Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertiroid merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar

endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara

berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan

0,2% pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun

sebanyak dua puluh orang penderita tiap satu juta populasi.

Hipertiroid lebih banyak pada wanita dibandingkan pria dengan rasio

1:5, dan banyak terjadi di usia pertengahan. Tetapi hipertiroid tidak hanya

terjadi pada usia pertengahan, namun di usia anak-anak dan remaja dapat

terjadi walau insidensi dan prevalensi di Indonesia belum pasti.

Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat

mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan

pasien dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan

emosi yang mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga

gangguan kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi.

Pada pasien hipertiroid, terapi yang diberikan dapat berupa terapi

konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau

ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan

kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien.

Dari ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan

salah satu terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan
secara luas sebagai lini pertama adalah golongan thionamide, yang terdiri dari

propylthiouracil dan methimazole. 2 Obat anti tiroid umumnya digunakan

selama lebih dari enam bulan hingga pasien mencapai remisi dan pengobatan

dapat dihentikan. Selama menggunakan obat anti tiroid pasien dapat

mengalami efek samping berupa munculnya ruam kulit, gangguan hepar dan

agranulositosis.

Pada penggunaan obat anti tiroid, rasionalitas terapi memegang

peranan penting dalam menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan

efektif. Dengan pemilihan jenis obat anti tiroid dan pemberian dosis yang

tepat, kondisi euthyroid dan remisi dapat lebih cepat tercapai dan

memperpendek durasi terapi. Dan dengan penggunaan obat yang sesuai

dengan kondisi pasien dapat mengurangi risiko efek samping yang muncul.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tiroid

A. Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar endokrin yang terletak

di daerah leher, terdiri dari 2 lobus dan dihubungkan oleh istmus yang

menutupi cincin trakea (annulus trachealis) 2 dan 3. Vaskularisasi kelenjar

tiroid berasal dari a. thyroidea superior cabang dari a. carotis communis atau

a. carotis externa, a. thyroidea inferior cabang dari a. subclavia, dan a.

thyroidea ima cabang dari a. brachiocephalica.

Gambar 1. Strukur anatomis dan vaskularisasi tiroid

Secara fisiologis kelenjar tiroid ini berfungsi menghasilkan hormon

tiroid yaitu triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4), dimana kelenjar tiroid ini

awalnya mendapatkan sinyal dari Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dari


hipofisis, dimana hipofisis mendapatkan sinyal dari hipotalamus melalui

Thyroid Releasing Hormon (TRH). Kelenjar tiroid menghasilkan hormone

tiroksin. Pembentukan hormone tiroid tergantung dari jumlah iodium eksogen

yang masuk ke dalam tubuh. Sumber utama untuk menjaga keseimnbangan

yodium adalah yodiaum dalam makanan dan minuman.

Struktur Mikroskopis

Kelenjar ini terdiri atas folikel seperti kelenjar asiner berdinding

selapis sel. Jika sedang beraktivitas kelenjar ini berbentuk kuboid yang tinggi,

sedangkan bila sedang istirahat sel ini berbentuk pipih dan bagian tengah

asinernya terisi koloid senyawa triglobulin, tirosin, dan hormone kelenjar

tiroid.

Hormon Tiroid

Hormon yang terdiri dari asam amino yang mengawal kadar

metabolisme Penyakit Grave, penyebab tersering hipertiroidisme, adalah suatu

penyakit otoimun yang biasanya ditandai oleh roduksi otoantibodi yang

memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Otoantibodi IgG ini, yang

disebut immunooglobulin perangsang tiroid (thyroid-stimulating

immunoglobulin), meningkatkan pembenftukan HT, tetapi tidak mengalami

umpan balik negatif dari kadar HT yang tinggi. Kadar TSH dan TRH rendah

karena keduanya berespons terhadap peningkatan kadar HT.


a. Pembuluh Darah

Kapiler darah dan limfe membentuk pleksus yang erat dalam mengitari

folikel sehingga membantu melintasnya hormone kedalam lumen kapiler.

