Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul
Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi pada Klien dengan Glaukoma.
Tugas ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas terstruktur
Mata Kuliah Sistem Sensori Persepsi Tahun Akademik 2017 di Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari pihak-pihak luar, sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada:
1. Sukarni, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen Mata Kuliah Sistem Sensori
Persepsi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2015 Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura.
Saya menyadari tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kepada pembaca dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun.

Pontianak, 13 Oktober 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Konsep Teori Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi Error! Bookmark
not defined.
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 12
A. Kasus ...........................................................................................................12
B. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi Berdasarkan Kasus ..................13
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
A. Kesimpulan .................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi


1) Pemeriksaan Mata
a. Pengukuran Tekanan Okuler
Tonometri adalah teknik untuk mengukur tekanan intraokuler (TIO).
Tonometri Schiotz memakai instrumen metal yang dipegang tangan
(tonometer) yang diletakkan pada permukaam kornea yang dianestesi.
Hasilnya bervariasi namun cukup baik untuk mengestimasi TIO. Alat
pengukur tekanan lain, tonometer aplanasi dari Goldman, dihubungkan
dengan lampu slit untuk mengukut TIO. Dianggap sebagai bentuk alat
ukur TIO yang paling akurat (Smeltzer & Bare, 2013).
Pemberian pewarna fluoresen dan anestesi topikal diperlukan
sebelum tonometri aplanasi. TIO juga dapat diukur dengan
pneumotonometer, yang memberikan semrotan udara kecil ke mata untuk
mengukur tekanannya. Mengkaji TIO merupakan komponen biasa pada
pemeriksaan mata komprehensif, dan tekanan harus sering diukur pada
pasien yang menderita glaukoma atau yang mempunyai risiko mengalami
hipertensi intraokuler. Peningkatan TIO merupakan tanda kardinal pada
glaukoma, penyakit yang bertanggung jawab terjadinya kebutaan pada
lebih dari seperlima kasus kebutaan di Amerika Serikat (Smeltzer & Bare,
2013).
Penentuan umum TIO dapat dilakukan dengan memberikan tekanan
ringan jari pada sklera mata yang tertutup. Kedua ujung jari tengah
diletakkan pada kelopak mata atas yang tertutup. Salah satu jari menekan
dengan lembut ke dalam sementara jari satunya merasakan kerasnya
tekanan yang ditimbulkan melawannya. Beberapa pemeriksa kemudian
membandingkan tegangan yang dirasakan atau dipersepsi pada mata
pasien dengan tekanan matanya sendiri. Bila dilakukan dengan baik,
manuver ini dapat memberi perkiraan kasar, dan memerlukan latihan.
Namun, bila kita memerlukan pengukuran yang akurat, perlu dilakukan

1
tonometri. Hidrasi pasien dapat dikaji dengan meraba tegangan
intraokuler. Bola mata yang lunak merupakan tanda dehidrasi (Smeltzer &
Bare, 2013).
b. Ultrasonografi
Gelombang suara ultra dapat digunakan untuk mengukur dimensi
dan struktur okuler. Pemindaian ultrasonik dapat digunakan untuk
mengukur kedalaman dan bentuk bola mata sebelum pemasangan implan
lensa intraokuler sehingga dapat diperoleh refraksi yang tepat (Smeltzer &
Bare, 2013).
Pada ultrasonografi, gelombang dengan frekuensi tinggi dimensi
dari sebuah tranduser kecil seperti probe diletakkan di mata. Setelah
menghantam haringan okuler, gelombang suara kemudian memantul dan
ditangkap oleh transuder yang sama. kemudian dikonversi menjadi pola
gelombang dan ditampilkan pada osiloskop. Prosedur ini tidak
menimbulkan nyeri namun memerlukan anestesi lokal. Setelah dilakukan
pengkajian, pasien diperingatkan untuk tidak menggosok mata. Ada dua
tipe primer ultrason yang digunakan dalam oftalmologi: A-scan dan B-
scan (Smeltzer & Bare, 2013).
A-scan-ultrason berguna untuk membedakan antar tumor maligna
dan benigna, mengukur mata untuk pemasangan implan lensa intraokuler
(IOL/intraocular lens), dan memantau adanya glaukoma kongenital.
Sedangkan A-scan-ultrason berguna untuk mendeteksi dan mencari
berbagai struktur dalam mata yang kurang jelas akibat adanya perdarahan
katarak, atau opasitas lain (Smeltzer & Bare, 2013).
c. Slit-lamp Biomikroskopi
Slit-lamp Biomikroskopi adalah peralatan yang terdiri dari sumber
cahaya intensitas tinggi yang dapat difokuskan untuk menyinari lembaran
tipis cahaya ke bola mata. Hal ini digunakan dalam hubungannya dengan
biomikroskopi. Lampu memfasilitasi pemeriksaan segmen anterior, atau
struktur frontal dan segmen posterior dari mata manusia, yang meliputi
kelopak mata, sklera, konjungtiva, iris, lensa, dan kornea. Pemeriksaan
slit-lamp biomikroskopi memberikan pandangan untuk diperbesar

2
stereoskopik dari struktur mata secara rinci, memungkinkan diagnosis
anatomi harus dibuat untuk berbagai kondisi mata (Vaughan, Asbury, &
Paul, 2008).
d. Pemeriksaan Fundus
Secara anatomis oftalmoskop memiliki kepala yang dinamakan
teropong oftalmoskop. Teropong ini mempunyai liang dengan lubang
depan dan belakang. Bila lampu oftalmoskop dinyalakan, maka sinar
lampu dipantulkan oleh sepotong kaca di dalam oftalmoskop shingga
menyorot keluar melalui lubang depan. Dari lubang belakang teropong,
pemeriksa dapat melihat apa yang disoroti oleh sinar lampu yang keluar
dari lubang depan itu. Dalam melakukan funduskopi, lubang penyorot
dihadapkan pada mata pasien dan lubang pengintai menghadap pada mata
pemeriksa. Di bawah lubang pengintai terdapat indikator lensa. Lensa-
lensa dapat ditempatkan di antara lubang pengintai dan lubang penyorot.
Lensa-lensa tersebut berjumlah antara 24 sampai 30 yang berukuran +20D
sampai -20D. Menurut urutan dioptri, lensa-lensa itu ditanam dalam
bingkai bundar yang dapat diputar sehingga setiap lensa yang diperlukan
dapat ditempatkan di antara lubang pengintai dan lubang penyorot. Tepi
bingkai bundar itu bergigi dan sedikit menonjol ke samping kanan
teropong oftalmoskop. Dengan adanya tepi yang bergigi itu, maka bingkai
lensa yang bundar itu dapat diputar dengan mudah (Muttaqin, 2010).
Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop mempunyai tujuan untuk
memeriksa bagian mata sebelah dalam yang dinamakan fundus, yang
meliputi retina, evaluasi diskus optikus, pembuluh darah retina,
karakteristik retina, area makula, dan humour vitreus, diskus, melihat
bentuk mangkuk fisiologis dan proporsi ukurannya, pembuluh darah
melihat ukuran, distribusi, penyilangan, dan warna pantulan, fundus retina,
melihat warna umum dan perdarahan, cairan, dan perlengketannya,
makula dan fovea sentralis melihat warna (merah gelap) dan pantulan
sentral. Humour vitreus dapat terlihat berkabut dan mengandung larva,
benda asing, struktur okuler lain, seperti fragmen lensa dan retina, dan

