Anda di halaman 1dari 16

JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS

II.1Definisi
Arthritis rheumatoid Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak
umur di bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan
peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6 minggu dengan
menyingkirkan kausa lain peradangan sendi pada anak usia 16 tahun atau kurang.1

Arthritis rheumatoid juvenil (ARJ) merupakan kelompok penyakit yang tidak diketahui
etiologinya dan bermanifestasi sebagai inflamasi sendi kronik. Patogenesisnya ditandai oleh
imunoinflamasi yang diduga diaktifkan oleh antigen eksternal. Selain itu ARJ mempunyai
predisposisi genetis.

Artritis sendiri adalah penyakit yang menyerang sendi yang menyebabkan bengkak,
keterbatasan gerak, nyeri, panas/hangat, dan eritem.

Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini. Istilah ARJ lebih banyak
dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis pada anak
usia dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan
istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau
keluarga yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah
arthritis kronik juvenile lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa).

Adanya kerancuan dalam hal penggunaan istilah ini, maka timbul kesepakatan pada
pertemuan EULAR untuk menggunakan istilah yang seragam. Istilah yang disepakati oleh
EULAR adalah arthritis idiopatik juvenile (ARJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.

II.2Etiologi
Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal
terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat
kuat mempengaruhi.7

II.Epidemiologi
ARJ merupakan arthritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya dilaporkan
hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang
menjadi arthritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa
pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ
dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun.

Bisa mengenai semua ras dan seluruh area geografik. Insidens 6-20 kasus tiap 100000 anak.
Prevalensi 16-150 tiap 100000

ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun.
Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait
pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di
Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang
lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artikular, dengan RF positif.7
II.5 Patofisiologi dan Patogenesis7,9,5

ARJ merupakan penyakit autoimun multisystem, yang terdiri dari beberapa kelompok
penyakit dengan perbedaan klinis dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisinya
belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit arthritis kronis heterogen yang umumnya
menyerang perempuan ditandai dengan arthritis kronik yaitu ditemukannya tanda keradangan
pada sinovium.

ARJ sering dikaitkan dengan imunopatogenesis penyakit kompleks imun atau dapat terjadi
karena proses autoimun. Tanda adanya respon imun yaitu ditemukannya autoantibody
tersebut, antara lain antibody ANA, factor rematoid dan antibody heat shock protein. Peran
HLA juga sangat besar dalam pathogenesis ARJ.

Kelainan tahap awal: kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sel sinovium


Kelainan lanjut: edema sinovium, proliferasi sel sinovium mengisi rongga sendi
Tahap awal PMN dominan, selanjutnya limfosit, makrofag, dan sel plasma dominan. Sel
plasma akan memproduksi terutama IgG dan sedikit IgM.
Akan terjadi reaksi Ag-Ab kompleks imun aktifkan komplemen material biologic
aktif inflamasi proliferasi dan kerusakan jaringan sinovium.
Bila terjadi secara kronik maka akan terjadi produksi enzim dan pembentukan jaringan
granulasi yang menyebabkan kerusakan tulang rawan, ligamenm, tendon, tulang. Selain itu
sel- sel inflamasi akan menghasilkan sitokin yang akan mengaktifkan sistem kalikrein dan
kinin-bradikinin dan akan menyebabkan rekasi inflamasi terus berlanjut dan kerusakan
jaringan lebih lanjut

Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi
oleh sel mononuklear, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag.
Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain:
IL-2, IL-6, TNF-, GM- CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T untuk menimbulakan
keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif yang masih menjadi
pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel autoreaktif tak lepas dari peran
HLA.

Sitokin juga memegang peranan penting dalam proses pathogenesis ARJ. Berdasarkan sitokin
yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe 1 lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFN-
dan TNF-, sedangkan pad tipe dua sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-
13. Secara klinis sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respon selular dan humoral. Pada
arthritis rematoid yang dewasa diketahui bahwa sel T tipe 1 yang lebih dominan, ternyata
demikian juga yang ditemukan pada ARJ, kecuali pada pausiartikular, sel T tipe 2 yang
dominan.

Kemokin diduga juga ikut berperan dalam pathogenesis ARJ. Kemokin merupakan factor
penentu migrasi subtype sel T. Beberapa reseptor kemokin bertanggungjawab terhadap
klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T
tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1, sedangkan CXCR4
dan CCR2 bertanggung jawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah
yang menimbulkan perbedaan pathogenesis. Dari penelitian Thompson dkk, melaporkan
bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peranan pathogenesis ARJ dan yang menentukan
subtipenya.

Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang
terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit dan limpa. Aktivasi komplemen pada
ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternative. Dari beberapa laporan pada ARJ
aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternative.

Infeksi virus dan bakteri sebagai factor lingkungan yang berperanan dalam pathogenesis ARJ.
Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini
ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang
menimbulkan arthritis.

II.7 Gambaran Klinik


Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif.
Ditandai dengan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2
dari 3 gejala peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri
atau sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas adalah kekakuan
sendi pada pergerakan, terutama pada pagi (morning stiffness).9

Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3
tahun. Nyeri ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis
yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam
rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid,
tenosinovitis.9

Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah sendi yang terkena pada 6
bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan mengidap ARJ awitan sistemik apabila
awitan penyakit disertai oleh demam tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 40oC) sampai
selama 2 minggu dan (biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak demam
tanpa dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ
pausiartikular, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan pertama, penyakit poliartikular
melibatkan lima atau lebih sendi. Masing- masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat
deskriptif, memperlihatkan perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.

II.Klasifikasi
Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai
penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism Association (ARA) artritis
reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok
penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.9

Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR,
Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977,
sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995.7Menurut kriteria ARJ yang
dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang
berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan. (1)Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang
mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.(2)Pausiartikular
ditandai dengan arthritis yang mengenai 4,(3) Poliartikular ditandai dengan nyeri sendi 5

Kriteria diagnosis untuk klasifikasi arthritis rheumatoid juvenil menurut American College of
Rheumatology (ACR):

1. Usia onset gejala kurang dari 16 tahun


2. Arthritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi sendi, atau
dua dari gejala kelainan sendi berikut: gerakan sendi terbatas, nyeri atau sakit pada
gerakan sendi, dan peningkatan suhu di daerah sendi.
3. Lama sakit lebih dari 6 minggu.
4. Jenis awitan penyakit dalam 6 bulan pertama diklasifikasikan sebagai:
Pausiartikular (oligoartritis): 4 sendi atau kurang
Poliartritis: 5 sendi atau lebih
Penyakit sistemik: arthritis disertai demam intermitten minimal 2 minggu,
keterlibatan ekstraartikular
5. Penyakit arthritis lain dapat disingkirkan, walaupun tidak ada yang patognomonik
namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada
pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis
servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis

Kriteria EULAR:

1. Usia < 16 th
2. Artritis pada 1 sendi atau lebih
3. Lama sakit > 3 minggu
4. Tipe onset penyakit:
Poliartritis: > 4 sendi, faktor rheumatoid (-)
Oligoartritis (pauciarticular): < 5 sendi
Sistemik: arthritis dengan demam
Artritis rheumatoid juvenile: > 4 sendi RF (+)
Spondilitis ankilosing juvenile
Artritis psoriatic juvenile

Kriteria ILAR

1. Sistemik
2. Oligoartritis: persisten, extended
3. Poliartritis: RF (-)
4. Poliartritis: RF (+)
5. Artritis psoriatic
6. Artritis terkait enteritis
7. Undifferentiated arthritis

Sub Group ARJ


1. Poliartikular melibatkan > 4 sendi: RF (-), RF (+)
Poliartritis
Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran
artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan umur
12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun
negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih muda dan lebih responsif terhadap
pemberian terapi NSAID konvensional. Anak dengan ARJ poliartikular mungkin
memperlihatkan beberapa gambaran sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang
tampak pada penyakit awitan sistemik. Sendi lumbosacral bisanya renggang

Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia, uveitis sangat
jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun
besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang hanya pada beberapa sendi dan
baru beberapa bulan kemudian menjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali
terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi.

Pada kelompok RF (-):


20-30% ARJ
Poliartritis simetris pada sendi besar dan kecil
Sering pada wanita, biasanya pada usia awal anak
ANA (+) pada 25%
Sering terdapat nodul rheumatoid
Artritis berat pada 10-15%
Demamtinggi dan rash tidak ada
Respon terhadap terapi bagus

Pada kelompok RF (+)


5-10% dari semua ARJ
Poliartritis simetris pada sendi besar dan kecil
Sering pada wanita
ANA (+) pada 50-70%
Artritis berat pada > 50%
Onset mendadak, pada usia > 8 th
Mirip dengan RA dewasa
Sering dengan nodul subkutan
Tanpa terapi kerusakan sendi progresif dalam 6-12 bulan

