Anda di halaman 1dari 32

Riska Oktafiani

240210150060

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode


pengawetan bahan. Tujuan dasar pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air
bahan secara termal sampai ke tingkat tertentu, dimana kerusakan akibat mikroba
dan reaksi kimia dapat diminimalisasi, sehingga kualitas produk keringnya dapat
dipertahankan (Rizvi, 2005). Prinsip dari metode pengawetan dengan pengeringan
adalah dengan berkurangnya kadar air pada suatu bahan pangan, maka
mikroorganisme tidak akan tumbuh dan reaksi-reaksi kimia tidak akan berlangsung.
Pada dasarnya, enzim memerlukan air untuk aktivitasnya. Oleh karena itu,
penurunan kadar air dapat menurunkan aktivitas enzim. Namun tidak sepenuhnya
enzim non-aktif. Masih ada beberapa enzim yang aktif, tetapi reaksinya sangat
lambat karena berkurangnya gerakan dari substrat untuk meresap ke bagian aktif
dari enzim (Tjahjadi dan Marta, 2012). Sampel yang digunakan untuk praktikum
pengeringan rempah terdiri dari cabai merah, daun salam, bawang putih, bawang
merah, serai, jahe, lengkuas, dan kunyit. Sedangkan perlakuan pengeringan rempah
pada praktikum kali ini terdiri dari pengeringan menggunakan oven, food
dehidration, dan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari.

4.1 Pengeringan Cabai Merah


Untuk sampel cabai merah yang dikeringkan dengan menggunakan oven,
tahapan pertama yang dilakukan adalah cabai merah dilakukan penyortiran. Sortasi
adalah pemisahan bahan yang telah dibersihkan ke dalam berbagai fraksi kualitas
berdasarkan karakteristik fisik (kadar air, bentuk, ukuran, berat jenis, tekstur,
warna, benda asing atau kotoran), kimia (komposisi bahan, bau, dan rasa
ketengikan), dan biologis (jenis dan jumlah kerusakan oleh serangga, jumlah
mikroba dan daya tumbuh). Tujuan sortasi adalah untuk memilih bahan baku dan
bahan tambahan dengan kualitas yang diinginkan (Sunyoto, 2017). Selanjutnya,
cabai merah tersebut ditimbang sebayak 100 g. cabai merah yang telah ditimbang
kemudian dicuci dengen menggunakan air mengalir, tujuannya adalah untuk
membersihkan sisa-sisa kulit yang telah dikupas dan kotoran berupa tanah atua
debu yang menempel selama proses pemotongan (Sunyoto, 2017). Setelah itu, cabai
merah diiris dengan menggunakan pisau stainless steel dan dibelah (secara vertikal)
Riska Oktafiani
240210150060

menjadi 2 bagian. Permukaan pisau yang terbuat dari stainless steel akan terdapat
suatu lapiasan oksida (krom) yang sangat stabil, sehingga pisau ini tahan terhadap
korosi, serta dapat menghindari terjadi pencoklatan enzimatis (Tjhajadi, 2008).
Setelah itu, cabai merah direndam dalam larutan Na-Mtabisulfit 1% selama 5 menit.
Natrium metabisulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil, hasil reaksi tersebut
dapat mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat, selain itu
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Purwanto et al., 2013). Setelah
itu, cabai merah disimpan dalam loyang yang telah disediakan dna dikeringkan
dengan menggunakan oven pada suhu 50 oC selama 18 jam. Tujuan pengeringan
dengan menggunakan oven adalah sebagai cara alternatif dari pengeringan dengan
sinar matahari, sehingga waktu yang diperlukan lebih singkat serta tidak tergantung
oleh keadaan cuaca. Pengeringan oven dapat melindungi pangan dari serangan
serangga dan debu, dan tidak tergantung pada cuaca (Hughes dan Willenberg,
1994).
Untuk cabai merah yang dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari,
tahapan yang dilakukan mulai dari penyortiran hingga pencucian prosedurnya sama
dengan cabai merah yang dikeringkan dengan menggunakan oven. Setelah cabai
merah tersebut dicuci dengan menggunakan air mengalir, selanjutnya di-blansing
uap selama 5 menit. Tujuan blansing adalah untuk menonaktifkan enzim yang
menimbulkan reaksi kimia yang tidak diinginkan; membersihkan produk dari
kotoran-kotoran yang melekat; mengurangi jumlah mikroorganisme pada bahan;
serta untuk melunakkan atau melenturkan jaringan sehingga mudah untuk dikemas.
Bahan yang diblansing dengan air panas menggunakan suhu 87-99 oC selama 1,5
menit hingga 12 menit (Tjahjadi, 2008). Cabai merah yang diblansing uap
kemudian disimpan dalam loyang yang telah disediakan dan dikeringkan dengan
menggunakan sinar matahari selama 5 hari.Pengeringan dengan menggunakan
sinar matahari sangat tergantung dengan kondisi cuaca saat penjemuran (Catur,
1991).
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengeringan Cabai Merah
Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar
Merah 101
Oven Cabai Keras
segar gram
Sebelum -
Merah Cabai  Sebelum
Matahari Lunak
keorenan ++ blansing:
Riska Oktafiani
240210150060

Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar


105
gram Oven
 Sesudah 35,25%
blansing: Matahari
103 40.7%
gram
Merah Khas Halus 35,60
Oven
+++ cabai lunak + gram
Sesudah
Merah Khas Halus 42,00
Matahari
++ cabai lunak + gram
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)

Menurut hasil pengamatan tabel bahwa warna cabai merah sebelum


dikeringkan dengan menggunakan oven adalah segar, namun setelah dikeringkan
yaitu merah +++. Selain itu, warna cabai merah sebelum dikeringkan dengan
menggunakan sinar matahari adalah merah keorenan, namun setelah dikeringkan
warnanya menjadi merah ++. Wana merah pada cabai disebabkan karena adanya
pigmen karotenoid yang bervariasi dari kuning, jingga, hingga merah gelap dan
pigemn antosianin. Proporsi warna cabai merah adalah 70 hingga 80% warna merah
dan 20 hingga 30% warna jingga (Setiadi, 2004). Penurunan kandungan β-karoten
menyebabkan perubahan warna yang semakin gelap, begitu pula sebaliknya bila
kandungan β-karoten semakin meningkat menghasilkan warna yang semakin
terang. Penurunan beta Karoten ini dapat dipengaruhi oleh proses pengeringan
dengan menggunakan oven. Peningkatan kandungan β-karoten pada cabai kering
dikarenakan hilangnya kadar air dalam bahan, sehingga pada perhitungan
kandungan β-karoten terlebih dengan berat kering (dry basis) akan meningkat.
Selain itu, dengan adanya blanching yang dilakukan maka dapat meningkatkan
kandungan β-karoten, serta pembekuan dapat menjaga karotenoid (Dutta et al.,
2005). Blanching yang dilakukan tidak dapat menjaga kandungan total senyawa
fenol yang terdapat dalam cabai walaupun tujuannya yaitu untuk menginaktifkan
enzim pencoklatan yang dapat menyebabkan perubahan warna (Wiriya et al.,
2009). Penggunaan larutan natrium metabisulfit 0,2 % dimaksudkan untuk
memperbaiki dan mempertahankan warna cabe merah kering yang dihasilkan.
Riska Oktafiani
240210150060

