KARSINOMA TESTIS
Oleh
Ni Kadek Putri Dwi Jayanti
H1A009049
Dosen Pembimbing
dr. Pandu Ishaq Nandana, Sp.U
I.1 PENDAHULUAN
Tumor dapat bersifat ganas atau jinak, tumor ganas atau kanker terjadi karena timbul dan
berkembangbiaknya sel jaringan sekitarnya (infiltratif) dan merusaknya (destruktif), dapat
menyebar ke bagian lain tubuh dan umumnya fatal jika dibiarkan. Tumor jinak tumbuh dengan
batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi membesar dan menekan jaringan
sekitarnya (ekspansif).1
Frekuensi relatif kanker pada beberapa daerah di Indonesia tidak sama, yang banyak
ditemukan ialah karsinoma servik uteri, karsinoma hepatoseluler, karsinoma payudara,
karsinoma paru dan leukemia. Pada dasawarsa terakhir telah terbukti bahwa 80-90% kasus
kanker pada manusia dipromosi oleh faktor lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan dalam arti
luas yang meliputi gaya hidup, bahan kimia, fisika, maupun virus.1
Kanker testis meskipun kasus yang relatif jarang, merupakan keganasan tersering pada
pria kelompok usia 15 35 tahun. Setiap tahun kira-kira ditemukan 2-3 kasus baru dari 100.000
pria. Resiko seorang pria terkena ca testis 1:250 atau sekitar 0,4%. Salah satu resiko terjadinya
kanker testis yaitu kriptokismus. Gejala benjolan pada testis tidak semua merupakan tumor dan
tidak semua tumor itu ganas. Ada banyak kemungkinan seperti kista epididimis, oleh karena itu
perlunya tehnik diagnostik yang baik. Perkembangan yang pesat dalam hal tehnik diagnosis,
perkembangan pemeriksaan penanda tumor, pengobatan dengan regimen kemoterapi dan
modifikasi tehnik operasi, berakibat pada penurunan angka mortalitas penderita kanker testis dari
50% pada 1970 menjadi kurang dari 5% pada 1997. Dengan mulai berkembangnya pengobatan
yang efektif bahkan untuk pasien-pasien dengan keadaan lanjut, perhatian pada tumor testis telah
beralih pada penurunan morbiditas dengan menentukan protokol pengobatan selektif pada setiap
pasien.2
Dari semua tumor maligna pada laki-laki 1-2% terlokalisasi di dalam testis. Kira-kira
90% dari semua tumor testis primer terdiri atas tumor sel embrional, selanjutnya dapat dijumpai
tumor sel Sertoli-Leydig dan limfoma maligna. Insidensi tumor sel embrional maligna di
Nederland adalah kira-kira 4 per 100.000 laki-laki tiap tahun. Ini berarti bahwa tiap tahun kira-
kira 300 penderita baru didiagnosis dengan kelainan maligna ini. Tumor-tumor sel embrional
maligna testis merupakan tumor maligna yang paling sering terdapat pada laki-laki usia 20-40
tahun meskipun pada penderita kurang dari 5 tahun dan lebih dari 70 tahun juga dapat dijumpai
tumor testis.3
I.2 DEFINISI
Tumor atau neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru, adalah massa abnormal
dari sel-sel yang berproliferasi. Semula istilah tumor diartikan sebagai pembengkakan sederhana
atau gumpalan. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel yang sebelumnya adalah sel-sel normal.
Neoplasam dapat dibedakan berdasarkan sifatnya, ada yang jinak (benigna) dan yang ganas
(maligna).4
Tumor testis berasal dari sel germinal atau jaringan stroma testis. Lebih dari 90% berasal
dari sel germinal. Tumor ini mempunyai derajat keganasan tinggi, tetapi dapat sembuh bila diberi
penanganan adekuat. Tumor ini mempunyai petanda tumor sejati yang sangat berharga untuk
diagnosis, rencana terapi dan kontrol.1
Secara histopatologis , testis terdiri atas 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri atas Tubuli
seminiferi. Didalam Tubulus seminiferus terdapat sel-sel Spermatogonia dan sel Sertoli, sedang
diantara Tubuli seminiferi terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel sperma togonium pada proses
spermatogenesis menjadi sel spermatozoa. Sel-sel sertoli berfungsi memberi makan pada bakal
sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel-sel interstisial testis berfungsi dalam
menghasilkan hormon testosteron.2
Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di Tubuli seminiferi testis disimpan dan mengalami
pematangan/maturasi di epididimis. Setelah mature (dewasa) sel-sel spermatozoa bersama-sama
dengan getah dari epididimis dan vas deferens disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel-sel
itu setelah bercampur dengan cairan-cairan dari epididimis, vas deferens, vesikula seminalis,
serta cairan prostat membentuk cairan semen atau mani.2
Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu :
1. Arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta.
2. Arteri deferensialis cabang dari A. vesikalis inferior
3. Arteri kremasterika yang merupakan cabang A. Epigastrika
Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis.2
I.6 KLASIFIKASI
Sebagian besar 95 % tumor testis primer,berasal dari sel germinal sedangkan sisanya dari
sel non germinal. Tumor germinal testis terdiri atas seminoma dan non seminoma. Seminoma
berbeda sifatnya dengan non seminoma, antara lain sifat keganasanya, respon terhadap
radioterapi,dan prognosis tumor.
Tumor yang bukan berasal dari sel-sel germinal atau non germinal diantaranya adalah sel
Leydig, sel Sertoli, dan gonadoblastoma. Selain berada di dalam testis, tumor sel germinal juga
bias berada diluar testis sebagai extragonadalgerm cell tumor antara lain dapat berada di
mediastinum, retroperitoneum, daerah sakrokoksigeus, dan glandula pineal. 5
Seminoma merupakan tumor maligna testis yang tersering, diikuti dengan Karsinoma
embrional, teratoma dan khoriokarsinoma. Sekresi Gonadotropin khorionik berhubungan dengan
hiperplasia sel Leydig. Tumor testis sel benigna jarang terjadi.3
Seminoma dapat dianggap sebagai tumor pendahulu sel embrional (gonosit) yang arah
diferensiasinya berlanjut ke arah sel embrional (germ cell). Tumor-tumor non seminoma dapat
dianggap sebagai tumor sel embrional pluripoten. Tumor yang paling tidak terdiferensiasi dalam
golongan ini adalah karsinoma sel embrional yang didalamnya tidak tampak arah diferensiasi
spesifik. Koriokarsinoma berupa produk kehamilan, Teratoma merupakan campuran jaringan-
jaringan somatik, seperti berbagai tipe epitel, tulang rawan, jaringan otot dan saraf dan berasal
dari berbagai lapisan embrional (ektoderm, mesoderm, endoderm). Jika jaringan-jaringan ini
menunjukkan struktur normal (hampir normal) maka ini disebut teratoma matur, jika arah
diferensiasi jaringan dapat dikenal dengan baik, dan jika diferensiasinya tidak seluruhnya
dewasa/matang, maka ini disebut teratoma imatur. Tipe non-seminoma merupakan manifestasi
berbagai arah diferensiasi sel-sel embrional pluripoten, maka tidak mengherankan bahwa suatu
non seminoma hampir selalu tersusun atas bermacam-macam komponen.3
Klasifikasi tumor testis
Primer Sekunder
Limfoma
Lekemia Infiltrat
Infiltratif
Germinal Non Germinal
Tumor Sel Leydig
Seminoma Non Seminoma Tumor Sel Sertoli
Spematositik Karsinoma Sel Embrional Gonadoblastoma
Anaplastik Korio Karsinoma
Klasik Teratoma
Tumor Yolk Sac
I.6 PATOGENESIS
Tumor-tumor sel embrional testis merupakan satu golongan tumor yang heterogen. Dari
berbagai klasifikasi tumor testis ganas, klasifikasi organisasi kesehatan dunia (WHO) paling
sering dipakai. Disamping seminoma yang memang berasal dari sel germinal terdapat karsinoma
embrional, teratoma dan koriokarsinoma yang digolongkan non seminoma, yang dianggap
berasal dari sel germinal pada tahap perkembangan lain histogenesis. Seminoma meliputi sekitar
40% dari tumor ganas testis. Koriokarsinoma jarang sekali ditemukan (1%). Metastasis tumor
testis kadang berbeda sekali dari tumor induk, yang berarti tumor primer terdiri dari berbagai
jenis jaringan embrional dengan daya invasi yang berbeda. 1
I.7 STADIUM TUMOR
Penentuan stadium klinis yang sederhana dikemukakan oleh Boden dan Gibb :
Stadium A atau I : tumor testis terbaas pada testis, tidak ada bukti penyebaran baik
secara klinis maupun radiologis.
