Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

PERCOBAAN VI
DIFUSI PASIF

Disusun oleh :
Galuh Nilam Pratiwi (1041511073)
Intan Nur Faizah (1041511084)
Khairunnisa (1041511092)
Latifatul Khoiriyah (1041511098)
Fithria Lathifatul B (1041611175)
Nur Aliya Fitri Ana (1041611184)

PRODI S1 FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


YAYASAN PHARMASI SEMARANG
2017
PERCOBAAN 6
DIFUSI PASIF

I. TUJUAN
Mengetahui pengaruh difusi pasif Acetosal dalam kedua obat paten A dan B dengan
menggunakan metode usus terbalik.
II. DASAR TEORI
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami
berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi, distribusi, dan pengikatan untuk
sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tidak
menggunakan biotransformasi, obat disekresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini
disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak ( Tanu, 1995).
Di dalam tubuh manusia obat harus menembus barier sel di berbagai jaringan. Pada
umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan cara
melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting
dalam proses farmakokinetik adalah transport lintas membran ( Tanu, 1995).
Membrane sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik dikedua
sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul-molekul yang tertanam di kedua sisi
membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini
membentuk kanal hirofilik untuk transportair dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air
( Tanu, 1995).
Cara-cara transport obat lintas membrane yang terpenting adalah difusi pasif dan
transport aktif yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan
membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport
ialah bentuk dan ukuran molekul kelarutan dalam air, derajat ionisasi dan kelarutan
dalam lemak ( Tanu, 1995).
Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam
larutan elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung dari pKa obat
dan pH larutan. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehinggamudah berdifusi
melintasi membrane. Sedangkan bentuk ion sukar melintasi membran karena sukar larut
dalam lemak. Pada taraf mantap kadar obat dalam bentuk non-ion saja yang sama
dikedua sisi membrane, sedangkan kadar obat bentuk ion tergantung dari perbedaan pH di
kedua membrane ( Tanu, 1995).
Membran sel merupakan membrane semi permiabel, yang artinya hanya dapat
dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal
hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik.
Bersama aliran air akan terbawa zat-zat terlarut bukan ion yang beratmolekulnya kurang
dari 100-200. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena
mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air (Tanu, 1995).
Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antar sel,
kecuali di sumsum syaraf pusat. Celah antar sel endokapiler demikian besarnya sehingga
dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang dari 69.000( BM albumin ), yaitu
semua obat bebas termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun.
Proses ini berperan dalam proses absorpsi obat setelah pemberian parenteral dan dalam
filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal (Tanu,1995).
Difusi pasif
Perpindahan obat atau senyawa dari kompartemen yang berkonsentrasi tinggi
kekonsentrasi rendah merupakan mekanisme transport sebagian besar obat. Tenaga penggerak
difusi pasif dari suatu obat adalah perbedaan konsentrasi yang melewati suatu membran yang
memisahkan dua kompartemen tubuh yaitu obat tersebut bergerak dari suatu bagian yang
konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang rendah. Difusi pasif tidak menggunakan suatu
karier , tidak ada titik jenuh dan kurang menunjukkan spesifitas struktural. Sebagian
besar obat-obat masuk ke dalam tubuh dengan mekanisme ini. Obat-obat yang larut
dalam lemak mudah bergerak menembus kebanyakan membran-membran biologi ,
sedangkan obat-obat yang larut dalam air menembus membran sel melalui saluran aqua (Mycek,
1997).
Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula- mulaobat
berada dalam larutan air pada permukaan membrane sel, kemudian molekul obatakan
melintasi membran dalam melarut dalam lemak membran. Pada proses iniobat bergerak dari sisi yang
kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steady state) dicapai kadar obat bentuk non-ion
kedua sisi membran akan sama (Tanu, 1995 ). Contoh obat yang mekanisme transportnya
menggunakan difusi pasif adalah vitamin B12, elektrolit organic lemah (asam, basa),
nonelektrolit organic, glikosida jantung, dan dextrometorphan HBr.
Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi
obat tinggi ke daerah dengan konsentrasi obat rendah :
dQ DAK
dT = h ( CGI CP )
keterangan : A = luas permukaan membrane
h = tebal membrane
dQ
CGI CP = perbedaan antara konsentrasi obat
dT = laju difusi
dalam saluran cerna dan dalam plasma.
D = koefisien difusi
(Leon Shargel, 2005: 88)
K = koefisien partisi
Acetosal

Pemerian : hablur putih, umumnya seperti


jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk
hablur putih, tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara
kering, di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa
menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Kelarutan : sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam
kloroform dan eter, agak sukar larut dalam eter mutlak.
Kegunaan umum : Analgetikum, antipiretikum.
(Depkes RI, 1995, hal 31)
Asam Asetil Salisilat (Asetosal) dikenal dengan nama dagang Aspirin adalah sejenis
obat turunan dari salisilat dan merupakan obat pereda nyeri golongan anti radang non
steroid' (AINS), yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit
atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan). Aspirin
juga memiliki efek anti koagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo
lama untuk mencegah serangan jantung (penyakit jantung koroner) dan stroke.
Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai pada tahun 1918 ketika terjadi
pandemik flu di berbagai wilayah dunia.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat :
Tabung Crane Wilson
Klem dan statif
Penggaris
Aerator
Batang pengaduk diameter 2 mm
Spektrofotometer
Pipet ukur 2,0 ml
Catgut Chromic
Beaker glass
Waterbath
Thermometer
Corong kaca
Gelas ukur
Bahan :
Eter
Acetosal
NaOH 0,2 N
HCl 0,1 N
Cairan serosa/ lart. Fisiologis (Lart. NaCl 0,9%)
Cairan mukosa (Lart. Dapar fosfat pH=7,5)
Aquadest
Hewan uji :
Masing-masing kelompok mendapatkan 1 tikus putih jantan

IV. SKEMA KERJA


1) Pembuatan Baku

Dibuat deret baku Acetosal dengan 5 konsentrasi

Diukur pada panjang gelombang 261 nm

2) Uji Difusi Pasif

Tikus putih jantan dipuasakan selama 18 jam

Diinhalasi secara anestesi dengan eter


Diambil intestine sepanjang 15 cm dari atas lalu di buang
Dibersihkan dari lemak yang menempel

Intestine dibersihkan isinya dengan larutan fisiologis

Dibagi 2 sama panjang


- Bagian atas untuk kontrol
- Bagian bawah untuk uji difusi pasif asetosal

Masing-masing preparat intestine pada bagian bawah diikat dengan benang,


dengan batang pengaduk kaca berdiameter 2 mm dan usus dibalik.

Bagian mukosa di luar


Sisa kotoran yang masih ada dibersihkan dengan larutan fisiologis

Ditambah 1,4 ml larutan serosa


Ujung preparat intestine yang tidak diikat dimasukkan ke dalam kanula
sampai ujung diperkirakan panjangnya 7 cm

Preparat intestine dihubungkan dengan kanula

Dimasukkan ke dalam tabung yang telah diisi cairan mukosa


80 ml

- Intestine yang digunakan untuk kontrol, tidak diberi obat


- Intestine yang digunakan untuk uji, menggunakan larutan mukosa yang
mengandung asetosal

Dilakukan penjagaan :
1. Seluruh bagian dapat terendam dalam cairan mukosa
2. Dialiri gas O2 dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit
3. Suhu dijaga agar tetap konstan 37 C

Ditentukan konsentrasi obat dalam cairan serosa pada menit ke-10, 20, 30, 40, 50, dan 60

Diambil seluruh cairan melalui kanula


Preparat intestine dicuci dengan larutan fisiologis
Diisi lagi dengan cairan serosa sebanyak kalibrasi

Sampel ditetapkan kadar Acetosal menggunakan spektrofotometri UV pada


panjang gelombang 260,1 nm

Preparat intestine yang telah digunakan untuk pengujian, dipotong dan dikur luas

V. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

Aqueous Acid 278 nm ; = 70a

A =axbxc A =axbxc
0,2 = 70 x 1 x c 0,8 = 70 x 1 x c
c = 2,8571x10-3 g/100mL c = 0,01143 g/100mL
= 2,8571 mg/100mL = 11,43 mg/100mL
Rentang konsentrasi = 2,86 11,43 mg%

Penimbangan baku induk Asetosal 100mg%


Bobot kertas + zat = 0,5691 g
Bobot kertas + sisa = 0,4665 g _
Zat = 0,1026 g
= 102,6 mg ad 100mL

Deret baku Perhitungan Koreksi kadar


V 1 . C1 = V 2 . C2 V1 . C1 = V2 . C2
6 mg% V1 . 100 = 100 . 6 6 . 102,6 = 100 . C2
V1 = 6,0 mL C2 = 6,156 mg%
V 1 . C1 = V 2 . C2 V1 . C1 = V2 . C2
7 mg% V1 . 100 = 100 . 7 7 . 102,6 = 100 . C2
V1 = 7,0 mL C2 = 7,182 mg%
V 1 . C1 = V 2 . C2 V1 . C1 = V2 . C2
8 mg% V1 . 100 = 100 . 8 8 . 102,6 = 100 . C2
V1 = 8,0 mL C2 = 8,208 mg%
V 1 . C1 = V 2 . C2 V1 . C1 = V2 . C2
9 mg% V1 . 100 = 100 . 9 9 . 102,6 = 100 . C2
V1 = 9,0 mL C2 = 9,234 mg%
V 1 . C1 = V 2 . C2 V1 . C1 = V2 . C2
10 mg% V1 . 100 = 100 . 10 10 . 102,6 = 100 . C2
V1 = 10,0 mL C2 = 10,26 mg%

a. Data Absorbansi Baku


No C (mg%) A
1 6,156 0,279
2 7,182 0,345
3 8,208 0,387
4 9,234 0,441
5 10,260 0,474

a = -3,6 x 10-3
b = 0,0474
r = 0,9942
Y = bx + a
= (0,0474 x ) + ( - 3,6 x 10-3)

b. Data obat B (volume cairan serosa 80 ml)

T A A C Q Qkum Qkum/A
As - Ak A(mm2)
(menit) (sampel) (kontrol) (mg%) (mg) (mg) (mg/mm2)
3010
15 0,289 0,123 0,166 3,578 35,78 35,78 0,012

30 0,151 0,135 0,016 0,413 41,30 77,08 0,026


45 0,153 0,124 0,029 0,688 6,88 83,96 0,028
60 0,455 0,139 0,316 0,743 67,43 151,39 0,050

Regresi Linier t (15 menit-60 menit) vs Qkum/A


a = 0 y = bx + a
b = 7,733.10-4 y = 7,733.10-4x + 0
r = 0,9535
Ka = b

Pm = Ka 7,733.10 4

g 80mg
x100
80ml

= 7,733.10-4 mm/menit
Lag time = nilai x pada saat y = 0 dari t vs Qkum/A

y = bx + a
0 = 7,733.10-4x + 0
X = 0 menit

KURVA T VS QKUM/A

c. Data obat A (volume cairan serosa 80 ml)

T A A C Q Qkum Qkum/A
As - Ak A(mm2)
(menit) (sampel) (kontrol) (mg%) (mg) (mg) (mg/mm2)
15 0,751 0,392 0,359 7,65 76,5 76,5 2100 0,0364
30 0,620 0,455 0,163 3,55 35,5 112 0,0533

45 0,474 0,211 0,263 5,62 56,2 168,2 0,0801

60 0,399 0,192 0,207 4,44 44,4 212,6 0,1012

Regresi Linier t (15 menit-60 menit) vs Qkum/A


a = 0,01245 y =bx+a
b = 1,4746 x 10-3 Ka y = 1,4746.10-3 x + 0,01245
r = 0,9966

Ka 1,4746.10 - 3
Pm =
g 80mg
x100
80ml

= 1,4746.10-3 mm/menit

Lag time = nilai x pada saat y = 0 dari t vs Qkum/A


y =bx + a
0 = 1,4746.10-3 x + 0,01245
X = - 8,44 menit

KURVA T VS QKUM/A

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum biofarmasetika kali ini, dilakukan percobaan difusi pasif dengan
tujuan mengetahui pengaruh difusi pasif Asetosal merek paten A dan B dengan metode
usus terbalik. Penggunaan obat paten dalam percobaan dimaksudkan untuk mengetahui
perbedaan nilai parameter antara obat paten merk A dan obat paten merk B dan untuk
mengetahui obat mana yang memiliki absorbsi lebih baik dimana keduanya mengandung
bahan obat asetosal.
Metode yang digunakan yakni Metode Usus terbalik. Biasanya menggunakan usus
tikus kecil untuk parameter kinetic menentukan transportasi yang handal dan
direproduksi. Metode ini mutlak diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan
kelangsungan jaringan usus yang hanya berlangsung selama maksimal 2 jam. Metode
usus terbalik yaitu metode in vitro, metode uji absorbsi obat yang dilakukan di luar tubuh
makhluk hidup, dapat menggunakan organ terisolasi maupun lainnya. Uji in vitro ini
terdiri atas beberapa jenis, yaitu uji permeasi (uji difusi, metode usus terbalik, maupun
caco-2 cell monolayer), uji disolusi, maupun uji disintegrasi.
Metode usus terbalik merupakan metode percobaan difusi pasif, dimana usus
hewan uji yang dikondisikan seperti pada kondisi lingkungan usus manusia dipasangkan
pada tabung Crane Wilson dengan dipasang aerator, dan digunakan untuk
menggambarkan proses terjadinya absorbsi di dalam saluran pencernaan.
Difusi pasif adalah pergerakkan obat dari konsentrasi tinggi kekonsentrasi
rendah. Bersifat spontan, non selektif, bergantung pada konsentarasi, proses ini akan
berhenti pada saat konsentrasi yang dicapai telah sama. Usus halus merupakan tempat
absorbsi saluran pencernaan karena permukaan usus halus lebih terdapat mikrovilli dan
submukosa sehingga memungkinkan terjadinya absorbsi yang optimal.
Prinsip dari difusi pasif adalah adanya perbedaan konsentrasi yang menyebabkan
terjadinya proses perpindahan massa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat
yang berkonsentrasi rendah tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai kesetimbangan
dikedua sisi membran, dimana waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan
tersebut mengikuti hukum Fick I.
Perbedaan konsentrasi ini merupakan daya dorong (diving force) sebagai
penyebab terjadinya perpindahan massa atau Perbedaan konsentrasi di kedua sisi
membran ini berpengaruh pada proses absorbsi obat. Tempat absorbsi obat dalam
saluran pencernaan yang paling berperan adalah usus halus, hal ini disebabkan karena
permukaan usus halus lebih luas dengan adanya mikrovili dan lipatan-lipatan sub
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya absorbsi yang optimal. Mekanisme difusi
dipengaruhi oleh faktor fisiologis, faktor fisika kimia obat, dan sifat membran
biologis.
Sebelum digunakan untuk percobaan, hewan uji yaitu tikus putih dipuasakan
selama 18 jam agar pada saat proses pembedahan tidak terlalu banyak kotoran yang
berada didalam usus tikus, sehingga mempermudah dalam proses pembersihan usus.
Selain itu, juga menjaga kondisi perut (usus) tikus benar-benar bersih karena adanya
makanan pada usus akan mempengaruhi laju absorbsi sehingga hasil yang diperoleh
tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Sebelum proses pembedahan, tikus dianestesi secara inhalasi (anestesi secara
kimia) menggunakan eter di dalam wadah tertutup atau dalam hal ini digunakan toples
tertutup hingga pingsan. Eter biasa digunakan sebagai obat bius yang diberikan
melalui pernapasan. Anestesi dilakukan secara kimia, tidak secara fisik karena
ditakutkan akan merusak organ tikus yang akan digunakan dalam percobaan. Setelah
pingsan, tikus dibedah perutnya di sepanjang linea mediana (garis yang melintas tepat
ditengah tubuh dengan arah lintasan atas bawah/vertikal) dengan cepat dan diambil
ususnya. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus (daerah atau bagian lambung bawah
yang berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus duabelas jari) dibuang dan 20
cm dibawahnya dipotong untuk percobaan, kemudian usus dibagi dua bagian sama
panjang. Dalam proses pengambilan usus ini, harus dilakukan dengan hati-hati supaya
usus tidak bocor, hal ini karena apabila usus bocor dapat mempengaruhi nilai
absorbansi obat yang akan didapat, sehingga data yang diperoleh tidak valid.
