Anda di halaman 1dari 14

Poliomielitis pada Anak Laki-laki Usia 7 tahun

Stephania Sofia Inguliman


102011402
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
Email: stephaniainguliman@yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Acute Falccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara akut yang
mengenai otot, saraf, neuromuskular juction, otak, medula spinalis dan kornu anterior.
Banyak penyakit yang memberikan gejala AFP, diantaranya: Poliomielitis, Miastenia Gravis,
dan Sindrom Guillain Barre. Dalam makalah kali ini saya akan membahas tentang
poliomielitis. Poliomielitis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
enterovirus. Infeksi virus ini dapat menyerang susunan saraf pusat, khususnya kornu anterior
medula spinalis dan nukleus batang otak. Poliovirus menginfeksi melalui jalur fekal-oral (dari
tangan ke mulut) tetapi dapat juga melalui kontak langsung.1

Pada negara-negara industri maju, penyakit ini pernah menimbulkan suatu epidemik
hampir tereradikasi, sebagai akibat dari perkembangan dan penggunaan vaksin profilaksis
yang efektif secara luas. Sayangnya, pada kebanyakan negara yang sedang berkembang,
insiden poliomielitis masih sangat tinggi, terutama pada anak-anak. Meskipun dewasa ini
dilakukan kampanye imunisasi yang sangat intensif terhadap poliomielitis dengan tujuan
untuk mengeradikasi penyakit ini pada akhir abad ini, namun masih banyak terdapat kasus
dengan deformitas yang memerlukan rehabilitas, termasuk pembedahan, yang mana keadaan
ini memerlukan waktu selama beberapa tahun untuk menganggulanginya.2

SKENARIO XII

Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dibawa ibunya ke puskesmas karena kaki
kanannya tidak dapat digerakkan sejak 2 hari yang lalu.

1
PEMBAHASAN

I. Anamnesis

Anamnesis berasal dari kata Yunani yang berarti mengingat kembali. Anamnesis
adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien
(Autoanamnesis) maupun pada orang lain seperti orang tua maupun kerabat dekat
(Alloanmnesis). 80% dari anamnesis digunakan untuk menegakkan diagnosa.Anamnesa
harus dilakukan secara menyeluruh.
Anamnesis bertujuan untuk:

Mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai penyakit pasien,


Membantu menegakkan diagnosa sementara. Ada beberapa penyakit yang sudah dapat
ditegakkan dengan anamnesa saja,
Menetapkan diagnosa banding,
Membantu menentukan penatalaksanaan selanjutnya.

Yang ditanyakan saat anamnesa ialah:

1. Identitas pasien : nama, tempat tanggal lahir, alamat, usia, pekerjaan, agama dan
pendidikan. Skenario yang didapat adalah seorang anak laki-laki berusia 7 tahun.
2. Keluhan utama
Menanyakan keluhan pasien yang menyebabkan pasien datang ke dokter.Pada skenario,
pasien mengeluhkan kaki kanannya tidak bias digerakkan sejak 2 hari yang lalu.
3. Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan lebih terperinci tentang keluhan utamanya dan apakah ada keluhan penyerta
lainnya seperti demam, mual dan muntah.Pada skenario pasien mengatakan bahwa
awalnya kaki cuma lemas tapi bisa digerakkan, baru sekitar 7 hari kemudian kakinya
tidak dapat digerakkan.Pasien juga demam ringan 38C satu minggu yang lalu, batuk,
pilek dan sakit kepala.
4. Riwayat kehamilan dan persalinan
Menanyakan apakah persalinannya normal atau tidak, apakah saat kehamilan terinfeksi
virus atau trauma kehamilan.Pada skenario dikatakan bahwa riwayat persalinan dan
kehamilan normal.
5. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan apakah pasien pernah menderita gejala-gejala seperti itu sebelumnya.

2
6. Riwayat penyakit keluarga
Menanyakan apakah ada anggota keluarganya yang menderita seperti gejala-gejala yang
pasien sampaikan.
7. Riwayat imunisasi
Tanyakan apakah imunisasi pasien sudah lengkap atau belum.Pada skenario pasien sudah
melakukan imunisasi lengkap kecuali polio.
8. Kebiasaan
Menanyakan apakah pasien merokok atau mengonsumsi alkohol.

Pertanyaan-pertanyaan penting yang mengacu terhadap diagnosis ialah:1

1. Lama serangan (misalnya, beberapa jam sampai beberapa hari, atau sampai beberapa
minggu/bulan)?
2. Perkembangan penyakit (misalnya ascending paralysis)?
3. Adakah gangguan fungsi sensorik (baal, kehilangan keseimbangan terutama dalam gelap,
nyeri/rasa terbakar)?
4. Adakah gangguan bulbar (perubahan suara/kesulitan menelan)?
5. Apakah terjadi kelemahan nervus facialis (gangguan mengunyah, menghisap, dan
meniup)?
6. Bagaimana riwayat kehamilan dan persalinan?
7. Apakah terjadi kelemahan otot ekstraokular (ptosis atau diplopia)?
8. Adakah gangguan pernapasan (dispnea atau orthopnea)?
9. Adakah gangguan kandung kemih atau gastrointestinal?
10. Adakah gangguan sistem otonom (diare, pusing, hipotensi ortostatik, retensi urin, atau
palpitasi)?
11. Adakah gejala sistemik (demam, penurunan berat badan, ruam, atau nyeri sendi)?
12. Adakah nyeri yang baru didapat atau setelah imunisasi (diare, infeksi saluranm
pernapasan atas, atau vaksin polio oral)?
13. Adakah perjalanan ke keluar kota?
14. Adakah faktor-faktor presipitasi (kerja keras atau pemberian karbohidrat-paralisis
periodik)?
15. Adakah kelemahan yang berfluktuasi (misalnya variasi diurnal atau kelelahan otot pada
miastenia gravis)?
16. Adakah riwayat terpajan obat/racun (makanan kaleng/makanan kadaluarsa, pestisida,
atau statin)?

3
17. Adakah riwayat penyakit di keluarga (porfiria)?

II. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda vital penting dinilai pada infeksi virus polio. Gejala dapat bervariasi dari
infeksi yang tidak jelas sampai paralisis.Hasil dari skenario, didapatkan keadaan umum anak
kompos mentis.Tekanan darah, suhu, frekuensi nadi dan pernapasan normal.Pada dinding
faring hiperemis.1

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan antara lain:1,3

1. Pemeriksaan kesadaran yang meliputi respons pasien terhadap suara biasa dankeras
juga terhadap rangsang nyeri.
2. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal yang meliputi kaku kuduk, tanda brudzinski,
tanda laseque, dan tanda kernig.
3. Pemeriksaan saraf kranial yang meliputi pemeriksaan nervus III, IV, VI, VII, dan XII.
4. Pemeriksaan motorik yang meliputi palpasi untuk menilai tonus otot serta pemeriksaan
gerak aktif dan pasif.

Pada skenario didapatkan reflex tendon negatif, terdapat atrofi, flaksid positif, kekuatan
motorik negatif, kaku kuduk positif, dan sulit mengangkat kaki dan kepala pada posisi supine
(posisi tidur).

Penderita poliomyelitis pada umumnya menunjukkan kelemahan otot dan beberapa


tampilan seperti:

- Otot-otot tubuh terserang paling akhir.


- Sensorik biasanya normal.
- Refleks tendon dalam biasanya menurun atau tidak ada sama sekali.
- Atrofi otot biasanya mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan menjadi lengkap
dalam waktu 12-15 minggu serta bersifat permanen.
- Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai dengan retensi urin.
- Tanda-tanda rangsang meningeal.

4
- Gangguan saraf kranial (poliomielitis bulbar). Dapat mengenai saraf kranial IX dan X
atau III. Bila mengenai formasio retikularis di batang otak maka terdapat gangguan
bernapas, menelan, dan sistem kardiovaskuler.

III. Pemeriksaan Penunjang

Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk menegakkan diagnosis penyakit,
perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang:1

1. Isolasi virus.
Virus polio dapat diisolasi dari apusan faring, urin, atau feses penderita polio.
2. Serologi.
Periksa konsentrasi antibodi pada fase akut dan konvalesen. Kadar tinggi saat fase akut
sampai 3-6 minggu setelahnya; dapat naik hingga 4 kali lipat. Diagnosis fase akut dapat
ditunjukkan oleh kenaikan titer IgG sebanyak 4 kali lipat atau titer IgM positif.
3. Cairan serebrospinal.
Cairan serebrospinal menunjukkan kenaikan leukosit (10-200 sel/mm3, terutama
limfosit) dan kenaikan ringan protein sekitar 40-50 mg/100ml.

IV. Diagnosis Kerja

Poliomielitis

Poliomielitis adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh suatu kelompok virus
neurotropik (tipe I, II, dan III). Virus poliomielitis mempunyai afinitas khusus pada sel-sel
kornu anterior medula spinalis dan intra saraf motorik tertentu di batang otak. Sel-sel saraf

5
yang terkena mengalami nekrosis dan otot-otot yang disuplainya menjadi
paralisis.Poliomielitis merupakan infeksi dari virus jenis enteroviral yang dapat
bermanifestasi dalam 4 bentuk yaitu, infeksi yang tidak jelas, menetap, nonparalitik, dan
paralitik. Sebelum abad 19 poliomielitis menyebar secara mendunia, dan pada puncaknya
tahun 1950. dengan ditemukannya vaksin menurunkan angka kejadian ini hingga serendah-
rendahnya.2

V. Diagnosis Banding

1. Guillain Barre Syndrome ( GBS )

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun
susunan saraf pusat.
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
mielin, material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut demielinisasi.
Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat
atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari mielin dan
menyerang beberapa saraf.Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui.Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit
autoimun.Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh
virus, yaitu Epstein-Barr virus, Coxsackievirus, Influenzavirus, Echovirus,
Cytomegalovirus, Hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh
infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter jejuni pada enteritis,
Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta ,Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium
Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit
sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan
terutama pada trimester ketiga; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini
biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum timbul GBS.1

6
2. Miastenia Gravis
Merupakan suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya antibodi
terhadap reseptor pasca-sinaptik asetilkolin (ACh) nikotinik pada myoneural junction.
Penurunan jumlah reseptor Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang
progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat. Prevalensi MG di AS berkisar
antara 0,5-14,2 kasus/100.000 orang.MG memiliki gambaran yang khas yaitu
kelemahan dan kelelahan otot terutama setelah beraktivitas. Pada MG derajat ringan,
gambaran klinisnya seringkali tidak jelas, seperti ptosis. Kelemahan otot timbul saat
diprovokasi oleh aktivitas berulang.1
3. Polimiositis
Merupakan suatu peradangan otot, yang biasanya mengenai otot-otot proksimal
(yang dekat dengan batang tubuh seperti sendi bahu, leher, pinggul dan pangkal paha)
dan termasuk penyakit gangguan sistem kekebalan (autoimun) dimana terbentuk sistem
kekebalan yang menyerang tubuh sendiri, hingga otot-otot lemah sampai tidak
berfungsi baik. Penyebab polimiositis belum diketahui pasti. Penyakit ini pada
umumnya terdapat pada umur dua puluhan dan lebih banyak terdapat pada kaum
perempuan. Pada mulanya penderita tidak bisa lari, sukar bangun dari duduk, sulit naik
tangga dan badan terasa pegar berkepanjangan. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan ialah biopsi otot, gambaran EMG (Elektromyograph), MRI (Magnetic
Resonance Imagine), atau enzim CPK (Creatinin Pospokinase). Pengobatan dapat
dilakukan dengan tetap bergerak dan beraktivitas, otot-otot dipakai sebisa mungkin,
juga hindari kontak langsung dengan penderita penyakit menular karena akan
mengalami kelainan sistem kekebalan.4

VI. Etiologi

Penyakit polio atau poliomielitis paralitik sudah dikenal sejak akhir abad 18, bahkan
mungkin sejak jaman Mesir kuno.Penyakit ini disebabkan oleh virus polio, anggota genus
Enterovirus, famili Picornaviridae.Sampai sekarang telah diisolasi 3 strain virus polio yaitu
tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing), dan tipe 3 (Leon).Infeksi dapat terjadi oleh satu atau
lebih tipe tersebut.Epidemi yang luas biasanya disebabkan oleh tipe 1.Virus ini relatif tahan
terhadap hampir semua desinfektan (etanol, isopropanol, lisol, amonium kuartener, dll).Virus
ini tidak memiliki amplop lemak sehingga tahan terhadap pelarut lemak termasuk eter dan
kloroform.Virus ini dapat diinaktifasi oleh formaldehid, glutaraldehid, asam kuat, sodium

7
hipoklorit, dan klorin.Virus polio menjadi inaktif dengan pemanasan di atas 42C.Selain itu,
pengeringan dan ultraviolet juga dapat menghilangkan aktivitas virus polio.5,6

Penularan virus polio terutama melalui jalur fekal-oral dan membutuhkan kontak yang
erat. Prevalensi infeksi tertinggi terjadi pada mereka yang tinggal serumah dengan penderita.
Biasanya bila salah satu anggota keluarga terinfeksi, maka yang lain juga terinfeksi.
Kontaminasi tinja pada jari tangan, alat tulis, mainan anak, makanan dan
minuman,merupakan sumber utama infeksi.Virus Polio ditularkan terutama dari manusia ke
manusia, terutama pada fase akut, bersamaan dengan tingginya titer virus polio di faring dan
feses.Virus polio diduga dapat menyebar melalui saluran pernafasan karena sekresi
pernafasan merupakan material yang terbukti infeksius untuk virus entero lainnya.Meskipun
begitu, jalur pernafasan belum terbukti menjadi jalur penularan untuk virus polio.Transmisi
oral biasanya mempunyai peranan yang dominan pada penyebaran virus polio di negara
berkembang, sedangkan penularan secara fekal-oral paling banyak terjadi di daerah
miskin.Makanan dan minuman dapat terkontaminasi melalui lalat atau karena higienis yang
rendah. Sumber penularan lain yang mungkin berperan adalah tanah dan air yang
terkontaminasi material feses, persawahan yang diberi pupuk feses manusia, dan irigasi yang
dengan air yang telah terkontaminasi virus polio.1

Faktor yang mempengaruhi penyebaran virus adalah kepadatan penduduk, tingkat


higienis, kualitas air, dan fasilitas pengolahan limbah.Di area dengan sanitasi yang bagus dan
air minum yang tidak terkontaminasi, rute transmisi lainnya mungkin penting.Bahan yang
dianggap infeksius untuk virus polio adalah feses dan sekresi pernafasan dari pasien yang
terinfeksi virus polio atau yang menerima OPV (Oral Poliovirus Vaccine) dan produk
laboratorium yang digunakan untuk percobaan dengan menggunakan virus polio.Bahan yang
dianggap berpotensi infeksius adalah feses dan sekresi faring yang dikumpulkan untuk tujuan
apapun dari daerah yang masih terdapat virus polio liar.Darah, serum dan cairan
serebrospinal tidak diklasifikasikan infeksius untuk virus polio.

VII. Epidemiologi

Penelitian menemukan bahwa 40-50 tahun yang lalu di Eropa Utara terdapat penderita
poliomielitis terbanyak pada umur 0-4 tahun, kemudian berubah menjadi 5-9 tahun dan kini
di Swedia pada umur 7-15 tahun, bahkan akhir-akhir ini pada usia 15-20 tahun. Poliomielitis
di negeri yang baru berkembang dengan sanitasi yang buruk berkesimpulan bahwa di daerah-

8
daerah tersebut pada epidemik poliomielitis ditemukan 90% pada anak dibawah umur 5 tahun
ini disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau imunitas pada masa anak, sehingga
seperti juga halnya di Indonesia penyakit poliomielitis jarang terdapat pada orang dewasa. Di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta antara tahun 1953-1957, diantara 21
penderita yang dirawat 2/3 di antaranya berumur 1-5 tahun.

Penyakit poliomielitis jarang terdapat di bawah umur 6 bulan, mungkin karena imunitas
pasif yang didapat dari ibunya, tetapi poliomielitis yang terjadi pada bayi baru lahir pernah
dilaporkan dalam kepustakaan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier yang sehat atau oleh
kasus yang abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini dapat dipercepat
penyebarannya dengan tindakan operasi seperti tonsilektomi, ektraksi gigi yang merupakan
porte dentre atau penyuntikan.7

VIII. Patofisiologi

Poliovirus merupakan RNA virus yang di transmisikan melalui rute oral-fekal, melalui
konsumsi dari air yang terkontaminasi feses (kotoran manusia).Terdapat tiga jenis yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia. Masa inkubasi membutuhkan waktu 5 35 hari. Apabila
virus masuk kedalam tubuh melalui jalur makan, akan menetap dan berkembang biak di
kelenjar getah bening nasofaring atau usus, dan kemudian menyebar melalui darah ke seluruh
tubuh. Setelah virus masuk kedalam jaringan tubuh, virus akan mengeluarkan neurotropik
yang akan merusak akhiran saraf pada otot, yang menyebabkan kelumpuhan dari organ gerak
bahkan sampai otot mata.1

Perjalanan Klinis

Perjalanan penyakit ini mempunyai 3 stadium utama: stadium akut berlangsung 1-3
minggu, diikuti stadium penyembuhan, lebih dari 6-12 bulan, dan terakhir adalah stadium
kronik atau residual.2

1. Stadium akut
Stadium akut dibagi menjadi minor dan mayor.
Stadium akut minor ditandai dengan gejala-gejala infeksi lainnya, seperti demam,
malaise, sakit kepala, nyeri seluruh tubuh, mual dan muntah. Setelah 1-3 hari keadaan
penderita dapat membaik dan kemudian menjadi sakit lagi.

9
Stadium akut mayor pada stadium pre-paralitiknya ditandai dengan gejala-gejala yang
sama dengan stadium akut minor, tetapi bentuk penyakitnya lebih berat dan mempunyai
gejala dan tanda penyakit tambahan yang lebih spesifik. Hal ini meliputi kaku kuduk dan
punggung, nyeri dan nyeri tekan pada otot disertai spasme otot yang dapat berlangsung
dalam waktu lama. Setelah 1-2 hari, terjadi stadium paralitik yang dapat berkembang
secara menyeluruh setelah 1-2 hari. Paralisis tersebut berbentuk flaksid tanpa disertai
hilangnya rangsangan sensorik. Otot-otot anggota gerak dan tubuh menjadi paralisis
dalam berbagai kombinasi dan derajat yang berbeda. Gejala-gejala umum dan otot
biasanya mulai membaik kira-kira 2 minggu setelah munculnya penyakit. Pada minggu-
minggu ketiga gejala-gejala umum dan lokal menghilang. Bukti klinis menyatakan
bahwa otot yang melakukan latihan selama stadium akut lebih cenderung mengalami
paralisis. Oleh karena itu, selama periode itu perlu ditekankan untuk beristirahat total dan
menjaga posisi anggota gerak yang benar untuk mengurangi spasme dan nyeri otot.
2. Stadium penyembuhan
Setelah stadium akut, kekuatan dan fungsi otot secara langsung mulai pulih kembali.
Prognosis dapat ditentukan antara minggu ke-3 dan ke-6 dari permulaan terjadinya
penyakit. Otot-otot yang tidak menunjukkan gerakan atau kekuatan pada minggu ke-6
akan mengalami paralisis total; otot-otot yang menunjukkan sedikit gerakan atau
kekuatan akan membaik meskipun lebih lama daripada normal; otot-otot yang dapat
digerakkan oleh penderita (biasanya anak-anak) akan memerlukan latihan kekuatan.
Dalam enam bulan pertama setelah sakit penyembuhan otot berlangsung dengan cepat
dan setelah itu proses ini menjadi lebih lambat. Pada akhir tahun pertama, penyembuhan
otot hampir sempurna. Latihan rehabilitasi harus dilakukan sejak permulaan stadium
penyembuhan dengan tujuan untuk mempercepat penyembuhan, kemampuan umum dan
mobilitas otot, dan untuk mencegah terjadinya kontraktur otot. Penatalaksanaan ini
meliputi latihan gerakan otot, posisi, gaya berjalan, penguatan, dan latihan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada anak-anak kecil, proses rehabilitasi juga meliputi
rangsangan perkembangan motorik secara normal, misalnya berguling-guling, duduk,
merangkak, dan berdiri.
3. Stadium kronik atau residual
Adanya gejala sisa paralisis otot pada akhir tahun pertama setelah munculnya penyakit
dapat dianggap sebagai kecacatan permanen. Namun, dengan latihan yang baik kapasitas
fungsional dan penampilan umum dari penderita dapat menjadi sangat baik. Hal ini juga
berlaku bagi anak-anak dengan paralisis berat. Jika prosedur rehabilitasi dijalankan

10
dengan baik, maka kebanyakan anak tidak memerlukan pembedahan rehabilitatif.
Namun, bila telah terjadi deformitas (misalnya, deformitas sendi akibat kontraktur otot
dan tendon), maka diperlukan pembedahan untuk merehabilitasi penderita dengan
paralisis pada stadium residual. Semakin dini pembedahan dilakukan, hasilnya akan
semakin baik, karena semakin lama deformitas tersebut akan menjadi semakin lebih
berat dan menetap. Meskipun demikian, pembedahan korektif pada stadium residual
lanjut masih dapat bermanfaat, terutama pada anak-anak.

IX. Manifestasi Klinis

Poliomielitis bermanifestasi sebagai berikut:1


1. Asimptomatik
2. Poliomielitis abortif. Terdapat 3 gambaran klinis utama, yaitu: infeksi saluran napas
bagian atas, gangguan saluran cerna, dan gejala seperti influenza. Gejala-gejalanya
mereda setelah 2-3 hari.
3. Poliomeningitis aseptik non paralitik. Terdapat tanda-tanda poliomielitis abortif, namun
nyeri kepala, mual, dan muntah lebih berat, otot-otot leher posterior dan punggung kaku
serta nyeri, sulit buang air kecil dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kaku
kuduk. Biasanya refleks superfisial menghilang paling awal. Refleks profundus
(tendon) biasanya terganggu 8-24 jam setelah refleks superfisial menghilang,
menandakan akan terjadi paresis ekstremitas.
4. Poliomielitis paralitik.
a. Poliomielitis paralitik spinal. Setelah nyeri kepala dan demam, terjadi nyeri otot
hebat. Dalam 1-2 hari, timbul paresis atau paralisis flaksid asimetris. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk, nyeri otot, refleks tendon dalam
hiperaktif yang akhirnya menghilang dan terjadi paresis dan paralisis. Pasien akan
merasa lebih baik setelah 2-5 hari.
b. Poliomielitis bulbar. Terdapat disfungsi saraf kranial dan medula spinalis.
Manifestasi klinisnya berupa gangguan pernapasan (selain paralisis otot-otot
ekstraokular, wajah dan pengunyah). Saraf kranial yang terkena jarang mengalami
gangguan permanen.
c. Poliomielitis bulbospinal. Kombinasi poliomielitis bulbar dan paralitik.

11
d. Polioensefalitis. Kejang, koma, dan paralisis spastik disertai peningkatan refleks
fisiologis, iritabilitas, disorientasi, mengantuk, dan tremor. Dapat terjadi paralisis
nervus kranialis atau perifer.

Gejala Sisa dari Poliomielitis

1. Paralisis
Paralisis flaksid tanpa disertai dengan hilangnya sensasi merupakan gejala sisa yang
langsung diakibatkan oleh poliomielitis. Paralisis dari otot-otot yang terkena dapat
ringan, sedang, atau berat. Pada anggota gerak yang sama, beberapa otot mungkin tidak
terganggu, sementara yang lain dapat menunjukkan derajat paralisis yang bermacam-
macam. Pada anak-anak, mayoritas paralisis mengenai anggota gerak bawah. Otot-otot
tubuh juga dapat terkena pada beberapa anak tersebut, namun hanya sedikit otot-otot
anggota gerak atas yang juga terkena. Kebanyakan dari anak-anak hanya menderita
paralisis pada satu tungkai saja.
2. Deformitas
Deformitas anggota gerak dan tubuh, terutama anggota gerak bawah, dapat terjadi pada
sebagian besar anak-anak yang tidak mendapat perawatan yang adekuat pada
permulaan penyakit. Sebenarnya banyak deformitas yang dapat dihindarkan atau
setidaknya dapat diperkecil bila dilakukan pencegahan sekunder yang baik pada
stadium akut dan stadium penyembuhan. Kontraktur otot dapat membatasi atau
menghambat pergerakan sendi dan dapat mengakibatkan deviasi dari sumbu anggota
gerak (misalnya, deformitas valgus dari lutut).2

