Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung

ke dalam esofagus. Penyakit refluks gastroesofagus disebut sebagai refluks

gastroesofagus patologik atau refluks gastro esofagus simtomatik, merupakan

kondisi kronik dan berulang, sehingga menimbulkan perubahan patologik pada

traktus aerodigestif atas dan organ lain diluar esofagus.1

Manifestasi klinis Penyakit Refluks Gastro Esofageal (PRGE) di luar

esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus (REE), yang salah satu

manifestasinya adalah Refluks Laringo Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR).

LPR adalah REE yang menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring,

laring dan paru. Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah aliran balik asam

lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus yang menyebabkan kontak

dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas pada

laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-

penyakit oral, faring, laring dan paru.1,2

Pasien REE akibat PRGE sering datang ke ahli THT dengan keluhan

tenggorok rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang menyumbat

(globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.

Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15%

pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR.

Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang datang berobat

ke dokter THT diakibatkan oleh LPR. Diduga LPR berperan pada patogenesis

1
sejumlah kelainan pada laring, termasuk stenosis subglotik, karsinoma laring,

laryngeal contact ulcers, laringospasme, dan vokal nodul pada pita suara. Pada

anak-anak LPR dihubungkan dengan asma, sinusitis dan otitis media.1,2,3

Penulisan tinjauan pustaka ini bertujuan meningkatkan pengetahuan

penulis serta pembaca mengenai definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi

klinis, diagnosa, serta penatalaksanaan GERD, khususnya manifestasi REE yaitu

Laryngopharyngeal Reflux (LPR).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi & Fisiologi Faring

2.1.1Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :

2.1.1.1 Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian

bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan

ke belakang adalah vertebra servikal.4

Nasofaring yang relative kecil, mengandung serta berhubungan

erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan

limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut

fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur

embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring

diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare,

yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius

spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus

os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.4

2.1.1.2 Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum

mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga

mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang

3
terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil

palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,

tonsil lingual dan foramen sekum. 4

a. Dinding Posterior Faring

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut

terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring,

serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring

bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan

gangguan n.vagus. 4

b. Fosa tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior.

Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas

yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang

dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan

biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi

abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari

fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar- benarnya bukan

merupakan kapsul yang sebenar-benarnya.4

c. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan

ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat

macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan

tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut

4
cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja

terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali

ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring

yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. 4

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan

mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil

ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus

biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri

dan sisa makanan. 4

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering

juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot

faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil

mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang

tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal. 4

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua

oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior

massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang

terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang

menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik

merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual

thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Infeksi dapat terjadi di antara

kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas

pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar. 4

5
2.1.1.3 Laringofaring (hipofaring)

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu

dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika

menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju

ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat

ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar

sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di

antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya

adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah

vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina

krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus. 4

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada

pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada

pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di

bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah

cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan

ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga

kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-

kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 4

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini

berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun

kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa.

Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar

6
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung

tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi

(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada

saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus

laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi

laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia

lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 4

Gambar 1: Anatomi Tenggorokan

Gambar 2: Pembagian Faring

7
2.2 Fungsi Faring

Fungsi faring adalah sebagai berikut :

1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu

menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam

menelan yaitu fase oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral,

bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja

(voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan

melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase

esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus

makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung. 4

2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot

palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum

mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi

sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan

m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama

m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring

m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hampir

mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh

tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi

akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil

gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi

aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja

tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa

8
tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula

pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat

bersamaan dengan gerakan palatum. 4

2.3 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan saluran otot vertikal antara hipofaring sampai

ke lambung. Panjangnya 23 sampai 25 cm pada orang dewasa. Di mulai dari

batas bawah tulang rawan krikoid atau setinggi vertebra C.VI, berjalan

sepanjang leher, mediastinum superior dan posterior, di depan vertebra

servikal dan torakal, dan berakhir pada orifisium kardia lambung setinggi

vertebra Th.XI. Melintas melalui hiatus esofagus diafragma setinggi

vertebra Th.X.5

Esofagus dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tak berkeratin yang

tebal dan memiliki dua sfingter yaitu sfingter atas dan sfingter bawah.

Sfingter esofagus atas merupakan daerah bertekanan tinggi dan daerah ini

berada setinggi kartilago krikoid. Fungsinya mempertahankan tonus, kecuali

ketika menelan, bersendawa dan muntah. Meskipun sfingter esofagus atas

bukan merupakan barrier pertama terhadap refluks, namun dia berfungsi

juga untuk mencegah refluks keluar dari esofagus proksimal menuju ke

hipofaring.5

Sfingter bawah esophagus panjangnya kira-kira 3 cm, dapat turun 1-

3 cm pada pernafasan normal dan naik sampai 5 cm pada pernafasan dalam,

merupakan daerah bertekanan tinggi yang berada setinggi diafragma.

