TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hifema adalah keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan.
Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan
intraokuler, terwarnainya kornea dengan darah, pembentukan sinekia anterior
ataupun sinekia posterior, dan katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan
penurunan penglihatan yang signifikan, maka setiap dokter mata harus
memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana hifema. (ocular trauma, khun
F)
2.2 Epidemiologi
Studi di amerika utara menunjukkan estimasi insiden hifema sebesar 17-
20/ 100.000 populasi tiap tahunnya. Kebanyakan pasien berusia kurang dari 20
tahun. Kebanyakan disebabkan oleh trauma tumpul pada mata, yang mana
olahraga merupakan 60% dari penyebab terjadinya hifema pada pasien berusia
kurang dari 20 tahun. Perbandingan antara laki-laki dengan perempuan 3:1.
Data lain menyebutkan bahwa 33% dari seluruh trauma mata yang serius
memiliki kecenderungan untuk terjadi hifema. Risiko terjadinya hifema sebesar
31% pada trauma mata terbuka (open globe trauma). Hal ini akan meningkat
sebesar 4% bila terjadi pada trauma mata tertutup (closed globe trauma).
2.8 Diagnosis
Diagnosis pada hifema meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang. Anamnesis pada hifema meliputi adanya riwayat trauma serta kapan
terjadinya trauma. Perlu ditanyakan adanya penyakit lain yang menyertai seperti
kelainan darah, penyakit hati dan diabetes, serta riwayat pemakaian obat-obatan
tertentu seperti aspirin.
Pada pemeriksaan mata didapatkan tajam penglihatan yang menurun
dengan menggunakan snellen chart akibat kerusakan kornea, aquos humor, iris,
dan retina. Lapang pandang dapat mengalami penurunan yang mungkin
disebabkan oleh patologi vaskuler okuler atau glaukoma. Selain itu, juga dilihat
bentuk kornea dan pupil serta adanya perdarahan dengan menggunakan sinar pen
light atau senter. Pengukuran tonografi dilakukan untuk melihat tekanan intra
okuler (TIO). Pemeriksaan menggunakan slit lamp digunakan untuk menilai
jumlah akumulasi darah, memastikan tidak ada darah yang mengeras (clot), dan
penyerapan darah tetap lancar. Pemeriksaan funduskopi dilakukan untuk melihat
apakah terdapat edema pada retina.
Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa berupa pemeriksaan darah
lengkap, laju sedimentasi, dan LED untuk melihat apakah terdapat anemia atau
infeksi. Selain itu, juga diperiksa gula darah pasien apakah menderita diabetes
atau tidak. Pemeriksaan laboratorium pada seluruh orang kulit hitam dan
keturunan hispanik dengan hifema harus diketahui keadaan sel darah merahnya
apakah berbetuk sabit. Pemeriksaan radiologi tidak terlalu diperlukan, tetapi dapat
menilai adanya tulang orbita yang patah atau retak. Pemeriksaan ultrasonografi
mata dapat dilakukan sebagai pemeriksaan dini untuk mencari kerusakan segmen
(3,4)
posterior. Berdasarkan penlitian, pemeriksaan ultrasonografi mata dapat
mendeteksi sebanyak 91% adanya perdarahan pada vitreous dan retinal
detachment pada penderita traumatik hifema. (6)
Pemeriksaan Penunjang seperti USG diperlukan untuk mengevaluasi
adanya perluasan kerusakan di segmen posterior, karena 5% cedera mata dengan
hifema disertai kerusakan struktur segmen posterior.
Pemeriksaan Laboratorium pada ras tertentu seperti kulit hitam dan
Hispanik, perlu dilakukan pemeriksaan ke arah kemungkinan penyakit sickle cell
dengan cara pemeriksaan slide darah merah, elektroforesis hemoglobin, fungsi
pembekuan darah, fungsi ginjal dan hati (menunda tatalaksana obat-obatan seperti
perlunya pemberian antifibrinolitik atau tidak).
Pemeriksaan radiologik tidak dilakukan secara rutin, namun CT Scan
dapat terindikasi pada kerusakan mata terbuka atau kecurigaan fraktur orbita.
2.10. Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang dengan sempurna. Bila perjalanan penyakit
(1)
tidak berjalan demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun
perawatan pada penderita hifema traumatik ini masih diperdebatkan, namun pada
dasarnya prinsip penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah terjadinya perdarahan sekunder
3. Mengeliminasi darah dari COA dengan mempercepat absorbsi
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain
5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertai hifema
Perawatan Konservatif
2. Bebat mata
Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma bertujuan untuk
(1,4)
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Namun, mengenai
pemakaian bebat mata ini masih belum terdapat kesesuaian pendapat di
antara para ahli.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita traumatik hifema tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat
absorbsi, dan menekan komplikasi yang timbul. Obat-obatan yang dapat
digunakan antara lain:
- Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral ataupun
parenteral dengan tujuan untuk menekan atau menghentikan
perdarahan. Obat-obatan yang dapat diberikan misalnya Anaroxil,
Adona AC, Coagulen, Transamin, vitamin K, dan vitamin C. Pada
hifema yang baru dan terisi darah segar dapat diberi obat anti
fibrinolitik sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan
pembuluh darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu
sampai sembuh. Dengan demikian, diharapkan dapat mencegah
terjadinya perdarahan sekunder. Beberapa penelitian mengisyaratkan
bahwa penggunaan asam amino kaproat oral (100 mg/kg setiap 4 jam
sampai maksimum 30 g/hr selama 5 hari) untuk menstabilkan
pembentukan bekuan darah sehingga menurunkan risiko terjadinya
(3)
perdarahan sekunder. Pemberiannya jangan sampai melewati satu
minggu karena dapat menyebabkan gangguan transportasi cairan COA
dan terjadi glaukoma serta imbibisi kornea. Selama pemberian obat ini
perlu dilakukan pengukuran TIO.
- Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai pemberian obat-obatan golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing. Pemberian miotika akan
mempercepat absorbsi, namun dapat meningkatkan kongesti.
Pemberian midriatika dapat mengistirahatkan perdarahan. Pemberian
midriatika dianjurkan bila terdapat komplikasi iridocyclitis. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika
bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak 2 kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder jika dibandingkan dengan
pemberian salah satu obat saja.
- Ocular Hypotensive Drug
Para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) jika
(1)
terdapat penyulit berupa glaukoma. Obat ini diberikan secara oral
sebanyak 4 kali 250 mg sehari jika ditemukan adanya kenaikan TIO.
(3)
Apabila terapi topikal tidak efektif, maka dapat digunakan obat
(3)
hiperosmotik seperti manitol, gliserol, dan sorbitol. Pada hifema
yang penuh dengan peningkatan tekanan intra okuler dapat diberikan
diamox dan gliserin dengan evaluasi selama 24 jam. Jika tekanan intra
okuler tetap tinggi atau menurun namun di atas nilai normal, maka
dilakukan parasentesis. Jika tekanan intra okuler turun sampai normal,
maka diamox terus diberikan dan di evaluasi setiap hari. Jika tekanan
intra okuler normal namun masih terdapat darah pada hari ke-5 sampai
ke-9 maka dilakukan parasentesis.
- Kortikosteroid
Pemberian steroid tetes harus segera dimulai pada penderita hifema.
(3,4)
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder jika dibandingan dengan
antibiotika. Jika reflek fundus tidak terlihat, maka diberi
kortikosteroid topikal dan sistemik. (2)
- Obat penenang/sedatif
Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. (1,4)
Perawatan Operatif
1. Glaukoma sekunder
Jika TIO maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau > 35 mmHg selama 7
hari untuk mencegah atrofi papil saraf optik. (3) Jika TIO menetap tinggi 50
mmHg atau lebih selama 4 hari, maka pembedahan tidak boleh ditunda.
Pada suatu studi ditemukan bahwa terjadi atrofi papil sebanyak 50%
pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat.
2. Tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis kornea
Untuk mencegah imbibisi kornea dapat dilakukan pembedahan jika TIO
rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari pada hifema total atau hifema yang
mengisi lebih dari COA. Imbibisi kornea terjadi pada 43% pasien.
3. Tidak ada pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan
konservatif selama 3-5 hari.
4. Empat hari setelah onset hifema total
Mencegah terjadinya sinekia anterior perifer jika hifema total bertahan
selama 5 hari atau hifema yang mengisi lebih dari COA yang menetap
selama 8-9 hari.
5. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannya dengan TIO > 35 mmHg lebih dari 24 jam. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathy diperlukan operasi jika TIO tidak terkontrol
dalam 24 jam. Pada pasien dengan hemoglobinopati, besar kemungkinan
terjadi atrofi optik glaukomatosa, dan pengeluaran bekuan darah secara
bedah harus dipertimbangkan lebih awal. (3)
2. 11. Komplikasi
1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan
primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer.
Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu
bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.
2. Glaukoma sekunder
3. Hemosiderosis kornea
4. Sinekia Posterior
5. Atrofi optik
6. Uveitis
2.12. Prognosis
Daftar pustaka
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009.hlm. 8, 263-5.
2. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009.hlm. 258-9, 288-9.
3. Albiani DA, Asbury T, Augsberg JJ, Biswell R, Campbell RJ et al.
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC;
2010.hlm.12-3, 377-8.
4. Lusby FW. Hyphema. [cited March 8, 2013]. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002016/.
5. Walton W, Von hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of
Traumatic Hyphema. Survey of Ophthalmology: Institute of
Ophthalmology and Visual Science, New Jersey Medical School, Newark,
NJ, USA. 2002;47(4):297-334.
6. Khun F, Pieramici DJ. Ocular Trauma principles and practice. New York:
Thieme Medical Publishers. 2002