Stadium B atau II : tumor telah mengadakan penyebaran ke kelenjar regional (para
aorta) atau nodus limfatikus iliaka. Stadium II A untuk pembesaran limfonodi para
aorta yang belum teraba, stadium II B untuk pembesaran limfonodi yang telah teraba
(>10 cm).
Stadium C atau III : tumor telah menyebar keluar dari kelenjar retroperitoneum atau
telah mengadakan metastasis supradiafragma.2
I.8 PENYEBARAN
Karsinoma testis diawali dengan tumor testis yang berupa lesi intratestikular yang
akhirnya mengenai seluruh parenkim testis. Sel tumor kemudian menyebar ke rete testis,
epididimis funikulus spermaticus, atau bahkan ke kulit skrotum. Tunika albugenia merupakan
barier yang sangan kuat bagi penjalaran tumor testis ke organ sekitarnya, sehingga kerusakan
tunika albugenia oleh invasi tumor membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar keluar
testis.2
Kecuali koriokarsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe melalui
pembuluh limfe menuju pembuluh limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama,
kemudian menuju limfe mediastinal dan supraklavikula, sedangkan koriokarsinoma menyebar
secara hematogen ke paru, hepar, dan otak. 2
I.12 PENATALAKSANAAN
Pada dugaan tumor testis tidak diperbolehkan melakukan biopsi testis, karena itu untuk
penegakan diagnosis patologi anatomi, bahan jaringan harus diambil dari orkidektomi.
Orkidektomi dilakukan melalui pendekatan inguinal setelah mengangkat testis dan funikulus
spermatikus sampai anulus inguinalis internus. Biopsi atau pendekatan trans-skrotal tidak
diperbolehkan karena ditakutkan akan membuka peluang sel-sel tumor mengadakan penyebaran.
Pada eksplorasi melalui insisi inguinal dalam instansi pertama funikulus spermatikus harus
diklem dulu untuk menghindari penyebaran sel melalui darah atau saluran limfe. Kemudian tetis
diluksasi dari skrotum di dalam luka insisi dan diperiksa. Pungsi atau biopsi skrotum harus
dianggap sebagai satu kesalahan tindakan.2,3
Dari hasil pemeriksaan patologi dapat dikategorikan antara seminoma dan non seminoma :
Seminoma
Seminoma merupakan tumor yang sangat sensitif terhadap sinar. Karena itu sesudah
orkidektomi pada seminoma kebanyakan dilakukan radioterapi pada stasiun-stasiun kelenjar
limfe regional, juga jika tidak dapat ditunjukkan adanya metastasis kelenjar limfe dibaeah
diafragma. Lapangan penyinaran juga harus meliputi sikatriks di daerah inguinal dan terapinya
terdiri atas paling sedikit 30 Gy dalam 3-4 minggu.3
Penderita dengan stadium I, IIA, dan IIB, setelah orkidektomi diradiasi pada regio
paraaorta dan regio panggul ipsilateral. Karena kurang lebih separuh penderita dengan stadium
IIC mendapat kekambuhan dengan terapi penyinaran, pada penderita ini dilakukan kemoterapi.
Kepada penderita stadium III diberikan skema kemoterapi yang berlaku untuk penderita non
seminoma. Bila penanganan bedah sempurna serta kemoterapi dan penyinaran lengkap prognosis
baik sekali.1
Sejak beberapa tahun pada seminoma, jika tidak dapat ditunjukkan metastasis (stadium I),
dalam beberapa pusat yang terspesialisasi cukup dikerjakan kontrol penderita yang frekuen tanpa
radioterapi. Dalam hal ada metastasis kelenjar retroperitoneal dengan diameter lebih dari 5 cm
dan atau metastasis kelenjar di atas diafragma dan atau metastasis hematogen maka ini
terindikasi untuk kemoterapi. Kebanyakan hal ini digunakan empat siklus masing-masing 3
minggu yang terdiri atas sisplatin dan etoposid. Dalam pusat tertentu nilai kombinasi kemoterapi
ini dibandingkan dengan karboplatin, sendirian atau dalam kombinasi.3
Non-seminoma
Penderita dengan tumor non seminoma stadium I tidak membutuhkan terapi tambahan
setelah pembedahan. Penderita stadium IIA dapat diobservasi saja, kadang diberikan kemoterapi
dua seri. Pada stadium IIB biasanya diberikan empat seri kemoterapi. Penderita stadium IIC dan
III diberikan kemoterapi yang terdiri dari sisplatin, beomisin dan vinblastin. Bila respon tidak
sempurna diberikan seri tambahan dengan sediaan kemoterapi lain. Bila masih terdapat sisa
jaringan di regio retroperitoneal dilakukan laparatomi eksplorasi. Pada kebanyakan penderita
ternyata hanya ditemukan jaringan nekrotik atau jaringan matur. Jaringan matur merupakan
jaringan yang berdiferensiasi baik dan tidak bersifat ganas lagi.1
Jika tidak dapat ditunjukkan metastasis dan tumor terbatas pada testis maka ini disebut
stadium I. Sesudah orkidektomi cukup pemantauan yang sering terhadap penderita (wait and see
policy). Dalam hal ini harus diperhatikan kenyataan bahwa kira-kira 25% penderita
selama follow up menunjukkan pertumbuhan tumor. Dengan kontrol yang sering, dengan
menetapkan zat-zat penanda, pertumbuhan tumor dapat cepat didiagnosis, dan karena kecilnya
massa tumor dapat diterapi kuratif dengan kemoterapi. Jika dibuktikan adanya metastasis,
pertama-tama dinilai dengan polikemoterapi. Semula kemoterapi ini terdiri atas kombinasi
sisplatin, vinblastin, dan bleomisisn, sesudah itu vinblastin diganti dengan etoposid. Kombinasi
ini sama efektifnya tetapi cukup ringan toksisitasnya.3
I.13 Prognosis
Prognosis umumnya memuaskan, kecuali pada penderita dengan metastasis banyak di paru
atau bila terdapat kekambuhan dengan kadar petanda tumor yang tinggi. Prognosis tumor testis
bukan hanya bergantung kepada sifat histologiknya, melainkan terutama pada stadium tumor.
Ketahanan hidup 5 tahun adalah sebagai berikut 3 :
o Seminoma, stadium I dan II : 95%
o Seminoma, stadium III-IV : 70-90%
o Non-seminoma, stadium I : 99%
o Non-seminoma, tumor sedikit : 70-90%
o Non-seminoma, tumor banyak : 40-70%
Pada tumor testis follow up harus dijalankan sebagai berikut : tahun ke-1 tiap 1 bulan ;
tahun ke-2 tiap 2 bulan ; tahun ke-3 tiap 3 bulan ; tahun ke-4 dan 5 tiap 6 bulan ; tahun ke-6
hingga 10 tiap tahun. Pada waktu kontrol harus diperhatikan khusus zat-zat penanda tumor,
pemeriksaan abdomen (CT scan retroperitoneum), dan testis sisi lainnya, deteksi limfoma
supraklavikuler, pemeriksaan paru (foto thorak dan CT) dan keadaan umum penderita.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsjulhidayat R., Jong W.D., Buku Ajar Ilmu Bedah, Tumor Ganas Testis, Edisi Revisi,
EGC, Jakarta, 1997, Hlm 1070-1073.
2. Purnomo B., Dasar-dasar Urologi, Tumor Urogenitalia, Edisi kedua, CV. Sagung Seto,
Jakarta, 2003, Hlm 181-185.
3. Van de Velde C.J.H., Bosman F.T., Wagener D.J., Onkologi, Tumor Testis, Edisi 5 Revisi,
Panitia Kanker RSUP Sardjito Yogyakarta, Alih Bahasa : Arjono, 1996, Hlm 556-563.
4. Price, Wilson M. Lorraine, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Gangguan Pertumbuhan, Proliferasi dan Diferensiasi Sel, Buku 1, Edisi 4,
EGC, Jakarta, 1995, Hlm 111 126.
5. Price, Wilson M. Lorraine, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Gangguan Sistem Reproduksi Pria, Buku 2, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995, Hlm
1146.