3
bercak. Semua ini dapat mengganggu transmisi impuls visual atau
kemampuan untuk melihat retina dengan jelas (Muttaqin, 2010).
2) Pemeriksaan Telinga
a. Pemeriksaan Diagnostik
Pengkajian diagnostik yang paling lazim dilaksanakan di klinik
adalah audiometri dan timfanometri. Kedua pemeriksaan ini biasanya
dilakukan terutama pada pasien yang ada memiliki riwayat penurunan
fungsi pendengaran (Muttaqin, 2010).
Audiometri
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer adalah satu-
satunya instrumen diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada
dua macam: (1) Audiometri nada murni, dimana stimulus suara terdiri
atas nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum pasien bisa
mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengarannya), dan (2)
Audiometri wicara, dimana kata yang diucapkan digunakan untuk
menentukan kemampuan mendengar dan membedakan suara.
Audiogram dapat membedakan antara kehilangan pendengaran
konduktif dan kehilangan pendengaran sensorineural (Muttaqin, 2010).
Perawat yang melakukan uji dan pasien mengenakan earphone
dan sinyal mengenal nada yang didengarkan. Ketika nada dipakai
secara langsung pada meatus kanalis auditorius eksternus, kita
mengukur konduksi udara. Bila stimulus diberikan pada tulang mastoid,
melintas mekanisme konduksi (osikulus), langsung menguji konduksi
saraf. Agar hasilnya akurat, evaluasi audiometri dilakukan di ruangan
yang kedap suara. Respons yng dihasilkan kemudian dicatat dalam
bentuk grafik yang dinamakan audiogram (Muttaqin, 2010).
Frekuensi merujuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan
oleh sumber bunyi per detik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal
mampu mendengar suara dengan kisaran frekuensi dari 20 sampai
20.000 Hz. Frekuensi dari 500 sampai 2000 Hz yang paling penting
untuk memahami percakapan sehari-hari yang dikenal sebagai kisaran
wicara. Nada adalah istilah untuk menggambarkan frekuensi, nada

4
dengan frekuensi 100 Hz dianggap sebagai nada rendah, dan nada
10.000 Hz dianggap sebagai nada tinggi. Unit untuk kerasnya bunyi
(intensitas suara) adalah desibel (dB) yaitu tekanan yang ditimbulkan
oleh suara. Kehilangan pendengaran diukur dalam desibel yang
merupakan fungsi logaritma intensitas dan tidak bisa dengan mudah
dikonversikan ke presentase. Ambang kritis kekerasan adalah sekitar 20
dB. Beberapa contoh intensitas suara yang biasa termasuk gesekan
kertas dalam lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB,
percakapan rendah 40 dB, dan kapal terbang jet sejauh 100 kaki, tercatat
sekitar 150 dB. Suara yang lebih keras dari 80 dB didengar telinga
manusia sangat keras. Suara yang terdengar tidak nyaman dapat
merusak telinga dalam (Smeltzer & Bare, 2013).
Timpanografi
Timpanogram atau audiometri impedans, mengukur refleks otot telinga
tengah terhadap stimulus suara, selain kelenturan membran timpani,
dengan mengubah tekanan udara dalam kanalis telinga yang tertutup.
Kelenturan akan brkurang pada penyakit telinga tengah (Muttaqin,
2010).
Proyeksi Schuller
Untuk memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral
dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan
posisi sinus lateral dan tegmen (Adams, Boies, & Higler, 1997).
Proyeksi Mayer atau Owen
Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran
tulang-tulang pendengaran, sehingga dapat diketahui apakah kerusakan
tulang telah mengenai struktur-struktur (Adams, Boies, & Higler,
1997).
Proyeksi Stenver
Untuk memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan
kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam

5
potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran
(Adams, Boies, & Higler, 1997).
Proyeksi Chause III
Untuk memberikan gambaran secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral. Politomografi dan atau
CT-scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena
kolesteatom (Adams, Boies, & Higler, 1997).
b. Pemeriksaan Laboratorium
- Preparat langsung: Skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa
dengan KOH 10% akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-
kadang dapat ditemukan spora-spora kecil dengan diameter 2-3 u
(Adams, Boies, & Higler, 1997).
- Pembiakan: Skuama dibiakkan pada media dan dieramkan pada suhu
kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filamen
berwarna putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada
ujung-ujung hifa dapat ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat
pada permukaannya (Adams, Boies, & Higler, 1997).
3) Pemeriksaan Hidung dan Sinus
a. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk
mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara melakukan
pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu
dengan menyinari dan menekan sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya
yang memancar ke depan wajah bisa ditutup dengan tangan kiri. Hasilnya
sinus frontalis normal jika dinding depan sinus frontalis tampak terang.
Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus
maksilaris yaitu minta pasien untuk membuka mulutnyalebar-lebar.
Lampu kita tekan pada margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang
memancar ke depan wajah bisa ditutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus
maksilaris normal jika palatum durum homolateral berwarna terang. Untuk
melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo
rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis.

6
Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak
(Soedjak dkk, 2000).
Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan
menggunakan troicart. Cara melakukannya melalui meatus nasi inferior.
Hasilnya jika keluar nanah atau sekret mukoid maka dilanjutkan dengan
tindakan irigasi sinus maksilaris. Pemeriksaan biopsi dengan mengambil
jaringan sinus maksilaris melalui lubang pungsi di meatus nasi inferior
atau menggunakan Caldwell-Luc (Soedjak dkk, 2000).
Pemeriksaan rinoskopia ada 2 jenis yaitu rinoskopia anterior dan
posterior. Pada pemeriksaan rinoskopia anterior terdapat 4 tahapan yaitu,
pemeriksaan vestibulum nasi, pemeriksaan kavum nasi bagian atas dan
bawah, fenomena palatum mole, dan pemeriksaan septum nasi. Sedangkan
pada pemeriksaan rinoskopia posterior terdapat 4 tahapan yaitu,
pemeriksaan tuba kanan, pemeriksaan tuba kiri, pemeriksaan atap
nasofaring, dan pemeriksaan kauda konka nasi inferior (Soedjak dkk,
2000).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung umumnya kurang
memadai untuk mengidentifikasi spesies bakteri; identifikasi spesies
bakteri secara tepat hanya dapat dilakukan melalui kultur. Karena itu,
pengiriman spesimen ke laboratorium rujukan mutlak harus dilakukan.
Namun, pemeriksaan mikroskopik secara langsung merupakan metode
yang efisien untuk mendeteksi bakteri dalam cairan biologis, yang
normalnya steril, dan dalam spesimen dari sumber-sumber lain.
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi berharga untuk penegakan
diagnosis, pemberian terapi, dan pengendalian penyakit sesegera mungkin
(Chairlan, Lestari, & Mahode, 2011).
Diagnosis beberapa penyakit juga dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan serologis, salah satunya sifilis. Teknik serologis juga
berperan penting dalam surveilans epidemiologis dan deteksi dini
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri-bakteri yang sulit

7
dilakukan kultur (misalnya Mycobacterium tuberculosis) (Chairlan,
Lestari, & Mahode, 2011).
4) Pemeriksaan Mulut dan Faring
a. Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri tidak secara rutin dilakukan pada lesi-
lesi ronga mulut karena masalah kontaminasi silang. Kultur virus
dilakukan dengan frekuensi yang lebih, terutama pada pasien
imunosupresi dengan dugaan lesi oral yang disebabkan oleh virus. Tes
Tzanck digunakan untuk melihat adanya akantolisis pada penyakit virus
(misalnya herpes labialis) dan penyakit mukokutan autoimun (pemphigus
vulgaris) biasanya digunakan. Kedua tes hanya memerlukan lesi yang
kadang susah didapatkan pada kasus, antigen virus spesifik dapat juga
dideteksi pada spesimen biopsi menggunakan teknik imunohistokimia
yang bervariasi. Infeksi jamur juga merupakan penemuan umum pada
rongga mulut. Potasium hidroksida sering digunakan untuk menegakkan
diagnosis, Kultur jamur mempunyai nilai yang rendah pada kebanyakan
kasus karena karakteristik jamur yang tumbuh lama (Lynch, 2006).
Beberapa tes diagnostik rutin digunakan untuk menunjang
pemeriksaan menyeluruh dan memberikan informasi tambahan yang
penting untuk menegakkan diagnosis definitif dan rencana perawatan.
Prosedur dan tes yang dilakukan harus berdasar pada nilai diagnostik,
risiko berkaitan (morbiditas) dan biaya. Diagnosis yang lebih awal
biasanya mengarah pada perawatan yang lebih awal dan prognosis yang
lebih baik. Biopsi jaringan lunak merupakan tes diagnostik yang paling
sering digunakan. Prosedur ini relatif sederhana dan operator
berpengalaman biasanya mudah melakukannya. Pencahayaan dan suction
yang memadai sangat esensial. Antibiotika premedikasi diperlukan pada
pasien risiko endokarditis dan pasien dengan protesa sendi.
Vasokonstriktor (epinefrin) yang ada pada anestesi lokal disarankan
digunakan untuk mengontrol perdarahan dan mengurangi difusi anestesi
lokal pada jaringan sekitar, meskipun pada beberapa pasien,
vasokonstriktor dikontraindikasikan karena hipersensitivitas atau faktor

