Anda di halaman 1dari 31

BAB I

REKAM MEDIS

1.1 Identitas

Nama : Tn S
Umur : 73 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL : Serang, 16 Juli 1943
No RM : 23.08.28
Agama : Islam
Alamat : Serang
Tanggal masuk RS : 15 Oktober 2016

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak Nafas

Keluhan Tambahan : Kedua kaki bengkak, batuk, pusing, pegal-pegal pada kaki

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD dr. Dradjat Prawiranegara mengeluh sesak nafas sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan ini dirasakan terus menerus. Pasien mengatakan sesak bila berjalan sedikit dan membaik
bila beristirahat. Pasien juga mengatakan terkadang terbangun dari tidur pada malam hari, karena
sesak nafas. Pasien mengatakan, lebih nyaman bila pada posisi duduk dari pada posisi tiduran. Saat
tidur menggunakan 2 bantal. Keluhan ini tidak disertai dengan nyeri dada. Keluhan seperti ini
sudah sering dirasakan oleh pasien. Pasien mengatakan sudah pernah dirawat dengan keluhan yang
sama.

Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak sejak 1 minggu SMRS. Keluhan ini sudah sering
dialami oleh pasien. Pasien mengatakan biasanya kaki bengkaknya kempes sendiri, tetapi kali ini
tidak kunjung hilang. Pasien mengatakan mudah merasa lelah saat berjalan sedikit dan merasakan
pegal pegal pada kedua kakinya.

Keluhan disertai dengan pusing dan batuk berdahak, tidak ada keluhan mual dan muntah.
Diketahui pasien memiliki riwayat darah tinggi yang sudah lama dan tidak teratur dalam meminum
obat.

Riwayat penyakit terdahulu :

Hipertensi (+), DM(-), Maag (-), Asthma (-)

Riwayat penyakit keluarga :

Hipertensi (-), DM (-), Maag (-), Asthma (-)

Pemeriksaan Fisik (18/10/16)

Keadaan Umum

Kesan sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : 140/100 mmHg

Nadi : 89 x/menit

Pernafasan : 25 x/menit

Suhu : 36.2 oC
Status Generalis

Kepala : Normochepal

Mata : Pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-

Leher : Trakea letak normal, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,
JVP meningkat

Thoraks :

a. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tampak

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra

Perkusi : Batas atas : Sela iga III linea parasternal sinistra

Batas kanan : Sela iga V linea parasternal dekstra

Batas kiri : Sela iga VI linea axillaris anterior sinistra

Auskultasi : SI SII reguler, murmur (-), gallop (-)

b. Paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pernapasan simetris dalam
keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)

Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (+/+)

Abdomen

Inspeksi : Tidak tampak adanya kelainan kulit, distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+)

Perkusi : Timpani di seluruh quadran abdomen

Palpasi : Supel di seluruh kuadran abdomen, turgor kulit baik, nyeri


tekan (-) di epigastrium, hepar tidak teraba membesar, lien tidak
teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema di kedua tungkai

1.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (15 Oktober 2016)

JENIS 15/10/2016 NILAI NORMAL


PEMERIKSAAN
Hemoglobin 12,8 g/dL P: 14-18
W: 12-16
Leukosit 8.200 u/L 5000-10.000
Hematokrit 40 % P: 40-48
W: 37-43
Trombosit 157.000 u/L 150.000-450.000
Gula darah puasa 104 <126
HDL 23 >60
LDL 98 <155
Triglyseride 78 <200
Cholesterol 137 <200
Ureum 34 6,00-46,00
Creatinin 1,33 0,60-1,50
Natrium 137,2 mmol/L 135,00-148,00
Kalium 2.81 mmol/L 3,30-5,30
Chlorida 98,0 mmol/L 96,00-111,00
Echocardiogram
Dilated all chamber LVH (+)
EF 24,9%.
E/A > 2,0 cm
TAPSE 0,8 cm
Moderate MR, Mild TR
CAD, HHD, Trombus di apex LV

1.4 Diagnosis Kerja


Congestive Heart Failure Functional Class III C ec Hipertensi Heart Disease + Hipertensi
grade II + Ventrikular Ekstra Systole

1.5 Penatalaksanaan
Inj. Lasix 2 x 1 amp

Lisinopril 2,5mg 2 x 1

Simvastatin 10mg 1 x 1

Miniaspi 80mg 1 x 1

Concor 2,5mg 1 x

1.6 Prognosis
Ad Vitam : Ad malam

Ad Functionam : Ad malam

Ad Sanationam : Ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Kongestif


2.1.1 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural dan
fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian ventrikel dan pompa darah ke
seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan
pembatasan toleransi aktivitas dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema
perifer. Gejala ini mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (AHA, 2001).

2.1.2 Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi
hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.

Hipertensi sistemik atau pulmonal


Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot
jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.

Penyakit jantung lain


Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang
masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.

Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung.
Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas
elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

2.1.3 Klasifikasi Gagal Jantung

Gagal jantung sistolik dan diastolik


Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah
jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun,
dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal
jantung diastolic didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%.
Pemeriksaan dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan
aliran vena pulmonalis
Low output dan High output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup, dan
perikard.
High output HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular sistemik seperti hipertirodisme,
anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri, dan penyakit paget.

Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan
paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea.
Gagal jantung kanan terjadi bila kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada
hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kengesti
vena sistemik yang menyebabkan eodem perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugular.

Heart Failure-Reduced Ejection Fraction dan Heart Failure-Preserved Ejection Fraction


HF-reduced ejection fraction adalah adanya tanda dan gejala gagal jantung yang diserta
dengan penurunan nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri
HF-preserved ejection fraction adalah adanya tanda dan gejala gagal jantung, tetapi nilai
fraksi ejeksi normal atau menurun sedikit, serta tidak ada dilatasi ventrikel kiri. Kondisi ini
berhubungan dengan kelainan structural, seperti hipertrofi ventrikel kiri atau atrium kiri,
dan/atau disfungsi diastolik.

Gagal jantung akut dan kronis


Gagal jantung akut terjadi sesak napas secara cepat (<24jam) akibat kelainan fungsi jantung
gangguan fungsi sistolik dan diastolik atau irama jantung atau kelebihan beban awal, beban
akhir, atau kontraktilitas.
Gagal jantung kronis merupakan sindrom klinis kompleks akibat kelainan structural atau
fungsional yang mengganggu kemampuan pompa atau pengisian jantung.
Derajat gagal jantung berdasarkan NYHA
NYHA I Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam
aktivitas sehari-hari
NYHA II Gejala ringan (sesak napas ringan dan/atau angina) dan terdapat
keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari
NYHA III Keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari pada tingkatan yang lebih ringan,
misalnya berjalan 20-100 meter. Pasien hanya nyaman saat istirahat
NYHA IV Terdapat keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul saat
istirahat

Staging pada gagal jantung (berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)

Stage A Risiko besar gagal jantung, tidak teridentifiksai abnormalitas structural dan
fungsional, tidak ada gejala dan tanda gejala jantung
Stage B Berkembangnya penyakit structural jantung yang berhubungan dengan
timbulnya gagal jantung, tadi tidak terdapat gejala dan tanda-tanda gagal
jantung
Stage C Gejala gagal jantung berhubungan dengan perubahan structural jantung
Stage D Terdapat kelainan structural yang berat dan terdapat gejala gagal jantung
saat beristirahat

2.1.4 Patogenesa Gagal Jantung


Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh
melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memompa
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu respon
hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa
penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume
darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi
ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan
air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan
kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan beban
berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung
intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak
tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung
akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem
renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan
kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan
tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas
jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload,
peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga
terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik
(penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung
yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas
(misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu
kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada gagal jantung
kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan disritmia
ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi
CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan
komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan
bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian jantung
mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO
menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung,
seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik (emboli pulmo,
jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep curah
jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO = HR X SV dimana curah jantung adalah
fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup.
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat
frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus
menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah
utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah
jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor
yaitu:

1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.

2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan
berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.

3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa darah
melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan arteriole.
2.1.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya gagal
jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel
mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.

2.1.6 Diagnostik
Kriteria Framingham (2 Mayor atau 1 Mayor dengan 2 Minor)

Mayor Minor
Paroksismal Nokturnal Dyspnea Edema ekstremitas
Distensi vena leher Batuk malam hari
Rhonki paru Dyspnea deffort
Kardiomegali Hepatomegaly
Edema paru akut Efusi pleura
Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian tekanan vena jugularis Takikardi
Refluks Hepatojugular

2.1.7 Tatalaksana

Terapi nonfarmakologis
Istirahat, olahraga, kontrol asupan garam, berhenti rokok, dan alcohol

Terapi farmakologis
1. Angiotensin
Dianjurkan sebagai obat lini pertama untuk meningkatkan survival, memperbaiki gejala, dan
diberikan terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan
bersama diuretic.
2. Diuretik
Penting untuk pengobatan simptomatik bila ditemukan beban cairan berlebih, kongesti paru, dan
edema perifer
3. B-blocker
Direkomendasikan pada semua gagal jantung yang stabil
4. Antagonist reseptor aldosterone
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
5. Glikosida Digitalis
Meningkatkan kontraktilitas otot jantung
2.1.8 Komplikasi

1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep venous
thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa
diturunkan dengan pemberian warfarin.

