Anda di halaman 1dari 50

Referat

OTITIS MEDIA KRONIK

Oleh:
Nigasot Nur Nadya, S.Ked (04011181320073)
Abdiaman Putra Dawolo, S.Ked (04011181320075)
Fania Rizkyani Sariza, S.Ked (04011181320098)

Pembimbing:
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp T.H.T.K.L(K), FICS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul : Otitis Media Kronik

Disusun oleh : Nigasot Nur Nadya, S.Ked (04011181320073)


Abdiaman Putra Dawolo, S.Ked (04011181320075)
Fania Rizkyani Sariza, S.Ked (04011181320098)

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 6 Maret 2017 9 April 2017.

Palembang, Maret 2017


Pembimbing

dr. Hj. Abla Ghanie, Sp T.H.T.K.L(K), FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Otitis
Media Kronik untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan
THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj.
Abla Ghanie, Sp T.H.T.K.L (K), FICS, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Maret 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................... i


Halaman Pengesahan .......................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3


2.1. Anatomi Telinga .......................................................................................... 3
2.2. Fisiologi Pendengaran ................................................................................. 7
2.3. Definisi OMK .............................................................................................. 7
2.4. Klasifikasi OMK .......................................................................................... 8
2.5. Epidemiologi OMK ..................................................................................... 12
2.6. Etiologi OMK .............................................................................................. 12
2.7. Patogenesis OMK ........................................................................................ 15
2.8. Patologi OMK .............................................................................................. 16
2.9. Tanda Klinis OMK ...................................................................................... 17
2.10. Pemeriksaan Penunjang OMK .................................................................. 20
2.11. Penatalaksanaan OMK .............................................................................. 21
2.12. Komplikasi OMK ...................................................................................... 28

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 45

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Di dalam
telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun atas maleus, inkus,
dan stapes dari luar ke dalam. Selain itu tuba eustachius juga termasuk dalam telinga
tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga.1
Kelainan yang didapat pada telinga luar, tengah, dan dalam berbeda-beda. Pada
telinga tengah, dapat ditemukan kelainan berupa gangguan fungsi tuba eustachius,
barotrauma, otitis media, serta otosklerosis.1
Otitis media merupakan peradangan sebagian besar atau seluruh mukosa
telinga tengah, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis
media supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing golongan mempunyai
bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut dan otitis media supuratif
kronik. Begitu pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut dan
otitis media serosa kronik. Selain itu terdapat pula otitis media spesifik, seperti otitis
media tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media lainnya ialah otitis media
adhesiva.1,2
Otitis media kronik (OMK) merupakan infeksi kronis di telinga tengah dengan
perforasi pada membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah (otorea)
terus menerus atau hilang timbul. OMK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu OMK tipe
aman atau benigna dan tipe berbahaya atau maligna. Pada OMK tipe aman tidak
terdapat kolesteatoma, sedangkan pada OMK tipe berbahaya terdapat kolesteatoma.
OMK biasanya diikuti dengan gangguan pendengaran.1,2
Di Indonesia, sehari-hari OMK biasa disebut congek. Kejadian OMK, dengan
atau tanpa komplikasi, merupakan penyakit telinga umum di negara-negara
berkembang. Beban dunia akibat OMK melibatkan 65-330 juta orang dengan telinga
berair. Menurut survei yang dilakukan pada tujuh provinsi di Indonesia pada tahun
1996 ditemukan prevalensi otitis media supuratif kronis sebesar 3% dari penduduk
Indonesia. Insiden OMK tersebut bervariasi di setiap negara. Secara umum, insiden
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Kehidupan sosial ekonomi yang
rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan

1
faktor risiko yang menjadi dasar peningkatan prevalensi OMK di negara
berkembang.2
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene buruk.
Gejala otitis media kronis antara lain otorea yang bersifat purulen atau mukoid,
terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga dan vertigo.1
Referat ini akan membahas mengenai otitis media kronik (OMK) dengan
tujuan memberikan informasi mengenai OMK agar dapat menegakkan diagnosis dan
tatalaksana penyakit ini dengan benar sesuai kompetensi dokter umum.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga


Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah atau cavum timpani, dan
telinga dalam atau labyrinth. Telinga dalam berisi organ pendengaran dan
keseimbangan. Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus acusticus externus.
Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran
udara. Auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit.
auricula mempunyai otot intrinsik dan ekstrinsik, keduanya dipersarafi oleh
N.facialis. Meatus acusticus externus adalah tabung berkelok yang
menghubungkan auricula dengan membrana tympani. MAE berfungsi
menghantarkan gelombang suara dari auricula ke membrana tympani. Rangka
sepertiga bagian luar meatus adalah cartilago elastis, dan dua pertiga bagian
dalam adalah tulang, yang dibentuk oleh lempeng tympani. Meatus dilapisi oleh
kulit, dan sepertiga bagian luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebacea, dan
glandula ceruminosa.3
Telinga tengah (cavum tympani) adalah ruang berisi udara di dalam pars
petrosa osis temporalis yang dilapisi oleh membrana mucosa. Ruang ini berisi
tulang-tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran tympani
(gendang telinga) ke perilympha telinga dalam. Cavum tympani berbentuk celah
sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan
bidang membran tympani. Di depan ruang ini berhubungan dengan nasopharynx
dengan antrum mastoideum.3
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,
dinding lateral, dan dinding media. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang
(tegmen tympani), yang merupakan bagian pars petrosa osis temporalis.
Lempeng ini memisahkan cavum tympani dari meninges dan lobus temporalis
otak didalam fossa cranii media. Lantai dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang
mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa.
Lempeng ini memisahkan cavum tympani dari bulbus superior vena jugularis
interna. Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang

3
memisahkan cavum tympani dari arteri carotis interna. Pada bagian atas dinding
anterior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih besar dan
terletak lebih bawah menuju tuba auditiva, dan terletak lebih atas dan lebih kecil
masuk ke dalam saluran untuk m. tensor tympani. Septum tulang tipis, yang
memisahkan saluran-saluran ini diperpanjangkan ke belakang pada dinding
medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat. Di bagian atas dinding
posterior terdapat sebuah lubang yang tidak beraturan, yaitu aditus ad antrum.
Dibawah terdapat penojolan yang berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut
pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar tendo m. stapedius. Sebagian besar
dinding lateral dibentuk oleh membran tympani.3
Membrana tympani adalah membrana fibrosa tipis yang bewarna kelabu
mutiara. Membrana ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan dan lateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil
(umbo), yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membrana terkena
cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan kerucut cahaya, yang
memancarkan ke anterior dan inferior dari umbo. Membrana tympani terbentuk
bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm. Pinggirnya tebal dan melekat di dalam
alur pada tulang. Alur yaiu sulcus tympanicus di bagian atas terbentuk incisura.
Dari sisi-sisi incisura ini berjalan 2 plica (plica mallearis anterior dan posterior),
yang menuju ke processus lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membrana
tympani di batasi plica-plica lemas (pars flaccida). Bagian yang tegang (pars
tensa). Manubrium mallei diletakan di bawah pada permukaan dalam membrana
tympani oleh membrana mucosa. Membrana tympani sangat peka terhadap nyeri
dan permukaan luasnya dipersarafi oleh n. auriculotemporalis dan ramus
auricularis n. vagus.3
Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian
terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat (promontorium), yang
disebabkan oleh lengkungan pertama cochlea yang ada dibawahnya. Di atas dan
belakang promontorium terdapat fenestra vestibuli, yang berbentuk lonjong dan
ditutupi oleh basis stapedis. Pada sisi medial fenestra terdapat perilympha scala
vestibuli telinga dalam. Dibawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra
cochleae, yang terbentuk bulat dan ditutupi membrana tympani secundaria.

4
Processus cochleariformis terdapat di ujung posterior melengkung ke atas dan
membentuk takik. Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di
atas promontorium dan fenestra vestibuli (prominentia canalis nervi facialis).
Sesampainya di dinding posterior, promentia ini melengkung ke bawah di
belakang pyramis.3
Ossicula auditus (tulang-tulang pendengaran) adalah malleus, incus dan
stapes. Malleus adalah tulang pendengaran terbesar dan terdiri dari atas caput,
collum, processus logum atau manubrium, sebuah processus anterior dan lateral.
Caput mallei terbentuk bulat dan bersendi di posterior dengan incus. Collum
mallei adalah bagian sempit dibawah caput. Manubrium mallei berjalan ke bawah
dan belakang dan melekat dengan erat pada permukaan medial membrana
tympani. Processus anterior adalah tonjolan tulang kecil yang dihubungkan
dengan dinding anterior cavum tympani oleh sebuah ligamen. Processus lateral
menonjol ke lateral dan melekat pada plica mallearis anterior dan posterior
membrana tympani. Incus mempunyai corpus yang besar dan 2 curs (curs
longum dan curs breve). Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan dan
sebuah basis. Caput stapedis kecil dan bersendi dengan curs longum incidus.
Collum berukuran sempit dan tempat insersio m. stapedius. Kedua lengan
berjalan divergen dari collum dan melekat pada basis yang lonjong. Pinggir basis
dileakkan pada pinggir fenestra vestibuli oleh sebuah cincin fibrosa (ligamentum
annulare).3
Tuba auditivia terbentang dari dinding anterior cavum tympani ke bawah,
depan, dan medial sampai ke nasopharynx. Sepertiga bagian posterior adalah
tulang dan dua pertiga anterior adalah cartilago. Tuba berhubungan dengan
nasopharynx dengan berjalan melalui pinggir atas m. constrictor pharynges
superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum
tympani dengan nasopharynx. Antrum mastoideum terletak dibelakang cavum
tympani didalam pars petrosa osis temporalis, dan berhubungan dengan telinga
tengah melalui aditus. Diameter aditus lebih kurang 1 cm. Cellulae mastoidae
adalah suatu seri rongga yang saling berhubungan di dalam processus mastoideus,
yang diatasnya berhubungan dengan antrum dan cavum tympani.3

5
Telinga dalam (labyrinthus) terletak didalam pars petrosa osis temporalis,
medial terhadap telinga tengah, dan terdiri dari labyrinthus osseus, tersusun dari
sejumlah rongga didalam tulang, dan labyrinthus membranaceus, tersusun dari
sejumlah saccus dan ductus membranosa didalam labyrinthus osseus.
Labyrinthus osseus terdiri dari tiga bagian, vestibulum, canalis semicircularis dan
cochlea. Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak di dalam substantia
compacta tulang dan dilapisi oleh endosteum serta berisi cairan bening
(perilympha) yang didalamnya terdapat labyrinthus membranaceus. Vestibulum
adalah bagian tengah labyrinthus osseus, terletak posterior terhadap cochlea dan
anterior terhadap canalis semicircularis. Canalis semicircularis terdapat tiga, yaitu
canalis semicircularis superior, posterior, dan lateral bermuara ke bagian
posterior vestibulum. Cochlea berbentuk seperti rumah siput, dan bermuara ke
dalam bagian anterior vestibulum.3
Labyrinthus membranaceus terletak di labyrinthus osseus dan berisi
endolympha dan dikelilingi oleh perilympha. Labyrinthus membranaceus terdiri
dari utriculus dan sacculus, yang terdapat didalam vestibulum osseus. Utriculus
adalah terbesar dari dua buah saccus vestibuli yang ada dan dihubungkan tidak
langsung dengan sacculus dan ductus endolymphaticus oleh ductus
utriculosaccularis. Sacculus terbentuk bulat dan berhubungan dengan utriculus.3

Gambar 1. Anatomi telinga4

6
2.2. Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang
telinga dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar.
Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu
sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale)
yang juga menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan
melalui membran Reissener yang mendorong endolimf dan membran basal
kearah bawah, perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap
(forame rotundum) terdorong ke arah luar.5
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan
mendorong membran basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan
menggerakkan perilimfe pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel
rambut berkelok-kelok, dan dengan berubahnya membran basal ujung sel
rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan
ion Kalium dan ion Natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang-
cabang n.VII, yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik
pendengaran diotak ( area 39-40) melalui saraf pusat yang ada dilobus
temporalis.5

2.3. Definisi OMK


Otitis media kronis (OMK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP)
atau dikenali sebagai congek di Indonesia. OMK ialah infeksi kronis di telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga
tengah terus menerus (persisten) atau hilang timbul (rekuren). Sekret mungkin
encer atau kental, bening atau berupa nanah. Angka kejadian OMK tinggi di
negara berkembang disebabkan sosio-ekonomi yang rendah, nutrisi buruk dan
kurangnya pengetahuan tentang kesehatan. OMK dapat diklasifikasi kepada dua
jenis tipe, yaitu tipe tubotimpanal (tipe jinak) dan tipe atikoantral (tipe ganas).
Perbedaan tipe klinik OMK dibuat berdasarkan perbedaan anatomi yaitu pars
tensa atau pars plasida membran timpani.1,6,7,8

7
2.4. Klasifikasi OMK
OMK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu5:
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars
tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba
eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi
yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, di samping
itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa,
serta migrasi sekunder dari epitel skuamous.5 Secara klinis penyakit
tubotimpani terbagi atas:
a. Penyakit aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya
didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius,
atau setelah berenang di mana kuman masuk melalui liang telinga luar.
Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi
bervariasi dan jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luas.
Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang
luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan
konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada
mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana
kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran
posterosuperior.5
b. Penyakit tidak aktif
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering
dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa
tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,
and atau suatu rasa penuh dalam telinga.5

Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani:


1) Infeksi saluran napas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis
kronis

8
2) Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis
3) Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat
yang terkontaminasi
4) Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
5) Otitis media supuratif akut yang berulang5

2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang


Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit
atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan
terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai
menghasilkan kolesteatom.5
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis.
Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu kolesteatom kongenital dan
kolesteatom didapat.5
a. Kolesteatom kongenital.
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut
Derlaki dan Clemis (1965) adalah:
1) Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2) Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3) Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari
epitel undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama
perkembangan.5

Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah


atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan
fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.5

b. Kolesteatom didapat.
1) Primary acquired cholesteatoma.
Kolesteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida. 5
2) Secondary acquired cholesteatoma.

9
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan
peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa.
Khasnya perforasi marginal pada bagian posterosuperior.
Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang masuk ke
kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong
retraksi membran timpani pars tensa.5

Banyak teori yang diajukan sebagai penyebab kolesteatom didapat


primer, tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukan
penyebab yang sebenarnya.5 Teori-teori itu antara lain :
1) Tekanan negatif dalam atik, menyebabkan invaginasi pars flasida dan
pembentukan kista.
2) Metaplasia mukosa telinga tengah dan atik akibat infeksi
3) Hiperplasia invasif diikuti terbentuknya kista dilapisan basal
epidermis pars flasida akibat iritasi oleh infeksi.
4) Sisa-sisa epidermis kongenital yang terdapat di daerah atik.
5) Hiperkeratosis invasif dari kulit liang telinga bagian dalam5

Ada beberapa teori yang mengatakan bagaimana epitel dapat


masuk kedalam kavum timpani. Pada umumnya kolesteatom terdapat
pada otitis media kronik dengan perforasi marginal.5 Teori itu adalah :
1) Epitel dari liang telinga masuk melalui perforasi kedalam kavum
timpani dan disini ia membentuk kolesteatom (migration teori
menurut Hartmann); epitel yang masuk menjadi nekrotis, terangkat
keatas. Dibawahnya timbul epitel baru. Inipun terangkat hingga
timbul epitel-epitel mati, merupakan lamel-lamel. Kolesteatom yang
terjadi ini dinamakan secondary acquired cholesteatoma.
2) Embrional sudah ada pulau-pulau kecil dan ini yang akan menjadi
kolesteatom.
3) Mukosa dari kavum timpani mengadakan metaplasia oleh karena
infeksi (metaplasia teori menurut Wendt).

10
4) Ada pula kolesteatom yang letaknya pada pars plasida (attic
retraction cholesteatom). Oleh karena tuba tertutup terjadi retraksi
dari membran plasida, akibat pada tempat ini terjadi deskuamasi
epitel yang tidak lepas, akan tetapi bertumpuk disini. Lambat laun
epitel ini hancur dan menjadi kista. Kista ini tambah lama tambah
besar dan tumbuh terus kedalam kavum timpani dan membentuk
kolesteatom. Ini dinamakan primary acquired cholesteatom atau
genuines cholesteatom. Mula- mula belum timbul peradangan,
lambat laun dapat terjadi peradangan. Primary dan secondary
acquired cholesteatom ini dinamakan juga pseudo cholesteatoma,
oleh karena ada pula kongenital kolesteatom. Ini juga merupakan
suatu lubang dalam tenggorok terutama pada os temporal. Dalam
lubang ini terdapat lamel konsentris terdiri dari epitel yang dapat
juga menekan tulang sekitarnya. Beda kongenital kolesteatom, ini
tidak berhubungan dengan telinga dan tidak akan menimbulkan
infeksi.5

Bentuk perforasi membran timpani adalah:


1) Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior
dan postero-superior, kadang-kadang sub total.
2) Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi
dari anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar
digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-
superior berhubungan dengan kolesteatom
3) Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary
acquired cholesteatoma.5,9

11
2.5. Epidemiologi OMK
Prevalensi OMK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi
sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, higiene dan nutrisi yang
buruk.11 Otitis media kronis merupakan penyakit THT yang paling banyak di
negara sedang berkembang. Di negara maju seperti Inggris sekitar 0, 9% dan
di Israel hanya 0, 0039%. Di negara berkembang dan negara maju prevalensi
OMK berkisar antara 1-46%, dengan prevalensi tertinggi terjadi pada
populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi terendah terdapat pada
populasi di Amerika dan Inggeris kurang dari 1%.10,11
Menurut survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun
1996 ditemukan insidens Otitis Media Supuratif Kronik (atau yang oleh
awam sebagai congek) sebesar 3% dari penduduk Indonesia. Dengan kata
lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6, 6 juta
penderita OMK.11 Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran Depkes tahun 2012, penyebab terbanyak dari
morbiditas telinga adalah serumen prop (3,6%), dan OMK (3,1%) di samping
gangguan pendengaran Iainnya yaitu presbikusis (2,6%), ototoksisitas (0,3%),
tuli mendadak (0,2%) dan tuna rungu (0,1%).12 Prevalensi OMK di RS Dr
Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1989 sebesar 15, 21%. Di RS
Hasan Sadikin Bandung dilaporkan prevalensi OMK selama periode 1988
1990 sebesar 15,7% dan pada tahun 1991 dilaporkan prevelensi OMK sebesar
10,96%. Prevalensi penderita OMK di RS Dr Sardjito Yogyakarta pada tahun
1997 sebesar 8,2%.8,14

2.6. Etiologi OMK


Terjadi OMK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari
nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan
faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Downs
syndrome. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang
merupakan faktor insiden OMK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor host

12
yang berkaitan dengan insiden OMK yang relatif tinggi adalah defisiensi imun
sistemik. Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated
(seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi
telinga kronis. Penyebab OMK antara lain lingkungan, genetik, otitis media
sebelumnya, infeksi, infeksi saluran nafas atas, autoimun, alergi, dan gangguan
tuba eustachius. 5,7
Hubungan penderita OMK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMK dan sosioekonomi, di
mana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi
sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum,
diet, tempat tinggal yang padat.5,7
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah
insiden OMK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis
media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.5
Penyebab OMK lainnya adalah otitis media sebelumnya. Secara umum
dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan /
atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan
kronis.5,7
Selain lingkungan, genetik, dan pernah menderita otitis media sebelumnya,
infeksi juga dapat menyebabkan OMK. Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau
mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang
aktif menunjukan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme
yang terutama dijumpai adalah Gram - negatif, flora tipe - usus, dan beberapa
organisme lainnya.5,7
Infeksi saluran nafas atas juga dapat menyebabkan OMK. Banyak
penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada
dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.1,5,7

13
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar
terhadap otitis media kronis. Selain itu, penderita alergi mempunyai insiden
otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang menarik
adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes
telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti
kemungkinannya.5,7
Pada otitis kronis aktif, di mana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih
belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan
untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa
tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal. Beberapa
faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMK infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan
produksi sekret telinga purulen berlanjut, berlanjutnya obstruksi tuba eustachius
yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi, beberapa perforasi yang
besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel, dan pada
pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
diatas sisi medial dari membran timpani yang juga mencegah penutupan spontan
dari perforasi.5,7
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif
menjadi kronis majemuk, antara lain:5,7
1. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang.
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya
pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid. Hal ini dapat
disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi
atau timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten
dimastoid.

14
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau
perubahan mekanisme pertahanan tubuh.5,7

2.7. Patogenesis OMK


Patogensis OMK belum diketahui secara lengkap, tatapi dalam hal ini
merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang
sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi
sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga
tengah misal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai
keadaan inaktif dari otitis media kronis.5
Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku modern yang
umumnya telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa
terjadinya otitis media nekrotikans, terutama pada masa anak-anak,
menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut
berlalu, gendang telinga tetap berlubang, atau sembuh dengan membran yang
atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran
otitis atelektasis. Hipotesis ini mengabaikan beberapa kenyataan yang
menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain5:
1. Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap
membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya
ditandai oleh penebalan dan bukannya atrofi.
2. Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya
antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus
dalam 25 tahun terakhir. Dipihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak
berkurang dalam periode tersebut.
3. Pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut
pada permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan
bertambah secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun
kemudian setelah pasien menyadari adanya masalah. Anak-anak tidak
dibawa berobat sampai terjadi gangguan pendengaran yang ditemukan pada
pemeriksaan berkala disekolah atau merasa terganggu karena sekret yang
selalu keluar dari telinga.5

15
2.8. Patologi OMK
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan
dari pada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan
stadium dari pada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini
disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kekambuhan ini
ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan
jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah5:
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat
bervariasi mulai kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh
membrana dan terkenanya bagian-bagian dari anulus. Dalam proses
penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa kedalam
ketelinga tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat perforasi
saja atau dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang-kadang
perluasan lapisan tengah ini kedaerah atik mengakibatan pembentukan
kantong dan kolesteatom didapat sekunder. Kadang-kadang terjadi
pembentukan membrana timpani atrifik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat.
Membrana ini cepat rusak pada periode infeksi aktif.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan
tampak normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau
metaplasia mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi aktif, mukosa
menjadi tebal dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau
mukopurulen. Setelah pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid
menetap akibat disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga
merupakan penyebab terjadinya perubahan mukosa menetap Dalam
berjalannya waktu, kristal-kristal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus,
membentuk granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasilkan
granulasi pada membran mukosa dan infiltrasi sel datia pada cairan mukus
kolesterin.
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya
infeksi sebelumnya. Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami
nekrosis karena penyakit trombotik pada pembuluh darah mukosa yang

16
mendarahi inkus ini. Nekrosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes,
kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder kearah ke
dalam, sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat rusak. Proses ini bukan
disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan oleh terbentuknnya enzim
osteolitik atau kolagenase dalam jaringan ikat subepitel.
4. Mastoid. OMK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid
paling akhir terjadi antara 5 sampai 10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering
terhenti atau mundur oleh otitis media yang terjadi paa usia tersebut atau
lebih muda.Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami proses
sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi
lebih kecil dan pneumatisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar
antrum.5

2.9. Tanda Klinis OMK


Tanda-tanda klinis pada otitis media kronik adalah:
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan
encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan
oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMK
tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang
sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi
membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran napas atas
atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
Pada OMK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret
yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan
kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping
kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMK tipe ganas unsur mukoid
dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan
mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya

17
kolesteatoma yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa
nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.5
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma, dapat
menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai
kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai
tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaranmenghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga
tengah. Pada OMK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.5
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui foramen rotundum
atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya
labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat
menggambarkan sisa fungsi koklea.5
3. Nyeri telinga (otalgia)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMK keluhan nyeri dapat
karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,terpaparnya durameter
atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri
telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder.
Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.5
4. Vertigo

18
Vertigo pada penderita OMK merupakan gejala yang serius
lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya
fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang
timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau
pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena
perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam
labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi
akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius,
karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid
ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin
berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan
positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat
diteruskan melalui rongga telinga tengah.5

Tanda-tanda klinis OMK tipe maligna :


1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum
timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatoma)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatoma.5

2.10. Pemeriksaan Penunjang OMK


Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMK biasanya didapati tuli
konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya
ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas.5,12
Derajat ketulian nilai ambang pendengaran.12

19
Normal 10 dB - 26 dB
Tuli ringan 27 dB - 40 dB
Tuli sedang 41 dB - 55 dB
Tuli sedang berat 56 dB - 70 dB
Tuli berat 71 dB - 90 dB
Tuli total > 90 dB.

Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan


fungsi kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran
udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang
pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi
rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk
melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu12:
a. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari
15-20 dB
b. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli
konduktif 30-50 dB apabila disertai perforasi.
c. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran
yang masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
d. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun
keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.12

Pemeriksaan audiologi pada OMK harus dimulai oleh penilaian


pendengaran dengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri
tutur dengan masking adalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif
bilateral dan tuli campur.12

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan
audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang
tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan
mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah
atik memberi kesan kolesteatom.5,12

20
Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :
a. Proyeksi Schuller
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan
atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi
sinus lateral dan tegmen.12
b. Proyeksi Mayer atau Owen
Diambil dari arah dan anterior telinga tengah akan tampak
gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui
apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.12
c. Proyeksi Stenver
Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan
kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan
melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran.12,13
d. Proyeksi Chause III
Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan
atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena
kolesteatoma.5,12

3. Bakteriologi
Bakteri yang sering dijumpai pada OMK adalah Pseudomonas
aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus sp. Sedangkan bakteri pada
OMA adalah Streptokokus pneumoniae, Haemofillus influenza, dan
Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMK antara lain E.
coli, Difteroid sp, Klebsiella sp, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes
sp.5,6,13

2.11. Penatalaksanaan OMK


Terapi OMK memerlukan waktu lama dan harus berulang. Pengobatan
penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor
penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatoma,

21
maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat-obatan dapat digunakan untuk
mengontrol infeksi sebelum operasi.5
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, di
mana pengobatanannya dibagi atas konservatif dan pembedahan.5

1. OMK Benigna Tenang


Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan dianjurkan untuk tidak
mengorek telinga, mencegah air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi,
dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran napas
atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi
(miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta
gangguan pendengaran.5

2. OMK Benigna Aktif


Prinsip pengobatan OMK benigna aktif adalah :
a. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani (aural toilet)
Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai
untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan
media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. Pembersihan
kavum timpani dengan menggunakan cairan pencuci telinga berupa
larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Garam faal agar lingkungan bersifat
asam sehingga merupakan media yang buruk untuk pertumbuhan
kuman.5
b. Pemberian antibiotika:
- antibiotika/antimikroba topical
Setelah sekret berkurang, terapi dilanjutkan dengan
memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan
kortikosteroid, hal ini dikarenakan biasanya ada gangguan
vaskularisasi ditelinga tengah sehingga antibiotika oral sulit
mencapai sasaran optimal. Cara pemilihan antibiotika yang paling
baik adalah berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.

22
Preparat antibiotika topikal untuk infeksi telinga tersedia
dalam bentuk tetes telinga dan mengandung antibiotika tunggal atau
kombinasi, jika perlu ditambahkan kortikosteroid untuk mengatasi
manifestasi alergi lokal. Obat tetes yang dijual di pasaran saat ini
banyak mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab
itu, jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1-2 minggu atau
pada OMK yang sudah tenang.5
Antibiotika yang sering digunakan untuk OMK adalah:
1) Kloramfenikol
Losin et. al (1983) melakukan penelitian pada 30 penderita
OMK jinak aktif mendapatkan bahwa sensistifitas kloramfenikol
terhadap masing-masing kuman adalah sebagai berikut:
Bacteroides sp. (90%), Proteus sp. (73,33%), Bacillus sp.
(62,23%), Staphylococcus sp. (60%), dan Pseudomonas sp.
(14,23%).
2) Polimiksin B atau Polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif,
Pseudomonas, E.coli, Klebsiella, dan Enterobacter tetapi tidak
efektif (resisten) terhadap kuman Gram positif seperti Proteus
dan B. Fragilis, dan toksik terhadap ginjal dan susunan saraf.
3) Gentamisin
Gentamisisn adalah antibiotika derivat aminoglikosida
dengan spektrum yang luas dan aktif untuk melawan organisme
Gram positif dan negatif. Saah satu bahaya dari pemberian
gentamisin tetes telinga adalah kemungkinan terjadinya
kerusakan telinga dalam. Telah diketahui bahwa pemberian
gentamisin secara sistemik akan menyebabkan efek ototoksik.
4) Ofloksasin
Ofloksasin mempunyai aktifitas yang kuat untuk bakteri
Gram negatif dan positif dan bekerja dengan cara menghambat
enzim DNA gyrase. Pada OMK dengan perforasi membrana
timpani, konsentrasi tinggi ofloksasin telah ditemukan 30 menit

23
setelah pemberian solutio ofloksasin 0,3%. Berdasarkan
penelitian, pemakain tetes siprofloksasin lebih berhasil dan lebih
murah dibandingkan tetes kloramfenikol, dan tidak dijumpai
efek ototoksik. Keuntungan lainnya ofloksasin dapat diberikan
secara tunggal tanpa antibiotik oral.5

- antibiotika sistemik
Secara oral, dapat diberikan antibiotika golongan ampisilin atau
eritromisin sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang
dicurigai penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin, dapat
diberikan ampisilin-asam klavulanat. Pemberian antibiotika tidak
lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret.5
Terapi antibiotika sistemik yang dianjurkan pada OMK adalah:
1) Pseudomonas: aminogliosida + karbenisilin
2) P. Mirabilis: ampisilin atau sefalosporin
3) P.morganii, P.vulgaris: aminoglikosida +karbenisilin
4) Klebsiella: sefalosporin atau aminoglikosida
5) E.coli: ampisilin atau sefalosporin
6) S.aureus: penisiln, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
7) Streptokokus: penisilin, sefalosforin, ertiromisin,
sminoglikosida
8) B. Fragilis: klindamisin.5

Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman


anaerob. Metronidazol dapat diberikan pada OMK aktif dosis 400
mg 3 kali sehari, selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4
minggu. Antibiotika golongan kuinolon tidak dianjurkan untuk anak
berusia dibawah 16 tahun.5
Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah
diobservasi selama 2 bulan maka idealnya dilakukan miringoplasti
atau timpanoplasti yang bertujuan untuk menghentikan infeksi secara

24
permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah
terjadinya komplikasi serta memperbaiki pendengaran.5
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan
sekret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila
sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan
garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media
yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakan bahwa
tempat infeksi pada OMK sulit dicapai oleh antibiotika topikal.
Djaafar dan Gitowirjono menggunakan antibiotik topikal sesudah
irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus
dengan jaringan patologis yang menetap pada telinga tengah dan
kavum mastoid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan
agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik
yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari
1minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah dengan
berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.5

3. OMK Maligna
Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi.
Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi
sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal,
maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian
dilakukan mastoidektomi.
Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik yang dapat dilakukan pada
OMK dengan mastoiditis kronis baik tipe aman atau bahaya, antara lain.5,6
1) Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
Operasi ini dilakukan pada OMK tipe aman yang dengan
pengobatan konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini
dilakukan pembersihan ruangan mastoid dari jaringan patologik.
Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada
operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.1,5,6