8
komplikasi lainnya. Lidokain topikal secara rutin digunakan pada daerah
insersi jarum untuk meminimalisir ketidaknyamanan berkaitan dengan
insersi jarum. Pemilihan lokasi biopsi dan teknik biopsi ditentukan
berdasarkan diagnosis dugaan dan lokasi lesi seperti,penyakit mukokutan
memerlukan biopsi insisi untuk menentukan diagnosis spesifik dan
perawatannya. Pada kasus tersebut, biopsi punch insisi berdiameter 3-4
mm sudah cukup. Lesi yang bermasa lebih besar, misalnya mucocele di
dasar mulut yang memerlukan eksisi scalper. Karena vaskularitas regio
anatomis ini, insisi skalpel sebaiknya dilakukan pada arah anteroposterior
untuk meminimalisir perlukaan pada struktur neuromuskuler. Gingiva tepi
sebaiknya tidak diikutkan karena alasan estetik, terutama pada maksilla
anterior. Spesimen dijepit dengan forsep Adson, daripada dengan forsep
gigi-tikus yang dapat merusak integritas spesimen. Spesimen selanjutnya
diletakkan pada medium fiksatif setelah keluar dari rongga mulut. Larutan
buffer formalin netral 10% merupakan pilihan, larutan Michel merupakan
media transport terbaik jika akan dilakukan direct immunofluoresence
staining (Lynch, 2006).
Perkembangan terbaru teknik biopsi rongga mulut adalah biopsi
sikal mukosa (mucosal brush biopsy). Teknik ini menggunakan sikat
disposable untuk mengumpulkan sel sampel transepitelial. Sampel
kemudian dilakukan skrining dengan komputer berjaring neural yang
diprogram untuk mendeteksi perubahan sitologis berkaitan dengan
premalignansi dan karsinoma sel skuamousa. Spesimen kemudian ditinjau
oleh ahli patologi untuk mendapatkan diagnosis akhir. Teknik ini ideal
untuk menentukan kebutuhan akan biopsi skalpel pada leukoplakia
mukosa yang tampak benigna (Lynch, 2006).
Pemeriksaan radiologi CT-scan atau MRI dapat digunakan untuk
menentukan batas dan ukuran tumor serta keterlibatan kelenjar getah
bening leher. Pembesaran kelenjar getah bening lebih dari satu sentimeter
dapat dideteksi pada pemeriksaan CT-scan. Pemeriksaan CT-scan juga
dapat mendeteksi penjalaran karsinoma lidah ke tulang berupa nekrosis
tulang, sedangkan MRI dapat mendeteksi luasnya suatu massa pada