Batas maksimum pengunaan natrium metabisulfit menurut Depkes (1990) adalah


300 mg/liter.
Aroma cabai merah sebelum dikeringkan dengan menggunakan oven adalah
aroma cabai, namun setelah dikeringkan aromanya menjadi khas cabai. Selain itu,
aroma cabai merah sebelum dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
adalah aroma cabai ++, namun setelah dikeringkan aromanya menjadi aroma cabai.
Cabai mengandung oleoresin yang menimbulkan aroma yang khas. Oleoresin
adalah suatu produk yang mengandung resin, minyak-minyak esensial yang bersifat
volatil dan bahan aktif lainnya yang diekstrak dengan pelarut non-aqueous seperti
hidrokarbon. Selain itu, cabai mengandung oleoresin yang menimbulkan rasa yang
khas. Oleoresin adalah suatu produk yang mengandung resin, minyak-minyak
esensial yang bersifat volatil dan bahan aktif lainnya yang diekstrak dengan pelarut
non-aqueous seperti hidrokarbon (Furia, 1968).
Tekstur cabai merah sebelum dikeringkan dengan menggunakan oven yaitu
keras, namun setelah dikerinkan teksturnya menjadi halus lunak +. Selain itu,
tekstur cabai merah sebelum dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
adalah lunak, namun setelah dikeringkan menjadi halus lunak +. Tekstur keras pada
cabai merah disebabkan karena kadar air yang berkurang ini lah cabai menjadi
menyusut sehingga cabai menjadi lebih kasar dan keras.
Perhitungan rendemen dapat digunakan rumus seperti berikut:
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 𝑥 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
Rendemen yang dihasilkan dari cabai merah yang dikeringkan dengan
menggunakan oven sebanyak 35,25%. Sedangkan rendemen cabai merah yang
dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari sebanyak 40,7%. Semakin
banyak berat sampel, maka rendemen yang dihasilkan akan semakin besar,
begitupun sebaliknya. Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat
bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Rendeman
digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin
tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga
pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif (Praptiningsih, 1999).
Dalam pengeringan cabai merah akan terjadi penguapan air dan minyak
atsiri. Jumlah minyak atsiri yang menguap dipengaruhi oleh kemudahan menguap
Riska Oktafiani
240210150060

dari komponen masing-masing dan kelarutannya dalam air. Keadaan ini ditandai
dengan pengurangan berat bahan. Disamping itu, penguapan akan menyebabkan
struktur jaringan menjadi keras karena sebagian besar air akan keluar dari jaringan.
Pengurangan kadar air juga akan mengakibatkan komponen senyawa citarasa
meningkat kadarnya, sehingga intensitas citarasa termasuk rasa pedas meningkat.
Kernunqkinan lain yaitu terjadinya oksidasi zat yang ada dalam bahan dengan
udara. Reaksi ini terjadi pada zat warna dan komponen minyak atsiri yang dapat
menyebabkan perubahan warna dan kehilangan minyak atsiri bahan, sehingga dapat
memengaruhi citarasa buah cabai merah (Novary, 1997).
Cabai merah kering merupakan hasil olahan cabai merah segar yang telah
mengalami proses pengeringan. Dengan proses pengeringan menggunakan energi
panas, akan terjadi proses pengeluaran atau penghilangan sebagian air dari bahan
tersebut. Untuk menghasilkan cabai merah kering yang baik dengan kadar air 5%-
8%, dengan bahan baku cabai merah yang telah dibelah memerlukan waktu
pengeringan yang lebih pendek. Dan dari beberapa penelitian diketahui bahwa
pembelahan dan pembuangan biji akan menghasilkan cabai merah kering dengan
warna dan rasa yang lebih baik (Hartuti dan Sinaga, 1997).

4.2 Pengeringan Daun Salam


Tahapan petama yang dilakukan adalah daun salam dilakukan penyortiran,
tujuannya untuk memilih bahan atau produk rempah berdasarkan kriteria tertentu
seperti ukuran, warna, atau grade/kelas kualitas (Tjahjadi, 2008). Selanjutnya, daun
salam ditimbang beratnya sebanyak 50 gram. Daun salam yang telah ditimbang
kemudian dicuci dengan menggunakan air mengalir, tujuannya adalah untuk
membersihkan sisa-sisa kulit yang telah dikupas dan kotoran berupa tanah atua
debu yang menempel selama proses pemotongan (Sunyoto, 2017). Selanjutnya,
daun salam tersebut ditiriskan hingga sebagian atau seluruh komponen larutan
keluar dari bahan tersebut. Setelah itu, daun salam disimpan dalam loyang yang
telah disediakan dan dikeringkan dengan menggunakan oven selama 2 jam pada
suhu 50 oC, selain itu dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari selama 5
hari. Di bawah ini terdapat hasil pengamatan daun salam kering:
Riska Oktafiani
240210150060

Tabel 2. Hasil Pengamatan Pengeringan Daun Salam


Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar

Oven
Blower Khas
Hijau daun 27
Sebelum Kaku
muda salam gram
Matahari +4
Oven
Blower:
35,18%
Khas
Hijau
Oven daun renyah 9,5
muda Matahari:
Blower salam +++ gram
pucat 37,04%
+2
Sesudah
Khas
Hijau
daun Renyah 10
Matahari bercak
salam ++++ gram
hitam
+1
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)

Menurut hasil pengamatan tabel 2 menunjukkan bahwa daun salam


berwarna warna hijau mudah sebelum dikeringkan dengan menggunakan oven
blower, namun setelah dikeringkan warnanya menjadi hijau muda pucat. Warna
yang dihasilkan dari daun salam sebelum dikeringkan dengan menggunakan sinar
matahari yaitu hijau muda, namun setelah dikeringkan warnanya menjadi hijau
bercak hitam. Terbentuknya warna hijau muda sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower disebabkan karena adanya zat pigmen klorofil. Pigmen
klorofil bersifat peka terhadap panas dan tidak stabil (Hely et al., 2018). Sedangkan
penyebab warna hijau muda pucat pada daun salam yang telah dikeringkan dengan
oven blower adalah karena penggunaan suhu yang lebih tinggi, sehingga
menyebabkan degradasi klorofil (Pangastuti et al., 2013). Bila daun dipanaskan,
maka protein akan terdenaturasi dan klorofil dilepaskan. Pemanasan juga dapat
merusak ikatan antara senyawa nitrogen dan magnesium yang terdapat pada
klorofil. Ketika magnesium dibebaskan maka tempatnya akan digantikan oleh dua
molekul hidrogen sehingga terbentuk formasi baru yaitu feofitin yang berwarna
hijau kecoklatan atau hijau pucat (Hely et al., 2018). Terbentuknya warna bercak
hitam pada daun salam setelah dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
Riska Oktafiani
240210150060

dapat disebabkan karena proses pengeringannya, dimana sinar matahari dapat


menurunkan kadar air suatu bahan sehingga dan dapat mengubah karakteristik
sensori atau organoleptiknya.
Aroma yang dihasilkan dari daun salam sebelum dikeringkan dengan oven
blower adalah aroma khas daun salam ++++, namun setelah dikeringkan aromanya
menjadi aroma khas daun salam ++. Selain itu, aroma daun salam sebelum
dikeringkan dengan sinar matahari adalah khas daun salam ++++, namun setelah
dikeringkan aromanya menjadi khas daun salam +. Terbentuknya aroma pada daun
salam ini disebabkan karena adanya komponen volatil. Kandungan fenol pada daun
salam berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuanya dalam menstabilkan
radikal bebas, senyawa fenol juga berperan dalam pembentukan aroma salamol
yang dapat memberikan aroma khas terhadap produk yang diberikan (Marsella et
al., 2016). Pengaruh pengeringan pada pelepasan atau ketahanan senyawa volatil
dalam bahan tergantung pada senyawanya dan sifat bahannya (Venskutonis, 1997)
yang dapat mengakibatkan kehilangan senyawa volatil karena adanya kerusakan
dinding sel, peningkatan jumlahnya atau terjadi pembentukan akibat reaksi oksidasi
dan hidrolisis (Huopalahti et al., 1985 dalam Diaz-Maroto et al., 2002). Pada
dasarnya, daun salam (Syzygium polyanthum) mengandung saponin, triterpenoid,
alkaloid, dan 0.05% minyak esensial yang terdiri dari sitral, tanin, flavonoid, lakton,
dan fenol (Sudarsono et al., 2002). Selain itu, daun salam juga mengandung eugenol
dan methyl chavicol (Hanindra, 2012). Penggunaan suhu yang lebih tinggi, akan
menyebabkan senyawa kimia atau bioaktif pada daun salam akan hilang.
Teksur yang dihasilkan dari daun salam sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah kaku, namun setelah
dikeringkan dengan oven blower teksturnya menjadi renyah +++, selain itu setelah
dikeringkan tekstur daun salam menjadi renyah ++++. Pengeringan dapat
mengurangi aktivitas mikroba serta meminimalkan perubahan fisik dan kimiawi
selama bahan kering disimpan (Mayor dan Sereno, 2004). Perubahan kadar air
selama pengeringan bahan-bahan yang mengandung air tinggi akan menyebabkan
perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini
mempengaruhi sifat-sifat fisik dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya
Riska Oktafiani
240210150060

tekstur dan sifat transport (transport properties) produk yang dihasilkan (Yan et al.,
2008).
Rendemen yang dihasilkan oleh daun salam dengan menggunakan oven
blower adalah 35,18%, sedangkan pengeringan dengan menggunakan sinar
matahari sebanyak 37,04%. Sinar matahari memiliki rendemen yang lebih besar
dibandingkan dengan oven blower, hal ini disebabkan karena suhu yang berasal dari
sinar matahari lebih kecil dibandingkan dengan oven blower. Semakin tinggi suhu,
maka menyebabkan kandungan air yang teruapkan lebih banyak mengakibatkan
rendemen yang dihasilkan menurun (Martunis, 2012). Begitu juga sebaliknya,
semakin rendah suhu yang digunakan maka semakin sedikit air yang teruapkan
sehingga diperoleh rendemen yang tinggi. Perbedaan tinggi dan rendahnya
rendemen suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh kandungan air suatu bahan
pangan. Hal ini diperkuat oleh Ramelan (1996) bahwa suhu merupakan salah satu
faktor penentu dalam proses pengeringan. Selain itu sifat bahan yang dikeringkan
seperti kadar air awal dan ukuran produk akan mempengaruhi proses pengeringan.

