Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini banyak sekali ditemukan berbagai macam kelainan yang terjadi pada indra penglihatan
kita yaitu mata. Hal ini disebabkan oleh tingkat kehidupan saat ini telah jauh berbeda dengan zaman
dahulu. Kebiasaan seperti terlalu banyak menghabiskan waktu di depan TV atau komputer
menyebabkan efek yang kurang baik pada mata kita. Sehingga hal ini menyebabkan gangguan
kesehatan,seperti timbulnya kelainan refraksi pada mata. Salah satu jenis kelianan tersebut adalah
astigmatisma.

Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacam- macam derajat refraksi
pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada
berbagai macam fokus pula. Setiap meridian mata memiliki titik fokus tersendiri yang mungkin
letaknya teratur (pada astigmatisma regularis) ataupun tak teratur (pada astigmatisma iregularis).

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis astigmatisme miop compositus pada
pasien yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUD Kanjuruhan Kepanjen.

1.2 Rumusan Masalah

I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan astigmatisme?

1.3 Tujuan

I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan astigmatisme


1.4 Manfaat

1.4.1 Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya astigmatisme

I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik
bagian ilmu penyakit mata

BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.TN

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 32 tahun

Alamat : Jl. Sukoharjo 2/2 Ketapang Kepanjen

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Buruh Konveksi


Status : Menikah

Suku Bangsa : Jawa

Tanggal Periksa : 28 Agustus 2011

No. RM : 260145

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Penglihatan kedua mata kabur

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur sejak 1
minggu. Pasien sering mengeluh mata cepat lelah, dan untuk melihat jauh terasa kabur dan untuk
melihat dekat juga tidak nyaman. Selain itu pasien juga mengeluh sering keluar air mata dan pusing
terutama kepala sebelah kanan. Kadang kadang juga silau bila terkena sinar matahari. Dari
keterangan pasien tidak didapatkan riwayat mata merah dan riwayat trauma.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum mengalami sakit yang sama

Tidak ada riwayat memakai kacamata sebelumnya

Hipertensi (-), DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama.


Terdapat riwayat keluarga dengan kacamata

Hipertensi (-), DM (-)

Riwayat Pengobatan : Belum pernah berobat

Riwayat Kebiasaan : pasien mengaku sering menggunakan sepeda motor kemana-mana

2.3 STATUS GENERALIS

Kesadaran : compos mentis (GCS 456)

Vital sign :

Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 80x/mnt

Pernafasan : 20x/mnt

Suhu : dalam batas normal

2.4 STATUS OFTALMOLOGIS

Pemeriksaan

OD
OS

AV

Tanpa koreksi

Dengan koreksi

6/12

6/8,5

TIO

N/P

N/P

Kedudukan

Ortoforia

Ortoforia

Pergerakan
Palpebra

- edema

- hiperemi

- trikiasis

Konjungtiva

- injeksi konjungtiva

- injeksi silier

-
-

Kornea

- warna

- permukaan

- infiltrate

Jernih

Cembung

Jernih

Cembung

Bilik mata depan

- kedalaman
- hifema

- hipopion

Cukup

Cukup

Iris / pupil

- warna iris

- bentuk pupil

- Letak pupil

- reflek cahaya direk/indirek

Coklat
Round (3mm)

Sentral

Coklat

Round (3mm)

Sentral

Lensa

- warna

- Iris shadow

jernih

jernih

-
Vitreus

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Retina

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Koreksi :

OD : S -1,00 C-0,25 A 125 6/6

OS : S -0,50 C-0,25 A 60 6/6

PD 59

2.5 DIAGNOSIS

Working diagnosis : ODS Astigmatisme Miop Compositus

2.6 PENATALAKSANAAN
Planning Diagnosis : Keratometer, funduskopi,

Planning Therapy :

C. Asthenof MD strip No I

S 4 dd gtt I ODS

Oculex tab No V

S 1dd tab I

Resep Kaca mata

OD : S -1,00 C-0,25 A 125 PD 59

OS : S -0,50 C-0,25 A 60 PD 59

2.7 PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam

Ad Functionam : dubia ad bonam

Ad Sanationam : dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Refraksi

Refraksi adalah suatu fenomena fisika berupa penyerapan sinar yang melalui media transparan yang
berbeda. Sebagai suatu contoh proses refraksi saat sebuah pensil diletakkan di dalam gelas yang
berisi air, maka akan tampak gambaran pensil di udara tidak lurus dengan yang tampak pada air
(Peary, 2005).

