Anda di halaman 1dari 4

KEBIJAKAN PELAYANAN ODHA DI RUMAH SAKIT

1. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV
akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial. Saat ini epidemi
AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus
berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber daya dikarenakan masalah
tersebut.
Epidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan
masyarakat di dunia. Pada tahun 2007 jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan
sudah mencapai 33.2 juta (30.636.1 juta). Setiap hari, lebih 6800 orang terinfeksi
HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang disebabkan terutama
kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV.
Kecenderungan epidemik baik pada tingkat global maupun regional, secara umum
membentuk 3 pola epidemi, yaitu:

1. Epidemi meluas (generalized epidemic), HIV sudah menyebar di populasi


(masyarakat) umum. Bila prevalensi HIV lebih dari 1% diantara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic), HIV menyebar di kalangan sub
populasi tertentu (seperti kelompok LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya).
Bila prevalensi lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut.
3. Epidemi rendah (low epidemic), HIV telah ada namun belum menyebar luas pada
sub populasi tertentu. Infeksi yang tercatat terbatas pada sejumlah individu yang
berperilaku risiko tinggi, misalnya pekerja seks, penasun, dan LSL. Prevalensi HIV
dibawah 5% pada sub populasi tertentu.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia di dilaporkan pertama kali pada tahun 1987 dan
sampai akhir tahun 2003 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 4.091. Namun
jumlah kasus sesungguhnya diperkirakan telah mencapai 90.000 130.000. Jumlah
kasus terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, disusul Papua, Jawa Timur, Riau
(Batam) dan Bali. Perkembangan kasus HIV /AIDS di Indonesia memperlihatkan
peningkatan yang semakin pesat dengan akselerasi yang semakin menghawatirkan.
Dari seluruh kasus yang dilaporkan lebih dari 80% berasal dari kelompok usia
produktif (20-49%). Sebagian dari kelompok usia ini ada di lembaga-lembaga
pendidikan, tetapi bagian terbesar ada di dunia kerja. Meluasnya HIV/AIDS akhirnya
bukan hanya akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian tetapi juga akan
mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi dan pembangunan serta produktifitas
negara yang bersangkutan.
Indonesia secara kumulatif berdasarkan laporan dari seluruh provinsi yang
dikeluarkan secara triwulan oleh Kementerian Kesehatan RI sampai bulan Maret
tahun 2010, tercatat 20.564 kasus AIDS dengan persentase, laki-laki sebanyak 62%,
perempuan 30% dan tidak diketahui 8 %. Estimasi yang dilakukan pada tahun 2006
diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 193.000 orang terinfeksi HIV dan sekitar
186.000 orang tahun 2009, sedangkan kasus AIDS yang tercatat oleh Kementerian
Kesehatan RI sampai dengan September 2010 tercatat 22.726 orang hidup dengan
HIV AIDS. AIDS pada pengguna Napza Suntik (penasun) di Indonesia sampai tahun
2010 sebanyak 2.224 kasus dan jika dilihat dari kelompok umur dari kelompok
tersebut ada 70% berada di kelompok usia produktif (20-39 tahun). Indonesia sudah
menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV AIDS. Para pakar
memperkirakan jumlah kasus HIV AIDS sudah mencapai 130.000 orang, sehingga
tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat
Internasional yang diikuti kebijakan nasional. Sebagian besar infeksi baru
diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi >
5%), yaitu pada pengguna Napza suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), dan
waria.
Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada
tahap concentrated epidemic. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006,
prevalensi HIV berkisar antara 21% 52% pada penasun, 1% 22% pada WPS, dan
3% 17% pada waria. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5%
pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Provinsi Papua dan Propinsi
Papua Barat, penyebaran infeksi HIV sudah pada tahap meluas, yaitu telah terjadi
melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalensi > 1%).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sampai dengan 2010, terjadi laju
peningkatan kasus baru HIV yang semakin cepat terutama jumlah kasus baru HIV
dalam 3 tahun terakhir lebih dari 3 kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan
pada 15 tahun pertama epidemi HIV di Indonesia. Dari jumlah kumulatif 22.726
kasus AIDS yang dilaporkan pada September 2010, dengan proporsi 73.6% adalah
laki-laki, 26.0% perempuan. Persentasi kasus AIDS pada pengguna napza suntik
91.2% pada kelompok berusia 20-39 tahun. Seiring dengan pertambahan total kasus
AIDS, jumlah daerah yang melaporkan kasus AIDS pun bertambah. Pada akhir tahun
2000, terdapat 16 provinsi yang melaporkan kasus AIDS, dan kemudian pada akhir
tahun 2003 jumlah tersebut meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah ini meningkat
tajam pada tahun 2006, yaitu sebanyak 32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia yang
sudah melaporkan adanya kasus AIDS. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular
HIV pada tahun 2009 memperkirakan ada 5 juta sampai dengan 8 juta orang paling
berisiko terinfeksi HIV. Jumlah terbesar berada pada sub-populasi pelanggan penjaja
seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,9
juta. Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang berperilaku
risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya, bahkan anaknya.
Berdasarkan modeling matematika, diperkirakan dalam rentang waktu tahun 2008
2015, secara kumulatif akan terdapat 44.180 anak yang dilahirkan dari ibu positif
HIV.
Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan
yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang
dengan HIV. Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan
bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non
diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006
mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
seluruh Indonesia.

2. Isi
Peran serta ODHA merupakan persoalan serius yang telah berulangkali
dinyatakan para aktivis dan organisasi internasional. ODHA bukan obyek
penanggulangan HIV & AIDS melainkan subyeknya. Sebagai subyek, maka potensi
ODHA untuk membagi pengalaman mereka secara bermakna dalam semua aspek
penanggulangan harus diakui, dihargai, dan diberikan kesempatan seluas-luasnya
(APN+ & APCASO, t.th). Di banyak negara ODHA berperan dalam menambah
pengetahuan medis dan teknis dalam memahami HIV dan ODHA memberikan
sumbangan besar dalam mendukung sesama ODHA dan peranan mereka dalam
penanggulangan HIV/AIDS di masyarakat semua ini menjadi contoh-contoh praktek
nyata yang baik (best practices).

Sumbangan ODHA di Indonesia dalam memberikan dukungan bagi sesama


ODHA telah lama diketahui dan menurut APN+ (2004) ini merupakan salah satu best
practice dari GIPA (Greater Involvement of People with HIV/AIDS). Meskipun
demikian, masih banyak ODHA yang belum terlibat dalam berbagai upaya
penanggulangan terutama dalam riset, monitoring dan evaluasi. Keterlibatan ODHA
dalam bidang-bidang ini tentu akan memberikan sumbangan penting, karena banyak
penelitian dan pengembangan program yang hanya dilakukan para pakar dan birokrat
belum tentu dapat menyelami kehidupan ODHA. Keterlibatan ODHA akan membantu
birokrat dan perencana program melakukan penyempurnaan (fine-tuning) penerapan
hasil hasil penelitian ODHA sehingga bisa tersusun program yang lebih peka terhadap
kebutuhan ODHA.

Sesuai dengan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 760/MENKES/SK/VI/2007 tentang :

Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang dengan HIV dan AIDS
(ODHA), menetapkan bahwa : dalam memberikan pelayanan kesehatan rumah sakit rujukan
mempunyai tugas sebagai berikut :

1. Menyusun Standar Prosedur Operasional


2. Menjamin ketersediaan obat ARV yang secara langsung didistribusikan oleh
PT Kimia Farma (sesuai dengan prosedur khusus yang berlaku) dan obat
infeksi oportunistik tertentu.
3. Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai dengan pedoman.
4. Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dokter ahli, dokter/dokter gigi,
perawat, apoteker, analis laboratorium, konselor dan manajer kasus;
5. Membentuk tim kelompok kerja/pokja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari
tenaga medis dan non medis yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV
dan AIDS.
6. Melaporkan pelaksanaan pemberian pelayanan bagi orang dengan HIV dan
AIDS

Kebijakan dan pelayanan terhadap ODHA di rumah sakit antara lain :

1. Rumah sakit sebagai pelaksana pelayanan kesehatan agar dapat melakukan pelayanan
terhadap ODHA secara maksimal, rumah sakit menunjuk beberapa petugas medis
untuk mengikuti pelatihan berkaitan dengan pelayanan medis kepada ODHA.
Pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap ODHA dilakukan secara paripurna
yaitu pelayanan yang menyeluruh yang mana tidak ada diskriminasi didalamnya, jika
ODHA tersebut terindikasi penyakit paru maka ODHA tersebut akan dirujuk dan
diobati oleh dokter spesialis Paru dan dirawat di Poli Paru, begitupun dengan penyakit
yang lainnya.
2. Sudah selayaknya para penyedia/pemberi jasa kesehatan memberikan pelayanankesehatan
yang sama terhadap ODHA sesuai dengan kompetensi mereka atau bila
terdapatketerbatasan penyelengaraan layanan, dalam hal ini termasuk sterilisasi alat-
alat medis sertalimbah medis, penyedia/pemberi jasa kesehatan sewajibnya memberikan
informasi pelayanankesehatan rujukan bagi ODHA karena Rumah Sakit-Rumah Sakit
yang telah ditunjukpemerintah untuk menjadi rujukan bagi ODHA telah dipersiapkan untuk
menangani ODHA.
3. Penyuluhan dan pelatihan mengenai HIV/AIDS terhadap penyedia/pemberi jasa kesehatan
adalah salah satu aspek yang sangat penting bagi terciptanya pelayanan kesehatan yang baik
bagi ODHA layaknya yang telah diatur dalam UU No.23 Tahun 1992 pasal 50,51, 52, 53, 54
dan55 tentang tenaga kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai