Anda di halaman 1dari 17

BAB I

I. PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami

pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan

penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih.

Penyakit ini juga dikenal sebagai benign prostatic hyperplasia (BPH), di mana

kelenjar periuretra mengalami hiperplasia, sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke

perifer menjadi kapsul bedah.(1)

BPH ditandai oleh pelebaran kelenjar prostat progressive sehingga terjadilah

obstruksi saluran kemih yang mengakibatkan sulitnya pengosongan kandung

kemih.(3)

1
BAB II

II. DEFINISI

Hipertrofi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah

hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya ialah hiperplasia

kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli keperifer dan menjadi

simpai bedah.(2)

III. ANATOMI

Prostat merupakan organ fibromuskular yang mengelilingi leher vesika dan

bagian proksimal uretra pada pria. Beratnya sekitar 20 gram pada pria dewasa dan

terdiri dari bagian anterior dan bagian posterior. Secara embriologi, prostat berasal

dari lima evaginasi epitel urethra posterior. Suplai darah prostat diberikan oleh arteri

vesikalis inferior dan masuk pada sisi posterolateral leher vesika. Drainase vena

prostat bersifat difus dan bermuara kedalam pleksus santorini. Persarafan prostat

terutama bersasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus

hipogastrikus dan serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat

melalui pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka

interna, iliaka eksterna dan presakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas

penyebaran penyakit dari prostat.

Fungsi prostat yang normal tergantung pada testosteron, yang dihasilkan oleh

sel leydig testis dalam respon terhadap rangsangan oleh hormon luteinisasi (LH) dari

2
hipofisis. Testosteron dimetabolisme menjadi dehidrotestoteron oleh 5 alfa -

reduktase didalam prostat dan vesikula seminalis.

Walaupun prostat dibagi menjadi lima lobus (lobus posterior, medius, anterior

dan dua lateralis), prostat terpisah secara fungsional kedalam dua struktur terpisah.

Jaringan kelenjar periuretra inferior menimbulkan hiperplasia dan bertanggung jawab

untuk pembesaran jinak prostat yang terlihat pada pria usia lanjut. Segmen luarnya

merupakan struktur muskuloglandula, dari sini muncul keganasan prostat. Secara

histology prostat terdiri dari jaringan ikat, serabut otot polos dan kelenjar epitel yang

dilapisi oleh sel toraks tinggi dan lapisan sel basal.(4)

3
IV. ETIOLOGI

Penyebab PPJ belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan

faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya:

1. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-alfa

reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar

prostat.

2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk

merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi

primer PPJ adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang

menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan

bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada

usia dewasa.

4
3. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan

asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma

dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam

jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Keduanya

tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel

transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya

androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat

yang normal.

4. Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara

unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat PPJ. Faktor pertumbuhan

ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi

berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth

factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-

Beta (TGF - Beta, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya PPJ, yaitu adanya

dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan

kongenital berupa defisiensi 5-alfa reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi

testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar.

Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum menurun disertai

meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan periperal. Pada

anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran androgen dan estrogen dalam

PPJ adalah kompleks dan belum jelas benar. Tindakan kastrasi sebelum masa

5
pubertas dapat mencegah PPJ. Pasien dengan kelainan genetik pada fungsi androgen

juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen

diperlukan untuk memulai proses PPJ, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan.

Estrogen berperan dalam proses hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang

hiperplasia epitel.(1)

V. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

BPH adalah sejenis tumor pada pria yang paling banyak ditemukan

dibandingkan dengan tumor-tumor lainnya. Pada usia di atas 60 tahun kejadiannya

berkisar 70 % dan meningkat pada usia di atas 80 tahun menjadi 90 %. Di Indonesia,

data dari RSUP.Cipto Mangunkusumo dan RS sumber Waras memperlihatkan bahwa

30-40 % pria di atas 70 tahun menderita BPH. Tingginya kejadian BPH tersebut di

Indonesia telah menempatkan BPH sebagai penyebab angka kesakitan nomor 2

terbanyak setelah penyakit batu pada saluran kemih di Klinik Urologi.(5)

VI. PATOLOGI

Perubahan paling awal pada PPJ adalah di kelenjar periuretra sekitar

verumontanum.

Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul asinar

atau nodul campuran fibroadenomatosa.

Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan

hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall

columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan.

6
Sekitar 1060% sel epitel kelenjar ada yang berbentuk cribiform pada

sepertiga spesimen penderita PPJ. Ini tampak pada kanker prostat walaupun

inti selnya tidak menunjukkan perubahan keganasan.

Sel epitel PPJ serupa dengan prostat normal, yaitu sel yang aktif bersekresi. Dengan

teknik histokimia, tampak aktivitas yang tinggi dari prostat specific antigen (PSA),

asam fosfatase, enzim proteolitik dan enzim lainnya, serta sitrat dan seng dalam

kelenjar.(1)

VII. PATOFISIOLOGI

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda

obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi.

Miksi terputus, menetes pada akhir miksi. Pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa

belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor

berarti bertambahnya frekuensi miksi. Nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria.

Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau

gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi

terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran

prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering

berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk

menentukan berat keluhan klinis.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada

akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak

tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut. Pada suatu saat akan terjadi

7
kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi menampung urin sehingga

tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi

dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi

kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal

ginjal. Proses kerusakan kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu

miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan

hernia atau hemoroid.

Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam

kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan

hematuria. Batu tersendat dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks,

dapat terjadi pielonefritis.(2)

VIII. GEJALA KLINIS

Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,

gejala iritatif, terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang

air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan

sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Kedua, gejala obstruksi, terdiri

dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong (Incomplete

emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus

mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus

(intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi

urin dan terjadi inkontinen karena overflow.(1)

8
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk

menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom

Score). Skor ini dihitung berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan

mengenai miksi.(1,2)

Pertanyaan Jawaban dan skor

Keluhan Pada bulan terakhir Tidak ada <20% <50% 50% >50% Hampir
sama sekali Selalu
a. Adakah anda merasa buli-buli
tidak kosong setelah BAK ? 0 1 2 3 4 5
b. Berapa kali anda hendak BAK 0 1 2 3 4 5
lagi dalam waktu 2 jam setelah
BAK ?
c. Berapa kali terjadi bahwa arus 0 1 2 3 4 5
kemih berhenti sewaktu BAK ?
d. Berapa kali terjadi anda tidak 0 1 2 3 4 5
dapat menahan kemih ?
e. Berapa kali terjadi arus lemah 0 1 2 3 4 5
sekali waktu BAK ?
f. Berapa kali terjadi anda menga- 0 1 2 3 4 5
lami kesulitan memulai BAK ?

Bangun tidur untuk Bak Tidak 1x 2x 3x 4x 5x


pernah
g. Berapa kali anda bangun untuk
BAK diwaktu malam ? 0 1 2 3 4 5

9
h. Andaikata cara BAK seperti anda
alami sekarang ini akan seumur hi-
dup tetap seperti ini, bagaimanakah
perasaan anda ?

Jumlah skor
0 = Baik sekali.
1 = Baik.
2 = Kurang baik.
3 = Kurang.
4 = Buruk.
5 = Buruk sekali.

IX. GAMBARAN KLINIS

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus,

mukosa rectum, kelainan lain seperti benjolan didalam rectum dan prostat. Pada

perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (pada

pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adalah asimetris, adakah nodul pada

prostat, apakah batas atas dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras

atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat

asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui

batu prostat bila teraba krepitasi.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin

setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat

keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan

10
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya

dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.

Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada

colok dubur dan sisa volume urin.(2)

Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis

Derajat Colok dubur Sisa volume urin

I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml

II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai. 50 100 ml

III Batas atas prostat tidak dapat diraba. > 100 ml

IV retensi urin total

Dengan uroflowmetri dapat diukur :

1. Pancaran urin maksimal (maksimal flow rate Q max).

2. Volume urin yang keluar (Voided volume).

Pengukuran sisa urin yang tertinggal dalam buli-buli setelah buang air kecil

diukur dengan memasang kateter setelah buang air kecil atau dengan

menggunakan TAUS (Trans Abdominal ultrasonography) yang tidak

invasive.(1)

Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran

maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun

11
antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

Kelemahan detrusor dan obstruksi intravesikel tidak dapat dibedakan dengan

pengukuran pancaran kemih.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal

ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan untuk

menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.(2)

Pemeriksaan Laboratorium Terdapat Dua Pemeriksaan Yang Terpenting

Pencitraan yang sering digunakan dalam penatalaksanaan BPH adalah Trans

Rectal Ultrasonography (TRUS). Dengan Trus dapat diketahui volume prostat dan

dapat mendeteksi kemungkinan keganasan, dengan ditemukannya daerah hypoechoic.

Selain itu, dengan TRUS dapat ditemukan adanya bendungan vesika seminalis yang

tampak merupakan gambaran kista di sebelah bawah prostat. Pelebaran vena

periprostat yang sering ditemukan pada penderita prostatitis juga dapat diidentifikasi.

Ukuran prostat juga dapat dinilai dengan Trans Abdominal Ultrasonography

(TAUS). Taus dapat digunakan untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke

buli-buli, yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi, selain tentu

saja dapat mendeteksi apabila terdapat batu di dalam vesika.

Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian atas,

terutama bila ditemukan tanda-tanda hematuria, infeksi saluran kemih, penurunan

fungsi ginjal, riwayat batu saluran kemih, dan operasi saluran kemih bagian atas.

Pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian atas tersebut ialah foto polos abdomen

atau disebut Kiney Ureter Bladder Films (KUB films), intravena pyelography (IVP),

12
sistogram bila dicurigai adanya divertikel, compated tomography scanning (CT Scan)

atau untuk maksud penelitian ada yang menggunakan magnetic resonance imaging

(MRI).

Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk menentukan jenis terapi, namun

dapat membantu untuk menentukan jenis operasi pada pasien yang direncanakan

untuk operasi terbuka.

Pemeriksaan urodinamik diperlukan pada pasien yang dicurigai dengan

kelainan neurologis atau pada pasien yang telah mengalami kegagalan terapi dengan

bedah.(1)

X. DIAGNOSIS BANDING
1. Carcinoma kandung kemih.

2. Infeksi (cystitis atau prostatitis).

3. batu kandung kemih.

4. Neurogenik (penyakit Parkinson, stroke, demensia, multiple sclerosis, trauma

tulang belakang).

5. Carcinoma prostat.

6. Kontraktur leher buli-buli atau striktura uretra.

7. Obat-obatan (antikolinergik, antidepresi, dekongestan, dan lain-lain).(3)

13
XI. PENATALAKSANAAN

Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. untuk itu

dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah

dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.

Didalam Praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk

menentukan cara penanganan penderita derajat satu biasanya belum memerlukan

tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat

adrenoreseptor alfa seperti alfa-zosin, prazosin, dan terazosin. Keuntungan obat

penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan , tetapi

tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah obat

ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya

dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethal resection = TUR).

Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat

dicoba dengan pengobatan konservatif.

Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup

berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi

tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau

perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian bawah

menurut Planne-istiel, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.

Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli atau

divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara pemberian

14
retropubik menurut Millin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstel dengan

membuka simpai prostat tanpa membuka kandung kemih. Kemudian prostat

dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yatiu tanpa membuka kandung kemih

sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila membuka vesika. Kerugiannya

cara ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari

dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut masih kalah

dibandingkan dengan cara Tur, yaitu morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat

dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus. Dengan alat bedah baku

prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan lagi.

Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera dikerjakan

ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau

sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi

diagnosis, kemudian terapi definitive dengan tur atau pembedahan terbuka.

Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan

pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan

penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini ialah gejala hipotensi, seperti

pusing, lemas, palpitasi, rasa lemah.

Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang

menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini ialah menentukan berapa

lama obat harus diberikan dan efek samping obat.

15
Pengobatan lain yang invasive minimal ialah pemanasan prostat dengan

gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang

pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral microwave thermotherapy

(TUMT) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75% untuk gejala objektif.

Pada penanggulangan invasive minimal lain, yang disebut transurethal

ultrasound guided laser. Dengan ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.

Uretra di daerah prostat dapat juga dilatasi dengan balon yang dikembangkan

didalamnya (trans urethral balloon dilatation = TUBD). TUBD ini biasanya

memberikan perbaikan yang bersifat sementara.

Indikasi untuk operasi :

1. Retensi urin.

2. Hidronefrosis (dengan atau tanpa kelainan dari fungsi ginjaL).

3. Infeksi saluran kemih kronik.

4. batu pada saluran kemih.

5. Gejala obstruktif (dengan atau tanpa ketidakstabilan dari kandung kemih).

XII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPJ yang dibiarkan tanpa

pengobatan: Pertama, trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat

tekanan intra vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi. Kedua, dapat terjadi sakulasi,

yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor. Ketiga, bila sakulasi

menjadi besar dapat menjadi divertikel.

16
Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa

urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra

vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi

hidroureter dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.

Tahap akhir adalah tahap dekompensasi dari detrusor di mana buli-buli sama sekali

tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urin total. Apabila tidak

segera ditolong, akan terjadi overflow incontinence.(1)

17

Anda mungkin juga menyukai