Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

KARSINOMA TESTIS

Oleh
Ni Kadek Putri Dwi Jayanti
H1A009049

Dosen Pembimbing
dr. Pandu Ishaq Nandana, Sp.U

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2014
KARSINOMA TESTIS

I.1 PENDAHULUAN
Tumor dapat bersifat ganas atau jinak, tumor ganas atau kanker terjadi karena timbul dan
berkembangbiaknya sel jaringan sekitarnya (infiltratif) dan merusaknya (destruktif), dapat
menyebar ke bagian lain tubuh dan umumnya fatal jika dibiarkan. Tumor jinak tumbuh dengan
batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi membesar dan menekan jaringan
sekitarnya (ekspansif).1
Frekuensi relatif kanker pada beberapa daerah di Indonesia tidak sama, yang banyak
ditemukan ialah karsinoma servik uteri, karsinoma hepatoseluler, karsinoma payudara,
karsinoma paru dan leukemia. Pada dasawarsa terakhir telah terbukti bahwa 80-90% kasus
kanker pada manusia dipromosi oleh faktor lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan dalam arti
luas yang meliputi gaya hidup, bahan kimia, fisika, maupun virus.1
Kanker testis meskipun kasus yang relatif jarang, merupakan keganasan tersering pada
pria kelompok usia 15 35 tahun. Setiap tahun kira-kira ditemukan 2-3 kasus baru dari 100.000
pria. Resiko seorang pria terkena ca testis 1:250 atau sekitar 0,4%. Salah satu resiko terjadinya
kanker testis yaitu kriptokismus. Gejala benjolan pada testis tidak semua merupakan tumor dan
tidak semua tumor itu ganas. Ada banyak kemungkinan seperti kista epididimis, oleh karena itu
perlunya tehnik diagnostik yang baik. Perkembangan yang pesat dalam hal tehnik diagnosis,
perkembangan pemeriksaan penanda tumor, pengobatan dengan regimen kemoterapi dan
modifikasi tehnik operasi, berakibat pada penurunan angka mortalitas penderita kanker testis dari
50% pada 1970 menjadi kurang dari 5% pada 1997. Dengan mulai berkembangnya pengobatan
yang efektif bahkan untuk pasien-pasien dengan keadaan lanjut, perhatian pada tumor testis telah
beralih pada penurunan morbiditas dengan menentukan protokol pengobatan selektif pada setiap
pasien.2
Dari semua tumor maligna pada laki-laki 1-2% terlokalisasi di dalam testis. Kira-kira
90% dari semua tumor testis primer terdiri atas tumor sel embrional, selanjutnya dapat dijumpai
tumor sel Sertoli-Leydig dan limfoma maligna. Insidensi tumor sel embrional maligna di
Nederland adalah kira-kira 4 per 100.000 laki-laki tiap tahun. Ini berarti bahwa tiap tahun kira-
kira 300 penderita baru didiagnosis dengan kelainan maligna ini. Tumor-tumor sel embrional
maligna testis merupakan tumor maligna yang paling sering terdapat pada laki-laki usia 20-40
tahun meskipun pada penderita kurang dari 5 tahun dan lebih dari 70 tahun juga dapat dijumpai
tumor testis.3

I.2 DEFINISI
Tumor atau neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru, adalah massa abnormal
dari sel-sel yang berproliferasi. Semula istilah tumor diartikan sebagai pembengkakan sederhana
atau gumpalan. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel yang sebelumnya adalah sel-sel normal.
Neoplasam dapat dibedakan berdasarkan sifatnya, ada yang jinak (benigna) dan yang ganas
(maligna).4
Tumor testis berasal dari sel germinal atau jaringan stroma testis. Lebih dari 90% berasal
dari sel germinal. Tumor ini mempunyai derajat keganasan tinggi, tetapi dapat sembuh bila diberi
penanganan adekuat. Tumor ini mempunyai petanda tumor sejati yang sangat berharga untuk
diagnosis, rencana terapi dan kontrol.1

