Pirogen adalah senyawa dengan berat molekul tinggi yang dinyatakan sebagai
senyawa lipopolisakarida yang diproduksi oleh kira-kira 5-10% massa total
bakteri. Pirogen ini merupakan senyawa yang jika masuk ke aliran darah akan
mempengaruhi suhu tubuh dan biasanya menghasilkan demam. Pengobatan
demam yang disebabkan oleh pirogen sangat sulit dan pada beberapa kasus dapat
menyebabkan kematian. Pirogen berasal dari kelompok senyawa yang luas,
meliputi endotoksin (LPS) (Sudjadi,2008).
Pirogen merupakan substansi yang menyebabkan demam dan berasal baik dari
eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes, sementara
pirogen endogen diproduksi oleh hospes, umumnya sebagai respon terhadap
stimulan awal yang biasanya timbul oleh karena infeksi atau inflamasi. Pirogen
endogen yang dihasilkan baik secara sistemik atau lokal, berhasil memasuki
sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di
hipotalamus (Harrison, 1999).
Pirogen endotoksin merupakan substansi yang tidak tersaring, termostabil, dan
non volatile. Pada tahun 1937 Co Tui membuktikan bahwa kontaminasi pirogen
ini juga terjadi pada alat-alat seperti wadah-wadah untuk melarutkan obat suntik,
juga pada zat kimia yang digunakan sebaga zat berkhasiat (Gennaro et al., 1990).
Uji pirogen terdiri dari dua jenis yaitu uji pirogen dengan kelinci dan uji
pirogen dengan LAL. Uji pirogen menggunakan kelinci yaitu digunakan kelinci
sehat yang telah dijaga dalam keadaan lingkunagan dan makanan yang tepat
sebelum dilakukan uji. Temperature normal atau temperature control diukur untuk
tiap hewan yang akan digunakan. Temperatur ini digunakan sebagai dasar
penentuan setiap kenaikan temperature yang ditimbulakan akibat dari penyuntikan
larutan yang akan diuji. Kelinci-kelinci yang digunakan temperaturnya tidak boleh
berbeda lebih dari 1o, satu dengan yang lainnya, dan temperature tubuh tersebut
diperkirakan tidak akan meningkat. Ringkasan prosedur uji tersebut adalah sebagai
berikut : (Ansel, 1989).
Metode kelinci mampu mendeteksi semua pirogen termasuk endoktoksin
sedangkan LAL tidak, sedangkan kelemahan metode uji pirogenitas
menggunakan kelinci dibandingkan dengan uji LAL ialah:
1. Memerlukan pemeliharaan dan perawatan hewan dan laboratorium yang
lebih intensif. Pemeliharaan hewan harus dilakukan dengan sebaik
mungkin untuk menghindari infeksi penyakit yang dapat mengganggu
percobaan atau mengacaukan interpretasi hasil
2. Sensitivitas dipengaruhi oleh musim, kegaduhan, kegelisahan, makanan
dan lain sebagainya. Kegelisahan akan dapat menyebabkan kenaikan suhu
relatif tinggi, sehingga mengacaukan interpretasi hasil
3. Respon setiap kelinci terhadap substansi yang sama belum tentu sama,
sehingga terdapat variasi kenaikan suhu pada tiap kelinci.
(Parrot, 1980).
Deteksi endotoksin dapat dilakukan dengan menggunakan LAL (Limulus
Amoebocyte Lysate) test. Prosedur ini akurat dan lebih praktis dibanding metode
kuno sebelumnya yaitu menggunakan kelinci. LAL test didasarkan pada observasi
pembentukan gel beku sewaktu endotoksin bersentuhan dengan protein pembeku
dari amoebocytes limulus yang bersikulasi (Roza,2017).
Terdapat beberapa macam uji pirogen endotoxin,yaitu gel-clot, turbidimetric
dan chromogenic. Gel clot ialah metode yang didasrkan pada pembentukan
gumpalan yang dapat dilihat dalam tabung uji. Metode ini mengukur kehadiran
endotoxin secara semi kualitatif. Sedangkan untuk metode yang turbidimrtic dan
chromogrnic dapat mengukur endotoxin secara kuantitatif (Talib dan
Muhamad,2013).
Perangkat uji LAL ini terdiri dari kalsium, enzim propembekuan (proclotting)
dan senyawa propenggumpalan/ prokoagulan (procoagulan). Enzim proclotting
akan teraktivasi oleh endotoksin dan kalsium unuk membentuk enzim pembeku
(clotting enzyme) yang akan memotong prokoagulan menjadi subunit polipeptida
(koagulogen). Sub unit - sub unit tersebut akan bergabung membentuk ikatan
disulfida membentuk gel beku. Jika diperlukan, bisa dilakukan metode
spektrofotometri untuk mengukur jumlah protein yang tergumpalkan pada lisat
tersebut yang mana bisa terdeteksi hingga 10 pg/mL LPS (Roza,2017).
Metode colorimetric dilakukan dengan menentukan pembentukan intensitas
warna setelah pelepasan warna dari kompleks peptida kromogenik yang sesuai
dengan endotoksin lisat menggunakan spektrofotometer yang ditetapkan pada
panjang gelombang 405 nm. Semakin kuat warnanya, semakin besar nilai
absorbansi yang terukur. Endotoksin konsentrasi endotin dalam satuan ng / mL
atau EU / ml (Akers, 1994).
DAFTAR PUSTAKA
Akers, M.J. 1994. Parenteral Quality Control.New York: Marcel Dekker, Inc.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Penerbit UI
Press.
Gennaro,A.R,et al. 1990. Remingons Pharmaceutical Science 18th Edition.
Pensylvania:Marck publishing company
Harrison.1999.Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : EGC.