REKAM MEDIS
1.1 Identitas
Nama : Tn S
Umur : 73 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL : Serang, 16 Juli 1943
No RM : 23.08.28
Agama : Islam
Alamat : Serang
Tanggal masuk RS : 15 Oktober 2016
1.2 Anamnesis
Keluhan Tambahan : Kedua kaki bengkak, batuk, pusing, pegal-pegal pada kaki
Pasien datang ke RSUD dr. Dradjat Prawiranegara mengeluh sesak nafas sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan ini dirasakan terus menerus. Pasien mengatakan sesak bila berjalan sedikit dan membaik
bila beristirahat. Pasien juga mengatakan terkadang terbangun dari tidur pada malam hari, karena
sesak nafas. Pasien mengatakan, lebih nyaman bila pada posisi duduk dari pada posisi tiduran. Saat
tidur menggunakan 2 bantal. Keluhan ini tidak disertai dengan nyeri dada. Keluhan seperti ini
sudah sering dirasakan oleh pasien. Pasien mengatakan sudah pernah dirawat dengan keluhan yang
sama.
Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak sejak 1 minggu SMRS. Keluhan ini sudah sering
dialami oleh pasien. Pasien mengatakan biasanya kaki bengkaknya kempes sendiri, tetapi kali ini
tidak kunjung hilang. Pasien mengatakan mudah merasa lelah saat berjalan sedikit dan merasakan
pegal pegal pada kedua kakinya.
Keluhan disertai dengan pusing dan batuk berdahak, tidak ada keluhan mual dan muntah.
Diketahui pasien memiliki riwayat darah tinggi yang sudah lama dan tidak teratur dalam meminum
obat.
Keadaan Umum
Tanda Vital
Nadi : 89 x/menit
Pernafasan : 25 x/menit
Suhu : 36.2 oC
Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
Leher : Trakea letak normal, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,
JVP meningkat
Thoraks :
a. Jantung
b. Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pernapasan simetris dalam
keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)
Abdomen
1.5 Penatalaksanaan
Inj. Lasix 2 x 1 amp
Lisinopril 2,5mg 2 x 1
Simvastatin 10mg 1 x 1
Miniaspi 80mg 1 x 1
Concor 2,5mg 1 x
1.6 Prognosis
Ad Vitam : Ad malam
Ad Functionam : Ad malam
Ad Sanationam : Ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi
hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung.
Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas
elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Staging pada gagal jantung (berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Stage A Risiko besar gagal jantung, tidak teridentifiksai abnormalitas structural dan
fungsional, tidak ada gejala dan tanda gejala jantung
Stage B Berkembangnya penyakit structural jantung yang berhubungan dengan
timbulnya gagal jantung, tadi tidak terdapat gejala dan tanda-tanda gagal
jantung
Stage C Gejala gagal jantung berhubungan dengan perubahan structural jantung
Stage D Terdapat kelainan structural yang berat dan terdapat gejala gagal jantung
saat beristirahat
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung berbanding
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan
berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa darah
melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan arteriole.
2.1.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya gagal
jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel
mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.
2.1.6 Diagnostik
Kriteria Framingham (2 Mayor atau 1 Mayor dengan 2 Minor)
Mayor Minor
Paroksismal Nokturnal Dyspnea Edema ekstremitas
Distensi vena leher Batuk malam hari
Rhonki paru Dyspnea deffort
Kardiomegali Hepatomegaly
Edema paru akut Efusi pleura
Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian tekanan vena jugularis Takikardi
Refluks Hepatojugular
2.1.7 Tatalaksana
Terapi nonfarmakologis
Istirahat, olahraga, kontrol asupan garam, berhenti rokok, dan alcohol
Terapi farmakologis
1. Angiotensin
Dianjurkan sebagai obat lini pertama untuk meningkatkan survival, memperbaiki gejala, dan
diberikan terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan
bersama diuretic.
2. Diuretik
Penting untuk pengobatan simptomatik bila ditemukan beban cairan berlebih, kongesti paru, dan
edema perifer
3. B-blocker
Direkomendasikan pada semua gagal jantung yang stabil
4. Antagonist reseptor aldosterone
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
5. Glikosida Digitalis
Meningkatkan kontraktilitas otot jantung
2.1.8 Komplikasi
1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep venous
thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa
diturunkan dengan pemberian warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau blocker dan
pemberian warfarin).
3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.
4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-
50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, blocker, dan vebrilator
yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau
diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam
keadaan cukup istirahat (tenang).7 Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi
dari 140 / 90 mmHg.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor resiko
yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol
seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas,
kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung natrium
dan lemak jenuh.
Evaluasi pasien hipertensi dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu, dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
Anamnesis meliputi
1. Lamanya menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat
analgesik, dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
b. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attack, deficit sensoris atau motoris.
b. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal : haus, polyuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga, dan lingkungan
Pemeriksaan Fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya penyakit
penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder. Pengukuran
tekanan darah
Pengukuran rutin di kamar periksa
Pengukuran sendiri
Pengukuran 24 jam (ambulatory blood pressure monitoring-ABPM)
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta
sistemik, yaitu
Aterosklerosis (pemeriksaan profil lipid)
Diabetes ( terutama pemeriksaan gula darah)
Fungsi ginjal (pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi
glomerulus)
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan umtuk menentukan adanya kerusakan organ
target dapat dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi :
1. Jantung
Pemeriksaan fisik
Foto polos dada (melihat pembesaran jantung, kondisi arteri intratoraks, dan
sirkulasi pulmoner)
Elektrokardiografi (deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi
ventrikel kiri)
2. Pembuluh darah
Pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure
Ultrasonografi karotis
3. Otak
Pemeriksaan neurologis
Diagnosis stroke dengan menggunakan CT Scan atau MRI
4. Mata
Funduskopi
5. Fungsi ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-
makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin
Perkiraan laju filterasi glomerulus
2.2.6 Tatalaksana
Tujuan pengobatan pasien hipertensi
Memenuhi target tekanan darah
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Menghambat laju penyakit ginjal
2.3.2 Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya
waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa darah
melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang meningkat, ventrikel kiri membesar
dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi,
gejala gagal jantung akan makin terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke. Tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk otot
jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan
suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah yang akan
mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan terakumulasi pada dinding
pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan resiko seangan jantung dan stroke. Penyakit jantung
hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi. Hal ini terjadi pada
sekitar 7 dari 1000 orang.
2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler,
dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan
hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi
faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada
struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui peningkatan afterload dan
secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait dan perubahan vaskular. Peningkatan
perubahan tekanan darah dan tekanan darah malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai
faktor yang paling berhubungan dengan berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi masyarakat
Afrika-Amerika. Patofisiologi berbagai efek hipertensi terhadap jantung berbeda-beda dan akan
dijelaskan pada bagian ini.
Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi, hipertensi yang
kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang menyebabkan terjadinya
insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan perdarahan secara signifikan akibat
insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol.
Peningkatan tekanan darah yang akut dapat menentukan derajat insufisiensi aorta, yang akan
kembali ke dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih baik. Sebagai tambahan, selain
menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan dapat mempercepat proses sklerosis
aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.
Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui, sebagian karena
saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan
tekanan darah yang tinggi, hal ini menaburkan penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi
disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi
Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan terjadinya HVK dapat
memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase komplaien lambat dari diastolik
ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi diastolik
biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain peningkatan
afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah
penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan
HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir penyakit, HVK
gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam menghadapi peningkatan
tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output.
Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini
menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin,
yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi
perifer. Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat, disadari sebagai pemegang peran
pentingdalam transisi dari tahap kompensata menjadi dekompensata. Pasien menjadi simptomatik
selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, menerima perubahan
pada kondisi afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain bagi miokard (contoh: iskemia,
infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema paru akut tanpa perlu
perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi
ventrikel kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat
pad status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi
ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari
penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi. Hipertensi adalah
faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan hampir
melipatgandakan risiko. Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi bersifat
multifaktorial.
Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada ketidakhadiran
penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload sekunder akibat hipertensi menyebabkan
peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan tekanan transmural, menekan aliran darah koroner
selama diastole. Sebagai tambahan, mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat
mengalami disfungsi pada pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu mengkompensasi
peningkatan metabolik dan kebutuhan oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan tanda penyakit arteri koroner, di
eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek peningkatan tekanan darah kronis mengurangi
tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi endotelial menyebabkan gangguan pada
sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang merupakan vasodilator poten. Penurunan kadar nitrit
oksida menyebabkan perkembangan dan makin cepatnya pembentukan arteriosklerotis dan plak.
Gambaran morfologi plak identik dengan plak yang ditemukan pada pasien tanpa hipertensi.
2.3.4 Diagnosis
Riwayat
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis
untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi
konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-
tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat dikaitkan
dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap sebagai gejala
peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan hipertensi berat.
Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital. Gejala
nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara lain adalah rasa
pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka umum
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi
sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki dalam perolehan
riwayat dari pasien hipertensif.
Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan awal, tekanan
harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk
mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Bahkan jika nadi femoral teraba normal, tekanan
arterial harus diukur sekurangnya sekali pada ekstremitas inferioir pada pasien di mana hipertensi
ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga harus dicatat. Individu hipertensif
memiliki peningkatan prevalensi untuk mengalami fibrilasi atrial. Leher harus dipalpasi untuk
mencari pembesaran kelenjar tiroid, dan para pasien harus diperiksa untuk tanda-tanda hipo dan
hipertiroidisme. Pemeriksaan pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai penyakit
vakular yang mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik, auskultasi untuk bruit
di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi femoral dan pedal (pedis). Retina adalah
satu-satunya jaringan di mana arteri dan arteriol dapat diamati secara langsung. Seiring
peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik
progresif antara lain seperti peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek perbandingan
arteriovenous, hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.
Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang menguat karena
penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan kontraksi artrium terhadap ventrikel
kiri yang tidak seiring. Hipertropi ventrikel kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal
yang menguat, bertahan, dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal, terutama bruit yang
berlateralisasi dan terjadi selama sistole ke diastole, meningkatkan kemungkinan hipertensi
renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi di abdomen.
Pemeriksaan fisis harus menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF dan pemeriksaan neurologis.
Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang direkomendasikan dalam
evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal berulang, elektrolit serum, glukosa
puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah pemberian agen antihipertensif baru dan kemudian tiap
tahun, atau lebih sering bila diindikasikan secara klinis. Tes laboratorium yang lebih ekstensif
dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan-pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi
klinis menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.
2.3.5 Penatalaksanaan
Perubahan gaya hidup
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik pada
pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan
kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan untuk
terapi obat pada individu hipertensif. Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi
risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup pada
tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada uji jangka-pendek,
penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah terbukti mencegah perkembangan
hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan jika intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan
reduksi tekanan darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau
dosis yang diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara
efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl,
peningkatan masukan kalium, pengurangan konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara
keseluruhan.