4.3 Pengeringan Bawang Putih, Bawang Merah, dan Serai


Tahapan pertama yang dilakukan adalah bawang putih, bawang merah, dan
serai disortasi, tujuannya adalah untuk memilih bahan baku dan bahan tambahan
dengan kualitas yang diinginkan (Sunyoto, 2017). Setelah itu, ketiga sampel
tersebut dikupas kulit bagian luarnya, tujuannya adalah untuk memisahkan kulit
luar dan bagian dalam rempah yang dapat digunakan. Pengupasan harus dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari adanya kulit dan kotoran serta mencegah
terbuangnya daging umbi rempah dalam jumlah yang besar (Sunyoto, 2017).
Setelah itu, masing-masing sampel ditimbang beratnya sebanyak 100 gram. Sampel
yang telah ditimbang kemudian dicuci dengan menggunakan air mengalir,
tujuannya adalah untuk membersihkan sisa-sisa kulit yang telah dikupas dan
kotoran berupa tanah atua debu yang menempel selama proses pemotongan
(Sunyoto, 2017). Setelah itu, masing-masing sampel ditirisikan hingga sebagian air
atau seluruhnya tidak menempel pada sampel atau bahan. Setelah itu, masing-
masing sampel dikecilkan ukurannya dengan menggunakan pisau stainless steel,
tujuannya untuk memperkecil ukuran bahan baku dan menghasilkan bahan baku
Riska Oktafiani
240210150060

dengan tekstur yang halus (Sunyoto, 2017). Setelah itu, masing-masing sampel
disimpan dalam wadah loyang yang berbeda-beda dan dilakukan pengeringan
dengan menggunakan sinar matahari selama 5 hari, selain itu pengeringan dengan
menggunakan oven pada suhu 50 oC selama 18 jam. Di bawah ini hasil pengamatan
bawang putih, bawang merah, dan serai kering:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pengeringan Bawang Putih, Bawang Merah, dan
Serai
Sampel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar
Khas -
Oven Putih
Bawang Keras 100
Blower Kekuningan
Putih +4 Oven
Sebelum Khas - Blower :
Putih Bawang 40,9%
Matahari Keras 100
Kekuningan Putih
Bawang +4 Matahari :
putih
Putih Khas 35%
Oven Keras
Kecoklatan Bawang - 40,9
Blower +2
+2 Putih +
Sesudah
Putih Khas
Keras
Matahari Kecoklatan Bawang - 35
+3
+4 Putih
Khas
Oven
Ungu Muda Bawang Keras
Blower
Merah +2
Sebelum
Khas
Oven
Matahari Ungu Muda Bawang Keras
Blower:
Merah +2
Bawang 19,01%
- -
Merah
Oven Bawang Matahari:
Kecoklatan Kaku 15,64%
Blower Panggang
Sesudah
Khas
Putih
Matahari Bawang Keras+2
Kekuningan
Merah

Oven Oven
100,30 - Blower :
Blower
Khas 23,33%
Serai Sebelum Hijau Muda Renyah
Serai +4
Matahari 100,42 - Matahari :
21,01%
Riska Oktafiani
240210150060

Sampel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar

Oven Hijau pudar Khas Renyah


- 23,4
Blower kecoklatan serai +2 +3
Sesudah
Hijau pudar
Khas Renyah
Matahari kecoklatan - 21,1
serai +1 +2
+1
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)

4.3.1 Pengeringan Bawang Putih


Menurut hasil pengamatan tabel 3 menunjukkan bahwa warna bawang putih
sebelum dikeringkan dengan menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah
putih kekuningan, namun setelah dikeringkan warnanya menjadi putih kecoklatan
++, selain itu setelah dikeringkan dengan sinar matahari warnanya menjadi putih
kecoklatan ++++. Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah
warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi
browning, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Jika proses pengeringan
dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan kerusakan
vitamin C (Muchtadi, 1997).
Aroma yang dihasilkan oleh bawang putih sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower maupun sinar matahari langsung adalah aroma khas
bawang putih +++, namun setelah dikeringkan dengan menggunakan oven blower
menjadi aroma khas bawang putih +, selain itu setelah dikeringkan dengan sinar
matahari menjadi aroma khas bawang putih. Komponen kimia yang terkandung
dalam bawang putih antara lain alliin, ajoene, dithiin, S-allycysteine, dan
kandungan enzim yang ada di dalam bawang putih. Bawang putih mengandung
setidaknya 33 komponen sulfur, 17 asam amino, dan banyak mineral, diantaranya
selenium (Salima, 2015). Terdapat senyawa volatil pada komponen kimia yang
terkandung dalam bawang putih ini. Allicin merupakan komponen sulfur bioaktif
utama yang terkandung dalam bawang putih. Aroma khas ini hanya akan muncul
apabila bawang putih dipotong atau dihancurkan (Salima, 2015). Pengaruh
pengeringan pada pelepasan atau ketahanan senyawa volatil dalam bahan
tergantung pada senyawanya dan sifat bahannya (Venskutonis, 1997) yang dapat
mengakibatkan kehilangan senyawa volatil karena adanya kerusakan dinding sel,
Riska Oktafiani
240210150060

peningkatan jumlahnya atau terjadi pembentukan akibat reaksi oksidasi dan


hidrolisis (Huopalahti et al., 1985 dalam Diaz-Maroto et al., 2002).
Tekstur yang dihasilkan oleh bawang putih sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah keras, namun setelah
dikeringkan dengan oven blower menjadi keras ++ dan dikeringkan dengan sinar
matahari menjadi keras +++. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu,
maka semakin cepat proses pengeringan berlangsung. Kadar air bawang putih yang
dihasilkan bervariasi karena tidak seragamnya waktu pengeringan. Secara teoritis
sesuai dengan penelitian Dwika et al., (2012) bahwa semakin tinggi suhu
pengeringan semakin rendah kadar air dalam bahan. Ketebalan bawang putih hasil
irisan turut mempengaruhi hasil pengeringan (Djaeni, 2012). Pada dasarnya,
pengeringan bertujuan mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana
mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan akan
terhenti, dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan
yang lama (Sulistiari, 1995).
Rendemen bawang putih yang dikerignkan dengan oven blower sebanyak
40,9%, sedangkan dengan pengeringan sinar matahari rendemennya sebesar 35%.
Hal ini menunjukkan bahwa rendemen bawang putih yang dikeringkan dengan oven
blower lebih besar dibandingkan dengan sinar matahari. Hal ini didukung oleh
pendapat Wijana et al., (2013) bahwa semakin tinggi suhu dan laju pengeringan
maka kandungan air yang teruapkan akan lebih banyak sehingga mengakibatkan
rendemen yang dihasikan menurun, begitupun sebaliknya.

