Anda di halaman 1dari 19

Penegakan Prinsip Etika Kedokteran

pada Kasus Bayi dengan Fraktur Klavikula

Kelompok B5
Yulita Hera (102011132)
Harristi Friasari Adiati (102013029)
Budi Hartono (102013079)
Yuanita Patrecya Herlianti (102013216)
Marike Ubra (102013379)
William Tanujaya (102013438)
Siti Hajar Binti Suffian (102013489)
Mohd Aizat Bin Zulkifli (102013524)
Sisilia Dina Mariana (102016290)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat

Skenario 6:
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter Obgyn B sewaktu
melahirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. baik dokter B maupun dokter C tidak
pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat
disana. 10 hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya,
pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk kalus. Kepada
dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula, dan kapan
kira-kira terjadinya. Bila benar patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, maka akan
menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak
dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga
sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A bepikir apa yang sebaiknya
katakan.

Pendahuluan
Apa yang akan dibahaskan berkaitan dengan kasus dia atas adalah prinsip-prinsip
etika kedokteran, hubungan antara dokter pasien, hubungan antara teman sejawat, dan
dampak hukum yang mungkin timbul dari keputusan dokter. Pada dasarnya suatu profesi

1
memiliki 3 syarat utama yaitu, diperoleh dari pelatihan ekstensis, memiliki komponen
intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya dan memberikan pelayanan penting
kepada masyarakat. Dalam menyelesaikan kasus sehari-hari dokter senantiasa selalu dituntut
untuk memiliki sikap profesional. Dokter juga dalam melakukan perkerjaannya harus
memperhatikan etika, disiplin dan hukum kedokteran.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1953), etika adalah ilmu
pengetahuan tentang azas akhlak. Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku
para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman
sejawat dan mitra kerja. Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi
profesi bersama-sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-
tiap jenis tenaga kesehatan telah memiliki Kode Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan
tersebut mengacu pada Kode Etika kedokteran Indonesia (KODEKI).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai seorang dokter yang diminta pendapatnya
oleh pasien atas kasus kecurigaan kelalaian medik yang dilakukan oleh sesama dokter.

I. Prinsip Etika Kedokteran

Prinsip etika kedokteran merupakan prinsip yang harus dipegang oleh setiap dokter.
Prinsip etika kedokteran mencakup etika kedokteran, etika klinik, dan etik dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan.1
1. Etika Kedokteran
Etika kedokteran digunakan dalam menentukan tindakan dalam bidang kesehatan atau
kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar manusia, dengan
mempertimbangkan juga hak-hak asasi pasien. Ada 4 kaidah dasar moral yang digunakan
untuk mengambil keputusan etik menurut Beauchamp dan Childress (1994), yaitu :1
Beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang bertujuan untuk
kebaikan pasien, agar manfaat yang didapatkan pasien lebih besar dari pada kerugian.
Non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan
pasien, dikenal dengan primum non nocere atau above all do no harm.
Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya.
Autonomy, yaitu prinsip moral yag menghormati hak-hak pasien, terutama hak autonomi
pasien. Prinsip moral ini yang kemudian menghasilkan doktrin informed consent.

2
2. Etika Klinik
Dalam situasi klinik, pengambilan keputusan etik dilakukan berdasarkan topik esensial
dalam pelayanan klinik. Menurut Jonsen, Siegler dan Winslade (2002), empat topik esensial
dalam pelayanan klinik, yaitu :1
Medical indication
Dalam hal ini, yang termasuk dalam medical indication, yaitu semua prosedur diagnostik
dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan pengobatannya. Pengambilan
keputusan etik dalam aspek indikasi medis terutama menggunakan kaidah beneficence dan
non maleficence. Selain itu juga, aspek ini juga mencakup penyampaian seluruh informasi
medis yang layak untuk pasien pada doktrin informed consent.
Patient preferrences
Dalam hal ini, nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya perlu diperhatikan. Pengambilan keputusan etik dalam aspek ini berdasarkan
kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, pembuat keputusan bila pasien
tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll.
Quality of life
Quality of life merupakan salah satu tujuan kedokteran yang dapat dilakukan dengan
memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Aspek ini berkaitan dengan
beneficence, non maleficence, dan autonomy.
Contextual features
Dalam hal ini, pengambilan keputusan etik dipengaruhi aspek non medis, seperti faktor
keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor hukum.

Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban
terhadap diri sendiri. KODEKI diatur dalam S.K.P.B. IDI No : 221/PB/A.4/04/2002, adalah :2

Kewajiban Umum:
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3

3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien:

4
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien
kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat:


Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri:


Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.

Dengan tersusunnya Kode Etik Kedokteran ini berserta dengan prinsip-prinsip moral
dasar dan teori etik klinik, diharapkan dokter-dokter dapat memberikan pelayanan yang
terbaik. Dalam hal seorang dokter melanggar etika kedokteran (tanpa melanggar norma
hukum), maka ia dapat dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban.1

II. Hubungan Dokter Pasien


Hubungan dokter dengan pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang berdasarkan
atas kepercayaan antara keduanya. Keberhasilan suatu pengobatan tergantung di antaranya

5
pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya. Hal inilah yang menyebabkan
hubungan seorang pasien dengan dokternya kadang sulit tergantikan oleh dokter lain.Akan
tetapi, hubungan ini dalam beberapa tahun terakhir ini telah berubah akibat makin
menipisnya keharmonisan antara keduanya.
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-inferior)
sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara
jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan
keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan
mengundang masalah.
Teori hubungan dokter dengan pasien dapat dilukiskan dari aspek sifat antara lain :
1) Bersifat religius
Pada awal profesi kedokteran, dipercaya bahwa timbulnya penyakit berasal dari
kemarahan dewa. Seorang yang sedang sakit melapor kepada sang pemimpin agama lalu
dibuat upaya keagamaan utuk penyembuhan.
2) Bersifat paternalistis
Pada perkembangan selanjutnya, muncul pembagian pekerjaan dimana orang orang
pandai pada masanya memiliki pemikiran tersendiri. Salah satunya adalah ada orang
orang yang mau menolong orang sakit. Orang tersebut boleh dikatakan dokter generasi
pertama dan tidak lagi berhubungan dengan upacara keagamaan. Dokter zaman dahulu
mempunyai murid dan menurunkan keahliannya kepada muridnya itu. Profesi kedokteran
seperti ini dimulai pada abad ke-5 SM oleh Hipokrates di Yunani.
Ilmu kedokteran sejak zaman Hipokrates hingga sekarang disebut juga seni kedokteran
(medicine is a science and art). Dokter zaman kuno menerima imbalan sebagai tanda
kehormatan, karena itu imbalan tersebut disebut honorarium (honor = hormat). Seiring
dengan perkembangan teknologi kedoteran dan teknologi informasi, terjadilah perubahan
dalam hubungan kedokteran. Teknologi kedokteran dan informasi memberikan dampak
positif seperti diagnosa dan terapi yang tepat, selain juga damak negatif seperti tingginya
biaya pengobatan. Selain itu, akibat lain dari modernisasi adalah perubahan hubungan
dokter dan pasien dari paternalistis enjadi hubungan baru yang lebih menonjolkan aspek
bisnis sehingga hubungan dokter dan pasien berubah menjadi hubungan antara penyedia
jasa dan konsumen.
3) Bersifat penyedia jasa dan konsumen
Hubungan jenis ini disebut juga provider dan consumer relationship. Perubahan dari
paternalistis ke hubnugan ini bertepatan dengan perkembangan teknologi informasi

