240210150060
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengupasan
Pengupasan merupakan salah satu bentuk usaha dalam membuang bagian-
bagian yang tidak dapat dimakan atau tidak dikehendaki dari suatu komoditas
(Burn, 1995). Teknik pengupasan bisa dilakukan dengan beragam cara, misalnya
pengupasan yang menggunakan alat seperti pisau, peeler dan sabut cuci piring.
Sedangkan teknik pengupasan lainnya berhubungan dengan perlakuan blansing,
dimana pengupasan dilakukan setelah blansing. Hal tersebut dikarenakan bahwa
ada sebagian komoditas yang memiliki kulit yang cukup tebal dan keras, sehingga
untuk melunakkan kulit tersebut atau dengan kata lain dapat mempermudah
pengupasan, maka harus dilakukan perlakuan blansing terlebih dahulu. Praktikum
kali ini mengenai pengupasan berbagai komoditas seperti tomat dan kentang.
Sampel kentang menggunakan perlakuan pengupasan dengan menggunakan sabut
cuci piring, pisau stainless steel, dan peeler. Sedangkan tomat hanya menggunakan
perlakuan dengan cara blansing kukus maupun blansing rebus.
Pengupasan tomat dilakukan dengan dua cara yaitu pengupasan dengan air
mendidih (blansing rebus) dan uap panas (blansing kukus). Pengupasan dengan
blansing rebus diawali dengan menimbang sampel tomat, kemudian dicuci dengan
air yang mengalir. Tujuan pencucian ini adalah untuk menghilangkan kotoran yang
menempel pada bahan, serta untuk mengurangi jumlah mikroorgansime awal dari
bahan tersebut. Setelah itu, tomat dimasukkan ke dalam panci yang berisi air
mendidih selama 5 menit. Blansing adalah perlakuan pemanasan pendahuluan yang
umumnya diberikan pada sayuran dalam air mendidih atau mendidih selama waktu
yang singkat (Tjahjadi, 2011). Tomat yang telah diblansing rebus kemudian
diangkat dari panci dan direndam dalam air dingin selama 3 menit, tujuannya agar
tomat tersebut tidak mengalami pematangan yang cepat setelah direbus, serta untuk
mempertahankan jaringan tomat agar tidak terlalu lunak atau lunak setelah proses
blansing. Setelah itu, tomat dikupas kulitnya dengan menggunakan tangan. Saat
pengupasan kulit, dicatat pula waktu pengupasannya. Selanjutnya, tomat ditimbang
kembali beratnya dan diamati kenampakannya setelah kulit tomat dikupas, selain
itu dihitung BDD atau rendemen dari tomat.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
Tomat yang diberi perlakuan blansing kukus atau uap panas sama halnya
seperti tomat yang diblansing, yaitu diawali dengan cara menimbang tomat
tersebut. Setelah itu, totmat dicuci dengan menggunakan air mengalir, tujuannya
agar menghilangkan kotoran yang menempel pada kulit tomat serta untuk
mneghilangkan mikroorgansime awal dari tomat tresebut. Kemudian dimasukkan
ke dalam keranjang berlubang dalam panci selama 5 menit dengan suhu 115oC
untuk dilakukan blansing kukus. Blansing adalah perlakuan panas yang singkat
sebelum proses pengalengan, pembekuan, pengeringan, atau fermentasi sayuran.
Tujuan blansing antara lain untuk menonaktifkan enzim (polifenoloksidase,
lipoksigenase, katalase, peroksidase, ascorbic acid oxidase) yang akan
menimbulkan reaksi kimia yang tidak diinginkan; membersihkan produk dari
kotoran-kototran yang melekat; mengurangi jumlah mikroorgansime pada bahan;
menghilangkan udara intraseluler; serta melenturkan atau melunakkan jaringan
sehingga mudah dikemas (Tjahjadi, 2008). Tomat yang telah diblansing kukus
kemudian diangkat dari panci dan direndam dalam air dingin selama 3 menit,
tujuannya agar tomat tersebut tidak mengalami pematangan yang cepat setelah
direbus, serta untuk mempertahankan jaringan tomat agar tidak terlalu lunak atau
lunak setelah proses blansing. Setelah itu, tomat dikupas kulitnya dengan
menggunakan tangan. Saat pengupasan kulit, dicatat pula waktu pengupasannya.
Selanjutnya, tomat ditimbang kembali beratnya dan diamati kenampakannya
setelah kulit tomat dikupas. Selain itu, tomat dihitung nilai BDD (Berat yang Dapat
Dimakan) atau rendemen seperti yang dilakukan oleh blansing rebus. Rendemen ini
merupakan suatu presentase produk yang didapat dari perbandingan berat awal
(W1) bahan dengan berat akhir (W2) dikali 100%, sehingga dapat diketahui
kehilangan beratnya saat mengalami proses pengolahan. Cara menghtiung BDD
antara lain sebagai berikut:
2
= 100%
1
Selaini tu, pengupasan kentang dapat dilakukan dalam bebrerapa cara, yaitu
pengupasan dengan pisau, peeler, dan sabut cuci piring. Tahapan pertama yang
dilakukan adalah dengan cara penimbangan sampel kentang. Penimbangan awal
pada kentang adalah untuk mengetahui berat awal (W1) sehingga memudahkan
untuk perhitungan rendemennya. Kentang yang telah ditimbang kemudian dicuci
RISKA OKTAFIANI
240210150060
dengan air mengalir. Tujuan pencucian kentang dengan air mengalir adalah untuk
menghilangkan kotoran yang menempel, serta mneghilangkan mikroorganisme
awal yang menempel pada kulit kentang tersebut. Setelah itu, masing-masing
kentang dikupas kulitnya dengan menggunakan pisau stainless steel, peeler,
maupun dengan sabut cuci piring. Permukaan untuk pisau yang terbuat dari
stainless steel akan terdapat suatu lapiasam oksida (krom) yang sangat stabil,
sehingga pisau ini tahan terhadap korosi. Sedangkan pisau yang terbuat dari besi
biasa mudah mengalami korosi, dan apabila digunakan dalam pengupasan akan
mengakibatkan bahan mudah mengalami oksidasi sehingga akan menghasilkan
warna coklat yang disebut dengan pencoklatan enzimatis (Winarno, 1980). Adapun
pengupasan dengan menggunakan sabut cuci pirirng dapat dilakukan dengan cara
digosok-gosokkan pada sampel kenatang, lalu sesekali komoditas tersebut
dicelupkan ke dalam air. Setelah itu, berat kentang ditimbang kembali setelah
dikupas kulitnya, sehingga menghasilkan berat W2. Kentang yang telah ditimbang
kemudian diamati kenampakan yang terjadi setelah pengupasan dan dihitung
rendemen atau BDD (Berat yang Dapat Dimakan). Cara perhitngan BDD atau
rendemen antara lain sebagai berikut:
2
= 100%
1
Menurut hasil pengamatan tabel 1 menunjukkan bahwa tomat yang diberi
perlakuan blansing rebus saat waktu kupas di detik ke-17 menghasilkan rendemen
sebesar 95,90 %, sedangkan saat waktu kupas di detik ke 7,17 menghasilkan
rendemen sebesar 88,60 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu
pengupasan, maka rendemen yang dihasilkan semakin besar, artinya bahan tersebut
memiliki tingkat yang dapat dimakannya lebih tinggi. Jika dilihat dari
kenampakannya, tomat yang diblansing rebus setelah dikupas kulitnya di detik ke-
17 memiliki tekstur yang halus dan berwarna merah oranye, sedangkan tomat yang
dikupas di detik ke-7,17 masih tersisa kulit di bagian pangkal atasnya serta
warnanya merah cerah. Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat
bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Rendeman
digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin
tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga
pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif (Praptiningsih, 1999).
RISKA OKTAFIANI
240210150060
air dan bahannya berturut-turut adalah 10:1, kemudian ditiriskan hingga air yang
menempel dapat berkurang. Tujuan pencucian ini adalah untuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada bahan serta untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme awal pada bahan tersebut.
Setelah itu, masing-masing sampel dicuci dengan larutan klorin 100 ppm
selama 15 detik. Penggunaan klorin bertujuan untuk mengendalikan
mikroorganisme yang tumbuh. Selain itu, pencucian dengan klorin merupakan
langkah sanitasi untuk menghilangkan kotoran, residu pestisida dan
mikroorganisme yang mempengaruhi penurunan kualitas dan kerusakan (Barry,
2007). Menurut Jongen (2002) bahwa senyawa klorin dapat mengurangi jumlah
mikroflora aerobik pada sayuran daun seperti selada. Namun, penggunaan klorin
memiliki batas efektif untuk menekan pertumbuhan Listeria monocytogenes pada
selada dan kubis. Klorin efektif bila larutan dijaga pada pH netral.
Perlakuan klorin dengan konsentrasi 100-150 ppm dapat membantu mengendalikan
patogen selama operasi lebih lanjut.
Selanjutnya, masing-masing sampel ditiriskan hingga kadar larutan klorin
berkurang dari sampel dan diamati perubahan yang terjadi. Setelah itu, bahan
direndam dengan larutan inhibitor selama 30 detik. Fungsi larutan inhibitor
diantaranya adalah untuk menonaktifkan enzim, menurunkan pH, sebagai
antioksidan dan pengikat logam (Tjahjadi, 2008). Larutan inhibitor yang digunakan
untuk pengolahan minimalis sampel brokoli dan selada antara lain adalah larutan
asam askorbat 0,2 % 200 mL, larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL dan asam asetat
6 % 100 mL, larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL dan asam sitrat 0,3 % 100 mL,
serta larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL dan NaEDTA 0,5 % 100 mL, serta
kontrol. Sampel dalam kontrol terdapat mikroorganisme Clostridium haroreamnum
yang berasalah dari jenis bakteri.
Perendaman komoditas dalam asam sitrat dimaksudkan untuk
memperlambat kerusakan, karena senyawa ini merupakan bahan pengawet yang
baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa masam pada makanan dan
minuman ringan. Asam sitrat merupakan asam organik yang larut dalam air dengan
citarasa yang sangat asam dan banyak digunakan dalam industri pangan. Di
samping itu asam sitrat dapat menginaktifkan beberapa enzim dan mengikat
RISKA OKTAFIANI
240210150060
elemen dalam larutan mikroelemen. Asam sitrat juga dapat membentuk kompleks
dengan logam. Menurut Irawati (2008), selain sebagai chelating
agent, asam sitrat juga dapat meningkatkan efisiensi dan antioksidan.
Asam cuka atau asam asetat (acetic acid) adalah senyawa kimia organik
yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, selain dapat
berfungsi juga sebagai pengawet bahan makanan, selain meningkatkan daya
simpan, cuka juga dapat mempertahankan warna atau mencegah reaksi
browning/pencokelatan pada buah dan sayuran, dengan penambahan cuka, sayuran
dan buah akan lebih bertahan warnanya.
Asam askorbat atau vitamin C merupakan vitamin yang mudah larut dalam
air. Vitamin ini sering disebut sebagai fresh food vitamin karena banyak terdapat
pada sayur dan buah-buahan segar (Winarno, 1992). Di sisi lain, asam askorbat
merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor
untuk pembentukan warna cokelat nonenzimatik (Arsa, 2016). Asam askorbat
berperan sebagai agen pereduksi yang menyebabkan terjadinya reduksi kimia
polyphenol oksidase (PPO) menjadi o-quinon yang tidak berwarna. Asam askorbat
juga mampu menurunkan pH medium. Tidak adanya pengaruh yang signifikan pada
sampel praktikum, diperkirakan karena jumlah asam askorbat yang terdapat pada
sampel terlalu sedikit, sehingga telah digunakan semua dalam waktu yang singkat.
Hal ini didukung dengan penyataan Laminkara (2002) yang menyatakan apabila
asam askorbat dalam sistem sudah habis terpakai, maka reaksi pencoklatan
enzimatis akan berlangsung kembali. Kekurangan asam askorbat yaitu dapat
menyebabkan off color pada bahan.
Jongen (2002) mengatakan bahwa asam askorbat merupakan agen anti
pencoklatan yang paling efektif apalagi bila dikombinasikan dengan agen yang
lainnya seperti asam sitrat dan EDTA. Etilendiamintetraasetat (EDTA) adalah
sequestran logam yang sering digunakan dalam minyak salad (Winarno, 1992).
Mekanisme kerja EDTA sebagai antioksidan adalah sebagai bahan pengkelat logam
karena pada suatu reaksi, ion logam dapat membentuk kompleks dengan oksigen
dan kemudian membentuk radikal peroksi.
Setelah itu, masing-masing sampel ditiriskan agar kadar larutannya lebih
berkurang dan dapat dikemas dengan kemasan PET, kemudian kemasan tersebut
RISKA OKTAFIANI
240210150060
ditutup dengan selotip. Fungsi kemasan adalah untuk melindungi bahan atau sampel
dari kontaminasi dengan mikroorgansime serta dari melindungi dari kondisi
temperatur yang tidak stabil dan kadar air yang meningkat dari bahan tersebut.
Selanjutnya, berat masing-masing sampel ditimbang kembali beserta kemasannya.
Setelah itu, masing-masing sampel disimpan di dalam thermoregulator pada suhu
8-10oC selama 5 hari, kemudian diamati perubahan terjadi seperti kesegaran,
kerenyahan, pencoklatan, warna daun, warna batang, kilap dari masing-masing
sampel tersebut, susut bobot, rendemen, serta % BDD. Rumus yang digunakan
untuk perhitungan susut bobot dan rendemen adalah sebagai berikut:
1 2
Susut bobot = x 100%
1
2
= 100%
1
Penyimpanan dingin sangat dianjurkan, karena dapat menekan laju
degradasi enzimatik yang mengakibatkan pelunakan jaringan buah dan sayuran,
mengurangi laju kehilangan air yang mengakibatkan kelayuan, menurunkan laju
pertumbuhan mikroorganisme, serta menurunkan laju produksi etilen. Faktor
temperatur penyimpanan ini sangat menentukan kondisi mikrobiologis produk
olahan minimalis karena akan memengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada
sayuran siap konsumsi seperti ditemukannya populasi mikroorganisme mesophylic
yang meskipun sangat rendah pada chicory. Perlu menjadi perhatian, bahwa
temperatur yang dipakai atau ditetapkan dapat menahan perkembangan
jenis bakteri pembusuk yang aerobik (karena oksigen berkurang) (Lozano, 2006).
Dengan proses minimum, aktivitas respirasi produk meningkat 20% sampai 700%
atau lebih tergantung jenis produk, cara pemotongan, dan suhu. Apabila produk
dikemas pada kondisi anaerob, maka akan terjadi respirasi anaerob yang
menyebabkan terbentuknya etanol, keton dan aldehida.
Menurut hasil pengamatan tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kesegaran
yang paling rendah adalah sampel selada kontrol serta selada yang ditambahkan
larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL + NaEDTA 0,5 % 100 mL, sedangkan tingkat
kesegaran yang paling tinggi adalah sampel selada yang ditambahkan asam
askorbat 0,2 % 200 mL setelah disimpan di dalam thermoregulator selama 5 hari.
Berdasarkan hasil pengamatan keseluruhan dari setiap sampel selada menunjukkan
RISKA OKTAFIANI
240210150060
bahwa kesegaran mengalami perubahan yaitu semakin tidak segar, hal tersebut
dapat disebabkan oleh respirasi selada yang menyebabkan turunnya tekanan turgor
sel karena penguapan air sehingga tekstur sel menjadi lunak. Hal tersebut
dibuktikan dengan munculnya uap air pada kemasan PET.
Tingkat kerenyahan yang paling rendah adalah sampel selada kontrol dans
selada yang ditambahkan asam askorbat 0,2 % 100 mL + NaEDTA 0,5 % 100 mL,
sedangkan tingkat kerenyahan yang paling tinggi adalah sampel selada yang
ditambahkan asam askorbat 0,2 % 200 mL setelah disimpan di dalam
thermoregulator selama 5 hari. Walaupun disimpan dalam suhu rendah, beberapa
strain bakteri pektinolitik dari Pseudomonas dapat tumbuh pada sayuran yang
menyebabkan tekstur menjadi lunak (kerenyahan menurun), sedangkan suhu dan
kandungan CO2 dalam kemasan yang meningkat selama penyimpanan akan
meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat.
Tingkat pencokelatan yang paling rendah adalah sampel selada yang
ditambahkan asam askorbat 0,2 % 200 mL, sedangkam tingkat pencokelatan yang
paling tinggi adalah sampel selada kontrol. Produk olahan minimal sayur-sayuran
lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan sayur-sayuran yang tidak
diolah. Pengolahan minimal biasanya meningkatkan derajat kerusakan bahan yang
diolah (Krochta et al., 1992). Proses pengupasan atau pengirisan pada tahap
persiapan dapat menyebabkan luka pada jaringan sayur. Terbukanya jaringan
tersebut akan memperpendek umur simpan sayur yang juga menyebabkan
terjadinya hal-hal seperti mempercepat produksi etilen (Krochta et al., 1992),
degradasi membran lemak (Brecht, 1995), peningkatan respirasi (Krochta et al.,
1992), oksidasi pencoklatan dan peningkatan laju penghilangan air (Brecht, 1995).
Selain itu, warna daun dan warna batang yang tetap hijau setelah disimpan
di dalam thermoregulator selama 5 hari adalah sampel selada yang ditambahkan
asam askorbat 0,2 % 200 mL, sedangkan warna daun dan warna batang yang
muncul bercak dan pencokelatan terdapat pada sampel selada kontrol, selada yang
ditambahkan asam askorbat 0,2 % 100 mL + asam asetat 0,6 % 100 mL, serta selada
yang ditambahkan larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL + NaEDTA 0,5 % 100 mL.
Warna hijau pada selada ini menunjukkan adanya pigmen klorofil yang
menandakan bahwa selada tersebut masih aman untuk dikonsumsi dan segar.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
15
1
2
10
3
5 4
Susut Bobot (g)
5
0 6
0 1 2 3 4 5
7
-5 8
9
-10
10
-15
Hari
saat penimbangan seperti timbangan tidak di kalibrasi terlebih dahulu. Bobot yang
konstan (tidak mengalami perubahan) adalah sampel selada yang ditambahan
larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL + asam asetat 0,6 % 100 mL.
Secara umum, bahan yang disimpan di dalam thermoregulator selama 5 hari
akan terjadi susut bobot. Kader (1992) menjelaskan bahwa terjadinya susut bobot
disebabkan hilangnya air dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula
menjadi CO2 dan H2O. Hal ini juga dijelaskan oleh Winarno (1992) bahwa
kehilangan bobot pada buah dan sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh
kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama
respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut.
Selain itu, menurut Lamikanra (2002), penggunaan suhu rendah dapat mengurangi
reaksi metabolisme pada bahan. Temperatur memengaruhi sifat permeabilitas gas
yang melalui kemasan plastik dan menghambat pertumbuhan mikroba.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari praktikum kali ini adalah:
1. Pengupasan yang paling baik untuk kentang adalah dengan menggunakan
pisau, sebab pisau yang digunakan adalah jenis pisau stainless steel
sehingga untuk mengalami pencokelatan lebih dihambat, selain itu
kenampakan yang dihasilkan lebih halus jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya;
2. Pengupasan yang paling buruk untuk kentang adalah pengupasan dengan
menggunakan sabut cuci piring, sebab jika dilihat dari kenampakannya
setelah pengupasan warna kentang tersebut berubah menjadi kuning
kecokelatan yang menandakan bahwa terjadi kontak antara logam dari sabtu
dengan kentang, selain itu tekstur yang dihasilkannya lebih kasar;
3. Perlakuan yang paling baik untuk pengupasan tomat adalah dengan cara
blansing kukus, sebab akan menghasilkan kenampakan yang lebih rapi serta
rendemen yang dihasilkan lebih banyak, artinya Berat yang Dapat Dimakan
(BDD) lebih banyak jika dibandingkan dengan blansing rebus;
4. Jenis larutan inhibor yang paling baik untuk pengolahan minimalis selada
adalah larutan asam askorbat 0,2 % sebanyak 200 mL, sebab jika dilihat
kesegaran, kerenyahan, pencokelatan, warna daun, warna batang, dan
kekilapan yang dihasilkan masih tetap dipertahankan saat disimpan di dalam
thermoregulator selama 5 hari;
5. Jenis larutan inhibor yang paling baik untuk pengolahan minimalis brokoli
adalah larutan asam askorbat 0,2 % 100 mL + asam asetat 0,6 % 100 mL,
sebab jika dilihat kesegaran, kerenyahan, warna daun, warna batang, dan
kekilapan yang dihasilkan masih tetap dipertahankan kualitasnya saat
disimpan di dalam thermoregulator selama 5 hari, walaupun sedikit
mengalami pencokelatan mulai hari ke-3 hingga hari ke-5.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
5.2 Saran
Adapun saran yang diperoleh berdasarkan praktikum kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Saat melakukan pengupasan baik dengan peeler, pisau, sabut, maupun
dengan blansing kukus dan blansing rebus yang paling diperhatikan adalah
BDD nya. Sebab semakin banyak BDD yang dihasilkan, maka untuk
pengupasan ini akan semakin efektif sebab hanya sedikit daging buah atau
yang ikut terkelpuas bersama kulitnya;
2. Perhatikan pula konsentrasi larutan inhibitor dan lama waktu yang
diguankan dalam pengolahan minimalis agar tidak menimbulkan kerugian
yang besar dalam pengolahan minimalis, serta hasil yang diperoleh lebih
efisien.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
DAFTAR PUSTAKA
Aked, J. 2000. Fruits and Vegetables in Stability and shelf-life of food., in Kilcast.
K and Subramaniam, P (Eds.):The Stability and Shelf-life of Food,
CRCPress.
Arsa. 2016. Proses Pencoklatan (Browning Process) pada Bahan Pangan. Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Udayana, Denpasar.
Barry, C. 2007. Extending and Measuring the Quality of Fresh-Cut Fruit and
Vegetables. Review DIT edisi 1 Juli.
Burn, J.K. 1995. Lightly Processed Fruits and Vegetables. Introduction to the
Colloqium. J. Hort. Sci. 30 (1): 14-17.
Syamsir, Elvira. 2010. Teknologi Olah Minimal (Minimally Processed) Buah dan
Sayur. Majalah kulinologi Indonesia.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
Tjahjadi, Carmencita. 2008. 2008. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah Volume
I dan II. Widya Padjadjaran, Sumedang.
Tjahjadi, C., dkk. 2011. Bahan Pangan dan Dasar-dasar Pengolahan. Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Winarno, F.G. 1992. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
RISKA OKTAFIANI
240210150060
JAWABAN PERTANYAAN