4.3.2 Pengeringan Bawang Merah


Warna yang dihasilkan dari bawang merah sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah ungu muda, namun setelah
dikeringkan dengan oven blower warnanya menjadi kecoklatan dan dikeringkan
dengan sinar matahari warnanya menjadi putih kekuningan. Pada dasarnya, bawang
merah mengandung pigmen antosianin. Senyawa antosianin memberikan pigmen
pada beberapa bagian tumbuhan, mulai dari warna merah, ungu, dan kuning
(Markakis, 1982). Sedangkan pengeringan dengan sinar matahari dapat
menurunkan kualitas dari bawang merah, dimana sinar atau cahayanya dapar
Riska Oktafiani
240210150060

merusak zat warna bawang merah, selain itu dapat merusak riboflavin, vitamin A,
dan vitamin C (Jackman dan Smith, 1996).
Aroma yang dihasilkan dari bawang merah sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah aroma khas bawang merah
++, namun setelah dikeringkan dengan oven blower adalah aroma bawang
panggang, sedangkan setelah dikeringkan dengan sinar matahari menjadi aroma
khas bawang merah. Aroma bawang merah yang khas disebabkan oleh adanya
aktivitas enzim allinase. Aroma ini akan tercium bila jaringan tanaman ini rusak
dan enzim allinase akan mengubah senyawa s-alkil sistein sulfoksida yang
mengandung belerang (Wibowo, 2009). Sebagian atau seluruh komponen volatil
pada bawang merah mengalami penguapan bersama air selama proses pengeringan.
Tekstur yang dihasilkan dari bawang merah sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah keras, namun setelah
dikeringkan dengan oven blower menjadi kaku, sedangkan setelah dikeringkan
dengan menggunakan sinar matahari teksturnya menjadi keras ++. Hasil penelitian
Musaddad et al., (1994), bahwa perlakuan penyimpanan bawang pada suhu 30 oC
menghasilkan tingkat kekerasan tertinggi setelah disimpan selama 4 minggu.
Terdapat kecenderungan semakin tinggi suhu penyimpanan semakin tinggi pula
tingkat kekerasan bawang merah. Selain itu, meningkatnya kekerasan pada bawang
merah dapat disebabkan karena terjadinya penguapan air yang terjadi di ruang-
ruang antar sel sehingga sel menjadi mengkerut dan menyatu dan zat pektin menjadi
berikatan (Nurkomar et al., 2001).
Rendemen dari bawang merah yang dikeringkan dengan menggunakan oven
blower adalah 19,01%, sedangkan dikeringkan dengan sinar matahari sebanyak
15,64%. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen bawang merah yang direndam
dengan menggunakan oven blower memiliki rendemen yang lebih besar
dibandingkan dengan menggunakan sinar matahari. Hal ini didukung oleh pendapat
Wijana et al., (2013) bahwa semakin tinggi suhu dan laju pengeringan maka
kandungan air yang teruapkan akan lebih banyak sehingga mengakibatkan
rendemen yang dihasikan menurun, begitupun sebaliknya.
Parameter – parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah : (1)
suhu, (2) kelembaban, (3) laju alir udara, (4) kadar air awal dan (5) kadar air akhir.
Riska Oktafiani
240210150060

Makin tinggi kadar air awal, makin tinggi panas yang diperlukan untuk
mengeringkan hasil pertanian dan semakin lama waktu yang dibutuhkan unuk
mengeringkan bahan tersebut. Suhu berperan sangat penting, karena apabila suhu
terlalu rendah maka pengeringan akan memakan waktu lama serta dapat
menurunkan mutu bahan yang dikeringkan (Balitsa, 1996).
Pengeringan bawang merah yang dilakukan dengan cara dijemur di bawah
sinar matahari memiliki kelemahan yaitu bawang banyak tercecer, bawang dapat
terbakar panas matahari yang mengakibatkan terjadi perubahan warna, lunak, berair
dan kehilangan kadar air berlebih yang menyebabkan tingginya susut bobot (Asgar
dan Sinaga 1992). Menurut Musaddad et al., (1994) bahwa sengatan matahari
langsung dapat mengakibatkan terjadinya keriput dan rusaknya jaringan pelindung
pada umbi sehingga dapat menyebabkan pemudaran warna kulit umbi.

4.3.3 Pengeringan Serai


Warna yang dihasilkan dari serai sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower maupun sinar matahari adalah hijau muda, namun
setelah dikeringkan dengan oven blower adalah hijau pudar kecoklatan, sedangkan
setelah dikeringkan dengan sinar matahari adalah berwarna hijau pudar kecoklatan
+. Warna hijau pada serai ini dipengaruhi oleh pigmen klorofil. Klorofil merupakan
sebagian besar pigmen yang ditemukan dalam membran tilakoid kloroplas. Pigmen
hijau daun ini berperan mengabsorpsi cahaya dalam fotosintesis fase I, yaitu reaksi
fotolisis (Salisbury dan Ross, 1992). Sedangkan warna serai pada pengeringan
dengan menggunakan sinar matahari menjadi hijau pudar kecoklatan disebabkan
karena terjadi degradasi klorofil akibat suhu dan cahaya matahari, dimana klorofil
ini akan berubah menjadi feofitin (Muchtadi, 1992 dalam Wulansari, 2005).
Aroma yang dihasilkan dari serai sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower dan sinar matahari adalah aroma khas serai ++++.
Namun setelah dikeringkan dengan oven blower aromanya menjadi khas serai ++,
sedangkan setelah dikeringkan dengan sinar matahari aromanya menjadi khas serai
+. Serai memiliki kandungan lemongrass sehingga membuat serai memiliki aroma
khas dengan rasa yang agak pedas (Oyen dan Dung., 1999). Selain itu, menurut
Agusta (2000) bahwa serai memiliki aroma yang cukup tajam dikarenakan serai
Riska Oktafiani
240210150060

mengandung minyak atsiri dengan komponen utamanya sitronelol dan geraniol.


Namun, aroma yang dikandung pada serai selama pengeringan akan teruapkan
bersama komponen air, sehingga aroma khas serainya sedikit berkurang.
Tekstur yang dihasilkan dari serai sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower maupun sinar matahari adalah renyah, namun setelah
dikeringkan dengan menggunakan oven blower menjadi renyah +++ dan setelah
dikeringkan dengan sinar matahari menjadi renyah ++. Perubahan kadar air selama
pengeringan bahan-bahan yang mengandung air tinggi akan menyebabkan
perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini
mempengaruhi sifat-sifat fisik dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya
tekstur dan sifat transport (transport properties) produk yang dihasilkan (Yan et al.,
2008).
Rendemen yang dihasilkan dari serai yang dikeringkan dengan
menggunakan oven blower sebanyak 23,33%, sedangkan yang dikeringkan dengan
menggunakan sinar matahari sebanyak 21,01%. Rendemen serai yang dikeringkan
dengan oven blower hasilnya lebih besar dibandingkan dengan sinar matahari.
Lama pengeringan dnegan menggunakan sinar matahari yaitu selama 5 hari. Hal ini
karena proses pengeringan menyebabkan produk kehilangan air akibat proses
penguapan. Semakin lama waktu pengeringan maka kehilangan bobot akan
semakin tinggi, yang menyebabkan rendemen semakin rendah. Kondisi ini sejalan
dengan Estiasih dan Ahmaadi (2011), di mana semakin besar penurunan bobot air
menyebabkan penurunan kadar air semakin besar.
Proses pengeringan sinar matahari dan oven memiliki kelebihan dan
kekurangan. Keuntungan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari tidak
diperlukan penanganan khusus dan tidak mahal serta dapat dikerjakan oleh siapa
saja. Namun kelemahan dari pengeringan dengan menggunakan sinar matahari
berjalan sangat lambat sehingga terjadi pembusukan di beberapa bagian sebelum
menjadi kering. Hasil pengeringan pun tidak merata dan pelaksanaan tergantung
oleh alam. Kesulitan-kesulitan yang didapat pada pengeringan secara alami, maka
digunakan pengeringan oven yang memiliki kelebihan sebagai berikut: 1) Suhu,
kelembaban, dan kecepatan angin dapat diukur, 2) Sanitasi dan hygiene dapat lebih
mudah dikendalikan. Metode oven juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu bahan
Riska Oktafiani
240210150060

lain ikut menguap, terjadi penguraian karbohidrat menghasilkan air yang ikut
terhitung, ada air yang terikat kuat pada bahan yang tidak terhitung (Huriawati et
al., 2016).

4.4 Pengeringan Jahe, Lengkuas, dan Kunyit


Tahapan pertama yang dilakukan adalah masing-masing sampel disortasi,
tujuannya adalah untuk memilih bahan baku dan bahan tambahan dengan kualitas
yang diinginkan (Sunyoto, 2017). Setelah itu, masing-masing sampel dikupas
dengan menggunakan pisau stainless steel, tujuannya adalah untuk memisahkan
kulit luar dan bagian dalam rempah yang dapat digunakan. Pengupasan harus
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari adanya kulit dan kotoran serta
mencegah terbuangnya daging umbi rempah dalam jumlah yang besar (Sunyoto,
2017). Sampel yang telah dikupas bagian kulitnya kemudian ditimbang sebanyak
100 gram. Selanjutnya, masing-masing sampel dicuci dengan menggunakan air
mengalir untuk membersihkan sisa-sisa kulit yang telah dikupas dan kotoran berupa
tanah atua debu yang menempel selama proses pemotongan (Sunyoto, 2017).
Setelah itu, masing-masing sampel ditiriskan hingga sebagian atau semua air yang
menempel dapat dikeluarkan. Sampel yang telah ditiriskan kemudian dikecilkan
ukurannya dengan menggunakan slicer, tujuannya untuk memperkecil ukuran
bahan baku dan menghasilkan bahan baku dengan tekstur yang halus (Sunyoto,
2017). Setelah itu, masing-masing sampel direndam dalam larutan natrium
metabisulfit dengan konsentrasi 0,1% selama 3 menit. Natrium metabisulfit dapat
berinteraksi dengan gugus karbonil, hasil reaksi tersebut dapat mengikat
melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat, selain itu untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Purwanto et al., 2013). Sampel yang
telah direndam dalam larutan natrium metabisulfit, kemudian dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 50 oC selama 18 jam, selain itu dikeringkan pula
dengan menggunakan food dehydrator pada suhu 70 oC selama ± 18 jam. Di bawah
ini terdapat hasil pengamatan jahe, lengkuas dan kunyit kering:
Riska Oktafiani
240210150060

Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengeringan Jahe, Lengkuas, dan Kunyit


Sampel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar

Kuning -
100,29
Oven pucat Khas jahe Keras -
gram
terang

Kuning
100
Sebelum Matahari pucat Khas jahe Keras - -
gram
terang

Kuning
Jahe Food 100,42
pucat Khas jahe Keras - -
dehydrator gram
terang

Kering
Kuning Khas jahe 13,26
Oven tidak 13,22%
kepucatan (-) gram
rapuh
Sesudah

Kuning 13,07
Matahari Khas jahe Kering 12,25%
kecoklatan gram
Riska Oktafiani
240210150060

Sampel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar

Kuning
Food Kering 12,3
pucat Khas jahe 12,25%
dehydrator rapuh gram
merata

Khas
Oven Pink pucat, Keras, 100
lengkuas -
Blower krem berserat gram
segar
Khas
Pink pucat, Keras, 100
Sebelum Matahari lengkuas - -
krem berserat gram
segar Oven
Khas blower :
Food Pink pucat, Keras, 100 6,9%
lengkuas -
dehydrator krem berserat gram
segar
Matahari :
Lengkuas
12%
Oven Khas 6,9
Putih pucat Rapuh - Food
Blower lengkuas + gram
dehydrator
Keras, : 6,5%
Putih pucat Khas
Sesudah Matahari sedikit - 12 gram
+ lengkuas
lembab
Khas
Food 6,5
Putih cerah lengkuas Rapuh ++ -
dehydrator gram
+++
Riska Oktafiani
240210150060

Sampel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Wo W1 Rendemen Gambar


Kuning 100
Oven Kunyit Keras -
oranye gram
Kuning 100
Sebelum Matahari Kunyit Keras -
oranye gram Oven
Food Kuning 100 19,5%
Kunyit Keras -
Kunyit Dehydrator Oranye gram
Matahari
Kuning Khas 19,5
Oven Rapuh - 21%
oranye -- kunyit gram
Kuning Khas FD
Sesudah Matahari Rapuh - - 21 gram
oranye --- kunyit 16,9%
Food Kuning Khas
Rapuh - 16,9 g
Dehydrator oranye kunyit +
(Sumber: Dokumentasi Pribadi. 2018)
Riska Oktafiani
240210150060

4.4.1 Pengeringan Jahe


Menurut hasil pengamatan tabel 4 menunjukkan bahwa warna jahe sebelum
dikeringkan dengan menggunakan oven, sinar matahari, dan food dehydrator
adalah kuning pucat terang. Namun setelah dikeringkan dengan oven warnanya
menjadi kuning kepucatan, dengan menggunakan sinar matahari adalah kuning
kecoklatan, dan dengan menggunakan food dehydrator adalah kuning pucat merata.
Pada pengeringan jahe dengan menggunakan sinar matahari, saat berkurangnya
kadar airnya, bahan pangan akan mengandung senyawa-senyawa seperti protein,
karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yg lebih tinggi akan tetapi
vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Pada
umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat.
Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi browning, baik enzimatik
maupun non-enzimatik. Jika proses pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu
tinggi, maka dapat menyebabkan kerusakan vitamin C (Muchtadi, 1997).
Berdasarkan aromanya, jahe sebelum dikeringkan dengan menggunakan
oven, sinar matahari, dan food dehydrator aromanya khas jahe, namun setelah
dikeringkan dengan menggunakan oven aroma khas jahenya berkurang (-), dan
pengeringan dengan menggunakan sinar matahari dan food dehydrator tetap
beraroma khas jahe. Gingerol dan shogaol merupakan komponen fenolik jahe yang
diketahui memiliki efek anti-inflamasi (Wresdiyati et al, 2003; Sabina et al., 2010),
antikanker (Rizki, 2004), dan antitumor. Selain memberikan efek fungsional bagi
kesehatan, gingerol, dan shogaol juga merupakan komponen pungent pada jahe
yang memberikan citarasa dan aroma khas (Shahidi dan Naczk, 1995).
Berdasarkan parameter tekstur, jahe sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven, sinar matahari, dan food dehydrator teksturnya keras, namun
setelah dikeringkan dengan menggunakan oven teksturnya menjadi kering dan tidak
rapuh, setelah dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari menjadi kering,
dan setelah dikeringkan dengan menggunakan food dehydrator teksturnya menjadi
kering dan rapuh. Pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat merusak
kualitas bahan pangan, karena permukaan bahan pangan menjadi cepat kering dan
sulit mengimbangi kecepatan gerakan air bahan pangan menuju permukaan bahan
pangan, sehingga mengakibatkan pengerasan pada permukaan bahan pangan.
Riska Oktafiani
240210150060

Selain itu, air dalam bahan pangan menjadi terhambat dan tidak dapat menguap
lagi. Berdasarkan pertimbangan standar gizi, pemanasan bahan pangan yang
dianjurkan yaitu tidak lebih dari 85 oC. Laju pengeringan termasuk suatu penentuan
waktu pengeringan dan perkiraan untuk mengetahui ukuran alat yang digunakan
untuk pengeringan bahan pangan (Syarief dan Halid, 1993).
Berdasarkan parameter rendemen, jahe setelah dikeringkan dengan
menggunakan oven menghasilkan rendemen sebesar 13,22%, yang dikeringkan
dengan menggunakan sinar matahari sebesar 12,25%, dan yang dikeringkan dengan
menggunakan food dehydrator sebesar 12,25%. Rendemen dari pengeringan
dengan menggunakan sinar matahari dan food dehydrator hasilnya sama, namun
rendemen dari pengeringan dengan menggunakan sinar matahari dan food
dehydrator lebih kecil dibandingkan dengan oven. Hal ini didukung oleh pendapat
Wijana et al., (2013) bahwa semakin tinggi suhu dan laju pengeringan maka
kandungan air yang teruapkan akan lebih banyak sehingga mengakibatkan
rendemen yang dihasikan menurun, begitupun sebaliknya.Suhu food dehydrator
yang digunakan untuk pengeringan jahe adalah 70 oC, hal ini sangat memengaruhi
nilai rendemennya.

4.4.2 Pengeringan Lengkuas


Menurut hasil pengamatan tabel 4 menunjukkan bahwa lengkuas sebelum
dikeringkan dengan menggunakan oven blower, sinar matahari, dan food
dehydrator adalah pink pucat dan krem. Namun setelah dikeringkan dengan
menggunakan oven warnanya menjadi putih pucat, setelah dikeringkan dengan
mengunakan sinar matahari warnanya menjadi putih pucat +, dan setelah
dikeringkan dengan menggunakan food dehydrator menjadi putih cerah. Suhu
pengeringan adalah salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi mutu produk.
Jika suhu pengeringan yang digunakan terlalu tinggi, maka akan mengakibatkan
perubahan warna dari produk yang dikeringkan. Menurut Histifarina dan Sinaga
(1999) bahwa suhu pengeringan 60 °C dan waktu pengeringan 20 jam merupakan
perlakuan yang lebih baik dilihat dari skor warna dengan kriteria sangat disukai
panelis.
Riska Oktafiani
240210150060

Berdasarkan parameter aroma, lengkuas sebelum dikeringkan dengan


menggunakan oven blower, sinar matahari, dan food dehydrator beraroma khas
lengkuas segar. Namun setelah dikeringkan dengan menggunakan oven blower
aromanya menjadi khas lengkuas +, setelah dikeringkan dengan menggunakan sinar
matahari beraroma khas lengkuas, dan setelah dikeringkan dengan menggunakan
food dehydrator aromanya menjadi khas lengkuas +++. Menurut Jannah et al.,
(2014) bahwa di dalam minyak atsiri lengkuas atau lengkuas terkandung senyawa
terpenoid yang memberikan aroma khas pada tumbuhan dan bersifat mudah larut
dalam air. Pada minyak atsiri lengkuas, seperti telah diteliti oleh Scaeffer et al.,
(1981) dan Pooter et al., (1985) terdapat senyawa l.&sineol, a-pinen, limonen,
terpineol, tujon, dan mirsen. Komponen lain yang juga diketahui terdapat pada
alpinia adalah galangin, kaemferol, kuersetin dan alpinetin. Sementara, selama
proses pengeringan terjadi penguapan zat volatil bersama komponen air, sehingga
aroma pada lengkuas tersebut berkurang.
Berdasarkan parameter tekstur, lengkuas sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven blower, sinar matahari, dan food dehydrator bertekstur keras
dan berserat. Namun setelah dikeringkan dengan menggunakan oven blower
teksturnya menjadi rapuh, setelah dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
menjadi keras sedikit lembab, dan setelah dikeringkan dengan menggunakan oven
blower menjadi rapuh ++. Perubahan kadar air selama pengeringan bahan-bahan
yang mengandung air tinggi akan menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan
porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini mempengaruhi sifat-sifat fisik
dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya tekstur dan sifat transport (transport
properties) produk yang dihasilkan (Yan et al., 2008). Sedangkan lengkuas yang
dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari teksturnya nampak keras sedikit
disebabkan karena terjadinya case hardening. Case hardening yaitu bagian
permukaan bahan pangan sudah kering sekali bahkan mengeras sedangkan bagian
dalamnya masih basah (Huriawati et al., 2016).
Rendemen yang dihasilkan dari jahe yang dikeringkan dengan
menggunakan oven blower sebesar 6,9%, pengeringan dengan menggunakan sinar
matahari sebesar 12%, dan pengeringan dengan menggunakan food dehydrator
sebesar 6,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan lengkuas dengan
Riska Oktafiani
240210150060

menggunakan sinar matahari memiliki rendemen yang paling besar dibandingkan


dengan perlakuan lainnya. Menurut Lubis (2008) bahwa semakin tinggi suhu dan
semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu
bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak. Susinggih et al.,
(2015) menyatakan bahwa kandungan air selama proses pengolahan berkurang,
sehingga mengakibatkan penurunan rendemen. Muchtadi (1997) dalam Martunis
(2012) bahwa proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh lama dan suhu
pengeringan. Taufiq (2004) mengemukakan bahwa rendemen yang dihasilkan
ditentukan oleh suhu pengeringan yang digunakan dalam pengeringan bahan.
Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan, maka kandungan air akan
semakin rendah dan menurunkan bobot bahan, sehingga rendemen yang dihasilkan
semakin rendah

4.4.3 Pengeringan Kunyit


Menurut hasil pengamatan tabel 4 menunjukkan bahwa kunyit sebelum
dikeringkan dengan menggunakan oven, sinar matahari, dan food dehydrator
adalah kuning oranye. Namun setelah dikeringkan dengan menggunakan oven
adalah kuning oranye (--), setelah dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
adalah kuning oranye (---), dan setelah dikeringkan dengan menggunakan food
dehydrator adalah kuning oranye. Zat warna kurkumin (diferuloylmethane) (3–4%)
merupakan komponen aktif dari kunyit yang berperan untuk warna kuning, dan
terdiri dari kurkumin I (94%), kurkumin II (6%) and kurkumin III (0,3%)
(Fitrikaniawati, 2012 dalam Fachry et al., 2013). Selain itu, senyawa kurkuminoid
yang memberikan warna kuning pada kunyit. Di samping itu, kunyit juga
mengandung zat warna lain, seperti monodesmetoksikurkumin dan
biodesmetoksikurkumin, setiap rimpang segar kunyit mengandung ketiga senyawa
ini sebesar 0,8% (Winarto, 2004). Setelah pengeringan, terjadi degradasi kurkumin
akibat dari cahaya dan suhu yang digunakan. Lin et al., (2009) menyatakan bahwa
mikroemulsi yang mengandung kurkumin tetap berwarna kuning transparan selama
kurang lebih 14 hari pada suhu 37 oC. Namun kurkumin mengalami degradasi
dibawah kondisi asam, basa, pengoksidasian, dan pencahayaan.
Riska Oktafiani
240210150060

Berdasarkan parameter aroma, kunyit sebelum dikeringkan dengan


menggunakan oven, sinar matahari, dan food dehydrator adalah aroma khas kunyit.
Namun setelah dikeringkan dengan menggunakan oven dan sinar matahari
aromanya menjadi khas kunyit, setelah dikeringakn dengan menggunakan food
dehydrator aromanya menjadi khas kunyit (+). Komponen kimia yang terdapat
didalam rimpang kunyit diantaranya minyak atsiri, pati, zat pahit, resin, selulosa
dan beberapa mineral yang memengaruhi aromanya. Kandungan minyak atsiri
kunyit sekitar 3 – 5% (Winarto, 2004). Namun, sebagian atau seluruh komponen
volatil pada kunyit saat pengeringan ikut teruapkan bersama komponen air.
Berdasarkan parameter tekstur, kunyit sebelum dikeringkan dengan
menggunakan oven, sinar matahari, dan food dehydrator adalah keras. Namun
setelah dikeringkan dengan menggunakan oven dan food dehydrator teksturnya
menjadi rapuh, dan setelah dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari adalah
rapuh (-). Jumlah minyak atsiri yang menguap dipengaruhi oleh kemudahan
menguap dari komponen masing-masing dan kelarutannya dalam air. Keadaan ini
ditandai dengan pengurangan berat bahan. Di samping itu, penguapan akan
menyebabkan struktur jaringan menjadi keras karena sebagian besar air akan keluar
dari jaringan (Novary, 1997). Sedangkan tekstur rapuh pada pengeringan dengan
menggunakan oven dan food dehydrator karena penggunaan suhu dan waktu
pengeringannya, dimana suhu yang diguanakan food dehydrator sebesar 70 oC,
sedangkan oven sebesar 50 oC. namun, yang paling berpengaruh terhadap tekstur
rapuh adalah lama pengeringan, dimana waktu pengeringan pada kedua jenis
rempah ini selama 18 jam.
Berdasarkan parameter rendemen, kunyit yang dikeringkan dengan
menggunakan oven rendemennya sebesar 19,5%, dikeringkan dengan
menggunakan sinar matahari sebesar 21%, dan dikeringkan dengan menggunakan
food dehydrator sebesar 16,9%. Dalam hal ini, rendemen jahe yang dikeringkan
dengan menggunakan oven paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat
dimanfaatkan dengan berat total bahan (Praptiningsih, 1989). Rendemen produk
pangan berbanding lurus dengan kadar air (Muchtadi, 1989), dimana dengan
Riska Oktafiani
240210150060