2. Pauciarticular melibatkan 4 sendi:


Oligoartritis / Pausi-artikuler
Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan sedikit sendi,
pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari anak-anak
dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu sisi sendi
dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi sering pada dua, tiga,
sampai 4 sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering ditemukan mengenai sendi besar,
paling banyak mengenai lutut, pergelangan kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi
kecil, jemari tangan, sendi ibu jari

. Sebanyak 40 70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan
dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis kronik., unilateral atau
bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok arthritis psoriatic atau ankilosing
spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-
jari tangan.Pada laki-laki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27
positif.7,2

Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai dengan arthritis
yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan. Sedangkan kelompok eksten
artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan
komplikasi yang tersering kerusakan artikuler maupun periartikuler dan uveitis
kronis.(ipd) Sejumlah kecil anak yang menderita penyakit ini (8%) akan mengalami
bentuk poliartikular dengan prognosis serupa ARJ poliartikular.Namun sebagian lagi
menunjukkan kinerja yang baik dalam kaitanyya dengan fungsi sendi.7

Dibagi juiga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan dengan umur
dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai peradangan mata
(iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus di tes ANA (antinuclear
antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak tersebut memiliki resiko tinggi
terkena uveitis. Hasil positif ANA mengindikasikan resiko tinggi terkena peradangan
mata. Yang perlu diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya kerusakan
mungkin tidak nampak pada anak.2

Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki diatas 8 tahun. Sendi-sendi
yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki,
tendon. Anak-anak yang terdiagnosis dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil
positif ANA dan usianya dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena
uveitis kronis.Mata mereka harus diperiksa setiap 3 bulan,untuk beberapa tahun.
Sequele sisa berupa band keratopathy, cataract formation, glaucoma sekunder, dan
kebutaan.2

3. Onses sistemik (Stills disease)


ARJ Sistemik (Penyakit Still)
Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding dengan
kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur dibawah 4
tahun.7Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan ARJ; tetapi
pasien biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat perawatan tersier.

Subtype ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan pada semua kelompok
usia; pada orang dewasa penyakit ini disebut sebagai penyakit Still awitan-
dewasa.Sementara sebagian anak memang memperlihatkan bukti objektif adanya
arthritis pada saat awitan, pasien umumnya datang dengan demam tinggi yang
melonjak-lonjak disertai ruam-ruam yang cepat menghilang.

Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang tidak diketahui
sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari,
sering melonjak hingga 40 sampai 41oC pada sore hari; suhu sering menurun cepat
sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam sering disertai oleh ruam macular
berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul dibadan dan sebelah dalam
paha. Tiap-tiap macula tidak kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan
demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena koebner , yaitu
kemampuan memicu timbulnya lesi dengan menggososk kulit secara lembut.1

Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup besar, mereka
sering mengeluh artralgia dan/ mialgia yang parah (Rudolf) Gejala lainnya berupa
kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan
serositis atau perikarditis. Pada kasus ditemukan limpadenopati yang secara
patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus
berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit.Sendi yang
sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-jari
tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan
leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia non hemolitik yang
berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi. Jumlah
trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komplikasi KID. Gejala ini biasanya
membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25%
dengan gambaran erosi pada sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis,
anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.7

Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi


yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan
sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Yang lain mengalami
serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang masa kanak-
kanak dan bahkan sampai masa dewasa, tetapi diantara serangan mereka mungkin
terdapat massa normal.

Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah, pemeriksaan
darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk menilai
perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit dan demam,
dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal penyakit, meskipun
gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan untuk waktu yang lebih lama.
Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun pada beberapa anak yang
terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya, atau setelah
infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan anak dengan ARJ tipe sistemik dapat
diobati dengan obat-obatan dalam sebulan hingga setahun, untuk mengontrol
perkembangan dari keduanya baik arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti
demam, ruam, anemia, dll. Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe
sistemik, sehingga mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.4

II.7 Pemeriksaan
Laboratorium9
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah: (1) pemeriksaan darah lengkap, (2) urin lengkap, (3)
faal hati, (4) faal ginjal, (5) tes ANA, dan (6) faktor rematoid. Pada ARJ, didapatkan kadar
CRP meningkat khususnya pada kelompok arthritis sistemik. Selain peningkatan CRP
terdapat pula peningkatan LED, C3, C4, amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit,
Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah
inflamasi.

Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti


Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka
diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10
g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.Trombositopenia terdapat pada tipe
poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi penyakit.Peningkatan
LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif.

Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas
penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ, sedangkan
peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan
aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebi tinggi

.Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif , sering kali
pada ARJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum
yang buruk.

Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi,
sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-
Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan
imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang
kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di
Australia.

Pemeriksaan Radiologi7,1
Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan
pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok
poliartikular.

Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang
terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya
adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan
kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut
(biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah
tulang rawan. Angkilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal.
Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid
dosis tinggi jangka panjang.

Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut,
pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman
dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk ARJ
sistemik, yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis
mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian
secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk
mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan
foto Rontgen biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui
skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang
spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang
dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara
dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-
artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis,
seperti pinggul dan bahu.

Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan membran
sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang
dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan
sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari
penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk
mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat
menilai progresifitas penyakit.

Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi suspek penyakit
inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau
erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi, bursa dan
pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan
jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang
adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun,
dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan.
Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis
dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang
dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada
tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu
ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara
bertahap bergabung ke dalam metafisis.

II.8 Diagnosis Banding7


Diagnosis banding pada penyakit ARJ, diantaranya adalah: (1) infeksi bakteri, virus,
tuberkulosis, (2) Post infeksi streptokokus, (3) Trauma, (4) Kelainan hematologi: Leukimia,
hemophilia, (5) Penyakit Kolagen, (6) Demam rematik, yang membedakannnya dari ARJ
ialah, pada demam rematik didapat kan gejala chorea, interval PR memanjang pada
pemeriksaan EKG dan tes ASTO positif.

II.9 Diagnosis
Seperti telah dijelaskan maka diagnosis JRA dibuat semata-mata secara klinis. Walaupun
beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong harus tetap diingat bahwa tidak
ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk diagnosis ARJ.9

II.10 Penatalaksanaan1,7,9,6
Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis,
mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup.

Garis besar pengobatan Meliputi :


1. Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan
istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan
lingkungan;
2. Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen;
3. Obat steroid intra-artikuler;
4. Perawatan Rumah Sakit
5. Hidroxychloroquine
6. Gold salts
7. Penicillamine
8. Sulfasalazine
9. Kortikosteroid sistemik
10. Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.9
11. Obat imunosupresan dan fisioterapi

Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol
nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion), mengatasi
komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu
pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah
deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, dan
bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri.9

Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus
diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi
kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi
yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi
juga tak kalah penting. Beberapa terapi yang dapat diberikan7,1,9:

Mengontrol Nyeri
Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat kompleks, karena pada
umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) Obat anti-inflamasi nonsteroid digunakan pada sebagian besar anak
dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan
antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini
menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan
sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap pengobatan AINS tanpa
memerlukan tambahan obat lini kedua.9Efek samping yang sering dijumpai antara
lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal. Adanya
peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur
setiap 3-6 bulan sekali.7

Macam OAINS yang sering digunakan7,9: (1) Penggunaan aspirin sebagai pilihan
obat telah digantikan dengan AINS karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan
hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan adanya AINS yang
menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan
AINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit,
sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun
demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan
terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-
90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan
untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya
kurang dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis lebih
rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis
menghilang.

Aspirin 75-90 mg/Kg/hari. Dosis yang diberikan dapat lebih tinggi pada anak yang
lebih dewasa. (2) Tolmetin 25 mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis, (3) Naproksen 15
mg/Kg/ hari dibagi dalam 2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek samping
berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan
erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut. (4) Ibuprofen 35
mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis, (4) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari terbagi dalam 2 dosis.

DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)


Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut: (1) Hidroksiklorokuin: 4-6
mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai imunomodilator dan menghambat
enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan adalah toksik pada retina
sehingga dianjurkan evaluasi retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria,
iritasi saluran cerna, dan supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara
15 75%, (2) Preparat emas oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis
dapat ditingkatkan 0,75 1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-sum
tulang dan ginjal, (3) Obat-obat sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk
mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50mg/Kg/hari sampai. Tidak dianjurkan
untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat (MTX): Dosis 10 mg/m2luas
permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX
lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh karena efek sampingnya lebih ringan dan
respon yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer,
gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan
kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi
alcohol dan mengurangi obat-obatan hepatotoksik. (4) Glukokortikoid, baik untuk
mengontrol gejala sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-
2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra-
artikular bermanfaat untuk arthritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada
kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan
peroral dengan dosis 30 mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu
membutuhkan imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.

Biologic Response Modifiers9


Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang
berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF), sehingga akan
menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept
akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol
poliartritis yang tidak memberikan respon dengan terapi konvensional ataupun
imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data dasar laboratorium (darah perifer,
LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji tuberkulin kulit dengan PPD (purified
protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia
4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan
jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik
AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas
diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam
infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk
pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu
untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis
mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini
tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.

Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset poliartritis dan


sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah studi,
penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat dibanding
plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB,
2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan selanjutnya (dosis
maksimum 100 gr). Beberapa studi juga melaporkan siklosporin untuk mengatasi
artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam
12 jam.

Fisioterapi
Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain: mengontrol nyeri,
dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi dan TENS. Selain
dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk
melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi.
Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan.
Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot.
Fisioterapi juga berguna mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan
pertumbuhan normal.

Pengelolaan nutrisi
Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi malnutrisi oleh
karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian
jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-
obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang dapat
menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan
nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet
pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena
pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan kalsium
400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.

II. Komplikasi9
Komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat
penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan
metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau
fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat
pula akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus
atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium
rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder
jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.

Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa anemia
hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering
asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat
penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan masalah di sekolah.

Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi
walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal. Uveitis merupakan penyakit peradangan
pada mata,merupakan keadaan serius dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau
lebih dari tiga bagian yang membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini
diperkirakan 10-15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat
mengenai kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis
adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya meninggalkan sisa, atau
episode pengulangan dari peradangan, ini dapat mengenai jaringan dan kebutaan.

II.12 Prognosis7
Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung umur
saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistremik arthritis dengan demam tinggi,
membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek,
hanya 25% tipe poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi
sendi.

Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: (1) tipe sistemik yang aktif pada 6
bulan pertama, (2) Poliartritis, (3) Perempuan, (4) Faktor rheumatoid positif, (5) Kaku sendi
yang persisten, (6) Tenosinovitis, (7) Nodul Subkutan, (8) Tes ANA +, (9) Artritis pada jari
tangan dan kaki pada awal penyakit, (10) erosi yang progresif, (11) Pausiartikuler tipe eksten

DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham, Rudolph. 2006. Buku Ajar Ilmu Pediatri Rudolph.Jakarta: EGC
2. Arthritis Foundation, 2007. Pauciarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/pauciarticularJRA.asp
3. Arthritis Foundation, 2007. Polyarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/polyarticularJRA.asp
4. Arthritis Foundation, 2007. Systemic JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions/diseasecenter/systemiconsetJRA.asp

5. Baratawijaya, Karnen. 2005. Imunologi Dasar. Jakarta: Gaya Baru


6. Criteria for the classification arthritis rheumatoid, 2009, available at:
www. American College of Rheumatology.com
7. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat
penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Tim Perumus Format Standar Pelayanan Medik IDAI. 2003. Standar Pelayanan Medik
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
9. Judarwanto, Widodo. 2008. Artritis Pada Anak, available at:
www. childrens IMMUNOLOGY CLINIC. Com
10. Juvenile arthritis, 2007, available at:
www. American Academy of Orthopaedics Surgeons.com
11. Juvenile Idiophatic Arthritis, 2009. Available at:
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/294/13/1722.pdf
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Pada dasarnya perbedaan antara penyakit anak dan dewasa disebabkan oleh proses tumbuh dan
kembang yang terjadi pada anak.Untuk penyakit reumatik perbedaan tersebut berhubungan dengan
perkembangan sistim limfoid sampai masa remaja yang akan diikuti kemudian oleh involusi bertahap.
Selain itu terdapat pula perbedaanderajat maturitas tulang pada setiap tahap perkembangan anak.
Perbedaan fisis dan biokimiawi tulang rawan dan tulang, anatomi serta peran suplai darah untuk
metafisis dan epifisis terhadap pertumbuhan tulang, akan sangat mempengaruhi gambaran penyakit
reumatik anak. Faktor lain seperti imaturitas gonad, pajanan terhadap antigen, serta ekspresi
imunogenetik berperan pula terhadap manifestasi penyakit reumatik anak.

