Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar pangan pokoknya bersumber pada
beras. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 sebesar 255 juta jiwa (BPS, 2016). Kebutuhan
bahan pangan pokok Indonesia masih bertumpu di Pulau Jawa. Pulau Jawa memproduksi
separuh dari kebutuhan pokok nasional yang pada tahun 2013 memproduksi sebesar 34.404.557
ton beras (BPS, 2014). Produksi beras paling besar berada pada pantai utara Jawa (PANTURA).
Konversi lahan di Pulau Jawa sangat tinggi karena kebutuhan terhadap lahan akibat padatnya
penduduk dan peningkatan intensitas pembangunan di pulau Jawa. Jumlah pendududuk di Jawa
Barat pada tahun 2016 sebesar 46 juta jiwa (BPS, 2016). Land rent lahan sawah lebih rendah
dibandingkan dengan penggunaan untuk industri dan perumahan (Agus & Irawan, 2006).
Kebutuhan pangan nasional setiap tahun terus meningkat bahkan pemerintah harus mengimpor
beras dari negara lain. Untuk itu, perlu dicari solusi untuk dapat mencukupi kebutuhan ini dari
dalam negeri. Kabupaten Subang memiliki potensi pengembangan lahan sawah.
Perencaan penggunaan lahan yang tepat dan kesesuaian lahan sawah perlu untuk melihat
lahan yang masih memungkinkan untuk penggunaan sawah. Kabupaten Subang merupakan salah
satu kabupaten di kawasan utara Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah seluas 205.176,95 ha atau
6,34 % dari luas Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di antara 107 31' sampai dengan 107
54' Bujur Timur dan 6 11' sampai dengan 6 49' Lintang Selatan. Sebagian besar luas daerah di
Kabupaten Subang merupakan dataran rendah yaitu daerah pantai utara dan dataran tinggi
sampai kawasan gunung Tangkuban Perahu di Selatan (BPS, 2014). Menurut BPS (2014) lahan
sawah pada tahun 2013 tercatat seluas 84 929 hektar atau 41,39% dari total luas wilayah
Kabupaten Subang. Jumlah produksibpadi sawah pada tahun 2013 sebesar 1 210,58 ton. Sawah
eksisting sebagian besar berpengairan teknis dan sebagian kecil sawah tadah hujan. Dilihat dari
luas wilayah Kabupaten Subang bagian tengah masih memungkinkan untuk memperluas sawah
baru. Kabupaten Subang yang memiliki lahan kering yang belum dimanfaatkan yang sangat luas
dan lahan tersebut dapat berpotensi dibuat menjadi sawah. Identifikasi kesesuaian pada lahan
sawah juga perlu dilakukan agar mendapatkan pola budidaya yang paling sesuai, yang secara
biofisik memberikan hasil dan keuntungan yang tertinggi.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari penelitian adalah :
1. Bagaimana evaluasi lahan fisik dan ekonomi untuk padi sawah di Kabupaten Subang
bagian tengah?
2. Bagaimana ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di Kabupaten bagian tengah
berdasarkan penggunaan dan kesesuaian lahan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian adalah :
1. Mengkaji satuan peta tanah di wilayah yang diteliti
2. Menganalisis penggunaan lahan saat ini
3. Melakukan evaluasi lahan fisik dan ekonomi untuk padi sawah di Kabupaten Subang
bagian tengah
4. Menganalisis ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di Kabupaten bagian tengah
berdasarkan penggunaan dan kesesuaian lahan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Padi
Padi adalah bahan pangan utama di Indonesia dan berperan penting sebagai pemenuh
kebutuhan karbohidrat di Indonesia. Kebutuhan akan padi dari tahun ke tahun semakin
meningkat dikarenakan pertambahan penduduk yang semakin tinggi serta berkembangnya
industri pangan dan pakan (Yusuf dan Harwono, 2010). Tanaman padi merupakan tanaman
rumput-rumputan dengan Genus Oriza Linn dan masuk ke dalam golongan rumput-rumputan.
Tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung
uap air atau dapat disimpulkan, padi dapat tumbuh dengan baik di iklim yang panas dan dengan
udara yang lembab. Lembab disini dapat diartikan dengan jumlah curah hujan, temperatur,
ketinggian tempat sinar matahari, dan angin (Aak, 1990). Menurut Aak tahun 1990 klasifikasi
padi adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Genus : Oriza Linn
Family : Graminae
Species : Oryza Sativa L
Kemasaman tanah yang ideal antara pH 4,0-7,0 dengan penggenangan akan merubah pH
menjadi lebih alkalis. Tanaman padi di dataran rendah sesuai pada ketinggian 0-650 mdpl
dengan temperatur 23-27 C sedangkan untuk dataran tinggi padi sesuai pada ketinggian 650-
1500 mdpl dengan temperatur 19-23 C (Purwono dan Heni 2007). Curah hujan yang sesuai
untuk tanaman padi per tahun sekitar 1500-2000 mm (Aak, 1990). Tanaman padi sangat
memerlukan sinar matahari yang baik, oleh karena itu padi dapat berkembang dengan baik pada
suhu dengan temperatur 23-27 C. Angin bermanfaat dalam proses penyerbukan dan pembuahan.
Padi sangat memerlukan air yang banyak dan sinar matahari yang cukup, oleh karena itu
penyediaan air sangat diperhatikan. Air yang cukup dapat berpengaruh pada pembentukan buah.
Menanam padi pada musim kemarau dan perairan yang cukup akan mendapatkan hasil yang
lebih tinggi dibandingkan musim hujan (Aak, 1990).

3
Untuk tanaman padi sawah ketersediaan air sangat penting. Area sawah yang baik adalah area
yang mampu memberikan tumbuh kembang padi yang baik, salah satunya adalah jenis tanah.
Tidak semua jenis tanah baik untuk dijadikan area persawahan. Tanah yang mampu menahan air
sangat cocok untuk areal persawahan karena dapat menahan air yang lebih lama sehingga dapat
membantu tumbuh kembang padi. Tanah yang mampu menahan air yang lebih lama seperti liat
cocok untuk area persawahan sedangkan tanah yang tidak dapat menahan air yang lama seperti
pasir tidak cocok untuk dijadikan area persawahan (Suparyono dan Setyono, 1993).
2.2 Tanah dan Lahan
Tanah adalah bahan mineral yang tidak padat terletak pada permukaan bumi, yang telah
dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan
yang meliputi bahan induk, iklim, organisme, dan topografi pada suatu periode waktu tertentu
(Hanafiah, 2007). Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya,
termasuk lingkungan fisik akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang,
seperti reklamasi daerahdaerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugi seperti
erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam
konsep lahan ini (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi
biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil
kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut
mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan
masa yang akan datang (FAO 1997 dalam Sitorus, 2004).
2.3 Penggunaan Lahan
Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land cover).
Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah
dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan
mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu.
Kedua istilah ini seringkali digunakan secara rancu. Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak
lebih dari suatu mental construct yang didisain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas
pemetaan (Malingreau dan Rosalia, 1981). Identifikasi, pemantauan dan evaluasi penggunaan
lahan perlu selalu dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk

4
penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan. Dengan
demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam usaha melakukan perencanaan
dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan keruangan di suatu wilayah.
Prinsip kebijakan terhadap lahan perkotaan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan
lahan dan pengadaan lahan untuk menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam hubungannya
dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan sebagai
serangkaian kegiatan dan tindakan yang sitematis dan terorganisir dalam penyediaan lahan, serta
tepat pada waktunya, untuk peruntukan pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan
kepentingan masyarakat (Suryantoro, 2002).
2.4 Perubahan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan,
spiritual maupun gabungan keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam
perencanaan wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting
dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan penggunaan lahan.
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan kenampakan
penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan
lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan
ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang
sama.
2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu
dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan
memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian
lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian
lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan
aktual adalah kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami tanpa ada perbaikan lahan,
sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan pada
lahan. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menganjurkan agar dalam membandingkan sifat-
sifat lahan dengan syarat-syarat penggunaan lahan digunakan kualitas lahan, bukan karakteristik

5
lahan. Kualitas lahan adalah sifat-sifat lahan yang dapat diukur langsung (conplex land
attributed) yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk
pengunaanpenggunaan tertentu, sedangkan karakteristik lahan (land characteristic) mencakup
faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur
tanah dan sebagainya. Evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang
diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan
yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi
lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno
dan Widiatmaka, 2007).

2.6 Klasifikasi Kesesuaian Lahan


Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan
lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Sedangkan, klasifikasi kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan atau proses
penilaian dan pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut
lahan bagi suatu penggunaan tertentu (Arsyad, 2006). Klasifikasi kesesuaian lahan menyangkut
perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang
diinginkan. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan, menurut kerangka kerja FAO (1976)
dalam Rayes (2007) terdiri atas 4 kategori, yaitu:
1. Ordo: menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan
dibedakan atas ordo sesuai (S) dan ordo tidak sesuai (N). Ordo S adalah lahan yang dapat
digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap
sumberdaya lahannya.Ordo N adalah lahan yang mempunyai pembatas demikian rupa sehingga
mencegah penggunaan secara lestari untuk suatu tujuan yang direncanakan.
2. Kelas: menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo. Pada dasarnya jumlah kelas dalam tiap
ordo tidak terbatas, tetapi dianjurkan untuk memakai 3 kelas dalam ordo S dan 2 kelas dalam
ordo N. Kelas S1 (sangat sesuai) : lahan yang tidak mempunyai pembatas yangberat untuk
penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi. Kelas S2 (cukup sesuai) : lahan mempunyai pembatas
agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan
mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas

6
S3 (sesuai marjinal) : lahan mempunyai pembatas sangat berat untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan.
Kelas N1 (tidak sesuai saat ini) : lahan mempunyai pembatas lebih berat, tapi masih mungkin
untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan
biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kelas N2 (tidak sesuai selamanya) : lahan
mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu
penggunaan yang lestari.
3. Sub-kelas : menunjukan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas
atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas. Masing-masing kelas dapat dibagi menjadi
satu atau lebih sub-kelas kesesuaian tergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas
dicerminkan oleh simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Misalnya S2n, artinya
lahan tersebut mempunyai kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) dengan pembatas n (ketersediaan
hara). Jika terdapat lebih dari satu faktor pembatas, maka pembatas yang paling utama diletakkan
lebih awal.
4. Satuan (unit): menunjukkan tingkatan dalam subkelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan
kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Perbedaan antara satu unit dengan unit yang lain
merupakan perbedaandalam sifat-sifat tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan seringkali
merupakan perbedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Pemberian simbol kesesuaian lahan
pada tingkat unit dilakukan dengan angka setelah simbol subkelas yang dipisahkan oleh tanda
penghubung, misalnya S2n-1, S2n-2.

7
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Subang bagian Tengah, Provinsi Barat. Dari
keseluruhan Kecamatan di Kabupaten Subang wilayah yang fokus penelitian yaitu lima
Kecamatan yang berada di Kabupaten bagian tengah yaitu Kecamatan Cibogo, Cipeundeuy,
Dawuan, dan Kecamatan Subang. Luas wilayah yang diteliti sebesar 41 600.12 Daerah
penelitian merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng. Temperatur udara rata-rata
adalah 25.8 derajat celcius dengan curah tahunan 3 299 mm/tahun (BBSDLP, 1990). Penelitian
ini berlangsung Januari 2016-Mei 2016. Peta administrasi wilayah penelitian disajikan Gambar
1.

Gambar 1. Peta wilayah penelitian


3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah perangkat Microsoft office, perangkat lunak 10.2.2 serta
GPS. Peralatan lainnya yang digunakan saat dilapang adalah kuesioner, Global Positioning
System (GPS), kamera serta alat tulis.Data yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu data
primer dan data Data primer dikumpulkan dari petani di lokasi penelitian dengan metode
langsung di lapang. Data tersebut digunakan untuk analisis ekonomi. wawancara dilakukan
dengan menggunakan kuesioner, dan data-data diperlukan berkaitan dengan input output yang
diberikan petani saat budidaya sawah berupa peta administrasi Kabupaten Subang. Data
sekunder yang adalah data kimia kesuburan tanah (Widiatmaka et al., 2015; 2016), peta

8
administrasi kabupaten subang, peta rupa bumi Indonesia (peta lereng), citra ikonos peta tanah
tingkat tinjau (BBSDLP, 1990), data yang bersumber dari dinas Kabupaten Subang dan BPS
kabupaten Subang serta kriteria kesesuaian untuk komoditas padi sawah (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007) pada lampiran. Bahan yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
1. Bahan dan sumber data
No. Jenis Data Skala/Resolusi Sumber Data
1. Peta administrasi 1:100 000 BP DAS Citarum-
Kabupaten Subang Ciliwung 2013
2. Peta tanah 1:250 000 Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian
(BBSDLP) 1990
3. Peta Rupa Bumi 1:25 000 Badan Informasi
Indonesia (peta Geospasial, Bogor 2011
lereng)
4. Citra Ikonos 0.6 meter Kementrian Pertanian
2010

3.3 Prosedur Analisis Data


Dalam penelitian ini akan dikaji Satuan Peta Tanah yang dilakukan dengan overlay peta
tanah, dan peta lereng, delineasi penggunaan lahan yang dengan cara matching peta SPT dengan
kriteria kesesuaian lahan padi menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sedangkan untuk
analisis ekonominya dengan wawancara, analisis ketersediaan lahan dilakukan dengan cara peta
penggunaan lahan dengan peta kesesuaian lahan untuk padi sawah. Pengambilan data untuk
analisis ekonomi dilakukan dengan cara wawancara setiap petani dari setiap Kecamatan yang
diteliti. Penelitian ini menyajikan beberapa output berdasarkan tujuan dan prosedur yang
dilakukan, serta ditampilkan dalam bentuk matrik penelitian tabel jenis data, prosedur analisis,
dan output penelitian disajikan pada Tabel 2

