Anda di halaman 1dari 41

DERMATITIS ATOPIK

A. Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
B. Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial).
Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia
kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
faktor pencetus lain diantaranya
Makanan
Alergen hirup
Infeksi kulit

C. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom
5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan

1
bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang
kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%
(Judarwanto W., 2009).
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering
(Soebaryo R.W., 2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset
CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari
darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,
sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan
terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-
4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-
CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil
(Judarwanto W., 2009).
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit
adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya

2
untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di
pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset
CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status
teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini
mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.
Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi
oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut
mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes
dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis
keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-
sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis
(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan
rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).
d. Imnopatogenesis DA

3
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.
Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.
Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia
dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).
Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya
seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar
anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan
eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan
berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari
(allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA
adalah suatu penyakit atopi.
Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada
reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut
ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA
yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-
5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12
dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons

4
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%
penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,
bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan)
akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya
diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan
bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W.,
2009).

g. Autoalergen

5
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung
antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan
protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis
atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya
antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas

(Soebaryo R.W., 2009).

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).


Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan
pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2
(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan
allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan
aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed
dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan

6
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin
yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,
IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.
Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi
(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid
diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-
rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi
(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak
dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas
tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang
menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta.
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA
infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami

7
infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat
terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)


Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah
ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan
lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin
J.M., 2005).

8
Gambar 4.a

Gambar 4.b.

9
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat
disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk
serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai
usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 5.a.

10
Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005

Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

11
Gambar 7: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009)

E. Stigmata pada dermatitis atopik


Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan
garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.
Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan
terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan
dibandingkan dengan orang normal (Judarwanto W., 2009). hal ini
diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat
dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).

Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)


Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan
pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan
tanda khas untuk DA. (Judarwanto W., 2009).
Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis
palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang
hidup. (Zulkarnain I., 2009).

12
Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun
dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah
namun bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).
Sindrom buffed-nail
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat
gatal.

Allergic shiner
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan
melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
Delayed blanch
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan
dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.
Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA
gatal dapat bertahan selama 45 menit.
Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim
belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit

13
penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim
panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA (Judarwanto W., 2009).
hertoges Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata
(Zulkarnain I., 2009).

F. DIAGNOSA
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan
gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka
sebagaimana tabel berikut :
I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh =2
> 36 % luas tubuh =3

fase infantile

< 18% luas tubuh =1


18-54% luas tubuh =2
> 54% luas tubuh =3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/ tahun =1
remisi < 3 bulan/ tahun =2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

14
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada
bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Diagnosis Banding lainnya:
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatophytosis atau dermatophytids
Sindrom defisiensi imun

Sindrom Wiskott-Aldrich

Sindrom Hyper-IgE

Penyakit Neoplastik

Langerhans cell histiocytosis

Penyakit Hodgkin

Dermatitis Numularis

Dermatitis Seborrheic

Skabies

15
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai
telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan
papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada
telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota
keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari
scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap
pengobatan dengan -benzen heksaklorida.

Dermatitis seboroik infantil


Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset
invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.
Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik
akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.

Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada
kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena
sepatu (Judarwanto W., 2009).

H. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di
SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk
menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional
pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
Menghindari bahan iritan

16
Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
Kortikostreroid topikal
Pemberian antibiotik
Pemberian antihistamin
Mengurangi stress
Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.
(Kariossentono H., 2006).
a. Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah
bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta
penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau
menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).

a. 1. Mandi dan emolien


Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa
gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan
menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung
antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat
penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas
sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada
lotion.
a. 2. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti
inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin
oral (Sugito T.L., 2009).

b. Untuk DA yang refrakter


i. kortikosteroid sistemik,

17
Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh
tubuh.
ii. Fototerapi
Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen
(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan
kulit pada pengobatan jangka panjang.
iii. Obat lainnya
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,
interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,
imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009)

c. Pengobatan sistemik
i. Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka
pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan
perlahan (tapering), segera ganti dengan kortikostreroid topikal).
ii. Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat,
terutama malam hari, karena itu antihistamin yang dipakai
mempunyai efek sedatif misanyal hidroksisin atau difenhidramin.
iii. Anti infeksi
Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin, sedangkan
untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin atau generasi
pertama sefalosporin.
iv. Interferon
IFN- diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan IFN- rekombinan
menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

d. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi

18
Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila
dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi kronis
dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan kombinasi
antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal
(Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009).

