Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hifema adalah keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan.
Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan
intraokuler, terwarnainya kornea dengan darah, pembentukan sinekia anterior
ataupun sinekia posterior, dan katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan
penurunan penglihatan yang signifikan, maka setiap dokter mata harus
memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana hifema. (ocular trauma, khun
F)

2.2 Epidemiologi
Studi di amerika utara menunjukkan estimasi insiden hifema sebesar 17-
20/ 100.000 populasi tiap tahunnya. Kebanyakan pasien berusia kurang dari 20
tahun. Kebanyakan disebabkan oleh trauma tumpul pada mata, yang mana
olahraga merupakan 60% dari penyebab terjadinya hifema pada pasien berusia
kurang dari 20 tahun. Perbandingan antara laki-laki dengan perempuan 3:1.
Data lain menyebutkan bahwa 33% dari seluruh trauma mata yang serius
memiliki kecenderungan untuk terjadi hifema. Risiko terjadinya hifema sebesar
31% pada trauma mata terbuka (open globe trauma). Hal ini akan meningkat
sebesar 4% bila terjadi pada trauma mata tertutup (closed globe trauma).

2.3 Klasifikasi hifema


Klasifikasi dari hifema dapat dibagi menjadi:
Menurut Edward Layden
Hifema dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu:
1. Hifema tingkat I, bila perdarahan < 1/3 COA.
2. Hifema tingkat II, bila perdarahan antara 1/3 sampai COA.
3. Hifema tingkat III, bila perdarahan > COA.
Menurut Rakusin
Hifema dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Hifema tingkat I, bila perdarahan mengisi 1/4 bagian COA.
2. Hifema tingkat II, bila perdarahan mengisi bagian COA.
3. Hifema tingkat III, bila perdarahan mengisi 3/4 bagian COA.
4. Hifema tingkat IV, bila perdarahan mengisi penuh COA.
Menurut Sheppard
Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard):

Tabel 1. Klasifikasi Hifema Menurut Sheppard


Tingkat Ukuran Hifema
I Kurang dari 1/3 COA (58%)
II 1/3 COA (20%)
III 1/2 hampir total COA (14%)
IV Total COA (8%)
Mikroskopik Hanya beberapa eritrosit, tidak tampak jelas kumpulan darah

2.4 Anatomi dan Fisiologi


Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris.
Pada bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya mengarah ke badan
siliar. Bagian dalam jalinan ini yang terletak dekat kanalis schlemm dikenal
sebagai jalinan korneoskleral. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan
bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar cairan mata, maka akan
terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata yang mengakibatkan
tekanan intraokuler (TIO) meningkat.(1) Serat-serat longitudinal otot siliaris
menyisip ke dalam jalinan trabekula tersebut.
Gambar 1. Anatomi Bilik Mata Depan (Camera oculi anterior) dan jaringan
sekitar
2.5 Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena
bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat
terjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya
retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan
oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-
robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung
banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Pendarahan
yang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri utama dan cabang dari badan
ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada sisi pupil.
Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari
luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.
Gambar 2. Pembuluh darah pada Mata
2.6 Patogenesis dan Patofisiologis
Trauma tumpul akan menyebabkan kompresi pada bola mata yang mana
gaya yang diberikan oleh trauma tersebut akan diteruskan kedalam mata
khususnya melalui cairan aqueous humor sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan hidrolik pada lensa, iris, trabekula meshwork serta peregangan limbus.
Jika gaya yang disebabkan oleh trauma tersebut melebihi kekuatan peregangan
dari struktur mata tersebut, maka pembuluh darah pada bagian pinggir iris, arteri-
arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliaris (ciliary body), arteri koroidalis,
dan vena-vena badan siliaris akan ruptur yang pada akhirnya darah yang keluar
melalui pembuluh yang ruptur tersebut akan menumpuk pada bilik mata depan
sehingga terjadilah hifema. (AAO)
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temua klinis yang
berhubungan, antara lain seperti:
1. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata, hal
menunjukkan adanya gaya dari trauma menyebabkan terpisahnya serat
otot longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata dapat
terjadi pada 85% pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya
glaukoma sekunder di kemudian hari.
2. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat
ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan
pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan.
3. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel
kornea hingga ruptur limbus.
4. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10
% kasus.
5. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis,
robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn.
6. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus,
jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid.
Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya
mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme
pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan
darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari
bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung
hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darah
pada bilik mata depan, maka plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh
aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan
darah yang sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan
darah, bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik
mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral (ocular trauma khun
F).

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada penderita hifema adalah
(1,2,4)
adanya keluhan sakit pada mata, disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat
terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang
COA. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. (1)
Iridoplegia yang terjadi ditandai dengan sukar melihat dekat karena
gangguan akomodasi, fotofobia akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada
pupil, pupil midriasis, anisokor, dan bentuknya dapat ireguler. (1)
Iridodialisis yang terjadi ditandai dengan keluhan penglihatan ganda
dengan satu matanya akibat robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil
menjadi berubah menjadi lonjong. (1)

2.8 Diagnosis
Diagnosis pada hifema meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang. Anamnesis pada hifema meliputi adanya riwayat trauma serta kapan
terjadinya trauma. Perlu ditanyakan adanya penyakit lain yang menyertai seperti
kelainan darah, penyakit hati dan diabetes, serta riwayat pemakaian obat-obatan
tertentu seperti aspirin.
Pada pemeriksaan mata didapatkan tajam penglihatan yang menurun
dengan menggunakan snellen chart akibat kerusakan kornea, aquos humor, iris,
dan retina. Lapang pandang dapat mengalami penurunan yang mungkin
disebabkan oleh patologi vaskuler okuler atau glaukoma. Selain itu, juga dilihat
bentuk kornea dan pupil serta adanya perdarahan dengan menggunakan sinar pen
light atau senter. Pengukuran tonografi dilakukan untuk melihat tekanan intra
okuler (TIO). Pemeriksaan menggunakan slit lamp digunakan untuk menilai
jumlah akumulasi darah, memastikan tidak ada darah yang mengeras (clot), dan
penyerapan darah tetap lancar. Pemeriksaan funduskopi dilakukan untuk melihat
apakah terdapat edema pada retina.
Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa berupa pemeriksaan darah
lengkap, laju sedimentasi, dan LED untuk melihat apakah terdapat anemia atau
infeksi. Selain itu, juga diperiksa gula darah pasien apakah menderita diabetes
atau tidak. Pemeriksaan laboratorium pada seluruh orang kulit hitam dan
keturunan hispanik dengan hifema harus diketahui keadaan sel darah merahnya
apakah berbetuk sabit. Pemeriksaan radiologi tidak terlalu diperlukan, tetapi dapat
menilai adanya tulang orbita yang patah atau retak. Pemeriksaan ultrasonografi
mata dapat dilakukan sebagai pemeriksaan dini untuk mencari kerusakan segmen
(3,4)
posterior. Berdasarkan penlitian, pemeriksaan ultrasonografi mata dapat
mendeteksi sebanyak 91% adanya perdarahan pada vitreous dan retinal
detachment pada penderita traumatik hifema. (6)
Pemeriksaan Penunjang seperti USG diperlukan untuk mengevaluasi
adanya perluasan kerusakan di segmen posterior, karena 5% cedera mata dengan
hifema disertai kerusakan struktur segmen posterior.
Pemeriksaan Laboratorium pada ras tertentu seperti kulit hitam dan
Hispanik, perlu dilakukan pemeriksaan ke arah kemungkinan penyakit sickle cell
dengan cara pemeriksaan slide darah merah, elektroforesis hemoglobin, fungsi
pembekuan darah, fungsi ginjal dan hati (menunda tatalaksana obat-obatan seperti
perlunya pemberian antifibrinolitik atau tidak).
Pemeriksaan radiologik tidak dilakukan secara rutin, namun CT Scan
dapat terindikasi pada kerusakan mata terbuka atau kecurigaan fraktur orbita.

2.9 Diagnosis Diferensial


Darah dapat terkumpul di bilik mata depan karena trauma trivial pada kasus-
kasus:
- Rubeosis Iridis
- Neoplasma maligna
- Xanthogranuloma juvenil
- Lensa intraokular (terutama bila bilik mata depan atau iris terfiksasi)
Sebagai tambahan, pada perdarahan spontan, kecurigaan kearah abnormalitas
faktor pembekuan darah dan trauma terbuka tersembunyi harus dipikirkan.

2.10. Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang dengan sempurna. Bila perjalanan penyakit
(1)
tidak berjalan demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun
perawatan pada penderita hifema traumatik ini masih diperdebatkan, namun pada
dasarnya prinsip penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah terjadinya perdarahan sekunder
3. Mengeliminasi darah dari COA dengan mempercepat absorbsi
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain
5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertai hifema

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penatalaksanaan traumatik hifema


dibagi dalam 2 golongan, yaitu:

1. Perawatan dengan cara konservatif


2. Perawatan dengan tindakan operatif

Perawatan Konservatif

1. Tirah baring (bed rest total)


Penderita ditidurkan dalam keadaan telentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 300 (posisi semi fowler)
(1)
[gambar 3]. Hal tersebut dapat mengurangi tekanan darah pada
pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah
perdarahannya. Menurut pendapat dari banyak para ahli, tirah baring ini
merupakan tindakan pertama yang harus dikerjakan pada pendetita hifema,
(3,4)
terutama jika hifema yang tampak mengisi lebih dari 5% COA.
Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring
kesempurnaan absorbsi dari hifema dipercepat dan dapat mengurangi
timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Tirah baring ini harus
dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan terjadinya
perdarahan sekunder. Namun, hal ini sukar dilakukan, terutama pada anak-
anak, sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat.
Gambar 3. Posisi semi fowler pada penderita hifema

2. Bebat mata
Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma bertujuan untuk
(1,4)
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Namun, mengenai
pemakaian bebat mata ini masih belum terdapat kesesuaian pendapat di
antara para ahli.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita traumatik hifema tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat
absorbsi, dan menekan komplikasi yang timbul. Obat-obatan yang dapat
digunakan antara lain:
- Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral ataupun
parenteral dengan tujuan untuk menekan atau menghentikan
perdarahan. Obat-obatan yang dapat diberikan misalnya Anaroxil,
Adona AC, Coagulen, Transamin, vitamin K, dan vitamin C. Pada
hifema yang baru dan terisi darah segar dapat diberi obat anti
fibrinolitik sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan
pembuluh darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu
sampai sembuh. Dengan demikian, diharapkan dapat mencegah
terjadinya perdarahan sekunder. Beberapa penelitian mengisyaratkan
bahwa penggunaan asam amino kaproat oral (100 mg/kg setiap 4 jam
sampai maksimum 30 g/hr selama 5 hari) untuk menstabilkan
pembentukan bekuan darah sehingga menurunkan risiko terjadinya
(3)
perdarahan sekunder. Pemberiannya jangan sampai melewati satu
minggu karena dapat menyebabkan gangguan transportasi cairan COA
dan terjadi glaukoma serta imbibisi kornea. Selama pemberian obat ini
perlu dilakukan pengukuran TIO.
- Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai pemberian obat-obatan golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing. Pemberian miotika akan
mempercepat absorbsi, namun dapat meningkatkan kongesti.
Pemberian midriatika dapat mengistirahatkan perdarahan. Pemberian
midriatika dianjurkan bila terdapat komplikasi iridocyclitis. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika
bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak 2 kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder jika dibandingkan dengan
pemberian salah satu obat saja.
- Ocular Hypotensive Drug
Para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) jika
(1)
terdapat penyulit berupa glaukoma. Obat ini diberikan secara oral
sebanyak 4 kali 250 mg sehari jika ditemukan adanya kenaikan TIO.
(3)
Apabila terapi topikal tidak efektif, maka dapat digunakan obat
(3)
hiperosmotik seperti manitol, gliserol, dan sorbitol. Pada hifema
yang penuh dengan peningkatan tekanan intra okuler dapat diberikan
diamox dan gliserin dengan evaluasi selama 24 jam. Jika tekanan intra
okuler tetap tinggi atau menurun namun di atas nilai normal, maka
dilakukan parasentesis. Jika tekanan intra okuler turun sampai normal,
maka diamox terus diberikan dan di evaluasi setiap hari. Jika tekanan
intra okuler normal namun masih terdapat darah pada hari ke-5 sampai
ke-9 maka dilakukan parasentesis.
- Kortikosteroid
Pemberian steroid tetes harus segera dimulai pada penderita hifema.
(3,4)
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder jika dibandingan dengan
antibiotika. Jika reflek fundus tidak terlihat, maka diberi
kortikosteroid topikal dan sistemik. (2)
- Obat penenang/sedatif
Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. (1,4)

Perawatan Operatif

Tindakan operatif dilakukan jika ditemukan adanya indikasi seperti:

1. Glaukoma sekunder
Jika TIO maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau > 35 mmHg selama 7
hari untuk mencegah atrofi papil saraf optik. (3) Jika TIO menetap tinggi 50
mmHg atau lebih selama 4 hari, maka pembedahan tidak boleh ditunda.
Pada suatu studi ditemukan bahwa terjadi atrofi papil sebanyak 50%
pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat.
2. Tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis kornea
Untuk mencegah imbibisi kornea dapat dilakukan pembedahan jika TIO
rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari pada hifema total atau hifema yang
mengisi lebih dari COA. Imbibisi kornea terjadi pada 43% pasien.
3. Tidak ada pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan
konservatif selama 3-5 hari.
4. Empat hari setelah onset hifema total
Mencegah terjadinya sinekia anterior perifer jika hifema total bertahan
selama 5 hari atau hifema yang mengisi lebih dari COA yang menetap
selama 8-9 hari.
5. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannya dengan TIO > 35 mmHg lebih dari 24 jam. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathy diperlukan operasi jika TIO tidak terkontrol
dalam 24 jam. Pada pasien dengan hemoglobinopati, besar kemungkinan
terjadi atrofi optik glaukomatosa, dan pengeluaran bekuan darah secara
bedah harus dipertimbangkan lebih awal. (3)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan, antara lain, yaitu:


1. Parasentesis
Parasentesis adalah tindakan pengeluaran cairan atau darah dari COA
melalui lubang kecil di limbus. Indikasi dilakukan parasentesis jika
terdapat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh
dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda
hifema akan berkurang. (1)
Teknik parasentesis adalah sebagai berikut: dibuat insisi kornea 2 mm dari
limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari COA akan
keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka COA dibilas dengan
garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu
dijahit. (1)
2. Lavage (membilas) COA dan menghilangkan bekuan darah dengan
menggunakan instrumen vitrektomi. Dimasukkan alat irigasi dan probe
mekanis di sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih
untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba
mengeluarkan bekuan yang terdapat pada sudut COA atau di jaringan iris.
Disini dilakukan iridektomi perifer. (3)
3. Evakuasi viskoelastik
Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan
viskoelastik, dan sebuah insisi yang lebih besar berjarak 1800 dari insisi
pertama untuk memungkinkan hifema didorong keluar. (3)

2. 11. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah


perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina,
katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada
tingginya hifema.

1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan
primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer.
Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu
bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.

2. Glaukoma sekunder

Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh


tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Insidensinya
20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya darah dalam COA dapat
menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi
sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder
dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata
sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.

3. Hemosiderosis kornea

Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam


bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan
sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat
dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan
setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari
hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea
menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang
hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat
terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan
timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan
intraokuler. Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi
kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun).
Insidensinya 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis
bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

4. Sinekia Posterior

Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini


akibat dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang
mendapat terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan
evakuasi bedah pada hifema.Peripheral anterior synechiae anterior synechiae
terjadi pada pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9
hari atau lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis
yang lama akibat trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut
COA kemudian bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang
menyebabkan sudut bilik mata tertutup.

5. Atrofi optik

Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.

6. Uveitis

Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea,


uveitis. Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang
mungkin juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada
funduskopi gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan menurunnya
lebih banyak.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman
penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih normal.
Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat menyebabkan gangguan visus dan
kenaikan tekanan intra okular sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma.
Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra
okular lebih meninggi dan penglihatan lebih menurun lagi.

2.12. Prognosis

Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera


okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai
glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan
hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami
glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut
menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah
mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam)
karena dapat menyebabkan kebutaan.

Daftar pustaka

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009.hlm. 8, 263-5.
2. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009.hlm. 258-9, 288-9.
3. Albiani DA, Asbury T, Augsberg JJ, Biswell R, Campbell RJ et al.
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC;
2010.hlm.12-3, 377-8.
4. Lusby FW. Hyphema. [cited March 8, 2013]. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002016/.
5. Walton W, Von hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of
Traumatic Hyphema. Survey of Ophthalmology: Institute of
Ophthalmology and Visual Science, New Jersey Medical School, Newark,
NJ, USA. 2002;47(4):297-334.
6. Khun F, Pieramici DJ. Ocular Trauma principles and practice. New York:
Thieme Medical Publishers. 2002

Anda mungkin juga menyukai