelaskan bahwa menurut hasil kajian GBD yang diproyeksikan hingga

tahun 2030, penyebab kematian terbesar adalah penyakit tidak menular. WHO

juga menjelaskan bahwa gangguan depresi akan menjadi GBD kedua terbesar

setelah HIV/AIDS pada tahun 2030 (Mathers & Loncar, 2006).

Whiteford et al. (2013) melaporkan bahwa gangguan mental dan

penyalahgunaan zat adiktif/ alkohol merupakan penyebab beban penyakit

secara global dengan peningkatan 37,6% dari tahun 1990-2010. Negara

berkembang merupakan penyumbang penderita gangguan mental terbanyak.

Prevalensi gangguan mental di Indonesia juga dilaporkan tinggi. Kementerian

Kesehatan (2013) melaporkan prevalensi gangguan mental di Indonesia,

seperti schizophrenia dan gangguan psikosis lainnya mencapai 1,7 (permil)

penduduk. Artinya, terdapat 1 hingga 2 orang mengalami gangguan mental

berat setiap 1.000 penduduk. Jika prevalensi tersebut diproyeksikan dengan

jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 yang mencapai 255.461.700

penduduk (Badan Pusat Statistik, 2016), maka diperkirakan lebih dari 500.000

penduduk mengalami gangguan jiwa berat (severe mental illness).

Kementerian Kesehatan (2013) juga melaporkan prevalensi gangguan

emosional sebanyak 6% indeks nasional. Dari jumlah tersebut dapat

diperkirakan lebih dari 14 juta penduduk di Indonesia mengalami gangguan

emosional.

Angka kejadian gangguan mental emosional anak yang selama ini

dilaporkan di Indonesia melalui kegiatan Riset Kesehatan Dasar

(RIKESDAS) adalah angka gangguan mental emosional pada usia 15 tahun.


3

Kenyataan yang terjadi saat ini, tanda-tanda munculnya gangguan mental

emosional, seperti: memiliki perilaku antisosial, lebih agresif, dan memiliki

hubungan yang buruk dengan teman, mulai terjadi pada usia Sekolah Dasar

(SD). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa angka

kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah (SD hingga SMA) cenderung

meningkat setiap tahunnya. Tindakan kriminal yang dilakukan meliputi

pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual (Medica Hospitalia, 2015).

Berdasarkan Profil Kesehatan di Kediri, Jawa Timur tahun 2014

terdapat 322 orang yang mengalami gangguan mental, salah satunya terdapat

pada anak dan remaja yaitu berjumlah 26 orang.

Terdapat keterkaitan antara lamanya pemberian ASI Eksklusif dengan

kejadian gangguan mental emosional. Penelitian Kramer, Fombonne, et al

menunjukan bahwa remaja yang disusui sedikitnya selama 4 bulan memiliki

risiko yang rendah untuk mengkonsumsi narkoba dan mengalami gangguan

mental emosional. Sebuah observasi yang dilakukan oleh Niles Newton pada

tahun 2008 menunjukan bahwa anak yang memperoleh ASI secara eksklusif

selama 6 bulan mempunyai sikap lebih ramah, pandai bersosialisasi dan

menunjukan perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang

mengkonsumsi susu formula sejak lahir (Medica Hospitalia, 2015).

ASI sangat bermanfaat untuk melindungi bayi dari berbagai infeksi,

memberikan hubungan kasih sayang yang mendukung semua aspek

perkembangan bayi termasuk kesehatan dan kecerdasan bayi. Pemberian ASI

Eksklusif menunjang perkembangan mental, emosional, dan social yang sehat


4

bagi tumbuh kembang bayi (Roesli Utami, 2010). ASI dapat mempengaruhi

tumbuh kembang bayi, termasuk perkembangan mental emosional melalui

kelekatan yang terbentuk melalui lewat menyusui. Kondisi mental emosional

pada usia dini dapat mempengaruhi periode perkembangan anak pada tahap

selanjutnya. Anak dengan mental emosional yang baik pada usia dini akan

mengalami perkembangan positif pada tahap berikutnya, dan pada akhirnya

mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang sehat secara emosional.

Sebaliknya, anak usia dini yang terganggu perkembangan mental

emosionalnya merupakan tanda awal kejahatan pada usia remaja seperti

konsumsi alkohol, kecanduan nikotin, penyalahgunaan zat, pelanggaran

hukum, dan perilaku seks bebas (Medica Hospitalia, 2015).

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu kiranya dilakukan studi

tentang mental emosional anak usia dini berdasarkan riwayat pemberian ASI.

oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Hubungan

Pemberian ASI Eksklusif terhadap mental emosional anak usia 3-5 tahun.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan pemberian ASI

Eksklusif terhadap mental emosional anak usia 3-5tahun?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


5

Adapun tujuan umum dari penelitian ini yaitu mengetahui hubungan

pemberian ASI Eksklusif terhadap mental emosional anak usia 3-5

tahun

1.3.2. Tujuan Khusus

1) Untuk mengidentifikasi pemberian ASI Eksklusif terhadap anak

usia 3-5 tahun

2) Untuk mengidentifikasi mental emosional anak usia 3-5 tahun

3) Untuk menganalisis hubungan pemberian ASI Eksklusif terhadap

mental emosional anak usia 3-5 tahun

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Peneliti

1) Menambah wawasan baru serta meningkatkan pemahaman tentang

hubungan pemberian ASI Eksklusif terhadap mental emosional

anak usia 3-5 tahun

2) Menambah pengetahuan di bidang penelitian

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan

1.4.3. Bagi Institusi Kesehatan

Dengan diketahui hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap mental

emosional anak akan menjadi informasi bagi pemberi layanan


6

kebidanan untuk dapat memberikan konseling serta penyuluhan yang

baik dimulai pada saat masa kehamilan, persalinan hingga pada masa

nifas.

1.4.4. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang hubungan pemberian ASI terhadap

mental emosional anak usia 3-5 tahun, sehingga masyarakat lebih

meningkatkan kepeduliannya terhadap pentingnya dalam pemberian

ASI Eksklusif yang tepat dan sehat pada bayi atau anak.
7

Anda mungkin juga menyukai