I. Komplikasi
Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah
mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum
ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela,
baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi
akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada
daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi
penyebaran ke daerah kulit normal.
Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

J. Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan
keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI
eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari

19
pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi
alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu
melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi
sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan
menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk
menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor
imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI
eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis atopik
(Budiastuti M., 2007).

K. Prognosis

Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih


buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja,
sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:


DA luas pada anak
Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.
Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
Awitan (onset) DA pada usia muda
Anak tunggal
Kadar IgE serum sangat tinggi.

M. Macam-Macam uji alergi

Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal,
uji tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel).
Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.
1. Uji kulit intradermal Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml
semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga
timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing

20
dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm.
Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada
kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan
untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi
mungkin untuk mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa
resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis
yang berkompeten melalui pelatihan spesialis.
2. Uji tusuk Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah
volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku
dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50%
gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk
dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau
dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang
digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk
uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit,
diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji
tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji
intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan
potensi yang lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01%
histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme
akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin.
Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat
yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari
sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai
pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit
dilakukan. Obat golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan tetapi
karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga
mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja
terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas

21
yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah
dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10
menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan
positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan
adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar
(D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran
(D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi dengan
pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas
dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan interpretasi yang
benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai
spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah,
aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai
metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian
besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan
spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan
demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya
tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas.

3. Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif
rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah
perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting.
Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.
Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan
harus diperhatikan.

22
Uji gores kulit harus dilakukan oleh yang terlatih dan
berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan
fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik
(anafilaksis).
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes
untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan
karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi
eksposur termasuk faktor-faktor lokal.
Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah
pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di
lokasi pelatihan yang memadai sangat penting untuk
mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.
Kontrol positif dan negatif sangat penting.
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan
menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-
tanda.
Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas
dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.
Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara
individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan
lingkungan setempat.
4. Patch Tes (Tes Tempel).

Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil
tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia
tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh
bergesekan.

23
2. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung
steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat
oles, krim atau salep.

5. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).


Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap
alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui
setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi
oleh obat-obatan.
6. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang
akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15
menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.
7. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko
tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes
provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE
spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind
Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan
dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval

24
15 30 menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes
terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya
untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar
DERMATITIS KONTAK ALERGIKA

Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi
(Siregar, 2004).
Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000
Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).

Perbedaan DKI dan DKA


Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak alergi

Cenderung akut Cenderung kronik

Semua orang bisa terkena Hanya orang tertentu (riwayat


alergi/sensitasi yang terkena)

Lesi awal berupa : Lesi awal berupa : makula, eritema


makula,eritema,vesikel,bula dan erosi papula, melebar dari tempat awal

Penyebab iritan primer Penyebab : alergen

Tergantung konsentrasi bahan iritan dan Tidak tergantung dengan konsentrasi,


status sawar kulit. Terjadi jika bahan iritan konsentrasi rendah sekalipun dapat
melewati ambang batas memicu terjadinya DKA bergantung pada
tingkat sensitasi

25
Onset pada saat kontak pertama Onset pada saat kontak berulang

Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia
yang sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien,
IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai
kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan
manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya.
DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa
waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price,
2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus,
kemerahan dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya
vesikel-vesikel yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang
mula-mula tampak nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau

26
ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel
lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang
berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki
rambut terutama kelopak mata (Price, 2005).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak
mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila
pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5
sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).

27
Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau
excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar

28
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel


dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

29
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu
setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah
96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe
crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi
tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,
kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium

30
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume
jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini
ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

31
Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,


spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).

Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh
karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
Penatalaksanaan
Non medikamentosa

32
Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan
infeksi (Morgan, dkk, 2009)
Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan
penyebab alergi
Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak anak untuk menghilangkan
rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari

3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika


(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain

33
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis
kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku
menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

34
DERMATITIS NUMULARIS

DEFENISI

Dermatitis numularis atau yang biasa disebut ekzem numular atau ekzem
discoid merupakan suatu peradanganberupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau
agak lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul
disertai vesikel (papulovesikel), biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing)
dan biasanya menyerang daerah ekstremitas.