Susunan pembuluh darah menunjukkan bahwa terdapat gelombang dalam

darah yang di suplay ke daerah yang berbeda pada kelenjar.

b. Persarafan

Sejumlah besar serat saraf tak bermielin terdapat pada dinding arteri tiroid

dan sebagian besar mempunyai fungsi vasomotor. Beberapa saraf simpatis

berakhir pada lamina asal folikel yang menunjukkan rangsangan saraf

dalam mempengaruhi fungsi tiroid melalui pengaruh langsug pada sel

folikel yang menunjukkan rangsangan saraf dalam mempengaruhi fungsi

tiroid.

B. Proses Pembentukan Hormon Kelenjar Tiroid

1. Bahan Baku Yodium

Untuk membuat tiroksin dalam jumlah normal, setiap tahunnya dibutuhkan

50 mg yodium yang ditelan dalam bentuk iodida. Setelah ditelan per oral,

iodida akan diabsorpsi dari saluran cerna ke dalam darah. Seperlima dari

iodida yang beredar di darah akan digunakan oleh kelenjar tiroid sebagai

bahan baku.
2. Pompa Iodida (Trapping)

Tahap pertama pembuatan hormon tiroid dimulai disini, yakni

pengangkutan iodida dari darah ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar tiroid.

Iodida akan dipompakan secara aktif oleh membran basal sel tiroid,

kemampuan ini disebut iodide trapping. Pada keadaan normal, kelenjar

tiroid (pompa iodida) dapat memekatkan iodida 30 kali dari konsentrasinya

di dalam darah.Jika pompa menjadi sangat aktif, tingkat kepekatan dapat

meningkat menjadi 250 kali lipat. Faktor-faktor yang berperan pada

kecepatan trappingantara lain TSH (menaikkan kerja) dan hipofisektomi

(mengurangi aktivitas pompa iodida).

3. Proses Kimia Pembentukan Tiroksin dan Triiodotironin

Setiap molekul tiroglobulin mengandung 70 asam amino tirosin, dan

tiroglobulin merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodida untuk

membentuk hormon tiroid. Hormon tiroksin dan triiodotironin dibentuk dari

asam amino tirosin, yang merupakan sisa bagian dari molekul tiroglobulin

selama sintesis hormon tiroid.

Enzim peroksidase terletak di bagian apikal membran sel atau melekat

pada membran sel, sehinga menempatkan yodium yang teroksidasi tadi di

dalam sel tepat pada molekul tiroglobulin mula-mula dikeluarkan dari alat

golgi dan melalui membran sel masuk ke dalam tempat penyimpanan koloid

kelenjar tiroid.
Iodium yang sudah teroksidasi akan berikatan langsung, meskipun

sangat lambat, dengan asam amino tirosin. Di dalam sel-sel tiroid, iodium

yang teroksidasi itu berasosiasi dengan enzim iodinase yang menyebabkan

proses di atas dapat berlangsung selama beberapa detik hingga menit.

2.2 Definisi

Hipertiroid Menurut American Thyroid Association dan American

Association of Clinical Endocrinologists, hipertiroid didefinisikan sebagai

kondisi berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan

disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal.

Hipertiroid merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya

kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah.

Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada

jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi

klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses

metabolisme tubuh.

2.3 Etiologi

Berdasarkan etiologinya hipertiroid dapat dibagi menjadi beberapa

kategori, secara umum hipertiroid yang paling banyak ditemukan adalah

Graves Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.

a. Graves Disease
Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroid karena

sekitar 80% kasus hipertiroid di dunia disebabkan oleh Graves disease.

Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan

tiroid keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes

mellitus tipe 1.

Graves disease merupakan gangguan autoimun berupa

peningkatan kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi

ini disebabkan karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang

dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor

TSH oleh TSAb 7 memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-

sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.

TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan

antigen. Namun pada Graves Disease sel-sel APC (antigen presenting

cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan

pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen).

Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi

berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves

Disease adalah HLA.

Pada pasien Graves Disease ditemukan adanya perbedaan urutan

asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien

Graves Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah

arginine, sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada

urutan tersebut berupa glutamine.


Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves

disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis Graves

disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan bebas,

iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb).

Pada pasien Graves disease, kadar TSH ditemukan rendah disertai

peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada pemeriksaan dengan iodine

radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada

teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid,

dimana pola penyebaran iodine pada Graves disease 8 berbeda pada

hipertiroid lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita Graves

disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroid lainnya sehingga

dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves Disease. Selain itu TRAb

dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya

kondisi remisi pasien.

Terapi pada pasien Graves disease dapat berupa pemberian obat

anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine

radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves

disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan

operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun

demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya

ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan.


Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves disease perlu

mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk

mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan.

Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroid

dengan gejala yang tampak.

b. Toxic Adenoma

Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat

memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa

folikel tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak

terpengaruhi oleh kerja TSH. Sekitar 2 9% kasus hipertiroid di dunia

disebabkan karena hipertiroid jenis ini. Hanya 37% pasien dengan nodul

tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 76% pasien memiliki nodul

tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound.

Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut,

defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan

toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik

seperti pada pasien dengan Graves disease. Pada sebagian besar kasus

nodul ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan

kesehatan umum atau oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang

ditemukan pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan

kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila terjadi

pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai

adanya pertumbuhan kanker.


Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi

terhadap kondisi pasien untuk memberikan tatalaksana terapi yang tepat.

Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah dengan

asupan iodine yang rendah. Iodine yang rendah menyebabkan peningkatan

kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang akan menyebabkan

mutasi. Pada penderita hipertiroid dengan adanya nodul ditemukan adanya

mutasi pada reseptor TSH. 10 Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk

membantu menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan

TSH, kadar hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fine-needle

aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang

harus dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu

dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid (T4 dan T3). Ultrasonography

merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara frekuensi

tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk kelenjar tiroid. Dengan

pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid

pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration digunakan

untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari hasil

biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat

benign (non kanker) atau malignant (kanker).

Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroid akibat toxic adenoma

adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan

tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan

mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga


mencapai kondisi euthyroid. Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan

tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi

kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography

untuk melihat ukuran nodul

c. Toxic Multinodular Goiter

Selain Graves Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular

goiter merupakan salah satu penyebab hipertiroid yang paling umum di

dunia. 11 Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic

adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon

tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan

beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi maupun

ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik dan

defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic

multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan.

Dengan pembedahan kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari

pasca pembedahan, dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang

membutuhkan waktu 6 bulan.

d. Hipertiroid Subklinis

Graves Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter

merupakan penyebab utama hipertiroid utama di seluruh dunia dan

termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroid jenis ini,

kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan

kadar T4 dan T3 bebas. Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus


hipertiroid disebabkan hipertiroid subklinis. Pada hipertiroid sub klinis,

kadar TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total

yang normal. 60% kasus hipertiroid subklinis disebabkan multinodular

goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroid subklinis dapat ditemukan

gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroid. Prinsip

pengobatan hipertiroid sub klinis sama dengan pengobatan overt

hyperthyroidism.

e. Iatrogenik

Iatogenik juga dapat menyebabkan hipertiroid atau tirotoksiktosis

dan penyebab paling banyak pada penggunaan obat antiaritnia yaitu

amiodaron. Amiodaron merupakan obat antiaritmia yang mengandung

37,3% yodium dan amiodaron ini karena mengandung yodium sehingga

menyerupai hormon tiroid, dan amiodaron dapat terikat pada reseptor sel

tiroid maka dapat memicu sekresi hormon tiroid pada kelenjar tiroid

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hipertiroid.

2.4 Faktor Risiko

a. Terjadinya hipertiroid.

Faktor-faktor risiko seseorang untuk terkena hipertiroid sebagai berikut:

1. Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau pernah

menjalani operasi kelenjar tiroid.

2. Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan

gangguan hormonal.
3. Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.

4. Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.

5. Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti

amiodarone.

6. Berusia lebih dari 60 tahun.

b. Kambuh (relapse)

Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroid terutama

dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 70%.