6
dimana masyarakat makin sadar akan hak haknya serta mampu menilai pekerjaan dokter.
Berikut ini merupakan faktor faktor yang dapat mengidentifikasi berakhirnya era
paternalistis :
Pelayanan kesehatan mulai bergeser dari pelayanana prorangan ( praktik pribadi )
menuju praktik pelayanan di rumah sakit.
Perkembangan ilmu teknologi kesehatan memberikan kesempatan tindakan yang
makin canggih. Namun, tidak semua tindakan berhasil dengan baik sesuai harapan.
Kekecewaan sering menimbulkan tuntutan hukum.
Pengacara terlibat
Dalam era provider and costumer ini, terbentang jarak psikologis antara dokter dan
pasien. Seolah ada dua pihak yang menandatangani kontrak perjanjian dimana pasien
harus membayar dan dokter harus bekerja. Dengan demikian, unsur bisnis terasa kental.
Akibat dari pola hubungan ini, masyarakat mudah menuntut bila merasa tidak puas dan
dokter bersikap defensif ( defensive medical service ), ini membuat hubungan dokter dan
pasien sedikit merenggang. Berdasarkan pola hubungan ini, tidak heran bahwa dalam
undang-undang perlindungan konsumen, praktik dokter dimasukkan ke dalam industri
jasa, dan dengan sendirinya praktik kedokteran masuk dalam undang undang
perlindungan konsumen. Kondisi ini menggelisahkan para dokter sehingga sebagian
dokter senior berusaha untuk merumuskan pola hubungan baru, yaitu pola kemitraan
dokter-pasien.
Seiring dengan perubahan masyarakat, hubungan dokter - pasien juga semakin
kompleks, yang ditandai dengan pergeseran pola dari paternalistic menuju partnership,
yaitu kedudukan dokter sejajar dengan pasien (dokter merupakan partner dan mitra bagi
pasien).
4) Bersifat upaya bersama dan kemitraan
Dalam kondisi sakit, baik berat maupun ringan, baik sakit fisik maupun mental, seorang
pasien membutuhkan dokter. Di lain pihak, budaya paternalistis di Indonesia jangan
sampai disalahgunakan oleh dokter yang tujuan utamanya adalah mencari uang tanpa
memerhatikan kondisi pasien. Budaya saling menghargailah yng justru harus
dikembangkan agar ada rasa saling percaya antara pasien dan dokter. Di Indonesia bayak
pasien mengajukan tuntutan hukum kepada dokter, sementara sang dokter bersikap
defensif. Semakin banyak jug pasien yang pergi ke luar negeri untuk berobat karena tidak
lagi mempercayai kompetensi dokter di Indonesia. Tidak sedikit pula dokter senior yang
sangt diminati pasien hingga harus berpraktik hingga dini hari, padahal banyak pasiennya

7
yang bisa dirujuk atau didelegasikan kepada dokter lain. Kondisi ini menyebabkan dokter
tidak bisa bekerja maksimal dan mengecewakan pasien. Peristiwa berlebihan semacam
inilah yang akan diatur oleh IDI dengan pembatasan tempat praktik dan pelayanan dokter
di maksimum tiga tempat. Hal tersebut tertuang dalam Undang undang no. 29 tahun
2004 tentang praktik kedoteran dan kedokteran gigi.
Hubungan dokter-pasien semestinya atas saling percaya, bukan kontrak bisnis. Dokter
maupun pasien sama-sama profesional dan proporsional dalam memecahkan
permasalahan kesehatan. Dokter harus selalu berlaku profesional dalam menjalankan
profesinya, serta mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait
dengan tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami aspek yang
terkait dengan pengambilan keputusan medis sehingga mengerti manfaat dan risiko dari
tindakan medis tersebut.

III. Hubungan Dokter dengan Teman Sejawat


Hubungan dan kinerja teman sejawat
Seorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman sejawat lain,
kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap saat. Jika seorang
dokter memiliki kekhawatiran bahwa teman sejawatnya tidak dalam keadaan fit untuk
praktek, dokter tersebut harus mengambil langkah yang tepat tanpa penundaan, kemudian
kekhawatiran tersebut ditelaah dan pasien terlindungi bila diperlukan. Hal ini berarti
seorang dokter harus memberikan penjelasan yang jujur mengenai kekhawatiran terhadap
seseorang dari tempat ia bekerja dan mengikuti prosedur yang berlaku. Jika sistem
setempat tidak memadai atau sistem setempat tidak dapat menyelesaikan masalah dan
seorang dokter masih mengkhawatirkan mengenai keselamatan pasien, maka dokter harus
menginformasikan badan pengatur terkait.