Sindrom Pascapolio

Pasien yang sembuh dari penyakit poliomielitis dapat mengalami kelemahan dan
kelelahan rekuren yang timbul 20-40 tahun setelah terinfeksi virus polio.

Kriteria Diagnosis Sindrom Pascapolio:1

Adanya riwayat polio paralitik sebelumnya yang disertai kehilangan fungsi motorik. Hal
ini dapat dipastikan melalui anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan
elektro-diagnostik.
Adanya periode/masa penyembuhan dari gejala-gejala neurologis (interval kurang lebih
15 tahun).

12
Adanya awitan kelemahan atau kelelahan otot yang bertahap, dengan atau tanpa
kelemahan umum, atrofi otot, dan atau nyeri.
Tidak ada kelainan medis, ortopedik atau neurologis lain.

X. Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk poliomielitis.


Simptomatis. Analgesik atau NSAID diberikan untuk mengatasi mialgia, spasme otot, dan
nyeri kepala. Bila terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan, diperlukan ventilator portabel.
Mempercepat penyembuhan. Tirah baring sampai gejala demam mereda, cegah kelelahan,
makanan kaya nutrisi, terapi fisik dengan penyangga atau sepatu korektif, terapi fisik untuk
poliomielitis paralitik, mobilisasi intensif serta gerakan aktif, dan pasif untuk tahap
pemulihan.
Mencegah Komplikasi. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi traktus urinarius.
Betanekol dapat mencegah retensio urin. Terapi okupasional dan tanpa bicara.1

XI. Pencegahan

Menjaga kebersihan penting dalam pencegahan. Terdapat 2 tipe vaksin yang digunakan
dalam pencegahan poliomielitis:1

Vaksin polio yang tidak aktif (Inactivated Polio Vaccine/IPV).


Vaksin primer. Diberikan dalam 3 dosis awal: saat usia 6 minggu atau biasanya pada
usia 2 bulan, usia 4 bulan, dan pada usia antara 6-18 bulan. Dosis keempat diberikan
pada usia 4 tahun.
Vaksin polio oral (Oral Polio Vaccine/OPV)
Pemberian sama dengan IPV.

XII. Prognosis

Prognosis polio bergantung pada derajat penyakitnya. Pada polio ringan dan sedang,
kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu singkat. Penderita polio spinal
50% akan sembuh sempurna, 25% mengalami disabilitas ringan, 25% disabilitas serius dan
permanen. Sebanyak 1% penderita polio berat akan mengalami kematian.1

13
PENUTUP

Kesimpulan

Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh
virus. Virus masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot
dan kadang kelumpuhan (paralisis). Polio menular melalui kontak antarmanusia. Untuk
mengurangi terjangkitnya virus polio pada manusia diharuskan untuk menjaga kebersihan diri
dan lingkungan dan mendapatkan vaksin polio sebagai pencegahannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan


tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.h54-62.
2. Krol J. Poliomielitis dan dasar-dasar pembedahan rehabilitasi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1996.h.13-7.
3. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Edisi 13. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC;h.141.
4. Yatim F. Penyakit tulang dan persendian. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2006.
h.129-32.
5. Annegers JF, Hauser WA, Shirts SB, et al. Factor prognostic of unprovoked seizures
after febrile convulsions. N Eng J Med 316: p.493.
6. Staf Pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Volume
3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.h.1190-2.
7. Ellenberg JH, Nelson KB. Febrile seizures and later intellectual performance. Arch
Neurol 35: p. 1978.

14

Anda mungkin juga menyukai