Hasil pembiasan sinar padamata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan
mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah
melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan
mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004).

Analisis statistik distribusi anomali/ kelainan refraksi yang terjadi di masyarakat dalam populasi
penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara jari-jari kurvatura kornea, kedalaman
bilik mata depan, kekuatan refraksi dari lensa, panjang sumbu bola mata dengan anomali/ kelainan
refraksi (Vhaugan, 2009).

Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Punctum Proksimum merupakan titik
terdekat di mana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Punctum Remotum adalah titik
terjauh di mana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang
yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat (Ilyas, 2004).

3.1.1 Emetropia

Pada mata ini daya bias mata adalah normal, di mana sinar jauh difokuskan sempurna di makula
lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak difokuskan pada makula lutea disebut
ametropia. Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100%. Bila media
penglihatan seperti kornea, lensa, dan badan kaca keruh maka sinar tidak dapat diteruskan di
makula lutea. Pada keadaan media penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6
(Ilyas, 2004).
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan
kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding
bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan
akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang berbede-beda. Bila
terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat jatuh ke makula.
Keadaan ini disebut ametropia/ anomali refraksi yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau
astigmatisma. Kelainan lain pada mata normal adalah gangguan perubahan kencembungan lensa
yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga erjadi gangguan akomodasi.
Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut
presbiopia (Ilyas, 2004).

3.1.2 Akomodasi

Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina, demikian pula bila benda
jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat difokuskan pada retina atau
makula lutea. Dengan berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada
retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot
siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan
meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi
(mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit
bila mata melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat (Ilyas, 2004)

Dikenal beberapa teori akomodasi, seperti:

teori akomodasi Hemholtz: di mana zonula Zinn kendor akibat konteaksi otot siliar sirkuler,
mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diameter menjadi kecil

teori akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat berubah bentuk
sedang yang dapat berubah bentuka adalah bagian lensa yang superfisial atau korteks lensa. Pada
waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian
depan nukleus akan mencembung (Ilyas, 2004).

Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina. Bila sinar jauh tidak
difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi hipermetropia maka mata
tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini
diperlukan akomodasi yang baik (Ilyas, 2004).
Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan kesukaran pada
pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anak-anak dapat mencapai+12.00 sampai
+18.00 D. Akibatnya pada anak-anak yang sedang dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya untuk
melihat jauh mungkin terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata
tersebut memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan
refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik untuk melumpuhkan otot akomodasi sehingga
pemeriksaan kelainannya murni, dilakukan pada mata yang beristirahat. Biasanya untuk ini diberikan
sikloplegik atau sulfat atropin bersifat parasimpatolitik, yang selain bekerja untuk melumpuhkan
otot siliar juga melumpuhkanotot sfingter pupil (Ilyas, 2004).

Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat berkurangnya
elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada
usia lanjut disebut presbiopia (Ilyas, 2004).

3.1.3 Ametropia

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan
kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding
bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan
akomodasi atau bila melihat benda dekat (Ilyas, 2004).

Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea
(mendatar atau mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek)
bola mata maka sinar normal tidak akan terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia
(anomali refraksi) yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisme. Kelainan system
refraksi (pembiasan cahaya) pada mata, menyebabkan sinar-sinar sejajar yang masuk ke dalam mata
tidak difokuskan pada retina saat mata tersebut dalam keadaan istirahat (Ilyas, 2004).

3.2 Pengertian Astigmatisma

Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu fokus-titik
di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau lensa kristalina.
Astigmatisme merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian yang berbeda tidak
sama. Dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar yang masuk ke mata difokuskan pada
lebih dari satu titik sengga menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel
(Vaughan, 2009).
Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan
tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di
kornea Pada mata dengan astigmatisme lengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih
panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus padanya (Ilyas, 2009).

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan jaringan
yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu :

Epitel

Membran Bowman

Stroma

Membran Descement

Endotel

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari sarf siliar longus, saraf nasosiliar,
saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar
masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 2009).

3.3 Pembagian Astigmatisma

Pembagian astigmatisma menurut Ilyas (2009) :

Astigmatisma lazim (Astigmatisma with the rule), yang berarti kelengkungan kornea pada bidang
vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan
kornea di bidang horizontal. Pada keadaan astigmatisma lazim ini diperlukan lensa silinder negatif
dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi.

Gambar 1 Astigmatisme with the rule

Astigmatisma tidak lazim (Astigmatisma againts the rule), suatu keadaan kelainan refraksi
astigmatisma dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120
derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat
kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea
vertikal.

Gambar 2 Astigmatisme against the rule

3.4 Bentuk Astigmatisma

Bentuk astigmatisma menurut Ilyas (2009) dibagi menjadi 2, yaitu :

Astigmatisma Regular

Astigmatisme dikategorikan regular jika meredian meredian utamanya (meredian di mana terdapat
daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata), mempunyai arah yang saling tegak lurus

Astigmatisma Iregular

Pada bentuk ini didapatkan titik fokusyang tidak beraturan/tidak saling tegak lurus. Penyebab
tersering adalah kelainan kornea seperti sikatrik kornea, keratokonus. Bisa juga disebabkan kelainan
lensa seperti katarak imatur. Kelainan refraksi ini tidak bisa dikoreksi dengan lensa silinder (Vaughan,
2009).

3.5 Patofisiologi Astigmatisma


Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan sinar pada satu
titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma
dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus
pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain
difokuskan di belakang retina.

Gambar 3 Pembentukan bayangan pada Astigmatisme

Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :

Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh di depan retina

Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang retina

Astigmaticus miopicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan satunya tepat
pada retina

Astigmaticus hipermetropicus simpex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di belakang retina dan
satunya tepat pada retina

Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan retina dan belakang retina

Mata dengan astigmatisma dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas dengan air yang
bening. Bayangan yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, atau terlalu lebar dan kabur (Ilyas
et al, 2003).

3.6 Penyebab Astigmatisma


Penyebab tersering dari astigmatism adalah kelainan bentuk kornea. Pada sebagian kecil dapat pula
disebabkan kelainan lensa.Pada umumnya astigmatisme bersifat menurun, beberapa orang
dilahirkan dengan kelainan bentuk anatomi kornea yang menyebabkan gangguan penglihatan dapat
memburuk seiring bertambahnya waktu. Namun astigmatisme juga dapat disebabkan karena trauma
pada mata sebelumnya yang menimbulkan jaringan parut pada kornea, daat juga jaringan parut
bekas operasi pada mata sebelumnya atau dapat pula disebabkan oleh keratokonus (Vaughan,
2009).

Astigmatisma juga sering disebabkan oleh adanya selaput bening yang tidak teratur dan lengkung
kornea yang terlalu besar pada salah satu bidangnya (Guyton et al, 1997). Permukaan lensa yang
berbentuk bulat telur pada sisi datangnya cahaya, merupakan contoh dari lensa astigmatis. Derajat
kelengkungan bidang yang melalui sumbu panjang telur tidak sama dengan derajat kelengkungan
pada bidang yang melalui sumbu pendek. Karena lengkung lensa astigmatis pada suatu bidang lebih
kecil daripada lengkung pada bidang yang lain, cahaya yang mengenai bagian perifer lensa pada
suatu sisi tidak dibelokkan sama kuatnya dengan cahaya yang mengenai bagian perifer pada bidang
yang lain (Ilyas, 2003) Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu erat
(James et al, 2003).

Selain itu daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan astigmatisma karena pada
akomodasi, lengkung lensa mata tidak berubah sama kuatnya di semua bidang. Dengan kata lain,
kedua bidang memerlukan koreksi derajat akomodasi yang berbeda, sehingga tidak dapat dikoreksi
pada saat bersamaan tanpa dibantu kacamata (Ilyas, 2003).

3.7 Tanda dan Gejala Astigmatisma

Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi terkadang pada
astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata, dan
mengaburkan pandangan ke segala arah.

Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena mereka tidak menyadari
dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan mereka (Williams, 1997).
3.7 Pemeriksaan Astigmatisma

a. Refraksi Subyektif

Alat :

Kartu Snellen.

Bingkai percobaan.