I.3 ANATOMI TESTIS


Testis adalah organa genitalia pria yang terletak di scrotum. Ukuran testis pada orang
dewasa adalah 4x3x2,5 cm, dengan volume 15-25 ml berbentuk ovoid. Kedua buah testis
terbungkus oleh jaringan Tunika albuginea yang melekat pada testis. Diluar Tunika albuginea
terdapat Tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta Tunika dartos.
Otot kremaster yang berada di sekitar testis memungkinkan testis dapat digerakkan mendekati
rongga abdomen untuk mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil.2
Testis bagian dalam terbagi atas lobulus yang terdiri dari Tubulus seminiferus, sel-sel
Sertoli dan sel-sel Leydig. Produksi sperma atau spermatogenesis terjadi pada T. seminiferus.
Sel-sel Leydig mensekresi testosteron. Pada bagian posterior tiap-tiap testis terdapat duktus
melingkar yang disebut epididimis, bagian kepalanya berhubungan dengan duktus seminiferus
(duktus untuk aliran keluar) dari testis, dan bagian ekornya terus melanjut ke vas deferens. Vas
deferens adalah duktus ekskretorius testis yang membentang hingga ke duktus vesikula
seminalis, kemudian membentuk duktus ejakulatorius. Duktus ejakulatorius selanjutnya
bergabung dengan urethra yang merupakan saluran keluar bersama baik untuk sperma maupun
kemih.5

Secara histopatologis , testis terdiri atas 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas Tubuli
seminiferi. Didalam Tubulus seminiferus terdapat sel-sel Spermatogonia dan sel Sertoli, sedang
diantara Tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel sperma togonium pada proses
spermatogenesis menjadi sel spermatozoa. Sel-sel sertoli berfungsi memberi makan pada bakal
sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel-sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormon testosteron.2
Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di Tubuli seminiferi testis disimpan dan mengalami
pematangan/maturasi di epididimis. Setelah mature (dewasa) sel-sel spermatozoa bersama-sama
dengan getah dari epididimis dan vas deferens disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel
itu setelah bercampur dengan cairan-cairan dari epididimis, vas deferens, vesikula seminalis,
serta cairan prostat membentuk cairan semen atau mani.2
Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu :
1. Arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta.
2. Arteri deferensialis cabang dari A. vesikalis inferior
3. Arteri kremasterika yang merupakan cabang A. Epigastrika
Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis.2

I.4 FISIOLOGI TESTIS


Testis mempunyai fungsi eksokrin dalam spermatogenesis dan fungsi endokrin untuk
mensekresi hormon-hormon seks yang mengendalikan perkembangan dan fungsi seksual. Pusat
pengendalian hormonal dari sistem reproduksi adalah sumbu hipotalamus-hipofisis. Hipotalamus
memproduksi Gonadotropin Hormone Releasing Hormone (GnRH). Hormon-hormon ini
adalah Follicle Stimulating Hormone Releasing Hormone (FSHRH) dan Luteinizing Hormone
Releasing Hormone (LHRH). Hormone-hormon ini dibawa ke hipofisis anterior untuk
merangsang sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), yang
pada pria lebih umum dikenal sebagai Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH).5
Proses pematangan sel-sel Leydig janin dikendalikan oleh kromosom Y dan dirangsang
oleh ICSH. Sel-sel Leydig ini akan menghasilkan testosteron yang menyebabkan proses
diferensiasidari vasa deferens dan vesikula seminalis. Metabolit testosteron yaitu
Dihirotestosteron (DHT), menyebabkan proses diferensiasi dari prostat dan genitalia eksterna.5
Produksi testosteron oleh sel-sel interstitial Leydig pada pria akan sangat meningkat pada
permulaan pubertas. ICSH akan merangsang sel-sel Leydig untuk menghasilkan testosteron,
DHT dan estradiol, FSH akan merangsang sel sertoli untuk mempengaruhi pembentukan sperma.
FSH dalam kadar yang rendah juga akan memperkuat efek perangsangan ICSH. Testosteron
harus dihasilkan dalam kadar yang cukup supaya proses spermatogenesis dapat berlangsung
dengan sempurna. Dengan demikian, baik FSH maupun ICSH harus dilepaskan oleh hipofisis
anterior agar spermatogenesis dapat berlangsung. Selanjutnya testosteron, DHT, estradiol dan zat
yang disekresi oleh tubular-inhibin akan menghambat sekresi ICSH dan FSH oleh hipofisis
anterior, sehingga terjadi sistem umpan balik yang mengatur kadar testosteron dalam sirkulasi
darah.5
I.5 ETIOLOGI
Penyebab tumor testis belum diketahui dengan pasti, tetapi terdapat beberapa faktor yang
erat kaitannya dengan peningkatan kejadian tumor testis, antara lain maldesensus testis, trauma
testis, atrofi atau infeksi testis dan pengaruh hormon. Kriptorkismus merupakan faktor resiko
timbulnya karsinoma testis, dikatakan bahwa 7-10%pasien karsinoma testis, menderita
kriptorkismus. Proses pembentukan tumor pasien maldesensus 48 kali lebih banyak daripada
testis normal.Meskipun telah dilakukan orkidopeksi, resiko timbulnya degenerasi maligna masih
tetap ada. 2
Kriptorkismus merupakan suatu ekspresi disgenesia gonad yang berhubungan dengan
transformasi ganas. Penggunaan hormon dietilstilbestrol yang terkenal sebagai DES oleh ibu
pada kehamilan dini meningkatkan resiko tumor maligna pada alat kelamin bayi pada usia
dewasa muda.1

I.6 KLASIFIKASI
Sebagian besar 95 % tumor testis primer,berasal dari sel germinal sedangkan sisanya dari
sel non germinal. Tumor germinal testis terdiri atas seminoma dan non seminoma. Seminoma
berbeda sifatnya dengan non seminoma, antara lain sifat keganasanya, respon terhadap
radioterapi,dan prognosis tumor.
Tumor yang bukan berasal dari sel-sel germinal atau non germinal diantaranya adalah sel
Leydig, sel Sertoli, dan gonadoblastoma. Selain berada di dalam testis, tumor sel germinal juga
bias berada diluar testis sebagai extragonadalgerm cell tumor antara lain dapat berada di
mediastinum, retroperitoneum, daerah sakrokoksigeus, dan glandula pineal. 5
Seminoma merupakan tumor maligna testis yang tersering, diikuti dengan Karsinoma
embrional, teratoma dan khoriokarsinoma. Sekresi Gonadotropin khorionik berhubungan dengan
hiperplasia sel Leydig. Tumor testis sel benigna jarang terjadi.3
Seminoma dapat dianggap sebagai tumor pendahulu sel embrional (gonosit) yang arah
diferensiasinya berlanjut ke arah sel embrional (germ cell). Tumor-tumor non seminoma dapat
dianggap sebagai tumor sel embrional pluripoten. Tumor yang paling tidak terdiferensiasi dalam
golongan ini adalah karsinoma sel embrional yang didalamnya tidak tampak arah diferensiasi
spesifik. Koriokarsinoma berupa produk kehamilan, Teratoma merupakan campuran jaringan-
jaringan somatik, seperti berbagai tipe epitel, tulang rawan, jaringan otot dan saraf dan berasal
dari berbagai lapisan embrional (ektoderm, mesoderm, endoderm). Jika jaringan-jaringan ini
menunjukkan struktur normal (hampir normal) maka ini disebut teratoma matur, jika arah
diferensiasi jaringan dapat dikenal dengan baik, dan jika diferensiasinya tidak seluruhnya
dewasa/matang, maka ini disebut teratoma imatur. Tipe non-seminoma merupakan manifestasi
berbagai arah diferensiasi sel-sel embrional pluripoten, maka tidak mengherankan bahwa suatu
non seminoma hampir selalu tersusun atas bermacam-macam komponen.3
Klasifikasi tumor testis

Primer Sekunder
Limfoma
Lekemia Infiltrat
Infiltratif
Germinal Non Germinal
Tumor Sel Leydig
Seminoma Non Seminoma Tumor Sel Sertoli
Spematositik Karsinoma Sel Embrional Gonadoblastoma
Anaplastik Korio Karsinoma
Klasik Teratoma
Tumor Yolk Sac

I.6 PATOGENESIS
Tumor-tumor sel embrional testis merupakan satu golongan tumor yang heterogen. Dari
berbagai klasifikasi tumor testis ganas, klasifikasi organisasi kesehatan dunia (WHO) paling
sering dipakai. Disamping seminoma yang memang berasal dari sel germinal terdapat karsinoma
embrional, teratoma dan koriokarsinoma yang digolongkan non seminoma, yang dianggap
berasal dari sel germinal pada tahap perkembangan lain histogenesis. Seminoma meliputi sekitar
40% dari tumor ganas testis. Koriokarsinoma jarang sekali ditemukan (1%). Metastasis tumor
testis kadang berbeda sekali dari tumor induk, yang berarti tumor primer terdiri dari berbagai
jenis jaringan embrional dengan daya invasi yang berbeda. 1
I.7 STADIUM TUMOR
Penentuan stadium klinis yang sederhana dikemukakan oleh Boden dan Gibb :
Stadium A atau I : tumor testis terbaas pada testis, tidak ada bukti penyebaran baik
secara klinis maupun radiologis.
Stadium B atau II : tumor telah mengadakan penyebaran ke kelenjar regional (para
aorta) atau nodus limfatikus iliaka. Stadium II A untuk pembesaran limfonodi para
aorta yang belum teraba, stadium II B untuk pembesaran limfonodi yang telah teraba
(>10 cm).
Stadium C atau III : tumor telah menyebar keluar dari kelenjar retroperitoneum atau
telah mengadakan metastasis supradiafragma.2

Untuk klasifikasi tingkat penyebaran, digunakan sistem TNM Karsinoma Testis.


BODEN , GIBB
TNM
A (I) T Terbatas batas testis
Tis intratubular
T1 Testis dan rete testis
T2 Di luar T.albuginea atau epididimis
T3 Funikulus spermatikus
T4 Skrotum
B (II) N. Kelenjar limfe regional (retroperitoneal)
N1 Tunggal 2 cm
N2 Tunggal 2 cm ; multiple 5 cm
N3 Tunggal atau multiple > 5 cm
C(III) M. Metastasis jauh
M0 Tidak dapat ditemukan
M1 Terdapat metastasis jauh

I.8 PENYEBARAN
Karsinoma testis diawali dengan tumor testis yang berupa lesi intratestikular yang
akhirnya mengenai seluruh parenkim testis. Sel tumor kemudian menyebar ke rete testis,
epididimis funikulus spermaticus, atau bahkan ke kulit skrotum. Tunika albugenia merupakan
barier yang sangan kuat bagi penjalaran tumor testis ke organ sekitarnya, sehingga kerusakan
tunika albugenia oleh invasi tumor membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar keluar
testis.2
Kecuali koriokarsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe melalui
pembuluh limfe menuju pembuluh limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama,
kemudian menuju limfe mediastinal dan supraklavikula, sedangkan koriokarsinoma menyebar
secara hematogen ke paru, hepar, dan otak. 2

I.9 GAMBARAN KLINIS


Pasien biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang seringkali tidak nyeri, namun
30% mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut
pada skrotum. Tidak jarang pasien mengeluh karena merasa ada massa di perut sebelah atas
(10%) karena pembesaran kelenjar para aorta, benjolan pada kelenjar leher dan 5% pasien
mengeluh adanya ginekomastia. Ginekomastia adalah manifestasi dari beredarnya kadar HCG
didalam sirkulasi sistemik yang banyak terdapat pada koriokarsinoma.2
Pada pemeriksaan fisis testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri pada palpasi dan
tidak menunjukkan tanda transiluminasi. Diperhatikan adanya infiltrasi tumor pada funikulus
atau epididimis. Perlu dicari kemungkinan adanya massa di abdomen, benjolan kelenjar
supraklavikuler, ataupun ginekomasti.2
Gejala dari tumor primer :
Permulaan akut ( gambaran seperti orkitis, epididimitis, torsio testis ).
Permulaan yang diskret seperti pembengkakan tanpa nyeri testikal atau pengerasan
lokal atau deformasi testikel.
Hidrokel simtomatik ( sesudah pungsi palpasi testis ).
Nyeri lokal, sering menyebar di sisi yang sama ke krista iliaka.
Kadang-kadang sama sekali tanpa keluhan atau kelainan ; metastasis merupakan
manifestasi pertama penyakitnya.
Simtomatologi mengenai metastasis :
Nyeri punggung yang samar akibat metastasis kelenjar retroperitoneal.
Kolik ginjal sebagai akibat bendungan atau penutupan ureter oleh metastasis kelenjar
retroperitoneal.
Nyeri yang menyebar ke tungkai.
Tumor yang palpabel di perut sebagai akibat metastasis kelenjar limfe.
Pembengkakan subklavikular, terutama kiri.
Dispnoe, hemoptoe, iritasi pleura oleh metastasis paru.
Malaise umum dengan anemia dan laju enap darah yang tinggi.3
Pada dasarnya, diagnosis karsinoma testis mudah karena merupakan benjolan di dalam
testis yang tidak nyeri dan yang tidak diafan pada uji transiluminasi. Biasanya tumor terbatas di
dalam testis sehingga mudah dibedakan dari epididimis pada palpasi yang dilakukan dengan
telunjuk dan ibu jari. Gejala dan tanda lain seperti nyeri pinggang, kembung, dispnoe atau batuk
dan ginekomasti menunjukkan pada metastasis yang luas. Metastasis paraaorta sering luas dan
besar sekali menyebabkan perut menjadi kembung. Metastasis di paru kadang tertabur luas dan
cepat menjadi besar, sehingga sesak nafas. Gonadotropin yang mungkin disekresi oleh sel tumor
dapat menyebabkan ginekomasti. Kadang keadaan umum merosost cepat dengan penurunan
berat badan.1
I.10 DIAGNOSIS
Transiluminasi, ultrasonografi dan pemeriksaan endapan kemih sangat berguna untuk
membedakan tumor dari kelainan lain kadang tumor testis disertai hidrokel, karena itu
ultrasonografi sangat berguna.1
Sebaiknya diagnostik laboratorium dikerjakan dulu sebelum menjalankan orkidektomi.
Pada penderita dengan non-seminoma zat-zat penanda tumor spesifik dapat ditunjukkan dalam
serum yaitu Human Chorion Gonadotropin (HCG) dan -1-fetoprotein (AFP). Pada penderita
dengan seminoma kadar HCG dapat naik sedikit, sering juga terdapat kenaikan Placenta Like
Alkaline Phosphatase (PLAP). Pada semua penderita tumor sel embrional Laktat Dehidrogenase
(LDH) dapat naik.3
Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan histologik sediaan biopsi. Setiap benjolan testis
yang tidak menyurut dan hilang setelah pengobatan adekuat dalam waktu dua minggu harus
dicurigai dan dibiopsi. Biopsi harus dilakukan dari tetis yang didekati melalui sayatan inguinal.
Testis diinspeksi dan dibuat biopsi insisi setelah funikulus ditutup dengan jepitan klem untuk
mencegah penyebaran limfogen atau hematogen. Tidak boleh diadakan biopsi langsung melalui
kulit skrotum karena bahaya pencemaran luka bedah dengan sel tumor dengan implantasi lokal
atau penyebaran ke regio inguinal. Bila ternyata ganas dilakukan orkidektomi, yang disusuli
pemeriksaan luas untuk menentukan jenis tumor, derajat keganasan dan luasnya penyebaran.1
Jika diagnosis tumor sel embrional telah ditetapkan, perlu dilakukan pemeriksaan
tambahan penetapan stadium. Ini berarti di samping pemeriksaan fisik lengkap juga pemeriksaan
pencitraan terdiri atas CT-scan toraks dan abdomen. Pemeriksaan ini tergantung pada
simtomatologinya.3
Penanda tumor
Pada karsinoma testis germinal bermanfaat untuk membantu diagnosis, penentuan stadium
tumor, monitoring respons pengobatan dan sebagai indikator prognosis tumor testis. Penanda
tumor yang paling sering diperiksa pada tumor testis adalah :
FP (Alfa Feto Protein) adalah suatu glikoprotein yang diproduksi oleh karsinoma
embrional, teratokarsinoma atau tumor yolk sac, tetapi tidak diproduksi oleh
koriokarsinoma murni dan seminoma murni. Penanda tumor ini mempunyai masa paruh 5-
7 hari.
HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah suatu glikoprotein yang pada keadaan
normal diproduksi oleh jaringan trofoblas. Penanda tumor ini meningkat pada semua
pasien koriokarsioma, pada 40%-60% pasien karsinoma embrional, dan 5%-10% pasien
seminoma murni. HCG mempunyai waktu paruh 24-36 jam.2
Pencitraan
Pemeriksa ultrasonografi yang berpengalaman dapat membedakan dengan jelas lesi intra
atau ekstratestikuler dan masa padat atau kistik, namun ultrasonografi tidak dapat
memperlihatkan tunika albuginea, sehingga tidak dapat dipakai untuk menentukan penderajatan
tumor testis. Berbeda halnya dengan ultrasonografi, MRI dapat mengenali tunika albuginea
secara terperinci sehingga dapat dipakai untuk menentukan luas ekstensi tumor testis. Pemakaian
CT scan berguna untuk menentukan ada tidaknya metastasis pada retroperitoneum. Sayangnya
pemeriksaan CT tidak mampu mendeteksi mikrometastasis pada kelenjar limfe retroperitoneal.2