9
Sfingter ini berfungsi mempertahankan tonus waktu menelan dan relaksasi

saat dilalui makanan yang akan memasuki lambung serta mencegah refluks,

relaksasi juga diperlukan untuk bersendawa.5

Menurut letaknya esofagus terdiri dari beberapa segmen :5

1) Segmen servikalis 5-6 cm ( C.VI-Th. I )

2) Segmen torakalis 16-18 cm ( Th. I-V )

3) Segmen diafragmatika 1-1,5 cm ( Th. X )

4) Segmen abdominalis 2,5-3 cm ( Th. XI )

Esofagus memiliki beberapa daerah penyempitan :

1) Daerah krikofaringeal, setinggi C. VI

Daerah ini disebut juga Bab el Mandeb / Gate of Tear, merupakan bagian

yang paling sempit, mudah terjadi perforasi sehingga paling ditakuti ahli

esofagoskopi.

2) Daerah aorta, setinggi Th. IV

3) Daerah bronkus kiri, setinggi Th. V

4) Daerah diafragma, setinggi Th. X .

2.4 Fisiologi Menelan :

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut :

a. Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik

b. Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase

menelan

10
c. Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat

respirasi

d. Mencegah masuknya maknan dan minuman ke dalam nasofaring dan

laring

e. Kerjasama yang baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong bolus

makanan ke arah lambung

f. Usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut,

faring dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara

berkesinambungan.6

2.5 Definisi

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah salah satu manifestasi

refluks ekstra esofagus dimana terjadi aliran balik asam lambung ke daerah

laring, faring, trakea dan bronkus yang menyebabkan kontak dengan jaringan

pada traktus aerodigestif atas yang menimbulkan jejas pada laringofaring dan

saluran napas bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring,

laring dan paru.1,2

2.6 Epidemiologi

GERD umumnya ditemukan pada populasi di negara-negara Barat,

dengan angka kejadian 10-15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun

(35%). Hal ini berhubungan dengan pola konsumsi (kebiasaan diet)

masyarakat barat, olahraga, genetik dan kebiasaan berobat. Prevalensi

esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di Negara-negara

11
non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di Cina dan 2,7% di Korea).

Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun

divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN

Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8%

dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi

dyspepsia.2,3,9

Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan kasus GERD

dihubungkan dengan peningkatan gejala- dan tanda pada laring . Kejadian

GERD berkisar antara 7%-25% per suatu populasi, dimana sekitar 4%-10%

pasien tersebut mencari pengobatan pada spesialis THT akibat keluhan yang

dihubungkan dengan GERD. Telah diperkirakan lebih dari 50% pasien

dengan gangguan suara yang datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh

LPR yang merupakan manifestasi ekstra esophagus dari GERD.2,3

2.7 Etiologi

Penyebab dari LPR di antaranya adalah:

Menurunnya tekanan LES karena hiatus hernia, diet (lemak, coklat, mint,

produk susu, dll), tembakau, alkohol, obat-obatan (teofilin, nitrat,

dopamine, narkotik, dll).

Motilitas esofagus yang abnormal karena penyakit neuromuskular,

laringektomi, etanol.

Penurunan resistensi mukosa karena radioterapi rongga mulut, radioterapi

esofagus, xerostomia.

12
Penurunan salivasi

Pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena obstruksi, diet

(lemak), tembakau, dan alkohol.

Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan

yang berlebihan, minuman karbonasi.

Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan,

alkohol, die

2.8 Patogenesis

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high

pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter

(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada

saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran

retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari

gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada

atau sangat rendah (<3 mmHg). Tekanan LES pada individu normal 25-35

mmHg.1,8

PRGE merupakan peristiwa multifaktorial. Refluks gastroesofageal

pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1,8

1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat

2) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

3) Meningkatnya tekanan intraabdomen.

13
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya

tonus LES menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya

peningkatan tekanan intraabdomen. Faktor-faktor yang dapat menurunkan

tonus LES diantaranya adalah: 1,8

a. Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk

bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES)

b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)

c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan

lain-lain.

d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone

dapat menurunkan tonus LES).

Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang

diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera

langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate.

Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak

mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti

esophagus. Terdapat beberapa teori yang mencetuskan respon patologis

karena cairan refluks ini :

1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan

refluks yang mengandung asam dan pepsin. Beberapa penelitian telah

menyimpulkan bahwa cairan asam dan pepsin merupakan zat berbahaya

bagi laring dan jaringan sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik

utama lambung. Aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak

14
aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat

kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.

2. pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks vagal sehingga Asam

lambung akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem

(throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan lesi

pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan perubahan

patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga menyebutkan bahwa

rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam lambung juga akan

menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan

gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks vagal

eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat saja

tidak ditemukan inflamasi di daerah laring.1,7,9

Dalam suatu penelitian, dikatakan bahwa agen spesifik yang

bertanggung jawab pada gejala THT dan patologi laring masih belum

diketahui pasti dan masih banyak diperdebatkan. Beberapa menyebutkan

adanya komposisi asam lambung seperti asam dan pepsin, serta komposisi

duodenum seperti asam empedu dan enzim pancreas tripsin menyebabkan

keluhan THT akibat GERD.3

Pada penelitian in vivo, didapatkan pajanan asam lambung dapat

menyebabkan kerusakan pada bagian subglotic, namun kerusakan yang lebih

hebat terlihat pada kombinasi pajanan asam lambung serta pepsin. Observasi

yang sama dilakukan pada pajanan asam serta pajanan kombinasi asam dan

pepsin terhadap esophagus, dan didapatkan hasil yang sama yaitu kerusakan

15
yang lebih berat terjadi pada pajanan asam lambung disertai pepsin. Namun

belum didapatkan hasil peneliatian mengenai efek asam empedu serta tripsin

pada patologi laring.3,9

Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari

patofisiologi LPR yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim

carbonic anhydrase. Enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks.

Pada keadaan epitel laring normal kadar enzim ini tinggi. Terdapat hubungan

yang jelas antara kadar pepsin di epitel laring dengan penurunan kadar protein

yang memproteksi laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan squamous

epithelial stress protein Sep70. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan

enzim ini 64% ketika dilakukan biopsy jaringan laring. 3,9

2.9 Gejala Klinis

Gejala klinis LPR adalah sebagai berikut : 1,2,8

Suara serak

Batuk

Globus faringeus

Throat clearing

Disfagia

Nyeri tenggorokan

Wheezing

Laringospasme

Halitosis

16
GERD LPR
Heartburn + -
Esofagitis + Jarang
- (kecuali sangat Selalu laringitis
Laringitis
parah) posterior
Perubahan Suara - +
Abnormalitas Spincter LES UES
Refluks Nokturnal/saat berbaring Siang hari/saat berdiri

Tabel 1 : Perbedaan GERD dengan LPR

2.10 Diagnosis

Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan

pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan

penunjang sering digunakan untuk menegakkan diagnosis.1,8,9

2.10.1 Riwayat Penyakit (Anamnesis) 1,8,9

Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata

dan utama. Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi

lain seperti keadaan alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradox dari

pita suara dan spasme laring juga dapat dikarenakan LPR sehingga perlu

ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan dan perubahan

suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering

dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang

asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan

perbaikan keluhan pada kasus asma 78%.

17
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti

rasa seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat

mengkonsumsi obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta

riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini

membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering

datang dengan keluhan yang tidak pasti.

Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol,

92% ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol

ditenggarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus

bawah, kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan

lambung dan merangsang sekresi lambung.

Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik,

yaitu Reflux Symptom Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat

relatif dari gejala LPR saat penilaian awal dan setelah pengobatan. Ada 9

gejala refluks (Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat digunakan untuk

menentukan adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan sesudah terapi.

Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem,

penumpukan dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar menelan,

batuk setelah makan, sulit bernafas atau tersedak, batuk yang sangat

mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di tenggorok, nyeri dada

atau rasa asam naik ke tenggorok.

Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan

rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma

18
laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%. Skor RSI

adalah 0-45 dengan skor 13 curiga LPR. RFS lebih dari atau sama

dengan 7 pasien dianggap memiliki LPR.

Tabel 2 : Reflux Symptom Index (RSI)

19
Tabel 3 : Reflux Finding Score (RFS)

2.10.2 Pemeriksaan Fisik


Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi

komissura posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme,

stenosis subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada

laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling

bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura

posterior. 1,8,9

20
Gambar 4 : Hipertrofi komissura Posterior

Gambar 5 : Laringitis Refluks dan Granuloma

2.10.3 Pemeriksaan Penunjang

a) Laringoskopi fleksibel

Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya

yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan

mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop rigid. 1,8,9

b) Monitor pH 24 jam di faringoesofageal

Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH

monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR.

Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini

21
dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada

pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif

dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat

membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan

dibawah sehingga dapat menentukan adanya LPR atau GERD.

Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak

nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%. Hal ini

dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau

berhubungan dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak

terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks

asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini

disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan supresi

asam. 1,8,9

c) Pemeriksaan Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai

pemeriksaan awal pada pasien suspek PRGE dengan manifestasi

penyakit otolaringologi dan tidak merupakan prasyarat untuk memulai

terapi medik.

Indikasi Pemeriksaan endoskopi :

Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, odinofagia,

berat badan menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk

menyingkirkan kelainan traktus gastrointestinal atas, metaplasia Barret

dan komplikasi lain.

22
Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medik, pasien yang

mengalami gejala lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil

terapi.

Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam

penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30%

pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita

temukan gambaran garis melingkar barret dengan atau tanpa adanya

inflamasi esofagus.

d) Pemeriksaan videostroboskopi

Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber

cahaya xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini

dapat dilihat dengan gerakan lambat.

e) Pemeriksaan laringoskopi langsung.

Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan

diruangan operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan

jaringan sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsy

23
2.11 Penatalaksanaan

Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan

gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi

funduplikasi. 1,8,9

2.11.1 Modifikasi diet dan gaya hidup.

Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang

tepat agar terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai

pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR.

Pasien akan mengalami pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan

gaya hidup sehat. Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien seperti

makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi makan,

hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter esofagus seperti

makanan berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol, mint, coklat, buahan

dan jus yang asam, cuka, dan tomat. Anjuran lain seperti menurunkan

berat badan jika berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang

ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10- 20cm dan

mengurangi stress. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan

merangsang refluks. Hindari pakaian yang terlalu sempit terutama celana,

korset dan ikat pinggang. Hindari olahraga seperti angkat berat,

berenang, jogging dan yoga setelah makan. Tinggikan kepala jika ada

gejala refluks nokturnal seperti suara serak, tidak nyaman di tenggorok,

dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi daging merah, mentega, keju,

telur dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu makanan gorengan,

24
makanan tinggi lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang asam, soda,

dan alkohol. 1,9

2.11.2 Medikamentosa

Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton

merupakan terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani

kasus refluks. Cara kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hydrogen

cairan refluks tetapi tidak dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks.

PPI dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%.

Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3

sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu

pengobatan dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2

kali sehari untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam penelitian

sebelumnya Omeprazole disebut sebagai derivat PPI yang ampuh

ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan Pantoprazole dianggap lebih

maksimal dalam menekan asam lambung. Kemudian zat proteksi

mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa

dari cedera akibat asam dan pepsin. Promotility Agents, obat ini bekerja

dengan cara meningkatkan tekanan LES (lower esophagus spincters),

meningkatkan pengosogan lambung dan dapat meningkatkan mekanisme

pembersihan esophagus, Metoclopramid 10/15 mg. Pemeriksaan

sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna memantau gejala

atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan. 1,8,9

25
2.11.3 Terapi Pembedahan

Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/barier

pada daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah

refluks seluruh isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada

pasien yang harus terus menerus minum obat atau dengan dosis yang

makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung. Sekarang ini

tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi laparoskopi yang

kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi,

perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi

esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka

komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama

pada kasus LPR. 1,8,9

2.12 Komplikasi

LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti

faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi

dan keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan

mengancam nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada

75% pasien stenosis laring dan trakea. 1,9

26
2.13 Prognosis

Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%,

dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan

gaya hidup. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan

pada pasien dengan laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan

terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami

kekambuhan setelah berhenti berobat, sedangkan prognosis keberhasilan

dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu

memberikan angka keberhasilan 86%.1,9

27
BAB III

KESIMPULAN

Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat

didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring

dan laring serta saluran pencernaan atas. Penyebab LPR adalah refluks retrograd

dari asam lambung atau isinya pepsin ke saluran esofagus atas dan menimbulkan

cedera mukosa karena trauma langsung sehingga terjadi kerusakan silia yang

menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis

akibatnya akan terjadi iritasi dan inflamasi. Diagnosis penyakit ini dapat

ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat tentang keluhan penderita

ditunjang dengan pemeriksaan khusus. Penatalaksanaan PRGE terdiri dari

beberapa tahap antara lain mengubah kebiasaan hidup, obat-obatan dan operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

o Yunizaf, M.H & Iskandar, N. Penyakit Refluks Gastroesofagus dengan


Manifestasi Otolaringologi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi ketujuh. FKUI. Jakarta.2012.
Hal. 270-273.
o Andriani, Y. dkk. Deteksi pepsin pada penderita refluks laringofaring
yang didiagnosis berdasarkan reflux symptom index dan reflux finding
score. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. 2005
o Faezi, M.F, et al. Reviews : Laryngeal Signs and Symptoms and
Gastroesophageal Reflux
o Disease (GERD): A Critical Assessment of Cause and Effect Association.
Clinical Gastroenterology and Hepatology. Cleveland. 2003;1:333344 .
Available from : http://www.usagiedu.com/articles/entger/entger.pdf
o Rusmarjono, Kartosoediro, S. Odinofagia. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2007. Hal 212-216.
o Soepardi, E.A. Disfagia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi keenam. FKUI. Jakarta.2007.
Hal. 276-280
o Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam
Saluran Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran edisi 11. EGC. Jakarta. 2007. Hal. 821-831
o Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
o Novialdy & Irfady,D. Laryngopharyngeal Refluks. Bagian Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala-Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Padang. 2005. Available from:
http://repository.unand.ac.id/17700/1/Laryngopharingeal_reflux.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai