Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan Indonesia menghadapi tantangan

yang cukup besar dalam mempertahankan peningkatan status kesehatan

masyarakat. Indikasi ini terlihat dari melambatnya penurunan kematian

ibu, kematian bayi dan meningkatnya kekurangan gizi pada balita. Dalam

status gizi, Indonesia berada pada posisi yang cukup kompleks karena

permasalahan gizi bermacammacam seperti kekurangan energi protein,

kekurangan vitamin A dan kekurangan zat besi (anemia), serta gizi lebih

(World Bank, 2006 dalam Bappenas, 2009).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007 dan 2010, bahwa

prevalensi gizi buruk balita secara nasional adalah 5,4% (2007) dan 4,9%

(2010). Hasil tersebut menunjukkan, bahwa prevalensi gizi buruk balita

hanya mengalami penurunan 0,5% selang tahun 2007 sampai 2010.

Sedangkan prevalensi gizi kurang balita tidak mengalami perubahan, yaitu

13,0% tahun 2007 dan tahun 2010 (Litbangkes Kemenkes RI, 2010).

Studi-studi di banyak negara berkembang menunjukkan, bahwa

penyebab utama terjadinya gizi kurang dan hambatan pertumbuhan pada

anak-anak usia 3-15 bulan berkaitan dengan rendahnya pemberian ASI

dan buruknya praktek pemberian makanan pendamping ASI. Di Indonesia

hanya 8% bayi mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Di samping

1
itu tidak sesuainya pola asuh yang diberikan sehingga beberapa zat gizi

tidak dapat mencukupi kebutuhan khususnya energi dan zat gizi mikro

terutama zat besi (Fe) dan Seng (Zn) (Depkes 2004).

Ada beberapa studi intervensi dalam mengatasi masalah

kekurangan gizi mikro pada anak. Abram, et.al (2003) menemukan,

bahwa pemberian MP-ASI lokal yang diperbaiki formulanya efektif dalam

meningkatkan kadar hemoglobin dan menurunkan risiko anemia.

Selanjutnya di Ghana, pemberian formula sprinkel zat besi dan zat seng

selama delapan minggu pada bayi anemia memperlihatkan hasil yang

lebih baik dibandingkan sprinkel yang hanya mengandung zat besi dalam

meningkatkan status zat seng dan mengejar pertumbuhan anak yang

mengalami wasting dan stunting pada anak yang mengalami anemia

(Zlotkin, 2003). Hasil temuan Smuts dkk (2005) di empat negara

(Indonesia, Peru, Afrika Selatan dan Vietnam) menunjukkan, bahwa bayi

yang diberikan supplement multiple micronutrient setiap hari selama enam

bulan dapat mencegah terjadinya anemia defisiensi besi, dan

meningkatkan status gizi mikro berupa zat seng, retinol, tocopherol dan

riboflavin. Studi Faber dkk (2005) di Afrika dengan memberikan bubur

jagung yang difortifikasi pada anak umur 6-12 bulan mempunyai efek yang

signifikan terhadap penurunan jumlah anak yang mengalami anemia dan

meningkatkan status zat besi anak yang tinggal di daerah miskin. Hirve

dkk (2006) melaporkan hasil studinya mengenai pemberian sprinkel dosis

rendah pada bayi dan anak yang mengalami anemia menunjukkan bahwa

2
sprinkel dosis rendah (12,5mg FF) sama baiknya dengan sprinkel dosis

tinggi (20 atau 30 mg FF, 20 mg MFP) dan DROPS (20 mg) dalam

meningkatkan hemoglobin, sehingga Sprinkel FF 12,5 mg

direkomendasikan karena memiliki efek samping yang rendah dan

kepatuhan yang lebih baik dibandingkan DROPS. Hasil studi di Elsavador

turut memperkuat dengan terjadinya peningkatan pertumbuhan serta

menurunkan kejadian anemia pada anak 9-14 bulan yang makanannya

ditambahkan zat gizi mikro (Chessa, 2008). Demikian pula dengan hasil

yang ditemukan di Ghana yang membandingkan tiga jenis MP-ASI yaitu

sprinkel (6 vitamin dan mineral), nutritabs (16 vitamin dan mineral) dan

nutritab yang berbasis lemak (16 vitamin dan mineral) ketiganya efektif

dalam mengurangi prevalensi defisiensi besi pada bayi (Adu dkk, 2008).