Sebuah set lensa coba.

Kipas astigmat.

Prosedur :

Astigmat bisa diperiksa dengan cara pengaburan (fogging technique of refraction) yang
menggunakan kartu snellen, bingkai percobaan, sebuah set lensa coba, dan kipas astigmat.
Pemeriksaan astigmat ini menggunakan teknik sebagai berikut yaitu:

Pasien duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter,

Pada mata dipasang bingkai percobaan,

Satu mata ditutup,

Dengan mata yang terbuka pada pasien dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan dengan lensa (+)
atau (-) sampai tercapai ketajaman penglihatan terbaik,

Pada mata tersebut dipasang lensa (+) yang cukup besar (misal S + 3.00) untuk membuat pasien
mempunyai kelainan refreksi astigmat miopikus,

Pasien diminta melihat kartu kipas astigmat,

Pasien ditanya tentang garis pada kipas yang paling jelas terlihat,

Bila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat maka lensa S( + 3.00) diperlemah sedikit
demi sedikit hingga pasien dapat menentukan garis mana yang terjelas dan terkabur,

Lensa silinder (-) diperkuat sedikit demi sedikit dengan sumbu tersebut hingga tampak garis yang
tadi mula-mula terkabur menjadi sama jelasnya dengan garis yang terjelas sebelumnya,
Bila sudah dapat melihat garis-garis pada kipas astigmat dengan jelas,lakukan tes dengan kartu
Snellen,

Bila penglihatan belum 6/6 sesuai kartu Snellen, maka mungkin lensa (+) yang diberikan terlalu
berat,sehingga perlu mengurangi lensa (+) atau menambah lensa (-),

Pasien diminta membaca kartu Snellen pada saat lensa (-) ditambah perlahan-lahan hingga
ketajaman penglihatan menjadi 6/6 (Ilyas, 2003)

Sedangkan nilainya : Derajat astigmat sama dengan ukuran lensa silinder (-) yang dipakai sehingga
gambar kipas astigmat tampak sama jelas (Ilyas, 2003).

b. Refraksi Obyektif

Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan
keratometer, derajat astigmatisma dapat diketahui. Cara obyektif semua kelainan refraksi, termasuk
astigmatisma dapat ditentukan dengan skiaskopi, retinoskopi garis (streak retinoscopy), dan
refraktometri (Ilyas et al, 2003).

2.8 Penatalaksanaan Astigmatisma

Astigmatism reguler, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan, yaitu dikoreksi dengan
lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa kombinasi lensa sferis. Astigmatism ireguler, bila
ringan bisa dikoreksi dengan lensa kontak keras, tetapi bila berat bisa dilakukan tranplantasi kornea
(Ilyas, et al., 2003).

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa ODS astigmatisme miop compositus
dan penatalaksanaannya adalah dengan pemberian kaca mata sveris silinder negatif dan obat-
obatan sebagai suplemen.

Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacam- macam derajat refraksi
pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada
berbagai macam fokus pula. Terdapat berbagai macam astigmatisma, antara lain simple
astigmatisma, mixed astigmatisma dan compound astigmatisma. Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan
pada lensa dan kelainan pada kornea. Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien.

4.2 Saran

Pemberian KIE kepada masyarakat mengenai kelainan refraksi, penanganan serta pencegahan perlu
dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton,N Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.hal 786-790.

Ilyas, Sidarta, 2003. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Ilmu
Kedokteran Universitas Indonesia

Ilyas, S., 2009. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

James,Bruce., Chew, Chris., Brown, Anthony., 2003. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi kesembilan.
Jakarta: Erlangga.hal 34-36.
Peary, Robert E, 2005. The North Pole: Its Discovery in 1909, 1910. New York: Frederick A. Stokes
Co.U.S. Naval Observatory, Nautical Almanac Office. Air Almanac,. Department of the Navy.

Vaughan, D.G.,Asbury, T., Riordan-Eva, P., 2004 Kesalahan Refraksi dalam Oftalmologi Umum, 14th
ed. Penerbit Widya Medika, Jakarta.

Williams W. Corneal and Refractive Anomali. Dalam: Wright K, Head MD, editor. Textbook Of
Ophthalomology. Waverly company. London, 1997: 767-

Anda mungkin juga menyukai