2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau blocker dan
pemberian warfarin).

3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.

4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-
50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, blocker, dan vebrilator
yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.
2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau
diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam
keadaan cukup istirahat (tenang).7 Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi
dari 140 / 90 mmHg.

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor resiko
yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol
seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas,
kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung natrium
dan lemak jenuh.

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan jantung, penyakit


jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada kelemahan fungsi dari
organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian.
Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling
berpengaruh penyebab penyakit jantung (cardiovascular).

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi


Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya
seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-
angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-
faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koartasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang
dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.

2.2.3 Patogenesa Hipertensi


Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi
antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan
tekanan darah tersebut adalah
1. Faktor risiko, seperti diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetis
2. Sistem saraf simpatis
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi
4. Pengaruh sistem otokrim setempat yang berperan pada sistem renin angiotensin dan
aldosteron
2.2.4 Kerusakan Organ Target
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat
melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation,
dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap
garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh
darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor- (TGF-).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah
1) Jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Angina atau infark miokardium
gagal jantung
2) Otak
Stroke atau transient ishemic attack
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopati

2.2.5 Evaluasi Hipertensi

Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk


1) Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atuu
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis
2) Mencari penyebab kenaikan tekanan darah
3) Menentukan ada tidaknya penyebab kerusakan organ dan penyakit kardiovaskular.

Evaluasi pasien hipertensi dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu, dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
Anamnesis meliputi
1. Lamanya menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat
analgesik, dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
b. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attack, deficit sensoris atau motoris.
b. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal : haus, polyuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga, dan lingkungan

Pemeriksaan Fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit
penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder. Pengukuran
tekanan darah
Pengukuran rutin di kamar periksa
Pengukuran sendiri
Pengukuran 24 jam (ambulatory blood pressure monitoring-ABPM)

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta
sistemik, yaitu
Aterosklerosis (pemeriksaan profil lipid)
Diabetes ( terutama pemeriksaan gula darah)
Fungsi ginjal (pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi
glomerulus)

Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan umtuk menentukan adanya kerusakan organ
target dapat dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi :
1. Jantung
Pemeriksaan fisik
Foto polos dada (melihat pembesaran jantung, kondisi arteri intratoraks, dan
sirkulasi pulmoner)
Elektrokardiografi (deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi
ventrikel kiri)
2. Pembuluh darah
Pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure
Ultrasonografi karotis
3. Otak
Pemeriksaan neurologis
Diagnosis stroke dengan menggunakan CT Scan atau MRI
4. Mata
Funduskopi
5. Fungsi ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-
makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin
Perkiraan laju filterasi glomerulus

2.2.6 Tatalaksana
Tujuan pengobatan pasien hipertensi
Memenuhi target tekanan darah
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Menghambat laju penyakit ginjal

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi


nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan
tekanan darah dan mengandalikan faktor-faktor serta pentakit penyerta lainnya
Terapi nonfarmakologis terdiri dari
Berhenti merokok
Menurunkan berat badan berlebih
Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
Latihan fisik
Menurunkan asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

Terapi farmakologis menurut JNC-8 dan Compelling indication


Compelling Indications
Indication Treatment Choice
Heart Failure ACEI/ARB + BB + diuretic + Spironolactone
Post-MI/Clinical CAD ACEI/ARB and BB
CAD ACEI. BB, diuretic, CCB
Diabetes ACEI/AEB, CCB, diuretic
CKD ACEI/ARB
Reccurent stroke prevention ACEI, diuretic
Pregnancy Labetolol (first line), nifedipine, methyldopa
2.3 Penyakit Jantung Hipertensi
2.3.1 Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder
pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini prevalensi
hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui
penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Sejumlah
85-90 % hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi
esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya
(hipertensi sekunder).
Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di mana
angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat
rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2
mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering
meninggal dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga
dapat menyebabkan strok, gagal ginjal, atau gangguan retina mata.

2.3.2 Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya
waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa darah
melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang meningkat, ventrikel kiri membesar
dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi,
gejala gagal jantung akan makin terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke. Tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk otot
jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan
suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah yang akan
mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan terakumulasi pada dinding
pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan resiko seangan jantung dan stroke. Penyakit jantung
hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi. Hal ini terjadi pada
sekitar 7 dari 1000 orang.
2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler,
dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan
hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi
faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada
struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui peningkatan afterload dan
secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait dan perubahan vaskular. Peningkatan
perubahan tekanan darah dan tekanan darah malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai
faktor yang paling berhubungan dengan berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi masyarakat
Afrika-Amerika. Patofisiologi berbagai efek hipertensi terhadap jantung berbeda-beda dan akan
dijelaskan pada bagian ini.

Hipertrofi ventrikel kiri


Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri (HVK). Risiko
HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi HVK berdasarkan penemuan lewat
EKG(bukan merupakan alat pemeriksaan yang sensitif) pada saat menegakkan diagnosis
hipertensi sangatlah bervariasi.Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara derajat
dan lama berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK.
HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri, sebagai respon
miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit
dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload. Rangsangan mekanik dan
neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat menyebabkan aktivasi pertumbuhan sel-sel otot
jantung, ekspresi gen (beberapa gen diberi ekspresi secara primer dalam perkembangan miosit
janin), dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin melalui aksi angiotensin II
pada reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan sel-sel interstisial dan komponen matrik sel.
Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit
dan struktur interstisium skeleton cordis.
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodelling konsentrik, HVK konsentrik,
dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada ketebalan dan massa ventrikel kiri
disertai peningkatan tekanan dan volume diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan pada pasien
dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana penebalan ventrikel kiri tidak
merata namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada septum. LVH konsentrik merupakan
pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi. Pada awalnya proses HVK merupakan
kompensasi perlindungan sebagai respon terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk
mempertahankan cardiac output yang adekuat, namun HVK kemudian mendorong terjadinya
disfungsi diastolik otot jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung.

Abnormalitas Atrium Kiri


Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat umum terjadi pada
pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani atrium kiri lewat peningkatan tekanan
end diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan untukmeningkatkan tekanan darah yang
menyebabkan gangguan pada fungsi atrium kiri ditambah peningkatan ukuran dan penebalan
tarium kiri. Peningkatan ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi yang tidak disertai penyakit
katup jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan kronisitas hipertensi dan mungkin berhubungan
dengan beratnya disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai tambahan, perubahan struktur ini
menjadi faktor predisposisi terjadinya atrial fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi,
dengan hilangnya kontribusi atrium pada disfungsi diastolik, dapat mempercepat terjadinya gagal
jantung.

Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi, hipertensi yang
kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang menyebabkan terjadinya
insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan perdarahan secara signifikan akibat
insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol.
Peningkatan tekanan darah yang akut dapat menentukan derajat insufisiensi aorta, yang akan
kembali ke dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih baik. Sebagai tambahan, selain
menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan dapat mempercepat proses sklerosis
aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.
Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui, sebagian karena
saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan
tekanan darah yang tinggi, hal ini menaburkan penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi
disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi
Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan terjadinya HVK dapat
memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase komplaien lambat dari diastolik
ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi diastolik
biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain peningkatan
afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah
penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan
HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir penyakit, HVK
gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam menghadapi peningkatan
tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output.
Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini
menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin,
yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi
perifer. Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat, disadari sebagai pemegang peran
pentingdalam transisi dari tahap kompensata menjadi dekompensata. Pasien menjadi simptomatik
selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, menerima perubahan
pada kondisi afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain bagi miokard (contoh: iskemia,
infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema paru akut tanpa perlu
perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi
ventrikel kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat
pad status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi
ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari
penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi. Hipertensi adalah
faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan hampir
melipatgandakan risiko. Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi bersifat
multifaktorial.
Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada ketidakhadiran
penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload sekunder akibat hipertensi menyebabkan
peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan tekanan transmural, menekan aliran darah koroner
selama diastole. Sebagai tambahan, mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat
mengalami disfungsi pada pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu mengkompensasi
peningkatan metabolik dan kebutuhan oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan tanda penyakit arteri koroner, di
eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek peningkatan tekanan darah kronis mengurangi
tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi endotelial menyebabkan gangguan pada
sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang merupakan vasodilator poten. Penurunan kadar nitrit
oksida menyebabkan perkembangan dan makin cepatnya pembentukan arteriosklerotis dan plak.
Gambaran morfologi plak identik dengan plak yang ditemukan pada pasien tanpa hipertensi.

2.3.4 Diagnosis
Riwayat
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis
untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi
konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-
tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat dikaitkan
dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap sebagai gejala
peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan hipertensi berat.
Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital. Gejala
nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara lain adalah rasa
pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka umum
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi
sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki dalam perolehan
riwayat dari pasien hipertensif.

Tabel Riwayat yang relevan


Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam merokok, diabetes,
inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan; kelemahan otot;
palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku mendengkur, somnolens siang hari;
gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan
darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien; angina, infark
miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain

Pengukuran tekanan darah


Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap detail
mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang melarang penggunaan
merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya, sebagian besar pengukuran kantor
dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi
harus dikonfirmasi. Sebelum pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5
menit dalam kondisi hening dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang nyaman. Bagian
tengah cuff harus berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus setara dengan sekurang-kurangnya
40% lingkar lengan. Penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2
mmHg/detik) penting untuk diperhatikan. Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari
sekurang-kurangnya dua ketukan suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik adalah titik
di mana suara Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi
umumnya dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik.

Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan awal, tekanan
harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk
mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Bahkan jika nadi femoral teraba normal, tekanan
arterial harus diukur sekurangnya sekali pada ekstremitas inferioir pada pasien di mana hipertensi
ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga harus dicatat. Individu hipertensif
memiliki peningkatan prevalensi untuk mengalami fibrilasi atrial. Leher harus dipalpasi untuk
mencari pembesaran kelenjar tiroid, dan para pasien harus diperiksa untuk tanda-tanda hipo dan
hipertiroidisme. Pemeriksaan pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai penyakit
vakular yang mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik, auskultasi untuk bruit
di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi femoral dan pedal (pedis). Retina adalah
satu-satunya jaringan di mana arteri dan arteriol dapat diamati secara langsung. Seiring
peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik
progresif antara lain seperti peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek perbandingan
arteriovenous, hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.
Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang menguat karena
penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan kontraksi artrium terhadap ventrikel
kiri yang tidak seiring. Hipertropi ventrikel kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal
yang menguat, bertahan, dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal, terutama bruit yang
berlateralisasi dan terjadi selama sistole ke diastole, meningkatkan kemungkinan hipertensi
renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi di abdomen.
Pemeriksaan fisis harus menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF dan pemeriksaan neurologis.

Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang direkomendasikan dalam
evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal berulang, elektrolit serum, glukosa
puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah pemberian agen antihipertensif baru dan kemudian tiap
tahun, atau lebih sering bila diindikasikan secara klinis. Tes laboratorium yang lebih ekstensif
dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan-pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi
klinis menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.

Tabel Tes laboratorium dasar untuk evaluasi awal


Sistem Tes
Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum
Endokrin Natrium, kalium, kalsium, dan TSH serum
Metabolik Glukosa darah puasa, kolesterol total, HDL dan LDL, trigliserida
Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram

2.3.5 Penatalaksanaan
Perubahan gaya hidup
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik pada
pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan
kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan untuk
terapi obat pada individu hipertensif. Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi
risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup pada
tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada uji jangka-pendek,
penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah terbukti mencegah perkembangan
hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan jika intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan
reduksi tekanan darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau
dosis yang diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara
efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl,
peningkatan masukan kalium, pengurangan konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara
keseluruhan.

Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi


Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI <25 kg/m2
Reduksi garam < 6 g NaCl/hari
Adaptasi rencana diet jenis-DASH Diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk
susu rendah-lemak dengan kandungan lemak tersaturasi
dan total yang dikurangi
Pengurangan konsumsi alkohol Bagi mereka yang mengkonsumsi alkohol, minumlah 2
gelas/hari untuk laki-laki dan 1 gelas/hari untuk wanita
Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan cepat selama 30
menit/hari
Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi tekanan darah
dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan penurunan berat badan yang
moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan peningkatan sensitivitas insulin. Reduksi
tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3/1 mmHg telah diamati terjadi dengan reduksi berat badan
rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan berat badan, mengurangi
tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit kardiovaskular. Tekanan darah
dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama 30 menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari
per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih dan frekuensi kurang.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu, diet yang
kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak mengurangi tekanan darah pada
individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian
menjadi <6 g (100 mEq) menambah efek diet ini pada tekanan darah. Buah-buahan dan sayur-
sayuran merupakan sumber yang kaya akan kalium, magnesium, dan serat, dan produk susu
merupakan sumber kalsium yang penting.
Pada tahap asimtomatik, kontrol tekanan darah adalah target utama terapi utama terapi baik
farmakologis maupun nonfarmakologis, diet, dan aktivitas fisik. Beberapa obat telah diketahui
untuk mencegah kerusakan remodeling jantung dalam jangka panjang, yaitu ACE inhibitor atau
ARB, BB, dan golongan statin. Namun penggunaannya tetap dipertimbangkan indikasi-
kontraindikasi dari pasien.

Anda mungkin juga menyukai