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis numularis biasanya terjadi pada orang dewasa, lebih sering


pada pria dibandingkan paada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis
kelamin antara 55 dan 65 tahun; pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15
sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada
timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun; umumnya kejadian meningkat
seiring dengan meningkatnya usia.

Prevalensi dermatitis numularis di Amerika Serikat adalah 2 dari 1000


orang dan insiden internasional dianggap sama seperti Amerika Serikat. Tidak ada
perbedaan ras pada penyakit ini

ETIOLOGI

Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Kemungkinan suatu


varian dermatitis atopik dibantah, karena kadar IgE masih dalam batas
normal. Diduga infeksi ikut berperan pada dermatitis numularis dengan
ditemukannya peningkatan koloni Staphylococcus dan Micrococcus di
tempat kelainan walaupun secara klinis tidak ditemukan tanda infeksi.
Timbulnya dermatitis numularis apakah melalui mekanisme

35
hipersensitifitas terhadap bakteri atau karena infeksi bakteri tersebut,
belum diketahui dengan jelas. Eksaserbasi terjadi bila koloni bakteri
meningkat di atas 10 juta kuman/cm2.
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi tentang dermatitis numularis ini belum diketahui dengan


pasti, tetapi pada kulit penderita dermatitis numularis cenderung kering, hidrasi
stratum korneum,rendah. Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan
histamine dan mediator inflamasi lainnya dari sel mast yang kemudian
berinteraksi dengan serat-saraf-C yang dapat menimbulkan gatal. Pada penderita
dermatitis numularis, substansi P dan kalsitosin serat peptide meningkat pada
daerah lesi dibandingkan pada non lesi. Neuropeptida ini dapat menstimulasi
pelepasan sitokin lainnya sehingga memicu timbulnya inflamasi. Hal ini
menunjukkan bahwa neuropeptide berpotensi pada mekanisme proses degranulasi
sel mast.

Peneliti lain telah menunjukkan bahwa adanya sel mast pada dermis dari
pasien dermatitis numularis menunjukkan aktivitas enzim chymase,
mengakibatkan menurunnya kemampuan menguraikan neuropeptide dan protein.
Disregulasi ini dapat menyebabkan menurunnya kemampuan enzim untuk
menekan proses inflamasi.

GEJALA KLINIS

Keluhan penderita dermatitis numularis dapat berupa gatal yang kadang


sangat hebat, sehingga dapat mengganggu. Lesi akut berupa vesikel dan
papulovesikel (0,3 - 1,0 cm), kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau
meluas ke samping, membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam (coin),
eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecah
terjadi eksudasi, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan. Ukuran lesi
bisa mencapai garis tengah 5 cm atau lebih, jumlah lesi dapat hanya satu, dapat
pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetris dengan ukuran bervariasi dari

36
miliar sampai numular, bahkan plakat. Tempat predileksi biasanya terdapat di
tungkai bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambaran Histopatologi

Pada lesi akut ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal, sebukan sel


radang limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah. Lesi kronis ditemukan
akantosis teratur, hipergranulosis dan hiperkeratosis, mungkin juga spongiosis
ringan. Dermis bagian atas fibrosis, sebukan limfosit dan makrofag di sekitar
pembuluh darah.

DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis numularis didasarkan atas gambaran klinis dengan


timbulnya lesi yang berbentuk papulovesikel yang bergabung membentuk satu
bulatan seperti mata uang (coin), dan terasa gatal yang timbul pada daerah
predileksi. Gambaran histopatologi juga bisa membantu dalam menegakkan
diagnosa.

DIAGNOSA BANDING

1. Dermatitis kontak
2. Dermatitis atopik
3. Neurodermatitis sirkumskripta
4. Dermatomikosis

PENATALAKSANAAN

Sedapat-dapatnya mencari penyebab atau faktor yang memprovokasi. Bila


kulit kering, diberi pelembab atau emolien. Secara topikal lesi dapat
diobati dengan obat antiinflamasi, misalnya preparat ter, glukokortikoid,

37
takrolimus, atau pimekrolimus. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya
dikompres dahulu misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000.

Kalau ditemukan infeksi bakterial, diberikan antibiotik secara sistemik.


Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan
refrakter, dalam jangka pendek. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin
golongan H1, misalnya hidroksisilin HCl.

5. PROGNOSIS

Dari suatu pengamatan sejumlah penderita yang diikuti selama berbagai


interval sampai dua tahun, didapati bahwa 22% sembuh, 25% pernah
sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah bebas
dari lesi kecuali masih dalam pengobatan

NAPKIN ECZEMA

Definisi

Napkin eczema merupakan salah satu bentuk dermatitis kontak iritan yang
ditandai dengan munculnya ruam di area popok. Napkin eczema juga sering
disebut sebagai diaper rash, nappy rash, diaper dermatitis atau ruam popok. IR
napkin eczema berbeda di setiap negara, tergantung pada hygiene; pengetahuan
orang tua (pengasuh) tentang cara penggunaan popok; dan cuaca.

Penyebab umumnya yaitu gesekan antara popok dengan kulit bayi yang
masih sangat sensitif, penggunaan popok yang terlalu ketat, jarang mengganti
popok, bahan pokok yang tidak bersahabat dengan kulit bayi, yang semua dapat
ini menimbulkan iritasi pada kulit bayi. Diaper rash merupakan masalah
multifaktorial. Faktor faktor yang dapat menyebabkan diaper rash antara lain:

Hidrasi kulit yang berlebih: hal ini sebanding dengan frekuensi dan
kuantitas urin, feses, dan penggantian popok
Trauma pada kulit yang disebabkan gesekan antara kulit dengan
popok
Iritasi:

38
- Amonia
- Feses
- Detergen dan sabun
- Bahan bahan yang terdapat dalam popok
- Bedak dan cream popok
Candida albicans (infeksi sekunder)

Diagnosis

1. Anamnesis
Anamnesis umum
Riwayat penggunaan popok/ riwayat kontak
Jenis bahan
Penyebab lain selain popok
Riwayat alergi
2. Pemeriksaan fisik
Didapatkan bercak makula eritematus pada area anogenital yang biasanya
ditutupi dengan popok
3. Pemeriksaan laboratorium
Bisa dilakukan dengan diaper rash yg disertai infeksi sekunder oleh
Candida albicans
KOH:
- Budding yeast cell
- Blastospora = blatoconodia
- Pseudohyphae
- Hyphae
Kultur: SDA mycobiotic/ mycosel
HistoPA

Gejala klinis

Kulit: didapatkan bercak makula eritematus pada area anogenital (skrotum


dan penis pada laki-laki; labia dan vagina pada perempuan) yang biasanya
ditutupi dengan popok yang semakin lama semakin membesar dan bisa

39
meluas sampai lipatan paha. Diaper rash yang disertai dengan infeksi
candida didapatkan satelite papule/ pustule.

Anak menjadi irritable

Diagnosis banding

Seborrhoeic dermatitis
Atopic dermatitis
Psoriasis
Perianal streptococcal cellulitis
Zinc deficiency
Langerhans' cell histiocytosis
Syndrom malabsorpsi
Crohns disease
Terapi

Menghentikan pemakaian popok


Diaper cream, seperti petroleum jelly
Zinc oxide based ointment
Bila disertai dengan infeksi candida, perlu digunakan antifungal:
miconazole, ketoconazole, nystatin. Bisa dikombinasikan dengan
hydrocortisone 1% untuk mengurangi inflamasi
Berikut merupakan flow chart pengobatan diaper rash:

40
Edukasi

Ganti popok sesering mungkin. Bayi sampai usia 3 bulan bisa buang air
kecil 12x / hr
Jika mungkin, lepaskan popok agar pantat bisa terkena udara & tetap
kering. Baringkan bayi di atas kain / handuk + alas kedap air di bawahnya
Jika memakai popok kain, cuci & bilas sebersih mungkin untuk
menghilangkan sisa deterjen,dll
Celana / popok kedap air mencegah penguapan & ruam popok makin
parah tapi hanya untuk waktu singkat
Setiap kali ganti popok, kulit harus benar-benar dibersihkan dengan air
hangat kemudian dilap dengan kain atau tisu basah . kemudian diberi
lotion (untuk mencegah iritasi)

Prognosis

Diaper rash berespon baik terhadap pengobatan

41

Anda mungkin juga menyukai