Kementerian Kesehatan RI mengembangkan sprinkel dalam

program intervensi perbaikan gizi bagi balita, yang diberi nama Taburia.

Taburia merupakan pengembangan produk lokal Micronutrient Powder

(MNP) atau Bubuk Tabur Gizi (BTG) yang menjadi strategi dalam

mengatasi anemia kurang zat besi dan kekurangan zat gizi mikro lainnya.

Studi efikasi tentang MNP, seperti sprinkle dan produk MNP-lokal lainnnya

telah dilakukan di banyak negara, dan hasilnya menunjukkan, bahwa MNP

mampu menurunkan anemia secara bermakna pada anak balita yang

mengkonsumsi MNP dalam jumlah cukup (Direktorat Bina Gizi

Masyarakat, Kemenkes RI, 2010).

3
Sprinkel merupakan salah satu cara efektif karena memiliki nilai

kandungan zat gizi mikro tinggi, tidak mengubah rasa, bau dan tekstur

makanan, praktis, mudah pemberiannya, serta tidak menimbulkan

kebosanan karena cukup ditambahkan pada makanan bayi dan anak

sehari-hari (Zlotkin, 2005). Penerimaan terhadap sprinkel zat gizi mikro

berhasil dibuktikan oleh Hyder (2004) dan Zlotkin (2004), di mana lebih

dari 90% ibu menunjukkan penerimaan yang positif terhadap bau, warna

maupun rasa. Disamping itu, studi tentang keberlanjutan sprinkel di

Indonesia telah dilakukan oleh Van Hees dkk (2005), hasilnya

menunjukkan, bahwa para ibu yang baru diperkenalkan sprinkel maupun

ibu yang anaknya pernah diberikan sprinkel mau terus melanjutkan

pemberiannya. Studi efikasi Taburin dan dua jenis sprinkel lainnya (Anuka

dan Vitalita) untuk menilai efeknya dalam menyembuhkan anemia pada

anak. Hasilnya menunjukkan, bahwa semua jenis sprinkel tersebut baik

untuk menyembuhkan anemia pada anak, yaitu taburin 43% , anuka 54%

dan vitalita 63% (Sunawang, 2007).

Hasil studi efikasi di Jakarta Utara tahun 2009 yang terkait

dengan kepatuhan mengkonsumsi menunjukkan, bahwa tingkat

kepatuhan mengkonsumsi Taburia cukup tinggi, yaitu 87%. Hasil

penelitian Monoarfa (2008) di Banggai juga memperlihatkan, bahwa

tingkat kepatuhan mengkonsumsi Taburia cukup tinggi, yang dapat terlihat

dari jumlah Taburia yang dikonsumsi yakni 91,4%.

4
Berkaitan dengan efektifitas program kesehatan, penilaian

tingkat kepatuhan sasaran dalam melaksanakan program merupakan

bagian dari indikator output program. Beberapa hasil penelitian tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi program kesehatan menunjukkan,

bahwa tingkat kepatuhan sasaran merupakan salah satu faktor utama

yang menentukan keberhasilan program. Kyngas, et al (2000)

menyatakan, bahwa rendahnya tingkat kepatuhan akan berkontribusi

terhadap penurunan efektifitas dan kemanfaatan regimen pengobatan

serta peningkatan biaya pengobatan akibat implementasi regimen yang

tidak sesuai atau tidak tepat. Ketidakpatuhan juga berpengaruh terhadap

kesehatan di masyarakat, misalnya jika pasien tuberculosis tidak

mengikuti pengobatan yang harus diterima maka akan terjadi penularan

kepada orang lain.

Hasil penelitian Nugroho (2009) menunjukkan, bahwa faktor

risiko yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada penderita TB

Paru dengan strategi DOTS adalah kepatuhan minum OAT yang tidak

teratur (OR=3,76 dan p=0,004). Berkaitan dengan program imunisasi,

bahwa ketidakpatuhan ibu balita dalam program imunisasi yang terlihat

pada cakupan imunisasi Kota Depok dengan cakupan UCI sebesar 31,6%

dan angka cakupan imunisasi Hepatitis B (0-7 hari) sebesar 38,4%. Hasil

analisis multivariat ditemukan hubungan bermakna faktor jaminan

kesehatan dan respon terhadap imunisasi dengan kepatuhan imunisasi

(Waluyanti, 2009). Kepatuhan mengkonsumsi obat penderita kusta di

5
Kabupaten Asahan tahun 2006 hanya 7,14%. Hasil ini sangat rendah

dibandingkan dengan standard pelayanan minimal sebesar lebih dari

90%. Hal tersebut dipengaruhi oleh peran petugas (p= 0,024), dan reaksi

dari penyakit kusta (p= 0,015) (Hutabarat, 2008).