semakin tinggi suhu pengeringan dan semakin kecil kadar air, maka rendemen akan
semakin kecil.
Keuntungan utama dari dehidrasi atau pengeringan dengan sinar matahari
yaitu:
- Bobot yang ringan-kadar air makanan pada umumnya di sekitar 60% atau lebih
dari 90%, kecuali biji-bijian, dan hampir semua bagian air ini dikeluarkan
dengan dehidrasi.
- Kemampatan-kebanyakan produk yang dikeringkan membutuhkan tempat
lebih sedikit dari pada aslinya, makanan beku atau yang dikalengkan, terutama
kalau ditekan dalam bentuk balok.
- Kestabilan dalam suhu penyimpanan pada suhu kamar-tidak diperlukan alat
pendingin, tetapi ada batasan pada suhu penyimpanan maksimum untuk masa
simpan yang cukup baik (Buckle et al., 1985).
Kerugian utama dari dehidrasi atau pengeringan dengan sinar matahari,
dimana beberapa diantaranya dapat diatasi dengan teknik dehidrasi yang lebih baru
dan perlakuan sebelum dehidrasi, termasuk:
- Kepekaan terhadap panas, semua bahan pengan mempunyai derajat kepekaan
terhadap panas tertentu dan dapat menimbulkan bau gosong (burnt flavour)
pada kondisi pengeringan yang tidak terkendali.
- Hilangnya flavor yang mudah menguap (rolatile flavour) dan memucetnya
pigmen.
- Perubahan struktur, termasuk case hardening, sebagai akibat dari pengerutan
selama air dikeluarkan.
- Membutuhkan waktu yang cukup lama.
- Reaksi pencokelatan non-enzimatis yang melibatkan pereaksi dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, oksidasi dari komponen-komponen lipid.
- Kerusakan mikrobiologis jika kecepatan pengeringan awal lambat atau jika
kadar air dari produk akhir terlalu tinggi, atau jika makanan kering disimpan
dalam tempat dengan kelembaban tinggi (Buckle et al., 1985).
Selain itu, pengeringan menggunakan alat pengering yang menggunakan
tenaga listrik (oven) bisa meningkatkan kualitas karena penggunaannya sangat
steril, namun pengeringan ini juga memiliki kelemahan antara lain biaya
Riska Oktafiani
240210150060

operasional yang mahal tidak sesuai dengan sekala usaha tani, perawatan dan
pengoperasian membutuhkan tenaga terampil (Wadli, 2005).
Riska Oktafiani
240210150060

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat diambil dalam praktikum kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Dilihat dari karakteristik organoleptik (warna, aroma, dan tekstur), cabai merah
lebih cocok dikeringkan dengan menggunakan oven. Hal ini karena
penambahan natrium metabisulfit pada cabai merah berpengaruh nyata
terhadap pengeringan dengan menggunakan oven, sehingga dapat
mempertahankan karakteristik oragnoleptiknya;
2. Rendemen cabai merah yang dikeringkan dengan menggunakan oven (35,25%)
lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan sinar matahari (40,7%), hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan, maka kadar airnya
semakin berkurang dan menyebabkan rendemennya turun;
3. Dilihat dari karakteristik organoleptik, daun salam lebih cocok dikeringkan
dengan menggunakan oven, selain itu rendemen yang dikeringkan dengan oven
(35,18%) lebih kecil dibandingkan dengan sinar matahari (37,04%);
4. Bawang putih lebih cocok dikeringkan dengan menggunakan oven blower
berdasarkan karakteristik organoleptiknya, selain itu rendemen bawang putih
yang dikeringkan dengan menggunakan oven blower (40,9%) lebih besar
dibandingkan dengan sinar matahari (35%);
5. Bawang merah lebih cocok dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari
jika dilihat dari karakteristik organoleptiknya, selain itu rendemen bawang
merah yang dikeringkan dengan menggunakan oven blower (19,01%) lebih
besar dibandingkan dengan sinar matahari (15,64%);
6. Serai lebih cocok dikeringkan dengan menggunakan oven blower jika dilihat
dari karakteristik organoleptiknya, selain itu rendemen serai yang dikeringkan
dengan menggunakan oven blower (23,33%) lebih besar dibandingkan dengan
menggunakan sinar matahari (21,01%);
7. Jahe lebih cocok dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari dan food
dehydrator, dimana rendemen serai yang dikeringkan dengan menggunakan
Riska Oktafiani
240210150060

sinar matahari dan food dehydrator (12,25%) lebih kecil dibandingkan dengan
menggunakan oven (13,22%);
8. Untuk mempertahankan warna dan aroma, lengkuas lebih cocok dikeringkan
dengan menggunakan food dehydrator, namun food dehydrator dapat
menyebabkan terkstur lengkuas menjadi rapuh. Rendemen lengkuas yang
dikeringkan dengan menggunakan food dehydrator (6,5%) lebih kecil
dibandingkan dengan oven blower (6,9%) dan sinar matahari (12%);
9. Kunyit lebih cocok dikeringkan dengan menggunakan food dehydrator, selain
itu rendemen kunyit yang dikeringkan dengan menggunakan food dehydrator
(16,9%) lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan oven blower (19,5%)
dan sinar matahari (21%), hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
pengeringan, maka kadar air dalam bahan semakin menurun dan menyebabkan
rendemennya turun juga.

5.2 Saran
Saran yang diambil dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
sebaiknya lebih diperhatikan suhu pengeringan (baik pada oven, food dehydrator,
maupun sinar matahari) agar karakteristik organoleptik dan senyawa bioatkif pada
rempah dapat dipertahankan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan sebaiknya
harus didasarkan dari karakteristik dan jenis rempah yang digunakan agar mutu atau
kualitasnya tetap dipertahankan.
Riska Oktafiani
240210150060

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit: ITB,


Bandung.

Asgar, A. dan R.M. Sinaga. 1992. Pengeringan Bawang Merah (Allium


ascalonicum L.) dengan Menggunakan Ruangan Berpembangkit Vorteks.
J.Hort. 12(1): 48-55.

Balitsa. 1996. Pengeringan. Teknologi Produksi Bawang Merah. Balai Penelitian


Tanaman sayuran Lembang, Bandung. Hal 100.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H.Fleet dan M.Wootton. 1985. Ilmu Pangan.
Penerjemah: H.Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta.

Catur, D.S. 1991. Studi Pengeringan Bawang Merah (Allium a scalonicum L.)
dengan menggunakan Ruang Berpembangkit Vorteks. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Departemen Kesehatan. 1990. Bahan Tambahan Makanan. Depkes Dirjen POM


No. 722/Menkes/PER/IX/88.

Diaz-Maroto, M.C., Perez-Coello, M.S. dan Cabezudo. M.D. 2002. Effect of drying
method on the volatile in bay leaf (Laurus nobilis L.). Journal of Agriculture
and Food Chemistry. 50: 4520-4524.

Djaeni, M. 2012. Peningkatan Kecepatan Proses Pengeringan Karaginan


Menggunakan pengering Adsorpsi Dan Zeolit. Jurnal Teknik. Jurusan
Teknik Kimia, Fakuktas Teknik, Universitas Diponegoro. 33:0852-1697.

Dutta, D., U.R. Chaudhuri. dan R. Chakraborty. 2005. Structure Health Benefits.
Antioxidant Property and Processing and Storage of Carotenoids. African
Journal of Biotechnology. 4 (13) : 1510 – 1520.

Dwika, R.T., T. Ceningsih., S. T. Sasongko. 2012. Pengaruh Suhu dan Laju Alir
Udara Pada Pengeringan Karaginan Menggunakan Teknologi Spray Drayer.
Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol 1, No. 1.

Estiasih, T. dan K. Ahmaadi. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara,


Jakarta.

Fachry, A.R., B. Ferila. dan M. Farhan. 2013. Ekstraksi Senyawa Kurkuminoid dari
Kunyit (Curcuma Longa Linn) sebagai Zat Pewarna Kuning pada Proses
Pembuatan Cat. Jurnal Teknik Kimia. 3(19) : 10-19.
Riska Oktafiani
240210150060

Furia, T.E. 1968. Handbook of Food Additives. CRC Press Inc, Florida.

Hanindra, R.S. 2012. Pengaruh Perasan Daun Salam (Eugenia polyantha Wight)
80% Sebagai Denture Cleanser Terhadap Kekuatan Impak Resin Akrilik
Tipe Heat-Cured. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Jember,
Jember.

Hartuti, N. dan R.M. Sinaga. 1997. Pengeringan Cabai. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Holtikultura. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bandung.

Hely, E., M.A. Zaini. dan A. Alamsyah. 2018. Pengaruh Lama Pengeringan
Terhadap Sifat Fisiko Kimia Teh Daun Kersen (Muntingia Calabura L.).
Jurnal Agrotek. 5(1) : 1-9.

Histifarina, D. dan R.M. Sinaga. 1999. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan
Terhadap Mutu Tepung Wortel. Bul. Pasca Panen Hort. 1(4): 25-30.

Hughes, K.V. and B.J. Willenberg. 1994. Quality for Keeps : Drying food.
University of Missouri, Columbia.

Huriawati, F., W.L. Yuhanna. dan T. Mayasari. 2016. Pengaruh Metode


Pengeringan Terhadap Kualitas Serbuk Seresah Enhalus Acoroides dari
Pantai Tawang Pacitan. Bioeksperimen. 2(1) : 35-43.

Jackman, R. L. dan J. L. Smith.1996. Anthocyanins and Betalains. Di dalam


Natural Food Colorants. Hendry, G. A. F. dan J. D. Houghton (ed.). 2nd ed.
Blackie Academic & Proffesional, London

Jannah, M., W. F. Ma’ruf. Dan T. Surti. 2014. Efektivitas Lengkuas (Alpinia


Galanga) sebagai Pereduksi Kadar Formalin pada Udang Putih (Penaeus
Merguiensis) Selama Penyimpanan Dingin. Jurnal Pengolahan dan
Bioteknologi Hasil Perikanan. 3(1) : 70-79.

Lin, C.C., Lin, H.Y., Chen, H.C., Yu, M.W. dan Lee, M.H. 2009. Stability and
characterisation of phospholipid-based curcumin-encapsulated
microemulsions. Food Chemistry, 116, pp. 923–928

Lubis, I.H. 2008. Pengaruh Lama dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung
Pandan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam Anthocyanins as


Food Colors. Academic Press, New York.

Marsella, R., I. Thohari. dan L.E. Radiati. 2016. Pengaruh Daun Salam (Syzygium
Polyanthum) terhadap Protein Kuning Telur, Total Fenol dan Flavonoid
pada Telur Asin. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 11(2) : 23-27.
Riska Oktafiani
240210150060

Martunis. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kuantitas dan
Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian Indonesia. 4(3) : 26-30.

Mayor L. dan A.M. Sereno. 2004. Modelling shrinkage during convective drying
of food materials: a review. Journal of Food Engineering. 61: 373–386.

Muchtadi, T. 1989. Teknologi proses pengolahan pangan. Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Muchtadi, T.R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat
Antar Universitas Pangan Dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Musaddad, D. dan R.M. Sinaga. 1994. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Mutu
Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Bul. Penel.Hort. Vol. XXVI No.
2.

Novary, E.W. 1997. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Nurkomar., Rakhmadion, S., Kurnia, L. 2001. Teknik penyimpanan bawang merah


pasca panen di Jawa Timur. J Teknologi Pertanian. 2(2):27-34.

Oyen, L.P.A., and N.X. Dung. 1999. Plants Resources of South East Asia :
Essential Oil No. 19. Prosea, Bogor.

Pooter, H.L., M. Nor Omar., B.A. Coolsaet. and N.M. Scamp. 1985. The Essential
Oil of Greater Galangal (Alpina galangal) from Malaysia. Phytochem. 24 :
93.

Praptiningsih, Y. 1999. Buku Ajar Teknologi Pengolahan. FTP UNEJ, Jember.

Purwanto, C.C., D. Ishartani. dan D. Rahadian. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia
Tepung Labu Kuning (Cucurbita Maxima) dengan Perlakuan Blanching
Dan Perendaman Natrium Metabisulfit (Na2S2O5). Jurnal Teknosains
Pangan. 2(2): 121-130.

Ramelan, A.H., N.H.R. Parnanto. dan Kawiji. 1996. Fisika Pertanian. UNS-Press,
Solo.

Rizki, Z.M. 2004. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Anti Kanker pada Minuman
Formulasi Susu Jahe (Zingiber officinale var. Amarum) Pasteurisasi.
Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
Riska Oktafiani
240210150060

Rizvi, S.S.H. 2005. Thermodynamic properties on foods in dehydration, pp. 239-


310, in M.A. Rao, S.S.H, Rizvi and A.K. data (Eds). Engineering
Properties of Foods, 3rd Ed., CRC Press, Boca ratton.

Sabina, E.P., Rasool, M.K., Mathew, L., EzilRani, P. dan Indu, H. 2010. 6-Shogaol
inhibits monosodium urate crystal-induced inflammation - An in vivo and in
vitro study. J. Food and Chemical Technology 48: 229-235.

Salima, J. 2015. Antibacterial Activity of Garlic (Allium Sativum L.): Review


Article. J. Majority. 4(2) : 30-39.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. 4rd Ed. Wadsworth
Publishing Company, California.

Scaeffer, J.J.C., A. Ghani, and A. Baerheim-Svendsen. 1981. Monoterpenes in the


Essential Rhizome Oil Alpina galangal (L) Wild. Journal of Pharm. 49 :337.

Setiadi. 2004. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta.

Shahidi, F. dan Naczk, M. 1995. Food Phenolics: Sources, Chemistry, Effects,


Application. Technomic Publishing Co., Inc, Lancester.

Sudarsono., Gunawan, D., Wahyono, S., Donatus, I.A. dan Purnomo. 2002.
Tumbuhan Obat II (Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan), 66-68.
Pusat Studi Obat Tradisional-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sulistiari. 1995. Pembuatan bubuk bawang putih (Allium sativum L.) dengan
pengering hampa udara : kajian pengaruh konsentrasi CaCl2 dan suhu
pengeringan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan Dan Gizi, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

Sunyoto, M. 2017. Teknologi Pengolahan Rempah. Unpad Press, Bandung.

Susinggih W., Sucipto. dan Lia M.S. 2015. Pengaruh Suhu dan Waktu Pengeringan
terhadap Aktivitas Antioksidan pada Bubuk Kulit Manggis (Garcinia
Mangostana L.). Jurnal. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas
Brawijaya, Malang.

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan Press,


Jakarta.

Taufiq, M. 2004. Pengaruh Temperatur terhadap Laju Pengeringan Jagung pada


Pengeringan Konvensional dan Fluidized Bed. Skripsi. Fakultas Teknik.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tjahjadi, C. 2008. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah Volume I dan II. Widya
Padjadjaran, Sumedang.
Riska Oktafiani
240210150060

Tjahjadi, C. dan H. Marta. 2012. Pengantar Teknologi Pangan Volume 1.


Universitas Padjadjaran, Sumedang.

Venskutonis, R. 1997. Effect of drying on the volatile constituents of thyme (Thymus


vulgaris L.) and sage (Salvina officinalis L.). Food Chemistry. 59: 219-227.

Wadli. 2005. Kajian Pengeringan Rumput Laut Menggunakan Alat Pengering Efek
Rumah Kaca. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Wibowo, S. 2009. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay.
Cetakan 1. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wijana, S., Sucipto. dan L. M. Sari. 2013. Pengaruh Suhu dan Waktu Pengeringan
terhadap Aktivitas Antioksidan pada Bubuk Kulit Manggis (Garcinia
mangostana L.). Skripsi Universitas Brawijaya P: 40, Malang.

Winarto, I.W. 2004. Khasiat dan Manfaat Kunyit. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Wiriya, P., Paiboon, T. dan Somchart, S. 2009. Effect of Drying Air Temperature
and Chemical Pretreatments on Quality of Dried Chilli. International Food
Research Journal. 16 : 441 – 454.

Wresdiyati, T., Astawan, M. dan Adnyane, I.K.M. 2003. Aktivitas anti inflamasi
oleoresin jahe (Zingiber officinale) pada ginjal tikus yang mengalami
perlakuan stres. Jurnal Teknol. dan Industri Pangan. Vol. XIV. No. 2.

Wulansari, K. 2005. Studi Kemampuan Pengikatan Kolesterol oleh Ekstrak Daun


Suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) dalam Simulasi system
Pencernaan In Vitro [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yan, Z., Sousa-Gallagher, M.J., F.A.R. Oliveira. 2008. Shrinkage and porosity of
banana, pineapple and mango slices during air-drying. Journal of Food
Engineering. 84: 430–440.

Anda mungkin juga menyukai