25
2) Mastoidektomi Radikal
Operasi ini dilakukan pada OMK tipe bahaya dengan infeksi atau
kolesteatoma yang sudah meluas.
Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan
dari semua jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan
telinga tengah dengan rongga mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga
daerah anatomi tersebut menjadi satu ruangan.1,5
Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran
tidak diperbaiki.1
Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang
seumur hidupnya. Pasien harus datang teratur untuk kontrol supaya tidak
terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat
menghambat pendidikan atau karier pasien.1,5
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada
rongga operasi serta membuat meatoplast yang lebar, sehingga rongga
operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus
telinga luar menjadi lebar.1
3) Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi Bondy)
Operasi ini dilakukan pada OMSK dengan kolesteatoma di daerah
atik, tetapi belum merusak kavum timpani. Seluruh rongga mastoid
dibersihkan dan dinding posterior liang telinga direndahkan.
Tujuan operasi ini ialah untuk membuang semua jaringan patologik
dari rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran yang masih ada.1
4) Miringoplasti
Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan,
dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe I. Rekonstruksi hanya
dilakukan pada membran timpani.1
Tujuan operasi ini ialah untuk mencegah berulangnya infeksi
telinga tengah pada OMSK tipe aman dengan perforasi yang menetap.
Operasi ini dilakukan pada OMK tipe aman yang sudah tenang dengan
ketulian ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi membran timpani.1

26
5) Timpanoplasti
Operasi ini dikerjakan pada OMK tipe aman dengan kerusakan
yang lebih berat atau OMK tipe aman yang tidak bisa ditenangkan dengan
pengobatan medika mentosa. Tujuan operasi ialah menyembuhkan
penyakit serta memperbaiki pendengaran.1,5
Pada operasi ini selain rekonstruksi membran timpani sering kali
harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran. Berdasarkan
bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukanmaka dikenal
istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, dan V.1,5
Sebelum rekonstruksi dikerjakan lebih dahulu dilakukan
eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk
membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang pula operasi ini terpaksa
dilakukan dua tahap dengan jarak waktu 6 sampai 12 bulan.1
Tabel 1. Jenis-jenis timpanoplasti.5

6) Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)


Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang
dikerjakan pada kasus OMK tipe bahaya atau OMK tipe aman dengan
jaringan granulasi yang luas.5
Tujuan operasi untuk menyembuhkanmenyembuhkan penyakit
serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi
radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga).5
Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi kavum
timpani, dikerjakan melalui dua jalan (combined approach) yaitu melalui

27
liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi
posterior. Teknik operasi ini pada OMK tipe bahaya belum disepakati
oleh para ahli, oleh karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma
kembali.5,6

Gambar 2. Pedoman Tatalaksana OMK1

2.12. Komplikasi OMK


Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan
telinga tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi
menjalar ke struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama adalah mukosa kavum
timpani yang menyerupai mukosa saluran nafas yang mampu melokalisasi

28
dan mengatasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu
dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka
struktur lunak di sekitarnya akan terkena.1
Runtuhnya periosteum akan menyebabkan terjadinya abses sub-
periosteal. Tetapi bila infeksi mengarah ke tulang temporal, maka akan
menyebabkan paresis fasialis atau labirintis. Bila ke arah kranial, akan
menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis atau
abses otak. Pada kebanyakan kasus, bila sawar tulang terlampaui, suatu
dinding pertahanan ketiga, yaitu jaringan granulasi akan terbentuk.1
Pada kasus akut atau eksaserbasi akut, penyebaran biasanya melalui
osteotromboflebitis (hematogen). Pada kasus lain, terutama yang kronis,
penyebaran biasanya melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya ialah
melalui jalan yang sudah ada, misalnya fenestra rotundum, meatus akustikus
interna, dusktus perilimfatik atau duktus endolimfatik.1
Beberapa pola penyebaran penyakit1:
1. Penyebaran hematogen, yaitu penyebaran melalui osteotromboflebitis
dapat diketahui dengan adanya :
a. Komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut,
dapat terjadi pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh
b. Gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan pada gejala
meningitis lokal
c. Pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga utuh dan tulang serta
lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga
disebut juga mastoidits hemoragika.
2. Penyebaran melalui erosi tulang, dapat diketahui, bila:
a. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit
b. Gejala prodromal infeksi lokal biasanya mendahului gejala infeksi
yang lebih luas, misalnya paresis n. Fasialis ringan yang total, atau
gejala meningitis lokal mendahului meningitis purulen
c. Pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara
fokus supurasi dengan struktur di sekitarnya. Struktus jaringan lunak
yang terbuka biasanya dilapisi ileh jaringan granulasi1

29
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada, penyebaran ini dapat diketahui
bila1:
a. Komplikasi terjadi pada awal penyakit
b. Ada serangan labirintis atau meningitis berulang, mungkin dapat
ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat
otitis media yang sudah sembuh. Komplikasi intrakranial mengikuti
komplikasi labirintis supuratif.
c. Pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang
yang bukan oleh karena erosi.1

Pengenalan yang baik tehadap perkembangan suatu penyakit telinga


merupakan prasyarat untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dengan
pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala klinis dengan tidak
berhentinya otorhea dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan
berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus diwaspadai
terjanya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau
adanya tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk (drowsiness),
somnolen atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda bahaya. Timbulnya
nyeri kepala didaerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah
yang proyektil serta kenaikan suhu badan yang menetap selama terapi diberikan
merupakan tanda komplikasi intrakranial. Pada OMSK, tanda-tanda penyebaran
penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti keluar. Hal ini menandakan adanya
sekret purulen yang terbendung.1
Pemeriksaan radiologik dapat membantu memperlihatkan kemungkinan
kerusakan dinding mastoid, tetapi untuk yang lebih akurat diperlukan
pemeriksaan CT scan. Erosi tulang merupakan tanda nyata komplikasi dan
memerlukan tindakan operasi segera. CT scan berfaedah untuk menentukan
letak anatomi lesi. Walaupun mahal, pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menegakkan diagnosis sehingga terapi dapat diberikan lebih cepat dan efektif.
Untuk melihat lesi di otak, misalnya abses otak, hidrosefalus dan lain-lain dapat
dilakukan pemeriksaan CT scan otak tanpa dan dengan kontras.1

30
Beberapa penulis mengemukakan klasifikasi komplikasi otitis media yang
berlainan, tetapi dasarnya tetap sama.1
Adams dkk (1989) mengemukakan klasifikasi sebagai berikut1:
a. Komplikasi telinga tengah :
- Perforasi membran tumpani persisten
- Erosi tulang pendengaran
- Paralisis nervus fasialis
Otogenik yang menyebabkan kelumpuhan saraf wajah
termasuk OMA, OMK tanpa kolesteatoma, dan kolesteatoma.
Yang pertama biasanya terjadi dengan saluran tuba pecah
dalam segmen timpani, yang memungkinkan kontak langsung
mediator inflamasi dengan saraf wajah itu sendiri. OMK
dengan atau tanpa kolesteatoma dapat mengakibatkan
kelumpuhan wajah melalui keterlibatan saraf pecah, atau melalui
erosi tulang. Kelumpuhan wajah sekunder untuk OMA sering
terjadi pada anak dengan paresis tidak lengkap yang datang tiba-
tiba dan biasanya singkat dengan pengobatan yang tepat.
Di sisi lain, kelumpuhan sekunder pada OMK atau
kolesteatoma sering menyebabkan kelumpuhan wajah progresif
lambat dan memiliki prognosis yang lebih buruk.
Diagnosis kelumpuhan wajah otogenic dibuat atas dasar klinis.
Paresis atau kelumpuhan wajah pada OMA, OMK, atau
kolesteatoma bukanlah diagnosis yang sulit untuk dibuat hanya
dengan pemeriksaan sendiri. Peran diagnostik pencitraan
CT dipertanyakan.
Meskipun CT scan tidak diperlukan, dapat berguna dalam
perencanaan terapi dan konseling pasien. Ketika kolesteatoma
melibatkan saluran tuba, juga dapat mengikis struktur seperti
labirin atau tegmen. Selanjutnya, tingkat erosi tulang dari kanal
tuba dan derajat keterlibatannya lebih dapat dinilai pada CT.1

b. Komplikasi telinga dalam :

31
- Fistula labirin
Fistula labirin terus menjadi salah satu komplikasi yang
paling umum dari otitis kronis dengan kolesteatoma, dan telah
dilaporkan terjadi pada sekitar 7% dari kasus. Beberapa keadaan
ini lebih mengganggu ahli bedah otologik daripada terdapatnya
sebuah labirin terbuka yang ditemukan pada saat operasi
kolesteatoma. Risiko kehilangan pendengaran sensorineural yang
signifikan sebagai akibat manipulasi bedah membuat labirin
terbuka dan pengelolaannya menjadi topik yang sangat
kontroversial.
Karena lokasinya di dekat antrum, kanalis semisirkularis
horizontal adalah bagian yang paling sering terlibat dari labirin,
dan menyumbang sekitar 90% dari fistula ini. Meskipun kanal
horisontal biasanya terlibat, fistula dapat terjadi di kanal posterior
dan superior, dan di koklea itu sendiri. Fistula koklea
dikaitkan dengan insidensi terjadinya gangguan pendengaran
yang jauh lebih tinggi ditemui dibandingkan dengan labirin fistula.
Erosi tulang dari kapsul otic dapat terjadi melalui dua
proses yang berbeda. Dengan terdapatnya kolesteatoma,
mediator diaktifkan dari matriks, atau tekanan dari kolesteatoma
itu sendiri, dapat menyebabkan osteolisis dan membuka labirin.
Namun, fistula labirin dapat terjadi dari resorbsi kapsul otic
karena mediator inflamasi bila tidak ada kolesteatoma, yang
biasanya terjadi pada OMK dengan granulasi.
Salah satu alasan kontroversi dalam membahas fistula ini
adalah kurangnya sistem pembagian stadium yang dapat
diterima. Beberapa sistem telah diusulkan. Sistem diperkenalkan
oleh Dornhoffer dan Milewski, sistem ini berkaitan dengan
keterlibatan labirin yang mendasarinya. Fistula dengan erosi
tulang dan endosteum utuh diklasifikasikan sebagai stadium I
fistula. Jika endosteum ini terkena, namun ruang perilymphatic
tidak, fistula ini diklasifikasikan sebagai stadium IIa. Ketika

32
perilymph ini terkena oleh penyakit atau sengaja disedot, fistula
dikategorikan sebagai stadium IIb. Stadium III menunjukkan
bahwa labirin membran dan endolymph telah terganggu oleh
penyakit atau intervensi bedah.
Pasien yang memiliki erosi yang signifikan dari labirin
klasik ini datang dengan vertigo subjektif dan tes fistula yang
positif pada pemeriksaan. Sayangnya, gambaran klasik tidak
sensitif dalam identifikasi preoperatif fistula. Vertigo periodik
atau disekuilibrium yang signifikan ditemukan pada 62% sampai
64% dari pasien yang memiliki fistula sebelum operasi. Tes
fistula positif dalam 32% sampai 50% dari pasien yang ditemukan
memiliki fistula selama eksplorasi bedah. Meskipun
kehilangan pendengaran sensorineural ditemukan di sebagian
besar pasien (68%), itu bukan indikator yang sensitif untuk fistula.
Meskipun adanya gangguan pendengaran sensorineural,
vertigo, atau tes fistula positif pada pasien yang memiliki
kolesteatoma harus meningkatkan kecurigaan untuk fistula, tidak
adanya tanda-tanda tadi tidak menjamin labirin tulang utuh. Hal
ini sebagai alasan bahwa pendekatan bedah yang bijaksana adalah
dengan mengasumsikan adanya fistula di setiap kasus
kolesteatoma, untuk mencegah komplikasi yang tak terduga.
Walaupun pencitraan universal untuk semua pasien yang
memiliki kolesteatoma belum standar,tinjauan literatur
menunjukkan bahwa penggunaan pencitraan CT praoperasi
meningkat. Karena ketidakmampuan untuk secara akurat
mendiagnosis fistula preoperatif atas dasar klinis, peningkatan
dalam pencitraan merupakan upaya untuk meningkatkan deteksi
suatu labirin, nervus facialis, atau dura yang terkena, untuk
membantu dalam perencanaan operasi. Sayangnya, kemampuan
untuk mendeteksi fistula secara akurat pada CT pra operasi telah
dilaporkan sebagai 57% sampai 60%. Dalam laporan saat ini CT
scan tidak lebih sensitif daripada anamnesis dan pemeriksaan fisik

33
dalam mendeteksi fistula labirin. Diagnosis definitif untuk
fistula hanya dibuat intraoperatif, yang menegaskan
kembali kebutuhan untuk menangani semua kasus kolesteatoma
dengan hati-hati.1

- Labirintis supuratif
- Tuli saraf (sensorineural)

c. Komplikasi ekstradural :
- Abses ekstradural
Adanya abses epidural sering dapat membahayakan
dalam perkembangan. Abses ini berkembang sebagai hasil
dari penghancuran tulang dari kolesteatoma atau dari
mastoiditis coalescent. Tanda-tanda dan gejala tidak berbeda
secara signifikan dari yang ditemukan dalam OMK. Kadang-
kadang, iritasi dural dapat mengakibatkan peningkatan otalgia
atau sakit kepala yang berfungsi sebagai tanda menyangkut di
latar belakang OMK.
Karena komplikasi ini tidak begitu jelas dalam
presentasi klinis, sehingga sering ditemukan secara kebetulan
pada saat operasi kolesteatoma atau CT scan untuk keperluan lain.
Tidak seperti komplikasi intrakranial lainnya, tidak ada
gejala yang sensitif atau spesifik sugestif dari proses penyakit
ini. Kecurigaan klinis yang tinggi diperlukan untuk
mendiagnosis abses epidural sebelum operasi. Kehadiran
otalgia meningkat atau sakit kepala sebaiknya meningkatkan
kecurigaan untuk komplikasi intrakranial. CT scan atau MRI
kontras cukup untuk mendiagnosis abses ini. Bahkan dengan
evaluasi yang cermat, diagnosis ini sering dibuat pada saat
operasi.1

- Trombosis sinus lateralis

34
Sinus sigmoid atau trombosis sinus lateralis merupakan
komplikasi yang terkenal dari otitis media dimana tercatat 17%
sampai 19% kasus dari komplikasi intrakranial. Kedekatan
dari telinga tengah dan sel udara mastoid ke sinus vena dural
memudahkan mereka untuk menjadi trombosis dan
tromboflebitis sekunder terhadap infeksi dan peradangan di
telinga tengah dan mastoid. Keterlibatan sinus sigmoid atau
lateral dapat hasil dari erosi tulang sekunder untuk OMK dan
kolesteatoma, dengan perpanjangan langsung dari proses
menular ke ruang perisinus, atau dari penyebaran ruang
dari tromboflebitis vena mastoid. Setelah sinus telah
terlibat, dan trombus intramural berkembang, dapat
menghasilkan sejumlah komplikasi yang serius. Hidrosefalus
Otitic dikenal untuk mempersulit sejumlah besar kasus ini.
Bekuan yang terinfeksi dapat menyebar ke arah proximal
melibatkan pertemuan sinus (torcular herophili) dan sinus
sagital, menyebabkan hidrosefalus yang mengancam jiwa, atau
menyebar ke arah distal untuk melibatkan vena jugularis interna.
Keterlibatan vena jugularis interna meningkatkan risiko emboli
paru septik.
Presentasi klasik dari trombosis sinus sigmoid atau lateral
adalah adanya demam tinggi yang tajam dalam pola picket fence,
sering terlihat dengan sakit kepala dan malaise umum. Seperti
banyak komplikasi ini, tingkat kecurigaan yang tinggi diperlukan
karena demam spiking mungkin tumpul oleh penggunaan
antibiotik bersamaan. Dengan adanya demam tinggi spiking, atau
kepedulian untuk tekanan intrakranial meningkat, CT scan harus
dikontraskan dilakukan untuk melihat tromboflebitis. Dinding
sinus akan lebih cerah dengan kontras dan menghasilkan
tanda delta karakteristik yang berkaitan dengan trombosis
sinus. Dengan adanya trombosis sinus signifikan, sebuah
Venogram resonansi magnetik MRI dijamin, karena mereka

35
dapat digunakan serial untuk mengevaluasi propagasi
gumpalan atau resolusi.1

- Petrosis

d. Komplikasi ke susunan saraf pusat


- Meningitis
- Abses otak
Abses otak adalah komplikasi intrakranial kedua yang
paling umum dari otitis media setelah meningitis, tetapi
mungkin yang paling mematikan. Berbeda dengan meningitis,
yang lebih sering disebabkan oleh OMA, otak abses hampir
selalu merupakan hasil dari OMK. Lobus temporal dan otak kecil
yang paling sering terkena dampaknya. Abses ini berkembang
sebagai hasil dari perpanjangan hematogen sekunder menjadi
tromboflebitis di hampir semua kasus, tetapi erosi tegmen dengan
abses epidural dapat menyebabkan abses lobus temporal. Hasil
kultur dari abses ini biasanya steril, dan, bila positif, biasanya
mengungkapkan flora campur, namun Proteus yang lebih sering
dikultur daripada patogen lain. Perkembangan klinis yang terlihat
pada pasien ini terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama
digambarkan sebagai tahap ensefalitis, dan termasuk gejala
seperti flu yaitu gejala demam, kekakuan, mual, perubahan status
mental, sakit kepala, atau kejang. Tahap ini diikuti oleh laten,
diam atau di mana gejala akut mereda, namun kelelahan umum
dan kelesuan bertahan. Tahap ketiga dan terakhir menandai
kembalinya gejala akut, termasuk sakit kepala parah, muntah,
demam, perubahan status mental, perubahan hemodinamik dan
peningkatan tekanan intrakranial. Tahap ketiga adalah
disebabkan rongga abses yang pecah atau meluas.
Seperti dengan meningitis, setiap gejala yang mungkin
mengindikasikan keterlibatan intrakranial membutuhkan tindakan

36
cepat. Dengan adanya gejala ini, CT scan atau MRI kontras harus
dipesan sementara IV antimikroba terapi dimulai. Untuk abses
otak, MRI lebih unggul. Meskipun MRI memberikan detil yang
lebih baik mengenai abses sendiri, CT scan memberikan
informasi berharga tentang erosi tulang mastoid, dan
dapat membantu dalam menentukan penyebab abses dan pilihan
pengobatan yang paling tepat. Pencitraan itu sendiri adalah
diagnostik abses parenkim yang signifikan, dan evaluasi
menyeluruh dari pencitraan diperlukan untuk
menyingkirkan komplikasi intrakranial secara bersamaan, atau
bukti tekanan intrakranial meningkat.1

- Hidrosefalus otitis
Otitic hidrosefalus digambarkan sebagai tanda-tanda dan
gejala menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial dengan
LCS yang normal pada pungsi lumbal, yang dapat hadir
sebagai komplikasi dari OMA, OMK, atau operasi otologic.
"Hidrosefalus Otitic" sampai sekarang belum dipahami
seluruhnya, begitu juga dari sisi patofisiologi Ini adalah sebuah
ironi karena kondisi ini dapat ditemukan tanpa otitis, dan pasien
tidak memiliki ventrikel yang melebar menunjukkan tanda
hidrosefalus. Symonds, yang menciptakan istilah otitic
hidrosefalus, merasa bahwa kondisi ini dikembangkan dari
infeksi sinus (transversal) lateral, dengan perluasan
thrombophlebitis ke pertemuan sinus untuk melibatkan sinus
sagital superior. Peradangan atau infeksi dari sinus sagital
superior mencegah penyerapan LCS melalui vili arachnoid,
sehingga tekanan intrakranial meningkat. Hal ini biasanya terjadi
tromboflebitis menular sebagai akibat dari infeksi otologic, tetapi
beberapa kasus juga terdapat pada kasus tanpa operasi
otologic atau otitis. Selanjutnya, meskipun trombosis sinus

37
lateral biasanya ditemukan pada hidrosefalus otitic, kasus telah
dilaporkan tanpa trombosis sinus dural.
Diagnosis hidrosefalus otitic membutuhkan tingkat
kecurigaan yang tinggi untuk mengenali gejala sugestif.
Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien ini adalah akibat dari
tekanan intrakranial yang meningkat dan menyebar termasuk sakit
kepala, mual, muntah, perubahan visual, dan kelesuan.
Kehadiran gejala ini memerlukan pemeriksaan menyeluruh dan
pencitraan. Pemeriksaan fundoscopic harus dilakukan untuk
mengevaluasi papilledema sebagai bukti tekanan intrakranial
meningkat. MRI dan MRV harus dilakukan untuk mengevaluasi
untuk pembesaran ventrikel, atau komplikasi intrakranial yang
lain, seperti trombosis sinus yang signifikan dengan obstruksi.
Peningkatan tekanan intrakranial dengan gejala klinis dan
papilledema tanpa adanya dilatasi ventrikel atau meningitis sudah
cukup untuk membuat diagnosis ini. MRV akan mengkonfirmasi
keberadaan dan tingkat trombosis sinus dural, tetapi tidak
diperlukan untuk membuat diagnosis hidrosefalus otitic.1

Souza dkk (1999) membagi komplikasi otitis media menjadi :


1. Komplikasi intratemporal
a. Komplikasi telinga tengah
- Paresis nervus fasialis
- Kerusakan tulang pendengaran
- Perforasi membran timpani
b. Komplikasi ke rongga mastoid
- Petrositis
- Mastoiditis koalesen
Mastoiditis adalah spektrum penyakit yang harus didefinisikan
dengan tepat untuk diterapi secara memadai. Mastoiditis,
didefinisikan sebagai penebalan mukosa atau efusi mastoid, adalah

38
umum dalam suatu otitis akut atau kronis, dan dilihat secara rutin
pada CT scan.
Mastoiditis secara klinis menyajikan postauricular eritema,
nyeri, dan edema, dengan daun telinga ke arah posterior dan
inferior. Pemeriksaan lebih lanjut diindikasikan untuk
menentukan pengobatan yang paling tepat.
Dengan adanya mastoiditis klinis, CT scan harus dilakukan
untuk mengevaluasi abses subperiosteal atau mastoiditis
coalescent. Mastoiditis Coalescent adalah proses akut, infeksi
tulang mastoid, dengan kehilangan karakteristik tulang
trabekuler. Ini adalah komplikasi yang jarang terjadi, dan terlihat
biasanya pada anak-anak muda dengan OMA.
Klasik, mastoiditis coalescent digambarkan sebagai terjadi di
mastoid yang terpneumatisasi pada OMA yang tidak sempurna
diobati, sedangkan otitis kronis dan kolesteatoma terjadi pada
tulang temporal sklerotik. Namun, sebanyak 25% dari kasus
mastoiditis coalescent telah dilaporkan terjadi pada tulang temporal
sklerotik dengan OMK dan kolesteatoma.1

c. Komplikasi ke telinga dalam


- Labirintis
- Tuli saraf / sensorineural

2. Komplikasi ekstratemporal
a. Komplikasi intrakranial
- Abses ekstradura
- Abses subdura
- Abses otak
- Meningitis
Meningitis adalah komplikasi intrakranial yang paling umum
dari OMK, dan OMA adalah penyebab sekunder yang paling umum
dari meningitis. Dalam seri terbaru komplikasi OMK, meningitis

39
terjadi pada sekitar 0,1% dari subyek. Meskipun ini tetap merupakan
komplikasi yang signifikan, tingkat kematian akibat meningitis otitic
telah menurun secara signifikan, dari 35% di era preantibiotic sampai
5% di era post antibiotik. Meningitis dapat muncul dari tiga rute
otogenic yang berbeda: penyebaran hematogen dari meninges dan
ruang subarachnoid, menyebar dari telinga tengah atau mastoid
melalui saluran yang telah terjadi (fisura Hyrtl), atau melalui
erosi tulang dan penyuluhan langsung. Dari ketiga
kemungkinan, meningitis otogenic paling umum adalah hasil dari
penyebaran hematogen.
Diagnosis cepat meningitis bergantung pada pengenalan dari
tanda-tanda peringatan oleh dokter. Tanda-tanda bahwa harus
meningkatkan kecurigaan komplikasi intrakranial termasuk demam
persisten atau intermiten, mual dan muntah; iritabilitas, letargi, atau
sakit kepala persisten. Tanda-tanda yang juga membantu diagnosis
proses intrakranial meliputi perubahan visual; kejang onset baru,
kaku kuduk, ataksia, atau status mental menurun. Jika ada tanda-
tanda mencurigakan itu terjadi, pengobatan segera dan pemeriksaan
lebih lanjut sangat penting. Antibiotik spektrum luas, seperti
sefalosporin generasi ketiga, harus diberikan selama tes
diagnostik sedang dilakukan. CT scan atau MRI kontras
akan menunjukkan peningkatan karateristik meningeal dan
menyingkirkan komplikasi intrakranial tambahan yang dikenal
terjadi pada hingga 50% dari kasus ini. Dengan tidak adanya efek
massa yang signifikan pada pencitraan, pungsi lumbal harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan memungkinkan
untuk kultur dan tes sensitivitas.1

- Tromboflebitis sinus lateralis


- Hidrosefalus otikus

b. Komplikasi ekstrakranial

40
- Abses retroaurikular
- Abses Bezolds
Abses Bezold adalah abses cervical yang berkembang mirip
dengan abses subperiosteal secara patologi. Dengan adanya
mastoiditis coalescent, jika korteks mastoid terkena pada ujungnya,
sebagai lawan dari korteks lateral, abses akan berkembang
di leher, dalam sampai sternokleidomastoid. Abses ini
dideskripsikan sebagai massa yang dalam dan lembut pada leher.
Karena abses berkembang dari sel-sel udara di ujung mastoid,
ini ditemukan pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, di
mana pneumatisasi dari mastoid telah diperpanjang sampai ke ujung.
Sebagian besar dari abses ini adalah hasil dari ekstensi langsung
melalui korteks, selain itu adalah dari transmisi melalui korteks utuh
dengan cara phlebitis vena mastoid. Meskipun abses Bezold adalah
komplikasi dari OMA dengan mastoiditis yang lebih sering terjadi
pada anak-anak, abses ini juga dikenal sebagai komplikasi dari OMK
dengan kolesteatoma.
CT scan kontras dari leher dan mastoid dianjurkan untuk
membuat diagnosis dari abses Bezold. Presentasi dari pembesaran
massa yang dalam dan lembut di leher harus dibedakan dari
inflamasi limfadenopati leher, yang sulit atas dasar klinis saja. CT
scan abses Bezold yang menunjukkan abses melingkar yang
meningkat dengan peradangan di sekitarnya, dapat menunjukkan
dehiscence tulang di ujung mastoid, dan dapat membantu dalam
perencanaan operasi.1

- Abses zygomatikus

Schambough (2003) membagi komplikasi otitis media sebagai berikut :


a. Komplikasi intratemporal
- Perforasi membran timpani
- Mastoiditis akut

41
- Paresis nervus fasialis
- Labirintis
- Petrosis

b. Komplikasi ekstratemporal
- Abses subperiosteal
Abses subperiosteal adalah komplikasi ekstrakranial dari OMK
yang paling sering terjadi. Abses ini terjadi di korteks mastoid ketika
proses infeksi dalam sel-sel udara mastoid meluas ke ruang
subperiosteal. Perluasan ini paling sering terjadi sebagai akibat dari
erosi korteks sekunder menjadi mastoiditis akut atau coalescent, tetapi
juga dapat terjadi sebagai akibat dari perluasan vaskular
sekunder menjadi phlebitis dari vena mastoid. Abses
subperiosteal terlihat lebih sering pada anak-anak muda
dengan OMA, tetapi juga ditemukan pada otitis kronis
dengan dan tanpa kolesteatoma. Kolesteatoma dapat
menghalangi aditus ad antrum, mencegah terhubungnya dari
isi dari mastoid yang terinfeksi dengan ruang telinga tengah dan
tuba Eustachius. Obstruksi ini meningkatkan kemungkinan
dekompresi yang infeksius sampai korteks mastoid, menyajikan klinis
sebagai abses subperiosteal atau abses Bezold.
Seringkali, diagnosis abses subperiosteal dibuat atas dasar
klinis. Umumnya, pasien akan datang dengan gejala sistemik,
termasuk demam dan malaise, bersama dengan tanda-tanda lokal,
termasuk daun telinga yang menonjol ke arah lateral dan inferior, dan
juga terdapat daerah yang fluktuatif, eritematosa, dan nyeri di
belakang telinga. Bila diagnosis tidak pasti pada evaluasi klinis, CT
scan kontras dapat menunjukkan abses dan mungkin defek kortikal
pada mastoid. Sebuah kasus dapat dibuat untuk CT scan kontras dari
tulang temporal pada semua pasien dengan gejala-gejala ini, untuk
membantu dalam perencanaan terapi dan untuk menyingkirkan
kemungkinan komplikasi lainnya. Mastoiditis tanpa abses,

42
limfadenopati, abses superfisial, dan kista sebasea terinfeksi adalah
kemungkinan lain yang harus disingkirkan.1

c. Komplikasi intrakranial
- Abses otak
- Tromboflebitis
- Hidrosefalus otikus
- Empiema subdura
- Abses subdura / ekstradura1

43
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah lebih dari 2 bulan
dengan adanya perforasi membran timpani, sekret yang keluar dari telinga tengah
dapat terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer atau kental, bening atau
berupa nanah. Penyakit ini pada umumnya tidak memberikan rasa sakit kecuali
apabila sudah terjadi komplikasi. Biasanya komplikasi didapatkan pada penderita
OMSK tipe maligna seperti labirinitis, meningitis, abses otak dan dapat
menyebabkan kematian.
Otitis media supuratif akut atau kronis mempunyai potensi untuk menjadi
serius karena komplikasinya dapat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan
kematian. Bentuk komplikasi ini tergantung pada kelainan patologi yang
menyebabkan otore. Komplikasi ini biasanya di dapatkan pada pasien OMSK tipe
bahaya tetapi OMSK tipe manapun dapat menyebabkan komplikasi bila terinfeksi
kuman yang virulen. Dengan tersedianya antibiotika mutakhir komplikasi otogenik
menjadi semakin jarang. Pemberian obat-obat itu sering menyebabkan gejala dan
tanda klinis komplikasi OMSK menjadi kurang jelas.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Efiaty A, Nurhaiti I, Jenny B, Ratna D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.
p. 62-78.
2. Harry AA, Debi RS, Askaroellah A. Profil Penderita Otitis Media Supuratif
Kronis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional [Internet]. 2013 [citied 2017
March 17];7(12). Available from:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=269629&val=7113&title=Pr
ofil%20Penderita%20Otitis%20Media%20Supuratif%20Kronis.
3. Snell RS. Extrimitas superior. In: Hartanto H, Listiawati E, Suyono J, Susilawati,
Nisa TM, Prawira J, et al. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2006.
4. Health, Medicine, and Anatomy Reference Pictures. Human ear anatomy.
Healthfavo [Internet]. 2013 [citied 2017 March 19]. Available from:
http://healthfavo.com/human-ear-anatomy.html.
5. Siti Nursiah. Pola kuman aerob penyebab omsk dan kepekaan terhadap beberapa
antibiotika di bagian THT FK USU RSUP. H. Adam Malik Medan. [Internet].
2003 [citied 2017 March 19]. Available from: library.usu.ac.id/download/fk/tht-
siti%20nursiah.pdf
6. Parry D, Roland P. Chronic suppurative otitis media. Medscape [Internet]. 2011
[citied 2017 March 17]. Available at http://emedicine.medscape.com/
article/859501-overview
7. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 64-85.
8. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga dan mastoid. Dalam:
Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997. h. 88-118.
9. Ballenger J.J. Komplikasi Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher Jilid 2. 13th ed. Jakarta: Binapura Aksara;1997. p.410-412
10. Boesoirie TS, Lasminingrum L. Perjalanan klinis dan penatalaksanaan otitis
media supuratif. MKB. 2000.

45
11. A. A. Bagus, Komang Andi. Karakteristik pasien otitis media supuratif kronis di
poliklinik THT rumah sakit umum pusat sanglah periode Januari Juni. E-jurnal
medika [Internet]; 2016 [citied 2017 March 17];5(12). Available from:
ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/26635/16915
12. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001. p. 63-73
13. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta; Balai
Penerbit FKUI; 1997.
14. Kurikulum dan modul pelatihan kesehatan indera. Kementrian kesehatan RI :
Direktorat bina upaya kesehatan dasar direktorat jenderal bina upaya kesehatan;
2012. Available from: http://digilib.poltekkesdepkes-
sby.ac.id/public/POLTEKKESSBY-Books-396-
KurikulumdanmodulpelatihankesehatanIndonesiauntukperawatPuskesmas.

46

Anda mungkin juga menyukai