Kekambuhan pada pasien hipertiroid dapat terjadi satu tahun setelah

pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun 6 setelahnya.

Secara umum faktor-faktor risiko terjadi kekambuhan hipertiroid

adalah sebagai berikut:

1. Berusia kurang dari 40 tahun.

2. Ukuran goiter tergolong besar.

3. Merokok.

4. Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir

pengobatan dengan obat anti tiroid.

5. Faktor psikologis seperti depresi.

2.5 Gejala Klinis

Tanda dan Gejala Klinis Hormon tiroid memiliki peranan yang vital

dalam mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam

darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah


satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi

panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu

peningkatan basal metabolic rate. Selain itu hipertiroid juga mempengaruhi

sistem kardiorespiratori menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea

umum ditemukan pada pasien hipertiroid.

Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul

gejalagejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan

insomnia. Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien

hipertiroid cepat merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian

terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi

defekasi. Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa

oligomenorrhea, amenorrhea bahkan penurunan libido.

Pada pasien Graves disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi

dan edema di otot mata (Graves ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal

(myxedema). Mekanisme terjadinya Graves ophtalmopathy dan myxedema

belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi

akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast.

Pada penyakit jantung hipertiroid dapat ditemukan fibrilasi atrium,

hipertrofi jantung, hipertensi sistolik, angina pektoris, superimposed

hyperthyroid cardiomyopathy, dan gagal jantung. Sedangkan paroksismal

supraventrikular, takikardi, dan flutter jarang terjadi. Berikut penjelasan dari

menifestasi klinis pada penyakit jantung hipertiroid.


1. Fibrilasi atrium sering dihubungkan dengan respon ventrikel yang cepat.

Denyut ventrikel biasanya lebih cepat dibanding fibrilasi atrium pada

penderita eutiroid. Bila fibrilasi atrium menetap sampai empat bulan

setelah eutiroid dicapai, perlu dipertimbangkan kardioversi. Biasanya

indikasi untuk pemberian antikoagulan untuk menurunkan insiden emboli

sistemik. Takikardi yang hampir selalu ada dan menetap selama tidur

akibat efek kronotropik hormon tiroid, terutama sinus takikardi atau

takiaritmia supraventrikuler. Pada tirotoksikosis kadang dijumpai berbagai

derajat gangguan hantaran bahkan blok AV derajat II sampai blok AV

komplet, interval PR memanjang, dan pada persentase kecil dapat WPW.

Hal ini akibat pengaruh T4 yang menyebabkan peradangan nodus AV.

Regurgitasi katup mitral maupun tricuspid (flow murmur) yang dapat

hilang setelah pengobatan dengan obat antitiroid.

2. Hipertrofi jantung

Peningkatan sintesis protein kontraktil jantung sebagai akibat tidak

langsung dari hormon tiroid serta akibat peningkatan kerja jantung

menyebabkan terjadi hipertrofi jantung.

3. Hipertensi sistolik

Hipertensi sistolik mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan

pembuluh darah mengakomodasi peningkatan cardiac output dan stroke

volume. Sebagaian besar penderita hipertiroid akan mengalami hipertensi.


4. Angina pektoris.

Beberapa mekanisme yang mungkin berperan terhadap terjadinya

angina pektoris, antara lainadanya penyakit obstruksi arteri koroner yang

menetap, peningkatan kebutuhan oksigen, dan iskemik. Emboli pada

sirkulasi koroner dapat terjadi bila ada fibrilasi atrium, trombosis, dan

spasme arteri koroner. Angina pektoris pada penderita hipertiroid biasanya

muncul pada saat istirahat, berkembang dengan cepat dan membaik bila

hipertiroid teratasi dengan terapi hipertiroid.

5. Superimposed hyperthyroid cardiomyopathy.

Pada hipertiroid akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri

saat isttirahat (LVEF), tetapi akan menurun secara bermakna pada latihan.

Abnormalitas fungsi ventrikel kiri (LV) selama latihan menunjukkan suatu

kardiomiopati dilatasi reversibel dan merupakan akibat langsungdari

kelebihan hormon tiroid serta tidak tergantung dari aktivitas alfa

adrenoreseptor. Hal ini terbukti dengan pemberian propanolol yang akan

menurunkan LVEF istirahat baik pada hiper maupun eutiroid, tetapi tidak

berpengaruh pada LVEF hipertiroid pada saat latihan.

Gagal jantung dapat terjadi pada hipertiroid yang tidak terkontrol

sebagai penanganan fibrilasi atrium yang tidak terkontrol.12 Tetapi dapat

juga berhubungan dengan superimposed dilatation cardiomyopathy

terutama saat latihan. Penderita mungkin juga memiliki gejala gagal

jantung high output sehubungan dengan peningkatan volume darah dan

total natrium tubuh dengan disfungsi ventrikel kiri.


Pengaruh Tidak Langsung Hormon Tiroid Terhadap Sistem Kardiovaskular

Keadaan hipermetabolisme dan peningkatan produksi panas tubuh akibat

pengaruh hormon tiroid secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem

kardiovaskuler dengan adanya suatu kompensasi, antara lain :

1. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas sistem simpatoadrenal

2. Kerja jantung meningkat

3. Hipertrofi otot jantung akibat kerja jantung yang meningkat

Indeks Wayne

No Gejala yang baru timbul Nilai

dan / bertambah berat

1 Sesak saat bekerja +1

2 Berdebar +2

3 Kelelahan +3

4 Suka udara panas -5

5 Suka udara dingin +5

6 Keringat berlebihan +3

7 Gugup +2

8 Nafsu makan naik +3

9 Nafsu makan turun -3

10 Berat badan naik -3

11 Berat badan turun +3


No Tanda Ada Tidak

1 Tyroid teraba +3 -3

2 Bising tyroid +2 -2

3 Exoptalmus +2 -

4 Kelopak mata +1 -
tertinggal gerak
bola mata

5 Hiperkinetik +4 -2

6 Tremor jari +1 -

7 Tangan panas +2 -

8 Tangan basah +1 -2

9 Fibrilasi atrial +4 -1

10 Nadi teratur

<80 x/menit - -3

80-90 x/menit - -

>90 x/menit +3 -

-Hipertiroid 20
-Eutiroid 11-18
-Hipotiroid < 11
2.6 Diagnosis

Diagnosis hipertiroid ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda

klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan

radiodiagnostik. Dan perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas,

T4 bebas, dan iodine radioaktif.

a. TSH Thyroid stimulating hormone (TSH)

Merupakan hormon yang diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi

pembentukan dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi

normal terdapat negative feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon

tiroid di sistem pituitarythyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran


darah melebihi normal, maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH yang

pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid kembali normal.

Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan mensekresi

TSH untuk memacu produksi hormon tiroid.

Pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan lini pertama pada kasus

hipertiroid karena perubahan kecil pada hormon tiroid akan menyebabkan

perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum

TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan darah lainnya

untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroid

(kecuali hipertiroid sekunder atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan)

serum TSH akan sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi. Hal ini bahkan

dapat diamati pada kasus hipertiroid ringan dengan nilai T4 dan T3 yang

normal sehingga pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai

pemeriksaan standar yang harus dilakukan.

b. T4 dan T3

Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan

sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroid. Pemeriksaan

utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang

menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya.

Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi

pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi

sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan

dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid.

Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui

etiologi hipertiroid yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroid akibat Graves

Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih banyak

T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga

rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-

partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20.

c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)

Dalam menegakkan diagnosis hipertiroid akibat autoimun atau Graves

disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang biasanya

diukur dalam penegakan diagnosis Graves disease adalah antithyroid

peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan

antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan

TgAb mengindikasikan hipertiroid pasien disebabkan karena Graves disease.

TPOAb ditemukan pada 7080% pasien, TgAb pada 3050% pasien dan TSAb

pada 7095% pasien. Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk

memprediksi hipertiroid pada orang dengan faktor risiko misal memiliki

keluarga yang terkena gangguan tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita

hamil yang positif ditemukan TPOAb dan TgAb pada trimester pertama

memiliki kemungkinan 30 50% menderita tiroiditis post partum.

d. Radioactive Iodine Uptake


Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui

berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui kelenjar tiroid.

Pada metode ini pasien diminta menelan 16 kapsul atau cairan yang berisi

iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau

24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroid primer seperti Graves disease,

toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake

iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang

hamil atau menyusui.

e. Scintiscanning

Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan

menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid

scintiscanning adalah radioiodine dan technetium. Kelebihan penggunaan

technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang lebih murah

dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko

terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik

dibandingkan dengan penggunaan radioiodine. Karena pemeriksaan dengan

ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat, scintiscanning tidak lagi

menjadi pemeriksaan utama dalam hipertiroid. Indikasi perlunya dilakukan

scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan

kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan

scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah

tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).


f. Ultrasound Scanning

Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang

suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan ukuran

kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan,

noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma

dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran nodul secara

akurat.

Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus

hipertiroid. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya pada

pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular goiter, dan

pasien dengan faktor risiko kanker tiroid.

g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)

FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid

(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari

metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak

mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroid dengan

nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah

satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di

laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah

sel tidak mencukupi untuk dilakukan analisis), benign (non kanker),

suspicious9 (nodul dicurigai kanker), dan malignant (kanker).


2.7 Penatalaksanaan

PENYAKIT JANTUNG HIPERTIROID

Prinsip penatalaksanaan hipertiroidisme didasarkan pertama kali pada

penyebabnya, dengan tujuan secepatnya menurunkan keadaan

hipermetabolisme dan kadar hormone tiroid dalam sirkulasi.10 juga

berdasarkan umur, jenis kelamin, status system kardiovaskuler, tingkatan

hipertiroid, dan riwayat perjalanan penyakit. Toxic tiroid nodul merupakan

indikasi terapi dan operasi. Sedangkan subakut tiroiditis dan limfositik

tiroiditis merupakan self-limiting disease yang akan sembuh dengan

sendirinya. Excess thyroid hormone ingestion diterapi dengan pengurangan

dosis sampai batas terapi jika diindikasikan pemberian hormone tiroid.

Hashimotos disease dan Graves disease juga dianggap sebagai self limiting

disease, namun pada Graves disease lamanya bervariasi dari 6 sampai 20

tahun lebih.

Tujuan penatalaksanaan hipertiroidisme yaitu pertama secara

fungsional untuk meningkatkan fungsional akibat gangguan kardiovaskuler

yang ada, dan secara anatomi/ etiologi untuk mengatasi penyebab keadaan

hipertiroidnya.

Meningkatkan kemampuan fungsional Penderita penyakit jantung

hipertiroid bisa didapati gangguan fungsional sesuai dengan klasifikasi New

York Heart Association (NYHA) I sampai IV. Gangguan fungsional yang

timbul atau gagal jantung disebabkan ketidakmampuan jantung untuk

memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh, ditambah dengan kerja hormone


tiroid yang langsung memacu terus-menerus sehingga bisa menimbulkan

aritmia. Sering itmbul keluhan seperti palpitasi, badan lemah, sesak nafas,

yang mengarah pada tanda-tanda gagal jantung kiri.

Pengobatan yang dilakukan meliputi medikamentosa dan non

medikamentosa :

a. Secara non medikamentosa berupa: istirahat tirah baring (bed rest), diet

jantung dengan tujuan untuk mengurangi beban jantung dengan diet yang

lunak, rendah garam dan kalori, serta mengurangai segala bentuk stress

baik fisik maupun psikis yang dapat memperberat kerja jantungnya.

b. Secara medikamentosa berupa:

1. Golongan beta blocker, ditujukan untuk mengurangi kerja jantung

serta melawan kerja hormone tiroid yang bersifat inotropik dan

kronotropik negative. Golongan beta blocker akan mengistirahatkan

jantung dan memberi waktu pengisian diastolik yang lebih lama

sehingga akan mengatsi gagal jantungnya. Propanolol juga penting

untuk mengatasi efek perifer dari hormone tiroid yang bersifat

stimulator beta-adrenergik reseptor. Beta blocker juga bersifat

menekan terhadap system saraf sehingga daapt mengurangi palpitasi,

rasa cemas, dan hiperkinesis. Beta blocker tidak mempengaruhi

peningkatan konsumsi oksigen. Dosis 40-160 mg/ hari bila belum ada

dekompensasio kordis.

2. Diuretik, dapat diberikan untuk mengurangi beban volume jantung dan

mengatasi bendungan paru.


3. Pemberian digitalis masih controversial, karena sifatnya yang

kronotropik negative tapi inotropik positif. Diharapkan kerja

kronotropik negatifnya untuk mengatasi takikardi yang ada, tapi kerja

inotropik positifnya dapat menambah kerja jantung mengingat pada

penyakit jantung hipertiroid, hormone tiroid justru bersifat kronotropik

positif juga.4,10 Dosis lebih dari normal perlu control Hr selama atrial

aritmia.

4. Antikoagulan, direkomendasikan untuk AF, khususnya jika 3 hari atau

lebih, dilanjutkan untuk 4 minggu setelah kembali ke sinus rhythm dan

kondisi eutiroid.

Mengatasi keadaan hipertiroidisme

Terapi utama pada hipertiroidisme ini yaitu secara langsung untuk

menurunkan jmlah hormone tiroid yang diproduksi oleh kelenjar tiroid

dengan obat-obat antitiroid, selain itu dapat didukung dengan terapi

radioaktif iodine dan operasi subtotal tiroidektomi.

a. Obat Antitiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan adalah profiltiourasil (PTU)

dan metimazol, serta golongan beta-blocker yaitu propanolol. Namun

kadang-kadang iodine stabil dapat digunakan, terutama untuk persiapan

pembedahan. Baik PTU maupun metimazol memiliki efek yang hampir

sama, hanya PTU memiliki kerja menghambat perubahan T4 menjadi

T3 di perifer, sehingga PTU lebih cepat menunjukkan kamajuan terapi


secara simtomatis, kebanyakan pasien dapat diontrol hipertiroidnya

dengan PTU 100-150 mg tiap 6-8 jam.14 Nmaun dari kepustakaan lain,

dosis yang sesuai untuk pasien dengan penyakit jantung hipertiroid

yaitu PTU 250 mg dan propanolol 20 mg tiga kali sehari.11 Atau dosis

propanolol 40-160 mg/hari dan dosis propiltiourasil 400-600 mg/ hari

serta dosis metimazol 60-80 mg/hari.1 Dosis tiga kali sehari dari PTU

dikurangi menjadi 200 mg setelah sekitar 2 minggu (tapering off),

kemudian secara bertahap dikurangi menjadi 100 mg setelah sekitar 8

minggu. Selanjutnya dosis pemeliharaan dapat diberikan 50 mg tiga

kali sehari12 atau kurang lebih selama 1-1,5 tahun.1 Dalam pemberian

PTU, dosisnya harus dimonitor dengan kadar T4 dan T3 plasma sejak

pasien menunjukkan respon berbeda. Waktu yang dibutuhkan T4 dan

T3 plasma untuk kembali normal bervariasi sekitar 6-10 minggu.

Pemberian propanolol dapat dihentikan jika terapi dengan PTU telah

menunjukkan hasil yang baik. Efek kronotropik dan inotropik negatifnya

cepat memberikan hasil dibandingkan PTU. Cara kerja propiltiourasil

yaitu dengan mengurangi sintesa T4 dan T3 secara reversibel sehingga

dapat terjadi kekambuhan, kecuali terjadi remisi spontan, misalnya pada

Grave disease untuk sementara waktu yang harus dipantau dengan kadar

T4 dan T3 plasma.