I.11 DIAGNOSIS DEFERENSIAL


Diagnosis diferensial meliputi setiap benjolan didalam skrotum yang berhubungan dengan
testis dan keluhan-keluhan pada daerah testis, seperti epididimitis dan orkitis (nyeri dan gejala-
gejala inflamasi), torsio testis, hidrokel (kemungkinan hidrokel simtomatik terdapat sebagai
akibat tumor testis, diperlukan pungsi dan kemudian palpasi), varikokel, spermatokel, kista
epididimis, hernia skrotalis.1

I.12 PENATALAKSANAAN
Pada dugaan tumor testis tidak diperbolehkan melakukan biopsi testis, karena itu untuk
penegakan diagnosis patologi anatomi, bahan jaringan harus diambil dari orkidektomi.
Orkidektomi dilakukan melalui pendekatan inguinal setelah mengangkat testis dan funikulus
spermatikus sampai anulus inguinalis internus. Biopsi atau pendekatan trans-skrotal tidak
diperbolehkan karena ditakutkan akan membuka peluang sel-sel tumor mengadakan penyebaran.
Pada eksplorasi melalui insisi inguinal dalam instansi pertama funikulus spermatikus harus
diklem dulu untuk menghindari penyebaran sel melalui darah atau saluran limfe. Kemudian tetis
diluksasi dari skrotum di dalam luka insisi dan diperiksa. Pungsi atau biopsi skrotum harus
dianggap sebagai satu kesalahan tindakan.2,3
Dari hasil pemeriksaan patologi dapat dikategorikan antara seminoma dan non seminoma :
Seminoma
Seminoma merupakan tumor yang sangat sensitif terhadap sinar. Karena itu sesudah
orkidektomi pada seminoma kebanyakan dilakukan radioterapi pada stasiun-stasiun kelenjar
limfe regional, juga jika tidak dapat ditunjukkan adanya metastasis kelenjar limfe dibaeah
diafragma. Lapangan penyinaran juga harus meliputi sikatriks di daerah inguinal dan terapinya
terdiri atas paling sedikit 30 Gy dalam 3-4 minggu.3
Penderita dengan stadium I, IIA, dan IIB, setelah orkidektomi diradiasi pada regio
paraaorta dan regio panggul ipsilateral. Karena kurang lebih separuh penderita dengan stadium
IIC mendapat kekambuhan dengan terapi penyinaran, pada penderita ini dilakukan kemoterapi.
Kepada penderita stadium III diberikan skema kemoterapi yang berlaku untuk penderita non
seminoma. Bila penanganan bedah sempurna serta kemoterapi dan penyinaran lengkap prognosis
baik sekali.1
Sejak beberapa tahun pada seminoma, jika tidak dapat ditunjukkan metastasis (stadium I),
dalam beberapa pusat yang terspesialisasi cukup dikerjakan kontrol penderita yang frekuen tanpa
radioterapi. Dalam hal ada metastasis kelenjar retroperitoneal dengan diameter lebih dari 5 cm
dan atau metastasis kelenjar di atas diafragma dan atau metastasis hematogen maka ini
terindikasi untuk kemoterapi. Kebanyakan hal ini digunakan empat siklus masing-masing 3
minggu yang terdiri atas sisplatin dan etoposid. Dalam pusat tertentu nilai kombinasi kemoterapi
ini dibandingkan dengan karboplatin, sendirian atau dalam kombinasi.3
Non-seminoma
Penderita dengan tumor non seminoma stadium I tidak membutuhkan terapi tambahan
setelah pembedahan. Penderita stadium IIA dapat diobservasi saja, kadang diberikan kemoterapi
dua seri. Pada stadium IIB biasanya diberikan empat seri kemoterapi. Penderita stadium IIC dan
III diberikan kemoterapi yang terdiri dari sisplatin, beomisin dan vinblastin. Bila respon tidak
sempurna diberikan seri tambahan dengan sediaan kemoterapi lain. Bila masih terdapat sisa
jaringan di regio retroperitoneal dilakukan laparatomi eksplorasi. Pada kebanyakan penderita
ternyata hanya ditemukan jaringan nekrotik atau jaringan matur. Jaringan matur merupakan
jaringan yang berdiferensiasi baik dan tidak bersifat ganas lagi.1
Jika tidak dapat ditunjukkan metastasis dan tumor terbatas pada testis maka ini disebut
stadium I. Sesudah orkidektomi cukup pemantauan yang sering terhadap penderita (wait and see
policy). Dalam hal ini harus diperhatikan kenyataan bahwa kira-kira 25% penderita
selama follow up menunjukkan pertumbuhan tumor. Dengan kontrol yang sering, dengan
menetapkan zat-zat penanda, pertumbuhan tumor dapat cepat didiagnosis, dan karena kecilnya
massa tumor dapat diterapi kuratif dengan kemoterapi. Jika dibuktikan adanya metastasis,
pertama-tama dinilai dengan polikemoterapi. Semula kemoterapi ini terdiri atas kombinasi
sisplatin, vinblastin, dan bleomisisn, sesudah itu vinblastin diganti dengan etoposid. Kombinasi
ini sama efektifnya tetapi cukup ringan toksisitasnya.3

Diagram penatalaksanaan tumor testis. 2

I.13 Prognosis
Prognosis umumnya memuaskan, kecuali pada penderita dengan metastasis banyak di paru
atau bila terdapat kekambuhan dengan kadar petanda tumor yang tinggi. Prognosis tumor testis
bukan hanya bergantung kepada sifat histologiknya, melainkan terutama pada stadium tumor.
Ketahanan hidup 5 tahun adalah sebagai berikut 3 :
o Seminoma, stadium I dan II : 95%
o Seminoma, stadium III-IV : 70-90%
o Non-seminoma, stadium I : 99%
o Non-seminoma, tumor sedikit : 70-90%
o Non-seminoma, tumor banyak : 40-70%
Pada tumor testis follow up harus dijalankan sebagai berikut : tahun ke-1 tiap 1 bulan ;
tahun ke-2 tiap 2 bulan ; tahun ke-3 tiap 3 bulan ; tahun ke-4 dan 5 tiap 6 bulan ; tahun ke-6
hingga 10 tiap tahun. Pada waktu kontrol harus diperhatikan khusus zat-zat penanda tumor,
pemeriksaan abdomen (CT scan retroperitoneum), dan testis sisi lainnya, deteksi limfoma
supraklavikuler, pemeriksaan paru (foto thorak dan CT) dan keadaan umum penderita.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsjulhidayat R., Jong W.D., Buku Ajar Ilmu Bedah, Tumor Ganas Testis, Edisi Revisi,
EGC, Jakarta, 1997, Hlm 1070-1073.
2. Purnomo B., Dasar-dasar Urologi, Tumor Urogenitalia, Edisi kedua, CV. Sagung Seto,
Jakarta, 2003, Hlm 181-185.
3. Van de Velde C.J.H., Bosman F.T., Wagener D.J., Onkologi, Tumor Testis, Edisi 5 Revisi,
Panitia Kanker RSUP Sardjito Yogyakarta, Alih Bahasa : Arjono, 1996, Hlm 556-563.
4. Price, Wilson M. Lorraine, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Gangguan Pertumbuhan, Proliferasi dan Diferensiasi Sel, Buku 1, Edisi 4,
EGC, Jakarta, 1995, Hlm 111 126.
5. Price, Wilson M. Lorraine, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Gangguan Sistem Reproduksi Pria, Buku 2, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995, Hlm
1146.

Anda mungkin juga menyukai