Menghormati teman sejawat


Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat.
Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman sejawatnya,
atau mendiskriminasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.
Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar kepada
teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau
terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.

8
Berbagi informasi dengan teman sejawat
Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah penting untuk keselamatan
dan keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien, dokter tersebut
harus memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya, termasuk riwayat
medis dan kondisi saat itu. Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran
untuk seorang pasien kepada dokter umum, maka ia harus memberitahu hasil
pemeriksaan, terapi yang diberikan dan informasi penting lainnya kepada dokter yang
ditunjuk untuk kelangsungan perawatan pasien, kecuali pasien tersebut menolak.
Jika seorang pasien belum dirujuk dari dokter umum kepada dokter spesialis, dokter
spesialis tersebut harus menanyakan kepastian pasien tersebut untuk memberitahu dokter
umumnya sebelum memulai terapi, kecuali dalam keadaan gawat darurat atau saat keadaan
yang tidak memungkinkan. Jika dokter spesialis tersebut tidak memberitahu dokter umum
yang merawat pasien tersebut, dokter spesialis tersebut harus bertanggung jawab untuk
menyediakan atau merencanakan semua kebutuhan perawatan.

IV. Dampak Hukum

A. Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek


medik
Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek
medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan. Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure
(SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan
pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record) dan
informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Cara dan tahapan
mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medis adalah dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

9
Indonesia (MKDKI) yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) atas dasar hubungan lintas sektoral dan saling menghargai komunitas profesi.
Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI
menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana. Untuk
pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK),
pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan
pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan
kepada pihak kepolisian atau ke pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada
pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan
tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang ditetapkan
dalam Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat
1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan
kepada tingkat pengadilan maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan
rekam medik (medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1
KUHAP).

B. Hukum kedokteran akibat kelalaian


Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya
kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan
hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu
mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang
dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan genus (kumpulan) dari
kelompok perilaku profesional medis yang menyimpang dan mengakibatkan cedera,
kematian atau kerugian bagi pasiennya.
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan
mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa
memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut,
seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.4

10
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin
profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi
yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan
kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis
yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan


praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin profesi, yaitu
permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan
internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang
(profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam
sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus
tersebut kepada MKEK.

Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya
berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan
perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling
berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK
belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.

Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian

11
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.

Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :

1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan

2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/
brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat
Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan
dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis,
dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat
pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak
perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis
persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen
umumnya disahkan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti
keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).

Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of
proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga
tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada
preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan
bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang
diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat
kepastian yang dibutuhkan.5

Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK
IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin

12
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di
Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional
conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in
professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-
istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran
yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan
kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan
tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK.

Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.5

V. Fraktur Clavikula pada Neonatus

Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh tindakan-
tindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma akibat tindakan,
cara persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering kita sebut sebagai
cedera atau trauma lahir. Partus yang lama akan menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis.
Kebanyakan cedera lahir ini akan menghilang sendiri dengan perawatan yang baik dan
adekuat. Fraktur yang berhubungan dengan trauma lahir sering terjadi saat proses persalinan.
Prevalensi fraktur berhubungan dengan banyak faktor antara lain faktor ibu, faktor janin, dan
keahlian penolong persalinan. Trauma saat lahir sebagian besar akibat persalinan pervaginam
yang sulit misalnya pada presentasi puncak kepala, lengan yang tertahan pada kelahiran sungsang,
distokia bahu, dan penggunaan instrumen forsep danekstraksi vakum.6

Clavicula adalah tulang yang paling pertama mengalami pertumbuhan pada masa
fetus, terbentuk melalui 2 pusat ossifikasi atau pertulangan primer yaitu medial dan lateral
clavicula, dimana terjadi saat minggu ke-5 dan ke-6 masa intrauterin. Kernudian ossifikasi

13
sekunder pada epifise medial clavicula berlangsung pada usia 18 tahun sampai 20 tahun. Dan
epifise terakhir bersatu pada usia 25 tahun sampai 26 tahun.

Fraktur Klavikula merupakan cedera yang terjadi oleh trauma pada waktu persalinan.
Fraktur ini merupakan jenis yang tersering pada bayi baru lahir. Pengobatannya adalah
Reposisi abduksi 60 derajat, fleksi 90 derajat, dan imobilisasi. Patah tulang pada bayi akan
cepat sembuh dalam 7-10 hari.

Faktor predisposisi fraktur klavikula adalah :

a. jalan lahir yang kaku: primipara, multipara usia tua, malformasi pelvis,
b. kegagalan adaptasi terhadap jalan lahir yang adekuat: letak sungsang, persalinan
presipitasi,
c. bayi relatif besar terhadap jalan lahir: makrosomia, disproporsi sefalopelvik, distokia
bahu,
d. presentasi abnormal: letak muka, letak lintang,
e. penggunaan ekstraksi vakum atau forsep, dan
f. prematuritas.6

Beberapa gejala klinis fractur klavicula greenstick :

1. Gerakan tangan kanan dan kiri tidak sama.


2. Refleks moro asimetris.
3. Bayi akan menangis pada perabaan kalvicula.
4. Gerakan pasif tangan yang sakit.
5. Riwayat persalinan yang sukar. 7

Penyembuhan fraktur

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Setiap tulang yang mengalami
cedera, misalnya fraktur karena kecelakaan, akan mengalami proses penyembuhan. Fraktur
tulang dapat mengalami proses penyembuhan dalam 3 tahap besar:
1. Fase inflamasi

14
Fase ini terjadi segera setelah tulang mengalami fraktur dan akan berakhir dalam
beberapa hari. Ketika terjadi fraktur, terjadi perdarahan yang akan memicu reaksi
inflamasi yang ditandai dengan hangat dan pembengkakan.
Inflamasi meliputi:
pemanggilan sel inflamasi (makrofag, PMN) yang mensekresikan enzim
lisosom untuk mencerna jaringan mati dan memanggil sel pluripoiten serta
fibroblast oleh mekanisme prostaglandin dan
pembekuan darah di lokasi fraktur yang bernama Hematoma.
Suplai oksigen dan nutrisi diperoleh dari tulang dan otot yang tidak terluka. Hal ini
diperlukan untuk stabilisasi struktural awal dan sebagai fondasi untuk membentuk
tulang baru. Fase ini merupakan fase paling kritis. Penggunaan obat antiinflamasi dan
sitotoksik pada satu minggu awal akan mengganggu reaksi inflamasi dan menghambat
penyembuhan tulang. Kelainan medikasi juga dapat mengganggu fase ini.
2. Fase perbaikan (bone production)
Fase ini diawali ketika jaringan bekuan darah hasil inflamasi digantikan dengan
perlahan dengan jaringan fibrosa yang mensekresikan bahan osteoid yang perlahan
termineralisasi dan juga bahan tulang rawan yang dinamakan soft callus.
Pembentukan soft callus ini berlangsung kira-kira 4-6 minggu. Pada fase ini juga
terdapat pembentukan pembuluh darah baru dan dihambat oleh nikotin. Selama
proses penyembuhan, soft callus akan digantikan dengan hard callus yang berisi
tulang lamellar yang mana dapat dilihat dengan sinar X. Fase pembentukan hard
callus memerlukan waktu 3 bulan, dan fiksasi diperlukan untuk mendukung dan
mempercepat osifikasi.
3. Fase remodelling
Tahap akhir ini memakan waktu beberapa bulan dan diperankan oleh osteoklas.
Dalam fase ini, tulang terus menjadi kompak dan kembali ke bentuk semula. Dan juga
aliran darah di area juga kembali. Ketika remodeling sudah adekuat (kekuatan tulang
akan diperoleh kira-kira 3-6bulan), weightbearing seperti berjalan dapat mendukung
remodeling lebih lanjut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan


1. Faktor sistemik
Umur: anak-anak lebih cepat sembuh daripada orang dewasa

15
Nutrisi: nutrisi yang tidak adekuat akan menghambat proses penyembuhan
Kesehatan umum: penyakit sistemik seperti diabetes dapat menghambat
penyembuhan
Aterosklerosis: mengurangi penyembuhan
Hormonal: GF mendukung penyembuhan, kortikosteroid menghambat
penyembuhan
Obat: obat antiinflamasi non-steroid (ibuprofen) mengurangi healing
Rokok : kandungan nikotin pada rokok menghambat penyembuhan di fase
perbaikan
2. Faktor lokal
Derajat trauma lokal: fraktur yang kompleks dan merusak jaringan lunak
sekitarnya lebih sulit sembuh
Area tulang yang terkena: bagian metafisis lebih cepat sembuh daripada
bagian diafisis
Tulang abnoemal (tumor, terkena radiasi, infeksi) lebih lambat sembuh
Derajat imobilisasi: pergerakan yang banyak dapat menghambat
penyembuhan, weighbearing dini
Lokasi Fraktur Masa Lokasi Fraktur Masa
Penyembuhan Penyembuhan

1. Pergelangan tangan 3-4 minggu 7. Kaki 3-4 minggu

2. Fibula 4-6 minggu 8. Metatarsal 5-6 minggu

3. Tibia 4-6 minggu 9. Metakarpal 3-4 minggu

4. Pergelangan kaki 5-8 minggu 10. Hairline 2-4 minggu

5. Tulang rusuk 4-5 minggu 11. Jari tangan 2-3 minggu

6. Jones fracture 3-5 minggu 12. Jari kaki 2-4 minggu

Tabel 1. Rata-rata masa penyembuhan fraktur.7

Rata-rata masa penyembuhan: Anak-anak (3-4 minggu), dewasa (4-6 minggu), lansia
(> 8 minggu). 7 Mengapa?

Pada anak, terdapat lempeng epifisis yang merupakan tulang rawan


pertumbuhan. Periosteum sangat tebal dan kuat dimana pada proses bone

16
helding akan menghasilkan kalus yang cepat dan lebih besar daripada orang
dewasa.
Perbedaan di atas menjelaskan perbedaan biomekanik tulang anak-anak
dibandingkan orang dewasa, yaitu :
Biomekanik tulang
Tulang anak-anak sangat porous, korteks berlubang-lubang dan sangat
mudah dipotong oleh karena kanalis Haversian menduduki sebagian
besar tulang. Faktor ini menyebabkan tulang anak-anak dapat
menerima toleransi yang besar terhadap deformasi tulang
dibandingkan orang dewasa. Tulang orang dewasa sangat kompak dan
mudah mengalami tegangan dan tekanan sehingga tidak dapat
menahan kompresi.

Biomekanik lempeng pertumbuhan


Lempeng pertumbuhan merupakan tulang rawan yang melekat pada
metafisis yang bagian luarnya diliputi oleh periosteum sedang bagian
dalamnya oleh procesus mamilaris. Untuk memisahkan metafisis dan
epifisis diperlukan kekuatan yang besar. Tulang rawan lempeng epifisis
mempunyai konsistensi seperti karet yang besar.

Biomekanik periosteum
Periosteum pada anak-anak sangat kuat dan tebal dan tidak mudah
mengalami robekan dibandingkan orang dewasa.

VI. Jalan Keluar

Dalam menanggapi kasus seperti ini, seorang dokter haruslah bersifat mendamaikan
dan bukan mengambil kesempatan atau memburuk-burukkan teman sejawat. Seorang dokter
juga hendaklah melaksanakan tugas asasi sebagai dokter sesuai dengan ketetapan hukum dan
etik seorang dokter. Beliau hendaklah berpegang teguh kepada sumpah kedokteran
terutamanya fasal pertama yaitu primum non nocere yaitu first do no harm. Beliau juga
harus menjaga hak dan kewajiban terhadap teman sejawat dengan tidak memburuk-burukkan
teman sejawat di depan pasien.

Tindakan pertama yang harus diambil oleh dokter A ini adalah melakukan
pemeriksaan yang sewajarnya sesuai dengan kasus yang dialami pasien ini. Seterusnya dokter

17
tersebut hendaklah menginformasikan kepada ibu pasien berkenaan kondisi pasien dan
selanjutnya mendapatkan inform consent untuk melakukan perawatan. Perawatan yang
dilakukan adalah sesuai dengan aturan atau SOP yang telah ditetapkan rumah sakit.

Seorang dokter tidak punya hak untuk mendakwa teman sejawatnya melakukan
malpraktek. Ibu pasien hendaklah melaporkan sebarang tuntutan malpraktek ke MKDKI.
Sebelum dakwaan malpraktek itu sendiri ditegakkan, terdapat banyak faktor yang harus
diambil perhatian seperti kronologi kejadian dan jenis kecederaan itu sendiri. Seperti dalam
kasus ini, patah tulang klavikula yang dialami pasien bisa jadi bukan akibat malpraktek
dokter, tetapi bisa juga terjadi akibat kelalaian ibu atau pengasuhnya. Jadi dalam menanggapi
tuduhan seperti ini, dokter (dan ibu pasien) harus merujuk kembali ke dokter B dan C dan
mendapatkan keterangan dari mereka. . Jika dokter B atau C ternyata melakukan malpraktek,
maka dokter B dan C akan dihukum sesuai ketetapan dalam hukum pidana.

V11. Intepretasi Kasus

Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus sesuai dan
berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain menghargai dan
melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang baik dengan rekan
sejawatnya. Dokter A dalam menghadapi pasien dan sejawatnya dilandaskan pada etika
kedokteran sbb:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Setiap dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih
saying dan penghormatan atas martabat manusia

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.

Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga
kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Jadi berdasarkan poin-poin etika kedokteran diatas, dokter diharapkan dapat tetap
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dalam memenuhi hak pasien tanpa melanggar
kode etik dan hubungan dengan sejawatnya.

18
Kesimpulan

Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Aspek
etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.

Setiap dokter diharapkan untuk memenuhi hak-hak pasiennya dalam melakukan


pelayanan medis dan membantu pasien dalam menentukan tindakan medis terbaik bagi
pasien tersebut. Oleh sebab itu, hendaknya seorang dokter dapat menjalankan profesinya
dengan semua keilmuan kedokterannya yang kompeten, serta berpedoman pada prinsip-
prinsip etika kedokteran dan peraturan hukum yang berlaku. Dalam hal memberikan pendapat
terutama yang berhubungan dengan kecurigaan tindakan medis yang dilakukan oleh sesama
dokter, seorang dokter harus memiliki banyak pertimbangan dengan mengingat etik terhadap
teman sejawat, hak-hak pasien untuk mengetahui penyakitnya dan juga disiplin, serta hukum
kedokteran.

Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik kedokteran dan hukum kedokteran


indonesia. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.
2. Kode Etik Kedokteran Indonesiadan Pendoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2006.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
4. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses
penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2008.h.244-51.
5. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode etik kedokteran Indonesia dan
pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran Indonesia. Jakarta; 2004.
6. Rosenberg AA. Traumatic birth injury. Neoreviews. 2003; 4: e270-e276.
7. Fauzi A, Rahyussalim, Aryadi, Tobing SD. Cedera sistem muskuloskeletal. Departemen
Bedah Divisi Orthopaedi dan Traumatologi FKUI/RSCM. Desember 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai