Anda di halaman 1dari 7

II.

TINJAUAN PUSTAKA
Daging adalah salah satu komoditi pertanian hasil hewani yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi protein karena protein daging
mengandung susunan asam amino yang lengkap. Daging didefinisikan sebagai
urat daging (otot) yang melekat pada rangka, kecuali urat daging bagian bibir,
hidung, dan telinga. Istilah daging digunakan untuk menunjukan daging utuh yang
telah dipisahkan dari tulangnya dan istilah karkas digunakan untuk daging yang
belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Muchtadi, 2010).
Daging merupakan bahan pangan yang mengandung banyak protein dan
asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Protein daging lebih mudah
dicerna dibandingkan dengan protein yang bersumber dari bahan pangan nabati.
Asam amini esensial merupakan pembangun protein tubuh yang tidak dapat
dibentuk di dalam tubuh. Kelengkapan asam amino esensial merupakan parameter
penting dari kualitas protein.
Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan oto (muscle
tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Unit
struktural jaringan otot yang biasa disebut dengan serabut otot terdiri dari
sejumlah miofibril yang dikelilingi oleh sarkoplasma (sitoplasma) dan dilindungi
oleh sarkolema (dinding sel). Miofibril terdiri dari serabut jalus yang disebut
miofilamen. Miofilamen terdiri dari dua macam protein, yaitu aktin (filamen tipis)
dan miosin (filamen tebal).
Daging juga mengandung sumber vitamin dan mineral. Secara umum,
daging merupakan sumber kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin B kompleks
(niasin, riboflavin, dan tiamin). Selain itu, daging mengandung kolesterol.
Kolesterol berperan dalam fungsi organ tubuh. Kolesterol berguna untuk
menyusun empedu darah, jaringan otak, serat saraf, hati, ginjal, dan kelenjar
adrenalin. Selain itu, kolesterol merupakan bahan dasar pembentukan hormon
steroid, yaitu progesteron, estrogen, testosteron, dan kortisol. Hormon-hormon
tersebut berguna untuk mengatur fungsi dan aktivitas biologis tubuh (Junaidi,
2011).
Warna merah pada daging disebabkan oleh kandungan protein yang
disebut mioglobin. Mioglobin adalah protein yang berfungsi untuk membawa
oksigen ke dalam sel otot. Sebuah molekul mioglobin terdiri dari sebuah gugusan
heme dari sebuah molekul protein globin. Heme dalam mioglobin disebut
feroprotoporfiri karena terdiri dari dari sebuah porfirin yang mengandung satu
atom besi (Fe). Protein globin merupakan sebuah molekul polipeptida yang terdiri
dari 150 asam amino (Muchtadi, 2010).
Mioglobin pada dasarnya berwarna merah keunguan dengan sifat larut
dalam air dan larutan garam encer. Pada daging sapi yang baru diiris daging akan
berwarna merah keunguan, namun apabila telah terkena oksigen, daging tersebut
akan berubah warna menjadi merah cerah karena mioglobin akan teroksidasi
menjadi oksimioglobin. Perubahan warna tersebut bersifat reversible. Oksidasi
lebih lanjut dari oksimiglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang
berwarna cokelat. Timbulnya warna cokelat menandakan bahwa daging terlalu
lama dibiarkan terkena udara bebas sehingga menjadi rusak. Kadar mioglobin
menjadi parameter yang membedakan antara daging merah dan daging putih. Pada
daging putih hanya memiliki sangat sedikit mioglobin.
Selain warna, kesegaran daging dapat dilihat dari teksturnya yang
mengkilat dan tidak pucat, tidak berbau asam atau busuk, daging elastis atau
sedikit kaku (tidak lunak), dan jika dipegang masih terasa kebasahannya namun
tidak menempel di tangan.
Daging hewan akan mengalami serangkaian perubahan biokimia dan
fisiokimia setelah dipotong karena sirkulasi darah berhenti dan memacu
berlangsungnya proses glikolisis anaerobik. Perubahan yang terjadi adalah sebagai
berikut :
1. Perubahan pH
Metabolisme yang terjadi setelah hewan mati bersifat anaerobik karena
tidak mendapatkan suplai oksigen akibatnya akan terbentuk asam laktat
pada akhir metabolisme. Adanya penimbunan asam laktat dalam daging
menyebabkan turunnya pH. Kecepatan penurunan pH dipengaruhi pula
oleh temperatur lingkungan. Semakin tinggi suhu akan semakin cepat pH
daging berkurang (menjadi lebih asam).
2. Perubahan Rigor Jaringan Otot
Rigor atau kekakuan adalah proses pengerasan fisiologis. Rigor terjadi
pada jaringan otot disebabkan oleh terhentinya proses respirasi. Apabila
proses respirasi berhenti akan menurunkan jumlah adenosin triphospat
(ATP) dan keratin phospat sebagai penghasil energi. Pada fase awal
kematian hewan (fase prerigor) jumlah ATP masih relatif konstan
sehingga jaringan otot masih bersifat lentur dan lunak. Apabila cadangan
glikogen habis, pembentukan ATP akan terhenti sementara pemecahan
ATP untuk menghasilkan energi akan terus berlangsung. Akibatnya, ATP
jaringan otot akan menyusut secara bertahap sampai pada kondisi ATP
sangat sedikit, maka akan terjadi proses rigor mortis sempurna. Pada
kondisi ini daging akan menjadi keras dan kaku. Setelah rigor mortis
terlewat, jaringan otot akan mengalami fase pascarigor. Fase tersebut
adalah kondisi dimana daging menjadi lunak kembali, namun karena
terjadinya penurunan pH.
3. Perubahan Kelarutan Protein
Penurunan kelarutan protein telah dimulai pada tahap prerigor.
Penurunan kelarutan protein dipengaruhi penurunan pH dan kekuatan
ikatan antara aktin dan miosin.
4. Perubahan Daya Ikat Air
Titik minimal daya ikat air daging bersamaan dengan pencapaian pH
terendah pada fase rigor mortis, yaitu antara pH 5,3-5,5 yang juga
bertepatan dengan titik isoelektrik protein otot (Muchtadi, 2010).
Segera setelah dilakukan proses pemotongan, daging akan menjadi lunak.
Setelah lunak, daging akan mengalami proses rigor. Untuk menghindari kealotan
daging akibat proses rigor maka salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah
membiarkan daging menyelesaikan proses rigornya yang dinamakan dengan
proses pelayuan atau aging. Pelayuan dilakukan selam beberapa waktu dengan
kondisi tertentu dengan tujuan untuk melunakkan kembali daging. Tujuan dari
pelayuan daging antara lain :
1. Agar proses pembentukan asam laktat dapat berlangsung sempurna
sehingga pertumbuhan bakteri dapat terhambat
2. Pengeluaran darah akan menjadi lebih sempurna
3. Lapisan luar daging menjadi kering sehingga mengurangi kontaminasi
bakteri dari luar
Agar diperoleh daging dengan kualitas tingkat keempukan yang optimal,
pada dasarnya terdapat tiga tahapan yang terjadi setelah ikan mengalami kematian
(Forrest et al., 1975 dikutip Nurwanto, 2003), yaitu:
1. Pre-rigor mortis, yaitu suatu tahapan yang berlangsung saat ikan mulai
mengalami kematian hingga ikan tersebut benar-benar mati. Pada tahap ini
tekstur ikan lembut kenyal. Pada tahap ini terjadi penurunan ATP dan
keratin fosfat. Ketidakberadaan oksigen mengakibatkan glikolisis terjadi
sehingga glikogen diubah menjadi asam laktat yang adalah jenis ikan,
kondisi ikan, tingkat kelelahan, ukuran ikan, cara penangkapan dan
temperature penyimpanan.
2. Rigor mortis, yaitu fase mengejangnya tubuh ikan yang menandai
kesegaran ikan. Pada fase ini daging menjadi kaku (menyebabkan
penurunan pH. Faktor yang memengaruhi lamanya pre-rigor mortis rigid).
Biasanya terjadi 1-7 jam setelah ikan mengalami kematian atau 3-120 jam
setelah kematian pada ikan yang dibekukan. Mulainya fase ini dipengaruhi
cara kematian dan kondisi penyimpanan. Pada ikan yang mati dengan
cepat fase rigormortisnya akan lebih lambat dibanding ikan yang mati
dengan sendirinya atau ikan yang lama mengalami kematian setelah
dimatikan. Semakin awal terjadinya rigor mortis semakin cepat pula
tahapan tersebut semakin cepat pula tahapan tersebut berakhir. Fase rigor
mortis terjadi lebih singkat pada suhu tinggi dan dipengaruhi juga oleh
penyimpanan, ikan yang disimpan di dalam lemari es memiliki waktu
rigor mortis yang lebih lama dibanding yang tidak disimpan di lemari es.
3. Pasca-rigor mortis, pada fase ini terjadi kreatin dan fosfat sehingga ATP
diubah menjadi ADP dan fosfat organik. ADP ikan terurai menjadi ribosa,
fosfat amonia dan hipoksantin sehingga pH naik menjadi 6,2-6,6.
Peningkatan hipoksantin yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan
pada ikan.
Beberapa sifat-sifat fisik daging segar seperti struktur, firmness, dan
tekstur adalah sukar diukur secara objektif. Faktor-faktor ini biasanya dinilai oleh
konsumen melalui penglihatan, perabaan, dan pencicipan. Namun, sifat-sifat ini
tidak kurang penting daripada beberapa sifat-sifat daging yang mudah diukur.
Beberapa faktor di dalam otot, seperti kondisi rigor dan hubungannya dengan
sifat-sifat daya ikat air, kandungan lemak intramuskuler, kandungan jaringan ikat,
dan ukuran berkas otot memberikan kontribusi terhadap sifat-sifat fisik.
Kondisi rigor
Selama proses pendinginan karkas, terjadi perkembangan kekerasan
otot yang jelas secara progressif jika dibandingkan dengan kondisi pada
sesaat setelah ternak disembelih. Perubahan ini dikatakan sebagai hasil
dari setting-up karkas selama pendinginan. Peningkatan kekerasan
(firmness) berkembang dari kehilangan ekstensibilatas diikuti dengan rigor
mortis, dan solidifikasi (pengerasan) lemak didalam dan sekitar otot. Pada
beberapa otot sarkomer menjadi sangat pendek (kira-kira 1,5 m),
menunjukkan bahwa filamen-filamen menghasilkan tingkat overlap yang
tinggi dan mikrostruktur adalah sangat ketat dan tebal.
Selama penyimpanan dan pengolahan daging segar, otot-otot
tetap firm (konsistensi keras, ekstensibel), kondisi lembab kecuali kalau
mengalami tingkat perubahan pascamerta yang tidak biasanya. Juga terjadi
beberapa perubahan yang sangat halus (tidak kentara) yang menghasilkan
perbaikan palatabilitas khususnya keempukan. Perubahan-perubahan ini
merupakan sebagian bertanggung jawab untuk perbaikan palatabilitas yang
berkaitan dengan maturasi (aging) daging.
Daya Ikat Air (WHC)
Tingkat kemampuan mengikat air dihubungkan dengan masing-masing
tingkat rigor, atau dengan tingkat perubahan pascamerta, dapat diamati
sebab mempunyai skala besar terhadap kekerasan (firmness), struktur, dan
tekstur. Otot-otot dengan proporsi ekstrem tinggi dalam mengikat air
adalah firm (keras), mempunyai struktur ketat, dan mempunyai tekstur
kering atau lengket. Sebaliknya jaringan dengan kemampuan mengikat air
yang rendah adalah lunak (soft) mempunyai struktur yang terbuka
(renggang), dan teksturnya basah atau berbiji/berurat. Pemerataan air
intraseluler pada kasus yang pertama dan air ekstraseluler pada kasus yang
terakhir menjelaskan perbedaan-perbedaan ini yang berhubungan dengan
kemampuan mengikat air.
Lemak Intramuskuler
Lemak intramuskuler (marbling) mempunyai kontribusi terhadap
kekerasan (firmness) daging refrigerasi. Pengerasan (solidifikasi) lemak
terjadi selama pendinginan dan membantu potongan-potongan eceran
(retail cuts), seperti steak dan chops, mempertahankan ketebalan yang
seragam dan bentuk yang khas selama penanganan dan
penyimpanan. Marbling juga merupakan factor visual, dan hal semacam
ini mungkin menyenangkan beberapa konsumen yang mengasosiasikannya
dengan cita-rasa dan kebasahan (juiciness), sementara yang lain mungkin
menjadi objek terhadap visualisasi lemak pada daging yang mereka beli.
Jaringan Ikat
Ukuran berkas otot individual (fasciculi) dan juga jumlah jaringan ikat
dalam otot akan mempengaruhi tekstur daging. Berkas serat otot yang luas
dan jumlah jaringan ikat perimisial yang luas sekitar berkas pertama dan
kedua dihubungkan dengan daging bertekstur kasar. Otot-otot pada daerah
limbs (tungkai dan lengan) yang merupakan bagian pergerakan
(lokomotif) secara ektensif mempunyai relative tinggi jumlah jaringan ikat
dan cenderung teksturnya kasar. Sementara itu otot-otot bagian belakang
yang jarang digunakan, seperti longissimus, dan khususnya otot psoas,
mempunyai jaringan ikat yang kurang banyak dan teksturnya halus. Otot-
otot yang kasar adalah kurang empuk daripada otot-otot yang teksturnya
halus, kecuali kalau metoda pemasakan khusus digunakan untuk
memecahkan jaringan ikat kolagen dan dengan demikian mengempukkan
daging.
Perimisium sekitar berkas otot pertama dan kedua tersusun atas
terutama kolagen. Kandungan kolagen perimisium berayun antara 54
98% diantara otot-otot utama daging sapi. Kandungan kolagen sekitar
kesluruhan otot berayun antara 13 24% pada daging sapi, sementara itu
disekitar endomisium serat-serat otot individual berayun antara 24 42%.
Jaringan ikat berperan utama dalam keempukan/kealotan daging.
Namun demikan keempukan produk daging merupakan hasil dari
kombinasi kompleks dari beberapa faktor dimana salah satunya dapat
mengurangi secara serius palatabilitas dari produk tersebut.

Anda mungkin juga menyukai