Hasil penelitian lainnya ditemukan, bahwa salah satu faktor

utama mempengaruhi cakupan pemberian tablet besi ibu hamil adalah

kepatuhan ibu hamil mengkonsumi tablet besi. Hasil Penelitian tentang

rendahnya kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi seperti

yang didapatkan oleh Siamintarsih (2000) sebesar 56,6%, Mardiana

(2004) sebesar 35,56%, dan Harnany (2006) sebesar 48,1%, serta

Mawaddah dan Hardinsyah (2008) sebesar 78,0%.

Kepatuhan merupakan bentuk keterlibatan sasaran yang tidak

akan terlepas dari konsep kepatuhan itu sendiri. Kyngas, et.al (2000)

menyatakan, makna kepatuhan (compliance) tidak mempunyai definisi

yang umum, akan tetapi hal tersebut memunculkan terminologi lain yang

masih dapat diterima, yaitu ketaatan, kooperatif, saling pengertian, dan

hubungan terapeutik. Ketidakkonsistenan pemaknaan dan pengukuran

kepatuhan menyebabkan timbulnya masalah di dalam melakukan studi

terkait kepatuhan. Sebagian besar definisi memasukkan elemen

tanggungjawab pasien terhadap perawatan dirinya, peran terhadap proses

pengobatan dan kerja sama pasien dengan petugas kesehatan.

6
Tingkat kepatuhan mengkonsumsi Taburia dapat meningkatkan

cakupan Taburia. Temuan yang ada tentang kepatuhan pemberian

Taburia masih sebatas pada studi efikasi, yaitu tingkat kepatuhan yang

diukur melalui jumlah Taburia yang diberikan dibandingkan dengan jumlah

Taburia yang dikonsumsi. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian efektifitas

program Taburia tentang kepatuhan ibu balita dalam pemberian Taburia,

sehingga didapatkan strategi yang tepat dalam meningkatkan kepatuhan

para ibu terhadap pemberian Taburia pada anaknya.

B. Rumusan Masalah

Program Taburia merupakan salah satu strategi dalam upaya

peningkatan status gizi balita. Rumusan masalah dalam penelitian adalah

belum diketahui efektifitas program Taburia yang berkaitan dengan

kepatuhan ibu balita dalam pemberian Taburia, sehingga intervensi yang

dilaksanakan akan berhasil dan berdaya guna dalam peningkatan status

gizi balita.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan

penelitian adalah :

a. Bagaimana faktor-faktor predisposisi ibu balita dalam pemberian

Taburia pada balita (6-24 bulan) ?

b. Bagaimana faktor-faktor pemungkin ibu balita dalam pemberian

Taburia pada balita (6-24 bulan) ?

7
c. Bagaimana faktor-faktor pendorong atau penguat ibu balita dalam

pemberian Taburia pada balita (6-24 bulan) ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk memperoleh informasi kepatuhan ibu balita dalam pemberian

Taburia pada balita (6-24 bulan) di Kabupaten Jeneponto tahun 2011.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor predisposisi

ibu balita dalam pemberian Taburia pada balita (6-24 bulan) .

b. Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor pemungkin

ibu balita dalam pemberian Taburia pada balita (6-24 bulan).

c. Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor pendorong

atau penguat ibu balita dalam pemberian Taburia pada balita (6-

24 bulan).

D. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dengan penelitian ini bisa memberikan informasi dalam

bentuk bukti ilmiah berkaitan dengan efektifitas program Taburia.

2. Diharapkan dapat memberikan informasi bagi Dinas Kesehatan dan

Instansi terkait terutama Pemerintah Daerah dalam menentukan arah

kebijakan dalam penanggulangan masalah gizi pada balita.

8
3. Diharapkan dapat menambah wawasan gizi bagi masyarakat di lokasi

penelitian tentang upaya perbaikan gizi pada balita.

Anda mungkin juga menyukai