Dengan demikian maka anamnesis yang teliti terhadap kelainan bengkak sendi, nyeri terutama pada
pergerakan, serta gerakan sendi terbatas atau kaku sendi, menjadi sangat penting. Bila deskripsi
keluhan tersebut dapat didokumentasi dengan benarmaka pada 82% anak akan ditemukan kelainan
objektif sendi yang sesuai dengan artritis. Data dari sebagian besar sentra reumatologi anak di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebagian besar keluhan sendi pada anak berhubungan dengan
trauma dan infeksi sehingga data tentang trauma dan infeksi harus dicatat dengan baik. Sehubungan
dengan itu terlihat pula bahwa oligoartritis pada anak umumnya berhubungan dengan infeksi, trauma,
atau kelainan hematologi; sedangkan poliartritis biasanya berhubungan dengan penyakit reumatik
terutama artritis reaktif (demam reumatik), atau penyakit limfoproliferatif.

Artritis reumatoid juvenil (ARJ) tidaklah merujuk pada satu penyakit, karena kelainan ini merupakan
sindrom dengan berbagai etiologi, dengan serangkaian respons imun tubuh yang saling berkaitan, dan
secara karakteristik terlihat sebagai artritis perifer idiopatik. Patogenesisnya ditandai oleh
imunoinflamasi yang diduga diaktifkan oleh antigen eksternal. Selain itu ARJ juga mempunyai
predisposisi imunogenetik.

Diagnosis ARJ ditegakkan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium khusus dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
Kriteria diagnosis untuk klasifikasi arthritis rheumatoid juvenil menurut American College of
Rheumatology (ACR):

6. Usia awitan gejala kurang dari 16 tahun


7. Arthritis pada satu sendi atau lebih yang ditandai oleh bengkak atau efusi sendi, atau
oleh dua dari gejala kelainan sendi berikut: gerakan sendi terbatas, nyeri atau sakit
pada gerakan sendi, dan peningkatan suhu di daerah sendi.
8. Lama sakit lebih dari 6 minggu.
9. Jenis awitan penyakit dalam 6 bulan pertama diklasifikasikan sebagai:
Pausiartikular (oligoartritis): 4 sendi atau kurang
Poliartritis: 5 sendi atau lebih
Penyakit sistemik: arthritis disertai demam intermitten
10. Penyakit arthritis juvenile lain dapat disingkirkan

Terminologi artritis idiopatik juvenil diambil sebagai payung untuk menyatakan bahwa kelompok
penyakit pada anak dengan karakteristik utama artritis yang menetap paling sedikit selama 6 minggu
tersebut, belum diketahui penyebabnya

Seperti penatalaksanaan penyakit kronis anak lainnya maka penyakit reumatik anak memerlukan
penanganan bersama yang terkoordinasi dan berpusat pada keluarga pasien. Tujuan tatalaksana atritis
pada anak bertujuan untuk memperoleh status tumbuh kembang fisis dan psikologis normal agar dapat
menjalani kehidupan seoptimal mungkin.
Upaya pengobatan optimal bila mungkin dilakukan oleh dokter anak ahli reumatologi, perawat,
fisioterapis,terapis okupasional, dan petugas sosial. Selain itu perlu kerjasama dan konsultasi dengan
ahli pada bidang oftalmologi, gigi-mulut, ortopedi, kardiologi, psikiatri, nefrologi, dermatologi, serta
bidang lain yang sering diminta kerjasamanya. Sokongan terhadap pasien dan keluarga perlu
dilakukan oleh ahli psikologi, psikiatri, serta sumber lain dalam komunitas. Bila mungkin dibentuk
suatu yayasan atau organisasi yang dapat merangkul dan mempermudah interaksi keluarga pasien,
serta kemungkinan untuk memperoleh informasi, pelatihan, atau fasilitas lain yang bermanfaat untuk
status tumbuh-kembang normal anak.

Obat antiinflamasi yang telah disetujui untuk dapat diberikan pada anak kecil selama ini hanya asam
asetil salisilat, dan kemudian tolmetin serta naproksen, tetapi beberapa sentra mempergunakan juga
indometasin atau ibuprofen, serta diklofenak dan sulindakterutama untuk anak besar. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jakarta memilih naproksen 1015 mg/kgBB/hari, atau asam asetil
salisilat 75-90 mg/kgBB/hari untuk anak yang lebih kecil, sebagai antiinflamasi.

Selain itu suntikan kortikosteroid intra-artikular dianjurkan diberi lebih dini terutama bila jelas
terdapat disfungsi, nyeri kuat, atau kontraktur fleksi pada AIJ oligoartritis.

Anda mungkin juga menyukai