Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa ke RSUD Palembang Bari dengan keluhan
utama demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik turun dan meningkat terutama
pada malam hari. Demam tidak disertai menggigil, tidak berkeringat malam hari, dan tidak disertai
kejang. Berdasarkan anamnesis awal, keluhan utama pasien tersebut yaitu demam akut (< 7 hari)
dan bersifat remiten. Demam yang bersifat akut biasanya disebabkan oleh suatu proses infeksi atau
inflamasi dan jarang disebabkan karena proses keganasan maupun penyakit autoimun. Demam
akut dan bersifat remiten tidak spesifik untuk suatu penyakit. Beberapa penyakit yang dapat terkait
dengan keluhan utama demam pada pasien ini antara lain adalah demam dengue, infeksi saluran
nafas, infeksi saluran kemih, morbili, varisela, otitis media, demam tifoid, meningitis, malaria, dan
tuberkulosis, hepatitis. Keluhan pasien tidak disertai menggigil, keringat malam hari, nafsu makan
menurun, iritabilitas, dan kejang sehingga dapat memastikan tidak adanya gejala sistemik yang
menunjukkan keadaan sakit berat.
Berdasarkan anamnesis selanjutnya didapatkan pasien tidak mengeluh batuk, pilek, nyeri
menelan, sakit tenggorokan, dan tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga maupun sakit telinga
sehingga dapat menyingkirkan suatu fokal infeksi di saluran pernapasan dan telinga. Pasien tidak
mengeluh adanya nyeri sendi, pegal-pegal, ruam kemerahan di tubuh maupun ekstrimitas,
mimisan, perdarahan lainnya, dan bintik-bintik merah sehingga dapat menyingkirkan beberapa
penyebab akibat infeksi dan inflamasi seperti Juvenile inflammatory arthritis, lupus, demam
berdarah, morbili, dan varisela. Pasien juga tidak mengeluh mual, muntah, dan nyeri ulu hati, tetapi
pasien mengeluh sulit BAB sehingga dapat diperkirakan adanya konstipasi atau gejala dari traktus
gastrointestinal. Tidak adanya nyeri ulu hati juga dapat menyingkirkan suatu proses inflamasi di
organ dalam abdomen seperti abses hepar. Tidak nyeri saat BAK dan BAK seperti biasa dapat
menyingkirkan penyebab demam akibat infeksi saluran kemih.
Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit demam dengan gejala yang sama sebelumnya
disangkal sehingga menyingkirkan diagnosis penyakit yg bersifat kronis dan berulang seperti
penakit autoimun atau keganasan. Pasien juga tidak memiliki riwayat batuk lama, keringat malam
hari, penurunan berat badan, serta tidak ada riwayat TB dalam keluarga dan kontak dengan
penderita TB sehingga diagnosis banding TB dapat disingkirkan. Berdasarkan riwayat kebiasaan
pasien jarang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan serta sumber air minum keluarga pasien
berasal dari air ledeng yang dimasak sehingga dapat disimpulkan terdapat faktor resiko transmisi
infeksi melalui rute fekal-oral.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan kesadaran pasien compos mentis, peningkatan
frekuensi nadi yaitu 124 kali/menit dengan irama regular, isi dan tegangan cukup, dan didapatkan
kenaikan suhu tubuh pasien yaitu 38,7oC sehingga dapat disimpulkan peningkatan frekuensi nadi
pada pasien ini bukan disebabkan keadaan syok, tetapi dapat disebabkan karena kenaikan suhu
tubuh yang menyebabkan peningkatan metabolism basal tubuh pasien. Berdasarkan pemeriksaan
fisik spesifik hanya ditemukan adanya typhoid tongue pada pemeriksaan rongga mulut dan tidak
ditemukan adanya kelainan pada organ spesifik lainnya sehingga memastikan tidak adanya suatu
fokal infeksi dan inflamasi pada organ tertentu. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
tidak didapatkan sklera ikterik dan hepatomegali sehingga diagnosis hepatitis dapat disingkirkan.
Pada pasien ini juga tidak ditemukan adanya cairan keluar dari telinga sehingga diagnosis otitis
media dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya GRM sehingga
diagnosis meningitis dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya
pembesaran KGB dan massa, sehingga diagnosis keganasan dan infeksi di region tertentu dapat
disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik pada pasien ini juga tidak ditemukan mata merah dan berair
serta ruam kemerahan sehingga diagnosis morbili dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik
pasien ini didapatkan rumple leed test (-) sehingga diagnosis demam dengue dapat disingkirkan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan pasien ini, keluhan demam pada pasien ini lebih
mengarah pada demam tifoid, yaitu berupa demam naik turun yang meningkat terutama pada
malam hari dan tidak pernah mencapai suhu normal, dengan gejala gastrointestinal berupa sulit
BAB. Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien jarang mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan yang mengarahkan diagnosis kerja ke demam tifoid. Dari pemeriksaan fisik juga
didapatkan lidah kotor yang sesuai dengan manifestasi klinis demam tifoid. Untuk lebih
menunjang diagnosis kerja dan menyingkirkan diagnosis banding pada pasien ini maka dilakukan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan malaria (DDR), IgG dan IgM
dengue, serta widal test. Dari hasil pemeriksaan penunjang yang mendukung didapatkan pada
pemeriksaan serologi didapatkan titer O aglutinin sebesar 1/320, bila titer O aglutinin sekali
periksa ≥ 1/200 sekali periksa atau pada titer terjadi kenaikan 4 kali (dalam satu minggu), maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan ( positif )1. Oleh karena itu, berdasarkan kesesuaian
antara dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, yang diperkuat oleh pemeriksaan
laboratorium, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penatalaksanaan supportif, simptomatik, kausatif,
dan edukatif. Karena invasi kuman pada plaque payeri ileum distal yang dapat menimbulkan
perforasi, maka penatalaksanaan supportif pada pasien ini meliputi tirah baring dan diet yang dapat
meringankan kerja usus. IVFD diperlukan karena pasien lemas dan anoreksia sehingga tidak dapat
makan per oral. Selain itu, IVFD juga diperlukan untuk memasukan obat injeksi secara berulang
sehingga tidak menyakiti pasien. Pada pasien ini diberikan IVFD D5 ½ NS gtt XV. Terapi
simptomatik meliputi antipiretik (bila suhu diatas 38,5o C), pada pasien ini diberikan paracetamol
3x7,5cc syr per oral. Terapi kausatif meliputi antibiotik. Antibiotik yang dapat diberikan berupa
kloramfenikol, kotrimoksasol, ampisilin, dan sefalosporin generasi ketiga. Sefalosporin generasi
ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara
atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Pada pasien ini diberikan sefalosporin generasi ketiga berupa drip ceftriaxon
1100mg dalam D5% 100cc/24 jam. Edukasi juga sangat diperlukan pada kasus ini agar pasien
tidak terjangkit penyakit yang sama dan keluarga pasien juga dapat terhindar dari demam tifoid.
Edukasi meliputi Higiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang tempat,
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan pembuangan limbah feses (tinja),
pemberantasan lalat, penyediaan air minum yang memenuhi syarat.

Anda mungkin juga menyukai