9
No Tujun Penelitian Jenis Data Tehnik Analisis Luaran
1 Mengkaji Satuan a) Satuan Peta Tanah a) Koreksi geometri Peta SPT skala
Lahan Pengamatan Kabupaten Subang b) Analisis data 1:25 000
(SLP) skala 1:250 000 spasial
b)Peta leren digeneralisasikan
Kabupaten Subang skalanya lalu dimulai
skala 1:25 000 dari penggabungan
c) Peta admin (overlay) peta SPT
Kabupaten Subang dengan peta lereng
bagian Tengah Kabupaten Subang
skala 1:25 000
c) Klasifikasi SPT
d) Overlay peta SPT
dengan
lokasi penelitian

2 Menganalisis peta a) Citra Ikonos tahun a) Digitasi dan Peta


penggunaan lahan saat 2010 interpretasi citra
penggunaan
b) Peta penggunaan menggunakan
ini
lahan 2010 software Arcgis 10.2 lahan 2016
c) GPS saat cek b) Validasi cek lapang
c) update penggunaan
lapang
lahan

3 Melakukan evaluasi a) Peta SPT yang a) Peta SPT 1:25 000 Peta
lahan fisik dan sudah di dioverlay dengan kesesuaian
ekonomi untuk detailkan (1:25 000) admin kecamatan lahan dan nilai
padi sawa b) Peta admin Subang bagian tengah ekonomi untuk
Kabupaten Subang b) cocokkan padi sawah
yang diteliti karakteristik lahan yang diteliti
lahan untuk padi dengan kriteria
sawah kesesuaian
c) Daftar kriteria lahan untuk padi
kesesuaian lahan sawah
untuk padi sawah c) Klasifikasi kelas
dan jagung kesesuaian
(Hardjowigeno dan lahan
Widiatmaka, 2007) d) Pembuatan daftar
d) Kuesioner kuesioner
e) Data primer hasil e) Wawancara dengan
wawancara petani
f) Perhitungan analisis
ekonomi
dengan menggunakan
program

10
Microsoft excel
4 Menganalisis a) Peta penggunaan a) Overlay peta Peta
ketersediaan lahan lahan a) Overlay penggunaan lahan ketersediaan
untuk perluasan padi peta dengan peta lahan untuk
sawah di wilayah yang b) Peta kesesuaian kesesuaian lahan pertanian padi
diteliti lahan untuk untuk padi sawah sawah di
padi sawah di b) Menghitung luasan wilayah yang
wilayah yang lahan yang diteliti
diteliti tersedia dan sesuai
diusahakan
untuk usaha
pengembangan
padi sawah

Mengkaji Satuan Peta Tanah


Satuan tanah yang digunakan untuk evaluasi lahan adalah satuan hasil pemetaan
terdahulu (BBSDLP, 1990). Data berupa peta dan atribut yang akan digunakan diseleksi terlebih
dahulu, berdasarkan wilayah yang akan diamati. Digitasi peta tanah dilakukan dengan
menggunakan program ArcGis 10.2. Data fisik dan kimia digunakan untuk pembuatan Satuan
Peta Tanah (SPT), yaitu peta tanah, peta curah hujan dan peta lereng. Unsur-unsur pembentuk
SPT meliputi jenis tanah sampai kategori great group, kemiringan lereng, bentuk wilayah (relief)
dan bahan induk bersumber dari BBSDLP, serta data kesuburan tanah merupakan bagian dari
kegiatan KKP3N (Widiatmaka et al., 2015; 2016). Peta Satuan Tanah skala 1:250 000, kemudian
didetilkan dengan satuan lereng dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25 000.
Berdasarkan SPT tersebut kemudian dilakukan sampling tanah dan survey lapangan. Pada
Gambar 2 disajikan peta lokasi pengambilan contoh tanah.

11
Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel tanah
Sumber: Widiatmaka et al., 2015; 2016

Analisis Penggunaan Lahan Saat Ini


Bagan alir analisis penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 3, analisis dimulai
dengan klasifikasi visual citra Ikonos tahun 2014. Pertama, koreksi geometri dilakukan dengan
sistem proyeksi koordinat UTM dengan geodetic WGS84 pada zona 48S. Untuk memudahkan
pengamatan visual dalam menginterpretasi penggunaan lahan, digunakan kombinasi band 432
(RGB). Kombinasi band 432 (IM-dekat, IM sedang dan biru) memiliki kekontrasan yang tinggi
sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan/penggunaan lahan. Selanjutnya dilakukan
validasi cek lapang dengan mempertimbangkan peta satuan lahan (SPT). Citra diinterpretasi
penggunaan lahannya berdasarkan unsurunsure interpretasi citra yaitu warna (rona), tekstur,
asosiasi, bentuk, dan sebagainya (Lillesand et al, 2004). Klasifikasi penggunaan lahan dalam
penelitian ini dibedakan menjadi tujuh jenis penggunaan lahan yaitu hutan, tegalan, perkebunan,
permukiman, sawah, semak belukar, sungai/danau/waduk.

12
Gambar 3. Bagan alir analisis penggunaan lahan saat ini

Evaluasi Kesesuaian Lahan Fisik dan Ekonomi


Analisis kesesuaian lahan fisik dilakukan dengan cara membandingkan (matching)
kualitas lahan melalui satuan tanah dengan persyaratan tumbuh tanaman. Dalam proses matching
ini berlaku hukum minimum, yang berarti kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor
pembatas terberat. Kriteria persyaratan tumbuh tanaman mengacu kepada kriteria kesesuaian
lahan dari Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) disajikan pada lampiran. Komoditas tanaman
yang dievaluasi yaitu padi sawah. Evaluasi lahan fisik menghasilkan lima kelas kesesuaian lahan,
yaitu: S1, S2, S3, N1 dan N2. Sebaran kelas kesesuaian lahan di Kabupaten Subang bagian
Tengah diperoleh dari proses tumpang tindih (overlay) peta-peta karakteristik lahan, yaitu peta
tanah, curah hujan dan peta lereng. Pemrosesan tersebut menghasilkan data-data atribut yang
terdiri dari beberapa informasi terkait dengan jenis tanah dan kelas kemiringan lereng. Data-data
karakterisitik yang terkait dengan sifat fisik tanah seperti bahan induk, kedalaman tanah,

13
kepekaan erosi dan drainase bersumber dari BBSDLP, sedangkan data kimia kesuburan
merupakan bagian dari kegiatan KKP3N (Widiatmaka et al,. 2015; 2016), disajikan pada
Lampiran yang selanjutnya dirangkum serta disesuaikan dengan daerah penelitian. Semua jenis
komoditas pertanian yang berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi optimal
memerlukan persyaratanpersyaratan tertentu. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi,
persyaratan penggunaan lahan dikaitkan dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan. Kualitas
dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi
lahan
Kualitas Lahan Karakteristik Lahan
Temperatur (t) Rata-rata tahunan
Ketersediaan air (w) Curah Hujan/tahun
Media perakaran (r) Drainase tanah
Tekstur
Retensi hara (f) KTK tanah
Kejenuhan basa (KB)
pH tanah (pH)
C-organik (C-org)
Hara tersedia (n) Total N (N)
Hara tersedia P2O5 (P2O5)
Hara tersedia K2O (K2O)
Analisis evaluasi lahan ekonomi dilakukan di daerah-daerah contoh terpilih untuk melihat
aspek usahatani. Pemilihan daerah contoh terpilih berdasarkan letak geografis wilayah.
Wawacara dilakukan di lima kecamatan di Kabupaten Subang bagian Tengah. Wawancara
dilakukan pada 10 petani padi sawah, masing-masing kecamatan dua orang responden, dengan
menggunakan kuisioner yang telah disiapkan. Aspek yang diteliti untuk kelayakan usahatani
terutama mengenai pengeluaran/biaya dan pendapatan/hasil dari budidaya padi sawah.
Pengeluaran dan pendapatan yang dicatat dalam penelitian ini dilakukan pada musim tanam
Januari- Juni 2016. Hasil wawancara dicatat dan diolah selanjutnya untuk penilaian yang
diperlukan. Penghitungan evaluasi lahan secara ekonomi dilakukan dengan program Microsoft
Excel. Untuk mengukur nilai ekonomi dalam penelitian ini digunakan indikator Gross Margin
(GM) dan Benefit Cost Ratio (B/C Ratio).

14
1. Gross Margin (GM)
Gross Margin merupakan analisa pendapatan untuk menghitung total pendapatan dari
jumlah produksi yang dihasilkan dan penyesuaiannya dengan harga barang yang dihasilkan per
satuan dikurangi dengan biaya-biaya variabel atau dapat juga
dikatakan keuntungan kotor.
GM = () (1)

Analisis Ketersediaan Lahan Sawah


Analisis ketersediaan lahan yang diukur hanya berdasarkan prnggunaan lahan saat ini dan
kesesuaian lahan dan tidak mmpertimbangkan rencana tata ruang wilayah yang seharusnya
dipertimbangkan. Analisis dilakukan dengan cara menumpang tindihkan (overlay) antara peta
kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan. Hasil tumpang tindih dari kedua peta tersebut
adalah peta ketersediaan lahan. Dari sebelas tipe penggunaan lahan, yang dianggap tersedia
untuk padi sawah berasal dari penggunaan lahan semak belukar, tegalan, lahan kosong dan
kebun campuran. Lahan tersedia untuk pengembangan lahan sawah adalah lahan yang sesuai
untuk kegiatan budidaya tanaman padi sawah dengan jenis penggunaan lahan yang belum
produktif, sedangkan lahan eksisting sawah, tambak, kolam ikan, badan air, mangrove, lahan
terbangun, perkebunan termasuk pada kriteria tidak tersedia. Lahan yang sesuai dan tersedia
merupakan lahan yang potensial untuk pengembangan komoditas unggulan yaitu padi sawah.

15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Lahan Daerah Penelitian
Tanah
Tanah di Wilayah penelitian terbentuk dari bahan induk yang berbagai macam dan dijelaskan
dalam Tabel 4 beserta nama tanah sampai sub grup.
Tabel 4. Jenis bahan induk dan nama tanah
BAHAN INDUK ORDO SUB GREAT GRUP SUB GRUP
ORDO
Bahan endapan liat Inceptisol Aquept Tropoaquept Aeric Tropaquept
dan pasir Entisol Orthent Tropothent Typic Troporthent

Bahan endapan Inceptisol Aquept Tropoaquept Vertic Tropaquept


sungai dan marin
tertutup bahan
volkan

Bahan endapan liat Alfisol Udalf Paleudalf Typic Paleudalf


dan pasir marin
campur bahan
volkan batu pasir,
breksi tufan
Campuran batuan Ultisol Udults paleudult Typic Paleudult
sedimen (batu liat,
batu pasir dan
konglomerat
dengan endapan
volkanik(tufa,
breksi))
Endapan volkanik Inceptisol Udepts Dystropept Typic Dystropept
tua(breksi,lava,
tufa)
Endapan volkan Inceptisol Udepts Dystropept Oxic Dystropept
tua
Batu liat, napal Inceptisol Udepts Eutropepts Typic Eutropepts
bersisipan dengan
batu tuf
Endapan volkanik Inceptisol Andepts Dystrandept Typic Dystrandept
tua(breksi,lava
tua/tangkuban
perahu)
Tufa volkan diatas Inceptisol Udepts Dystropept Aquic Dystropept
batuan sedimen
Tufa volkan diatas Oksisol Udox Hapludox Rhodic Hapludox
batuan sedimen
Batuan dan tufa Inceptisol Udepts Dystropept Oxic Dystropept
volkan tua

16
Tanah di wilayah penelitian terbentuk dari berbagai macam bahan induk. Tanah di
wilayah penelitian memiliki lima ordo yang berbeda dengan bahan induk yang berbeda pula.
Empat ordo tersebut yaitu Inceptisol, Entisol, Alfisol, Oksisol dan Ultisol. Tanah pada daerah
penelitian umumnya terbentuk dari bahan endapan liat marin dan liat sungai yang
pembentukannya sangat dipengaruhi oleh air tanah yang dangkal dan air irigasi. Air irigasi yang
diberikan terus menerus di lahan sawah menyebabkan terjadinya reduksi di lapisan atas tanah.
Pada tanah yang selalu tergenang air akan terjadi proses gleisasi dan reduksi yang dicirikan oleh
warna tanah yang kelabu. Tanah Ultisol pada daerah penelitian dibentuk dari campuran batuan
sedimen dengan endapan volkanik dan tufa volkan diatas batuan sedimen. Biasanya tanah Ultisol
ini adalah tanah-tanah tua. Tanah Inceptisol dan Entisol terbentuk dari bahan endapan liat dan
pasir serta endapan sungai dan marin. Tanah ini biasanya merupakan tanah muda. Tanah Alfisol
terbentuk dari bahan endapan liat dan pasir marin campur bahan volkan batu pasir, breksi dan
tuf.
Lereng
Sebaran lereng pada Kabupaten Subang terdiri dari 4 kelas lereng yaitu lereng 0-3%
sampai 30-45%. Berdasarkan sebaran bentuk lahan dan lereng menunjukkan bahwa bentuk lahan
di wilayah penelitian didominasi oleh relief datar dengan kemiringan lereng 0-3% serta
berombak dengan kemiringan lereng 3-8%. Data sebaran bentuk lahan dan lereng dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran bentuk lahan dan lereng

Total luas Persentase


Relief SPT
lahan (%)
5,11,12,22,25,26,27,46,56,
Datar 19 676.3 47.3
58,60
Berombak 5,11,12,22,26,27,56,58,60 6 093.8 14.7
5,11,12,22,25,26,46,56,58,
Agak miring/bergelombang 10 038.9 24.1
60
5,11,12,22,25,26,46,56,58,
Berbukit 5 365.9 12.9
60

Agak curam 25 425 1.0


Total 41 600.1 100

17
Sebaran bentuk lahan dan lereng daerah penelitian yang disajikan dalam Tabel 5
didominasi oleh dataran rendah yang mempunyai lereng 0-3%. Relief datar mendomiasi wilayah
yang diteliti yaitu sekitar 47.3% atau 19 676 hektar dari total luas wilayah yang diteliti dengan
cakupan 11 satuan peta tanah tanah yang termasuk didalamnya. Lereng 8-15% berada pada
urutan kedua terbesar sebarannya pada wilayah penelitian ini dikarenakan sebagian dari
Kabupaten Subang dan sebagian dari Kecamatan Cibogo merupakan dataran tinggi sehingga
lereng dan relief bergelombang cukup mendominasi pada wilayah ini yaitu sebesar 10 038
hekatar atau 24.1% dari total keseluruhan wilayah yang diteliti. Wilayah dengan relief
berombak/landai dengan kemiringan lereng 3-8% memiliki cakupan wilayah 6 093.8 hektar atau
sekitar 14.7% dari total wilayah yang diteliti. Wilayah dengan relief berbukit memiliki 12.9%
atau 5 365.9 hektar dari keseluruhan luas wilayah yang diteliti. Ada sekitar 425.1 hektar lahan
yang agak curam pada daerah yang diteliti atau 1% dari total wilayah yang diteliti. Ini
dikarenakan wilayah yang diteliti memiliki kawasan dataran tinggi pada Kecamatan Subang dan
pada Kecamatan Cibogo.
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) sebaran lereng yang sesuai untuk
pengembangan tanaman padi sawah adalah lereng 0-15% dengan bentuk datar sampai
bergelombang. Masalah fisik lahan untuk daerah yang tidak sesuai dapat diatasi dengan
teknologi , selama teknologi tersebut aman digunakan bagi lingkungan dan biaya yang masih
rasional, contohnya yaitu pembuatan teras. Untuk komditas jagung lereng yang cocok yaitu 0-8%
dengan bentuk lahan datar. Pada Gambar 4 dijelaskan peta sebaran lereng pada daerah yang
diteliti.

18
Gambar 4. Peta sebaran lereng pada daerah yang diteliti

Iklim
Iklim merupakan faktor fisik yang sulit dimodifikasi dan yang paling menentukan
keragaman penggunaan lahan. Unsur-unsur dalam iklim seperti hujan, suhu, angin, penyinaran
matahari, evaporasi, kelembaban dapat mempengaruhi ketersediaan hara bagi tanaman baik
secara langsung atau tidak langsung. Iklim di Kabupaten Subang bervariasi, dengan suhu di
daerah pegunungan antara 21-27 C dan daerah dataran atau pantai antara 30-33 C dengan
kelembaban berkisar antara 72-91%, serta mempunyai curah hujan berkisar antara 1 600-3 000
mm/tahun (BPMP, 2012). Curah hujan wilayah yang diteliti sekitar 2 300-2 500 mm/tahun. Iklim
di wilayah penelitian cocok
untuk lahan padi.
Satuan Peta Tanah
Sebaran satuan peta tanah disajikan pada Gambar 5, dan luasannya akan disajikan pada
Tabel 6. Wilayah Kabupaten Subang secara keseluruhan tersusun atas 78 SPT. Di wilayah
penelitian terdapat 11 SPT yang akan diteliti yang tersebar di Kecamatan Cibogo, Cipeudeuy,
Dawuan, Kalijati, dan kabupaten Subang. Legenda satuan lahan secara lengkap disajikan pada
lampiran. Gambar 5.

19
Gambar 5. Peta satuan tanah wilayah yang diteliti

Luasan satuan peta tanah


KODE LUAS KODE LUAS
NO
SPT ha % SPT ha %

11A 1 535.5 3.7 21 27A 15 0


11B 932.6 2.2 22 27B 14.2 0
11C 140.8 0.3 23 46A 36 0.1
11D 20.2 0.1 24 46C 724.9 1.7
12A 1 429.6 3.4 25 46D 52 0.1
12B 127.5 0.3 26 56A 7 190.2 17.3
12C 1 601.3 3.9 27 56B 2 969.5 7.1
12D 1.6 0 28 56C 341.2 0.8
22A 1 296 3.1 29 56D 98 0.2
22B 113.6 0.3 30 58A 3 042 7.3
22C 2 576.5 6.2 31 58B 1 122.8 2.7
22D 3 853.9 9.3 32 58C 58.6 0.1
25A 119.4 0.3 33 5A 2 175.9 5.2
25C 35.3 0.1 34 5B 124.9 0.3
25D 616.7 1.5 35 5C 1 169.2 2.8
425.1 1.0 36 5D 616.2 1.5
26A 1 091.8 2.6 37 60A 1 745 4.2

20
26B 375.7 0.9 38 60B 313.3 0.8
26C 1 534.9 3.7 39 60C 1 856.2 4.5
26D 81.1 0.2 40 60D 19.5 0.1

TOTAL 41 600.1 100.0

Sebaran satuan peta tanah disajikan pada Gambar 5, sedangkan luasannya dapat dilihat
pada Tabel 6. Wilayah Kabupaten Subang secara keseluruhan tersusun dari 78 SPT. Di Subang
bagian tengah yang menjadi lokasi penelitian ini, dijumpai 11 SPT dan didetilkan lagi dengan
lereng yang berbeda-beda menjadi 41 SPT yang tersebar di lima kecamatan yaitu kecamatan
Cipeundeuy, kecamatan Kalijati, kecamatan Subang, kecamatan Dawuan dan kecamatan Cibogo.
Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 5, dapat dilihat SPT dengan luasan terbesar berada pada SPT
56A sebesar 7 190.2 hekatar atau sekitar 17.3% dari total wilayah keseluruhan. Dengan bahan
induk tuff volkan diatas batuan sedimen dan dengan lereng 0-3%. Luasan terkecil berada pada
SPT 12D dengan luas 1 646 hektar atau sekitar 0% dari total luasan wilayah yang diteliti, berada
pada lereng yang berbukit(15-25%) dengan bahan induk endapan liat dan pasir marin campur
volkan.
Sifat fisik tanah
Data fisik tanah daerah penelitian dapat dilihat pada bentuk-bentuk fisik tanah seperti
Tekstur tanah menunjukkan perbandingan kasar halusnya suatu tanah, yaitu perbandingan pasir,
debu, liat serta partikel-partikel yang ukurannya lebih kecil daripada kerikil (Tan 1991). Di
daerah penelitian, umumnya tanah bertekstur klei (C) sampai liat berdebu (SiC). Tanah dengan
tekstur klei sampai liat berdebu umumnya berada jauh dari laut. Tanah dengan tekstur klei (C)
terdapat pada jenis tanah Paleudult, Dystropept, Hapludox dan Troporthent; Tekstur liat berdebu
(SiC) terdapat pada jenis tanah Tropaquept. Tekstur tanah sering berhubungan dengan
permeabilitas, drainase serta kesuburan tanah.
Di daerah penelitian, drainase tanah berkisar dari baik sampai buruk. Drainase tanah yaitu
hilangnya atau keluarnya air lebih dari tanah. Keadaan drainase tanah di suatu daerah tertentu
dapat mempengaruhi sirkulasi udara di dalam tanah, aktifitas mikroba, perkembangan akar
tanaman, serta reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi di dalam tanah. Tanah dengan drainase buruk
terdapat pada jenis tanah Aquic Dystropept dan Aeric Tropaquept; pori drainase terhambat
terdapat pada jenis tanah Aquic Dystropept, Rhodic Hapludox, Aeric Tropaquept; tanah dengan

21
drainase baik terdapat pada jenis tanah Typic Paleudult, Oxic Dystropept, Rhodic Hapludox,
Vertic Paleudult dn Typic Troporthent.
Permeabilitas tanah di daerah penelitian yaitu tergolong dari lambat sampai cepat.
Permeabilitas menunjukkan kemampuan tanah melalukan air pada keadaan jenuh. Permeabilitas
lambat terdapat pada jenis tanah Aquic Dystropept dan Aeric Tropaquept; permeabilitas agak
lambat terdapat pada jenis tanah Aquic Dystropept, Rhodic Hapludox, Aeric Tropaquept;
permeabilitas cepat terdapat pada jenis tanah Typic Paleudult, Oxic Dystropept, Rhodic
Hapludox, Vertic Paleudult dan Typic Troporthent.
Sifat Kimia Kesuburan Tanah
Data kimia kesuburan tanah daerah penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5. Penilaian
kesuburan tanah bertujuan untuk mengetahui kemampuan tanah secara aktual apabila diusahakan
untuk suatu usahatani. Peranan kesuburan tanah sebagai media pertumbuhan, dan merupakan
dasar yang harus dipertimbangkan dalam usaha untuk menerapkan manajemen dan teknologi
guna meningkatkan produktivitas tanah. Berdasarkan Lampiran 5, hasil penilaian sifat kimia
kesuburan tanah di daerah penelitian sebagai berikut: Tanah di daerah penelitian dari masam
sampai agak masam. Kemasaman (pH) tanah merupakan faktor penting untuk mengevaluasi
kesuburan tanah. Hal ini disebabkan pH sangat menentukan ketersediaan hara maupun keracunan
yang terjadi akibat kehadiran unsur tertentu. Tanah yang bereaksi masam berada pada jenis tanah
Paleudult, Dystropept, Hapludox, Troporthent dan Tropaquept; sedangkan tanah yang bereaksi
agak masam berada pada jenis tanah Dystropept dan Tropaquept. Tanah-tanah yang bereaksi
masam pada umumnya jauh dari pantai sedangkan tanah-tanah yang bereaksi alkalis berada pada
kawasan sekitar pantai.
KTK tanah di daerah penelitian bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi. Kapasitas
Tukar Kation (KTK) merupakan gambaran kemampuan permukaan koloid-koloid tanah untuk
mengadsorpsi berbagai kation dan proses pencucian. KTK sangat rendah terdapat pada tanah
Dystropept dan Hapludox; KTK tanah rendah terdapat pada jenis tanah Dystropept, Paleudult
dan Tropaquept; KTK tinggi berada pada tanah Troporthent, Dystropept dan Tropaquept.
Peningkatan KTK tanah akan menaikkan nilai kesuburan tanah. Kejenuhan basa di daerah
penelitian bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Kejenuhan basa (KB) adalah
perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan dengan jumlah semua kation (kation basa

22
dan kation asam) dalam kompleks jerapan tanah. Kejenuhan basa di daearah penelitian
didominasi dengan kejenuhan basa yang sangat tinggi namun beberapa daerah memiliki
kejenuhan basa yang sangat rendah sampai rendah.
4.2 Penggunaan Lahan Saat Ini
Peta yang digunakan dalam analisis penggunaan lahan yaitu peta penggunaan lahan
tahun 2014 dan di overlay dengan citra ikonos tahun 2010 untuk mendetilkannya. Citra
diinterpretasi penggunaan lahannya berdasarkan unsur unsur interpretasi citra yaitu warna
(rona), tekstur, asosiasi, bentuk, dan sebagainya (Lillesand et al. 2004). Hasil verifikasi lapang
menghasilkan tujuh kelas penggunaan lahan. Pada Gambar 5 dijabarkan penggunaan lahan apa
saja yang terdapat pada wilayah yang diteliti. Pada wilayah penelitian tujuh kelas penggunaan
lahan tersebut adalah hutan, lading/tegalan, perkebunan, permukiman, sawah, semak belukar,
dan sungai/danau. Hasil analisis penggunaan lahan saat ini berdasarkan luasnya disajikan pada
Tabel 7. Berdasarkan pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa sawah merupakan penggunaan lahan
yang dominan di Kabupaten Subang dengan luas sebesar 47,39% atau 50 081 ha dari luas lokasi
penelitian.
Dominasi penggunaan lahan di wilayah ini merupakan konsekuensi dari kebijakan
pemerintah yang menetapakan Kabupaten Subang sebagai lumbung padi terbesar ketiga di Jawa
Barat. Perkebunan merupakan luasan kedua terbesar di wilayah penelitian sebesar 43 530 ha atau
41,19%. Hal ini dikarenakan banyak perkebunan baik milik pemerintah atau milik swasta yang
mencakup di wilayah penelitian, misalnya PTPN VIII yang berada pada Kabupaten Subang dan
Cibogo yang ditanam kebun the serta perkebunan karet di wilayah Cipeundeuy, Kalijati dan
Dawuan. Selain karet dan kebun teh, perkebunan milik PTPN juga ditanam jagung. Komoditas
ini ditanam di wilayah Cibogo. Mayoritas bibit jagung di perkebunan ini memakai bibit dari PT
East West Seed. Hutan merupakan luasan ketiga terbesar di lokasi penelitian. Permukiman
memiliki luasan 677 ha atau sekitar 3,48% dari total wilayah penelitian. Permukiman di
Kabupaten Subang umumnya terpusat, dan tidak jarang ditemukan permukiman yang terpencar.
Kemudian ada penggunaan lahan ladang dan tegalan yang tersebar di wilayah penelitian yang
ditanami oleh berbagai macam komoditas pertanian contohnya jagung. Tidak semua tegalan di
wilayah penelitian ditanami oleh jagung, ada juga tegalan/ladang yang ditanami tanaman obat.
Mayoritas tegalan/ladang yang dibuat untuk komoditas pertanian merupakan milik warga dan
jumlahnya cukup kecil.

23
Gambar 6. Peta landuse wilayah yang diteliti
Tabel 7. Liputan lahan Subang bagian Tengah

Total luasan persentase


Penggunaan Lahan lahan (%)
Hutan 5 366.9 5.1
Ladang/Tegalan 2 637.4 2.5
Perkebunan 43 531 41.2
Permukiman 3 677.2 3.5
Sawah 50 081.6 47.4
Semak Belukar 0.4 0
Sungai/Danau/Waduk/Situ 380.6 0.4
Total 105 675.0 100.0

24
Analisis Kelas Kesesuaian Lahan Fisik dan Ekonomi

Hasil analisis kesesuaian lahan Sawah aktual disajikan pada Tabel 8 dan peta sebarannya
disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan hasil penilaian evaluasi kesesuaian lahan untuk padi
sawah di wilayah penelitian diperoleh kelas kesesuaiannya adalah S2 sampai S3 dengan luasan
lahan masing-masing 6 631.1 ha atau 15.9% dan 34 969 ha atau 84.1%. Faktor pembatasnya
adalah media perakaran, retensi hara, hara tersedia. Misalnya, pembatas pada media perakaran
yaitu tekstur tanah. Beberapa pembatas lain bisa diperbaiki dengan menambahkan beberapa input
kedalam lahan, contohnya seperti pemberian bahan organik. Pembatas kualitas retensi hara (f)
karena disebabkan C-organik yang rendah, pH tanah yang rendah, KTK tanah yang rendah dan
dapat diperbaiki dengan pemberian pupuk pada lahan. Kriteria kesesuaian lahan yang digunakan
dibedakan menjadi dua criteria yaitu sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah . Dalam hal analisis
kesesuaian lahan yang dipertimbangkan yaitu sifat kimia tanahnya namun sifat fisik tanahnya
tetap dipertimbangkan. Konsep ini diperkenalkan dalam Widiatmaka et al. (2013), untuk
mengakomodir dinamika pengelolaan lahan di tingkat petani melalui pemupukan atau perlakuan
lain, yang dalam waktu lama pasti ada perubahan dan tentu berpengaruh terhadap karakteristik
lahannya.
Hasil analisis kesesuaian lahan aktual pada lahan eksisting sawah menunjukkan bahwa
tingkat kesesuaian lahannya berkisar dari S2 (cukup sesuai) sampai S3(sesuai marjinal). Pada
lahan dengan kelas kesesuaian S2, kualitas lahan yang menjadi pembatas meliputi r (media
perakaran), retensi hara dan hara tersedia. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah
penelitian memiliki tekstur tanah klei dan ada beberapa wilayah yang memiliki drainase tanah
baik sampai buruk, pH tanah yang masam, kadar N total yang rendah, C-organik yang rendah
sampai kandungan P yang rendah. Pada lahan dengan kesesuaian S3, luas lahan yang menjadi
pembatas meliputi media perakaran karena drainase tanah yang buruk, lahan yang bertekstur klei
serta kedalaman efektif yang dangkal pada beberapa bagian di wilayah penelitian, retensi hara
disebabkan oleh pH yang rendah, KTK tanah, kejenuhan basa serta C-organik yang sangat
rendah pada beberapa wilayah penelitian, dan kualitas lahan n (hara tersedia) pembatas nya yaitu
total N danP yang rendah.

25
Tabel 8 Hasil analisis kesesuaian lahan fisik aktual padi sawah

Kelas Luas
No Kesesuaian Ha %
1 S2rfn 6 631.1 15.9
2 S3fn 10 598.7 25.5
3 S3rfn 11 863.8 28.5
4 S3rn 12 506.5 30.1
Jumlah 41 600.1 100

Gambar 7. Peta kelas kesesuaian lahan


Pada lahan yang mempunyai faktor pembatas, dapat dilakukan perbaikan yang disajikan
pada Tabel 9. Terhadap beberapa pembatas tidak dapat dilakukan perbaikan pada skala
usahatani, misalnya pembatas kualitas lahan media perakaran yang disebabkan karena tekstur
tanah. Beberapa pembatas lain dapat dilakukan usaha perbaikan. Pembatas kualitas lahan retensi
hara (f), karena disebabkan oleh C-organik yang rendah, dapat diperbaiki melalui pemberian
bahan organik. Pembatas kualitas yaitu lahan hara tersedia (n) dapat diperbaiki melalui
pemberian pupuk P atau pupuk K, sesuai dengan karakteristik lahan yang membatasi.Usaha
perbaikan tersebut dapat dinyatakan sebagai usaha intensifikasi lahan sawah. Dengan perbaikan,
beberapa kelas kesesuaian lahan dapat ditingkatkan dari S3 menjadi S2 atau dari S2 menjadi S1.

26
Tabel 9. Kesesuaian lahan aktual dan perbaikan yang bisa dilakukan
Kesesuaian Lahan SPT Perlakuan
S2rfn 11,12,27 Bahan Organik,
kapur, pupuk P,
pupuk K

S3fn 56,46 Bahan organik,


pupuk P, pupuk
K, pupuk N

S3rfn 22,58,26,60 Bahan organik,


kapur, pupuk P,
pupuk K

S3rn 25,5 Bahan organik,


kapur, pupuk P,
pupuk K
Kesesuaian lahan secara ekonomi dianalisis menggunakan data hasil wawancara kepada
petani padi sawah yang disajikan pada Tabel 10 dan petani pada Tabel 10. Untuk perhitungan
ekonomi, dari 5 kecamatan diambil perkecamatan dua orang yang mewakili di setiap
kecamatannya. Jumlah responden untuk analisis ekonomi sebanyak 10 responden, masing-
masing kecamatan diambil sebanyak dua responden.Analisis akan dilakukan dengan
mempertimbangkan hasil wawancara di lapang dengan harga yang berlaku dipasaran dan harga
baku dari pemerintah. Hal ini dilakukan karena seringkali petani tidak mengingat dengan pasti
harga barang saat pembelian. Sesuai dengan hasil wawancara dengan petani, perhitungan dirata-
ratakan sebagai hasil akhir dari nilai usahatani padi sawah di Kabupaten Subang bagian utara.
Hasil perhitungan rata-rata disajikan pada yang kemudian menjadi dasar perhitungan untuk
analisis ekonomi pada Tabel 10.
Harga
Uraian Volume Satuan Jumlah (Rp)
(Rp)
Sarana Produksi
Benih / Bibit 29 kg 12 600 365 400
Pupuk
(Urea) 207 kg 1 940 401 580
(SP 36) 190 kg 2 305 437 950
(KCl) 118 kg 3 000 354 000
Phonska 84 kg 1 135 95 340
Pestisida Paket 1 560 000

27
A 3 214 270
Tenaga Kerja
Pengolahan Tanah/Persiapan

Traktor
Tenaga Mekanisasi 850 000 850 000
Borongan
Tanam
Tanam
Borongan 951 000 951 000
Penyiangan 5 HOK 54 000 270 000
Pemupukan dan
8 HOK 54 000 432 000
Borongan mesin
902 000
perontok
3 405 000
+B 6 619 270
Lain
1 Ha 211 000 211 000
211 000
+B+C 6 830 270

Produksi (TBP) 1 Ha 6 830 270


Produksi (TP) 5 950 Kg 4 400 26 180 000
Produksi (NTP) 26 180 000
Usahatani (Gross
(TP - TBP) 19 349 730
3.8
untuk kelas S1
6608 kg 4400 29 075 200
22 244 930
4.3
anjutan
untuk kelas S2
4956 kg 4400 21 806 400
14 976 130
3.2
untuk kelas S3
3 304 kg 4 400 14 537 600
7 707 330
2.1
untuk kelas N
2 065 kg 4 400 9 086 000
2 255 730
1.3

28
Analisis Ketersediaan Lahan untuk Perluasan Sawah
Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah
Indramayu dan Karawang. Menurut BPS tahun 2014, Kabupaten Subang memiliki sawah seluas
84 928 hektar atau sekitar 41.4% dari total luas wilayah Kabupaten Subang. Hasil analisis
ketersediaan lahan disajikan pada Tabel 11 dan pada Gambar 8. Luas lahan dilokasi penelitian
Luas lahan sawah di lokasi penelitian sebesar 50 081 ha atau 47.3 % dari luas total wilayah
penelitian. Sedangkan luas lahan perkebunan sebesar 43 530 ha atau 41.2 % dari total luas lokasi
penelitian.
Lahan pertanian selain sawah tersebut, yang sesuai untuk pertanian padi sawah adalah 2
637 ha sehingga lahan tersebut potensial sebagai lahan cadangan padi sawah. Hasil analisis
tersebut berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2014. Dengan perkembangan lahan terbangun
untuk permukiman dan industri yang pesat, luas lahan potensial tersedia tersebut dapat
berkurang. Pada kawasan pertanian, lahan tersedia dapat berupa semak belukar, hutan sekunder,
dan padang alangalang/ rumput (Mulyani et al., 2011). Hasil analisis ketersediaan lahan di
Kabupaten Subang bagian tengah, lahan seluas 1 922 ha sesuai dan tersedia untuk perluasan padi
sawah. Luasan tersebut berasal dari semak belukar sekitar 0.4 ha atau 0,01%, ladang 1 922.5 ha
atau 99.9% dari luasan lahan tersedia. Sedangkan luasan lahan 104 862 ha terdapat lahan sawah
eksisting dan penggunaan lahan lainnya yang tidak tersedia untuk pertanian padi sawah.
Tabel 11. Lahan sesuai dan tersedia untuk perluasan padi sawah
Penggunaan Luas
no Ketersediaan
Lahan Ha %
1 Semak Belukar Tersedia 0.4 0
2 Ladang Tersedia 1 922.5 1.8
Luas Lahan Tersedia 1 922.9 1.8
3 Hutan Tidak tersedia 4 546.4 4.3
4 Perkebunan Tidak tersedia 41 530.9 39.3
5 Permukiman Tidak tersedia 4 477.2 4.2
6 Sungai/Danau/Waduk/Situ 380.6 0.4
Luas Lahan Tidak Tersedia 54 780.8 51.8
Eksisting
7 Sawah Tidak tersedia 50 081.6 47.4

29
Gambar 8. Penggunaan lahan sesuai dan tersedia untuk pertanian padi Sawah

30
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Di daerah penelitian terdapat 11 satuan peta tanah, yang tanah nya diklasifikasikan
menurut Soil Taxonomy termasuk ke dalam ordo Inceptisol, Entisol, Alfisol, Ultisol dan Oksisol.
Hasil intrepetasi citra Ikonos yang didukung dengan verifikasi lapang menghasilkan tujuh kelas
penggunaan lahan yaitu hutan, lading/tegalan, perkebunan, permukiman, sawah, semak belukar
dan badan air. Sawah merupakan penggunaan lahan yang dominan di wilayah penelitian dengan
luasan 50 081 ha atau 47.39% dari total luas wilayah penelitian. Dengan kondisi tersebut turut
mendukung Kabupaten Subang sebagai kontributor padi terbesar ketiga di Jawa Barat serta turut
mendukung pasokan panen di di wilayah utara Kabupaten Subang. Wilayah penelitian memiliki
kelas kesesuaian lahan yang dominan untuk padi sawah dengan tingkat kesesuaian dari S2
(cukup sesuai) sampai S3 (sesuai marjinal). Evaluasi lahan kualitatif fisik dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan menunjukkan beberapa pembatas utama yaitu tektur,
drainase, kadar C-organik yang rendah serta kandugan KTK, N total dan P yang rendah dan
sebagian pH tanah yang rendah. Analisis dengan mempertimbangkan keseluruhan karakteristik
lahan menekankanperlunya pemberian perlakuan bersifat spesifik lokasi sesuai dengan factor
pembatasnya. Perlakuan pemberian bahan organik, pemberian pupuk P dan pupuk K serta kapur
pada satuan lahan yang spesifik untuk peningkatan produksi.
Hasil analisis kesesuaian lahan ekonomi menujukkan tanaman padi masih
menguntungkan untuk padi sawah, hal ini ditujukkan oleh nilai-nilai Gross Margin mapun B/C
ratio >1. Keuntungan akan lebih tinggi jika lahan dapat ditingkatkan sesuai dengan lahan
potensialnya, dari S3 menjadi S2 begitupun dari S2 menjadi S1 Hasil pemetaan kesesuaian lahan
fisik ekonomi dapat dijadikan sebagai masukan model sistem produksi dan model perencanaan
tataguna lahan. Berdasarkan analisis ketersediaan lahan, 1 922 ha atau 1.8% dari luas wilayah
penelitian berpotensi (sesuai) untuk perluasan pertanian padi sawah. Lahan yangtersedia berasal
dari tegalan dan semak belukar, hasil luasan lahan yang tersedia tersebut dapat digunakan untuk
pencetakan sawah baru.

31
5.2 Saran
Jika keuntungan usahatani yang diutamakan maka kegiatan budidaya padi sawah di
Kabupaten Subang dinilai masih menguntungkan, namun pengelolaan tanah di wilayah
Kabupaten Subang harus ditingkatkan terutma pemberian bahan organik. Dari hasil penelitian
salah satu faktor pembatas utama yaitu kandungan bahan organik di dalam tanah, serta media
perakaran yang diakibatkan oleh tekstur tanah klei. Pemberian pupuk sesuai dengan dosis juga
perlu dilakukan, serta adanya sosialisasitentang pemahaman multifungsi lahan sawah sehingga
masyarakat bersama pemerintah dapat menekan laju konversi sawah yang terus meningkat.

32
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisus.
Agus F, Irawan B. 2006. Konversi lahan pertanian sebagai suatu ancaman
terhadap ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. J. Penel. Pengemb.
Pert. 25(3): 101-121.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.
[BBSDLP] Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 1990. Penelitian Kesesuaian
Lahan untuk Intensifikasi Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat.
Puslitannak Bogor.
[BPMP] Badan Penanaman Modal dan Perijinan. 2012. [Internet]. [diunduh 11
maret 2016]. Tersedia pada: http//bpmp.subang.go.id/artikel/22/Topografi-
Iklim-dan-Curah-Hujan.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Subang dalam Angka 2014. Subang
: Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang.
Campbell JB. 1996. Introduction to Remote Sensing. London : Taylor & Francis.
[FAO] Food and Agricultural Organisation. 1976. A framework for land
evaluation. Soils Bulletin 32, FAO, Rome. 72 p.
Hanafiah KA. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kohnke H. 1968. Soil Physics. New York : McGraw Hill.
Lillesand MT, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote Sensing and Image
Interpretation. 5th Ed. Hoboken: John Wiley and Sons.
Mallingreau JP and Rosalia, 1981. Land use/Land Cover Classification in
Indonesia. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Murcharke PC. 1990. Map Use Reading, Analysis and Interpretation, J.P.,
Publication Medison, Wisconsin.
Rayes L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito.
Suparyono dan A Setyono. 1993. Padi. Jakarta : Penebar Swadaya.

33

Anda mungkin juga menyukai