9
jaringan lunak. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya metastasis jauh adalah foto toraks dan pemeriksaan fungsi hati
(Lynch, 2006).
5) Pemeriksaan Kulit
a. Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium
Biopsi kulit yang bertujuan untuk mendapatkan jaringan bagi
pemeriksaan mikroskopik dilakukan lewat eksisi dengan skalpel atau
penusukan dengan alat khusus yang akan mengambil sedikit bagian tengah
jaringan. Biopsi dilakukan terhadap nodul kulit yang asalnya tidak jelas
untuk menyingkirkan kemungkinan malignitas dan terhadap plak dengan
bentuk serta warna yang tidak lazim. Biopsi kulit juga dilakukan untuk
memastikan diagnosis yang tepat pada pembentukan lepuh dan kelainan
kulit lainnya (Smeltzer & Bare, 2013).
Imunofluoresensi (IF) yaitu untuk mengidentifikasi lokasi suatu
reaksi imun, pemeriksaan IF mengkombinasikan antigen dan antibodi
dengan zat warna fluorokrom (antibodi dapat dibuat berpendar dengan
mengakibatkannya pada zat warna) (Smeltzer & Bare, 2013).
Patch test, yang dilakukan untuk mengenali substansi yang
menimbulkan alergi pada pasien, meliputi aplikasi alergen yang dicurigai
pada kulit normal di bawah plester khusus. Jika terjadi dermatitis, gejala
kemerahan, tonjolan halus atau gatal-gatal dianggap sebagai reaksi positif
lemah. Blister yang halus, papula dan gatal-gatal yang hebat menunjukkan
reaksi positif sedang, sementara blister (bullae), nyeri serta ulserasi
menunjukkan reaksi positif kuat (Smeltzer & Bare, 2013).
Pengerokan kulit yaitu dengan sampel jaringan dikerok dari lokasi
lesi jamur yang dicurigai. Pengerokan ini dilakukan dengan mata pisau
skalpel yang sudah dibasahi dengan minyak sehingga jaringan kulit yang
dikerok melekat pada mata pisau tersebut. Bahan hasil kerokan
dipindahkan ke sebuah slide kaca, ditutup dengan kaca objek dan
kemudian diperiksa di bawah mikroskop (Smeltzer & Bare, 2013).
Pemeriksaan apus tzanck dilakukan untuk memeriksa sel-sel dari
kulit yang mengalami pelepuhan, seperti herpes zoster, varisela, herpes

10
simpleks dan semua bentuk pemfigus. Sekret dari lesi yang dicurigai
dioleskan pada slide kaca, diwarnai dan diperiksa (Smeltzer & Bare,
2013).
Pemeriksaan cahaya wood bergantung pada lampu khusus untuk
memproduksi cahaya ultraviolet gelombang opanjang (black light) yang
akan menghasilkan sinar berpendar berwarna ungu gelap yang khas.
Warna sinar berpendar ini terlihat paling jelas pada kamar yang gelap dan
digunakan untuk membedakan lesi epidermis dengan lesi dermis dan lesi
hipopigmentasi serta hiperpigmentasi dengan kulit yang normal. Kepada
pasien harus dijelaskan bahwa cahaya tersebut tidak berbahaya bagi
kesehatan kulit maupun mata (Smeltzer & Bare, 2013).
Pembuatan foto klinis untuk memperlihatkan sifat serta luasnya
kelainan kulit, dan digunakan untuk menentukan progresivitas atau
perbaikan setelah dilakukan terapi (Smeltzer & Bare, 2013).

11
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus
Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang dengan keluhan mata merah
disertai penglihatan mata kanan kabur sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan ini muncul tiba-tiba dan baru pertama kali dirasakan pasien. Keluhan
mata merah dialami pasien bersamaan dengan penglihatan mata kanannya yang
kabur. Pasien juga mengeluh mata kanan merah, sedikit berair dan terasa sangat
nyeri yang disertai sakit kepala terus-menerus, disertai dengan mual dan muntah.
Melihat pelangi di sekitar cahaya (+), merasa silau saat melihat cahaya (-).
Riwayat trauma (-), penggunaan kacamata (-), operasi mata (-), hipertensi (-),
diabetes melitus (-). Dari pemeriksaan fisik oftalmologis okuli dekstra
didapatkan visus 1/300, injeksi konjungtiva, injeksi siliar, kornea agak keruh,
kamera okuli anterior dangkal, pupil bulat, mid-dilatasi, anisokor dengan refleks
cahaya melambat, lensa sulit dinilai dan tekanan intraokuler meningkat (per
palpasi N +2). Pada pemeriksaan kampimetri didapatkan penyempitan lapang
pandang pada okuli dekstra. Okuli sinistra dalam batas normal. Pasien ini
didiagnosis glaukoma akut okuli dekstra. Pasien diberikan terapi medikamentosa
berupa timolol 0,5% tetes mata 2x1 tetes OD, asetazolamid tablet 3x250 mg,
KCl 2x1 tablet dan pilokarpin 2% tetes mata 4x1 tetes. Pada pasien juga
direncanakan tindakan operatif yaitu trabekulektomi OD setelah TIO normal.
Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam (karena penyakit glaukoma akut ini
tidak mengancam nyawa pasien) dan ad fungsionam (karena telah terjadi
penyempitan lapang pandang pada mata kanan pasien dan fungsi organ mata
pasien tersebut apabila tidak ditangani dengan tepat dapat semakin memburuk
dan bahkan dapat terjadi kebutaan) (Yoga, 2016).

12
B. Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi Berdasarkan Kasus
1. Pemeriksaan Tonometri
Glaukoma pada keadaan akut atau angle closure 30 mmHg dan tekanan
intraokuler (per palpasi N +2).
2. Pemeriksaan Gonioskopi:
Pada glaukoma akut ketika tekanan intraokuler (TIO) meningkat sudut COA
akan tertutup, sedangkan pada waktu tekanan intraokuler (TIO) normal
sudutnya sempit.
3. Pemeriksaan Slit-lamp Biomikroskopi
Dapat melihat hiperemis siliar karena injeksi pembuluh darah konjungtiva,
edema kornea, bilik mata depan dangkal, pupil oval vertikal dan tidak ada
reaksi terhadap cahaya.
4. Pemeriksaan Fundus
Gambaran funduskopi sering ditemukan optik-disk edema dan hiperemis.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada semua pembahasan di atas maka kesimpulan yang
dapat saya ambil yaitu, klien dengan glaukoma akut pada kasus di atas,
mengalami peningkatan tekanan intraokular (TIO). Glaukoma akut terjadi
akibat kamera okuli anterior tertutup secara mendadak oleh jaringan iris
sehingga tekanan intraokular (TIO) meningkat secara cepat. Jika tidak
mendapatkan terapi, kondisi ini dapat menyebabkan kebutaan. Pemberian
terapi obat-obatan segera dilakukan sebelum tindakan operatif
(trabekulektomi) untuk menjaga tekanan intraokuler (TIO), sehingga normal
kembali dan nyeri yang dirasakan klien berkurang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., & Higler, P.A. (1997). Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
EGC.
Chairlan, Lestari, E., & Mahode, A.A. (2011). Pedoman Teknik Dasar untuk
Laboratorium Kesehatan (Edisi 2). Jakarta: EGC.
Lynch, Denis. (2006). Pemeriksaan Rongga Mulut. Milwaukee: Marquette
University.
Muttaqin, Arif. (2010). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C., & Bare, Brenda G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Edisi 8, Volume 3). Jakarta: EGC.
Soedjak, Sardjono, dkk. (2000). Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
Tenggorok. Jakarta: EGC.
Vaughan, D., Asbury, T., & Paul, R.E. (2008). Oftalmologi Umum (Edisi 17).
Jakarta: EGC.
Yoga, Rino. (2016). Pria Berusia 45 Tahun dengan Glaukoma Akut. Jurnal Medula
Unila, 4(4): 167-170.

15

Anda mungkin juga menyukai