Pada hipertiroid berat atau krisis tiroid, baik PTU maupun metimazol

tidak begitu banyak berguna karena kerjanya yang lambat, namun

penggunaannya masih disarankan untuk menekan konversi T4 menjadi T3


di perifer. Propanolol diberikan dalam dosis besar, misalnya 40 mg tiap 4

jam. Iodine juga dapat diberikan sebagai larutan pekat dari potassium

iodide, 5 tetes tiap 4 jam. Diperkirakan iodide bekerja dengan mengurangi

pelepasan dari bentuk awal hormone tiroid dari kelenjar, namun untuk

menghindari efek samping iodide yaitu efek iod basedow (walaupun

sangat jarang tapi sangat berbahaya), maka pada pemberiannya harus

diberikan pula PTU atau metimazol. Efek samping PTU biasanya tidak ada

atau sedikit, berupa skin rash. Sedangkan efek hipotiroid dapt dikontrol

dengan memonitor kadar T4 dan T3 plasma.

2.8 Komplikasi 14
1. Berhubungan dengan kardiovaskular : gagal jantung kongestif dan fibrilasi
atrial
2. Berhubungan dengan tulang : osteoporosis
3. Berhubungan dengan mata : opthalmopathy / eksoftalmus
4. Berhubungan dengan kulit : graves dermopathy
5. Thyrotoxic crisis sangat berbahaya dan mematika. Kematian sampai 20
60 %
6. Apathetic thyrotoxicosis pada usia lanjut, ditandai dnegan gagal organ
tunggal

2.9. Prognosis

Prognosis hipertiroid sangat tergantung pada penyebab. Dengan

penanganan dan pemantauan yang disiplin, umumnya gejala hipertiroid akan

terkendali dan teratasi. Dosis obat perlu disesuaikan secara berkala sampai
kondisi telah normal (euthyroid). Pengobatan perlu dilanjutkan minimal 18

24 bulan, bila tetap terkendali dan stabil, obat dapat dihentikan. Umumnya

penderita hipertiroid memberi respons yang baik dengan pengobatan,

walaupun ada kemungkinan terjadi kekambuhan.


BAB III

KESIMPULAN

Penyakit hipertiroidisme merupakan bentuk tiroktoksikosis yang paling

sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering

ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. Tanda dan gejala penyakit

hipertiroid yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan

hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan

sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati meskipun jarang.

Hipertiroid atau tirotoksikosis merupakan gangguan sekresi hormon tiroid

oleh kelenjar tiroid, dimana terjadi peningkatan produksi atau pengeluaran

hormon tiroid. Hipertiroid ini paling banyak disebabkan oleh penyakit Graves,

meskipun hipertiroid dapat disebabkan beberapa penyebab selain penyakit

Graves. Akibat sekresi produksi atau pengeluaran simpanan hormon tiroid yaitu

Triiodotironin (T3) dan Tetraiodotironin (T4) oleh sel-sel kelenjar tiroid maka sel-

sel ini akan mengalami penambahan jumlah sel atau hyperplasia, sehingga

penderita hipertiroid ini sebagian besar kelenjar tiroidnya menjadi goiter atau

pembesaran kelenjar tiroid.

Diagnosis penyakit hipertiroid adalah berdasarkan skor penilaian wayne

dan newcastle, serta manifestasi klinis pemeriksaan penunjang yang digunakan

untuk mendiagnosa penyakit jantung tiroid adalah pemeriksaan laboratorium (FT4

dan TSH), pemeriksaan penunjang (radiologi, elektrokardiografi, ekoradiografi).


Kelainan jantung akibat hipertiroid: regurgitasi mitral, regurgitasi trikuspid,

kardiomiopati, atrial fibrilasi, sinus takikardi.

Penatalaksanaan penyakit jantung tiroid adalah Secara non medikamentosa

berupa: istirahat tirah baring (bed rest), diet jantung dengan tujuan untuk

mengurangi beban jantung dengan diet yang lunak, rendah garam dan kalori, serta

mengurangai segala bentuk stress baik fisik maupun psikis yang dapat

memperberat kerja jantungnya. Dan secara medikamentosa berupa: beta blocker,

diuretik, antikoagulan, dan untuk mengatsi hipertiroidisme seperti obat antitiroid.

Anda mungkin juga menyukai