Diusahakan agar usus yang telah diambil tetap hidup, sehingga usus harus
segera diletakan di dalam larutan fisiologis (NaCl 0,9%). Digunakan larutan ini
karena larutan fisiologis diasumsikan sebagai larutan yang berada di dalam tubuh.
Kemudian usus dibersihkan dari lemak dan kotoran lainnya karena absorbsi obat
dipengaruhi oleh pengosongan usus, dimana semakin cepat pengosongan tempat
absorbsi, maka semakin baik absorbsinya dan semakin besar motilitas usus (gerakan
usus) disepanjang saluran cerna, maka akan mendorong terjadinya absorbsi
(penembusan obat melalui membran). Oleh karena itu, keberadaan lemak dan kotoran
dalam usus perlu dihilangkan karena dapat mengganggu proses difusi obat.
Larutan dalam tabung Crane Wilson diisi dengan cairan mukosa (larutan dapar
fosfat pH 7,5) karena metode yang digunakan adalah metode usus terbalik. Hal ini
dikarenakan lapisan dalam usus berada di luar dan bersentuhan langsung dengan
cairan dalam tabung dan cairan mukosa adalah cairan yang secara alamiah berada di
dalam usus, sehingga untuk mengkondisikan usus supaya sama seperti yang ada
didalam tubuh. Bagian luar usus berada di bagian dalam sehingga bagian dalam ini
diisi dengan larutan serosa/larutanfisiologis (larutanNaCl 0,9%).
Usus tikus yang telah diambil dan telah di diukur sama panjang diperlakukan
dengan cara yang sama, baik preparat intestine untuk kontrol maupun untuk uji, hanya
berbeda pada cairan mukosa yang dipakai. Untuk kontrol diperlakukan dengan
pemberian tanpa Asetosal dan hanya diberikan cairan mukosa saja, sedangkan untuk
uji digunakan cairan mukosa yang mengandung Asetosal. Tujuan dari dilakukan
kontrol tersebut adalah untuk melihat berapa jumlah serapan yang terjadi tanpa
pemberian obat agar serapan yang benar-benar terhitung adalah serapan dari bahan
obatnya dan bukan dari faktor lain seperti cairan mukosa.
Dalam percobaan ini, terdapat 3 faktor penting yang perlu diperhatikan yaitu
preparat intestine perlu dijaga agar seluruh bagian dapat terendam dalam cairan
mukosa, perlu dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung/menit,
dan suhu cairan perlu dijaga supaya konstan 37 C. Suhu ini harus dikendalikan dan
variasi suhu harus dihindari sebab adanya variasi suhu pada kebanyakan obat dapat
mempengaruhi laju kelarutan karena kenaikan suhu dapat meningkatkan energi
kinetik molekul dan meningkatkan kecepatan difusi. Tujuan dialiri gas oksigen
dengan kecepatan 100 gelembung/menit adalah untuk menjaga aktifitas sel dan untuk
menjaga agar sel-sel usus tetap hidup.
Pada waktu ke 15, 30, 45, dan 60 menit, cairan obat dalam serosa diambil,
kemudian preparat intestine dicuci dengan larutan fisiologis. Bersamaan dengan
pengambilan cairan serosa, dilakukan juga penambahan pada cairan serosa sama
banyak dengan cairan serosa yang diambil. Hal ini bertujuan untuk mengkondisikan
volume pada cairan serosa yang sama atau seragam, supaya obat yang berdifusi tidak
mengalami keadaan jenuh, sehingga terjadi perbedaan konsentrasi yang nantinya akan
membuat obat dapat berdifusi dari konsentrasi teinggi ke rendah sampai terjadi
kondisi sink, yaitu kondisi yang memungkinkan terjadinya difusi secara terus menerus
hingga dicapai keadaan setimbang.
Cairan serosa diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV pada panjang
gelombang 217,8 nm. Dengan catatan panjang gelombang ini ditentukan dari serapan
absorbansi baku tengah yang digunakan dimana panjang gelombang maksimum yang
menghasilkan absorbansi yang paling tinggi. Maka langkah awal dari kesemua
percobaan yakni menentukan panjang gelombang maksimum dari konsentrasi tengah
larutan baku yang akan digunakan. Asam asetil salisilat dapat dianalisis secara
kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visible karena berdasarkan strukturnya asam
asetil salisilat memiliki gugus kromofor benzena cincin aromatik yang dapat
mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-
Visible.
Tujuan dari perlakuan ini karena pada panjang gelombang maksimum akan
memberikan kepekaan (sensitivitas) yang tinggi, disamping itu untuk memberikan
kesalahan yang kecil. Panjang gelombang yang digunakan dalam praktikum kali ini
adalah 217,8 nm. Selanjutnya membuat kurva baku agar diperoleh persamaan regresi
linear yang diperlukan untuk pencarian kadar obat yang terabsorpsi.
Setelah dibaca absorbansinya, peralatan dilepas, dan preparat intestine yang
diuji diukur luas permukaannya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh luas
permukaan terhadap jumlah obat yang berdifusi, sehingga dapat menunjukkan
seberapa banyak obat berdifusi.
Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai absorbansi dari sampel tersebut
dengan mengurangkan nilai absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol. Dilakukan
perhitungan sampai di peroleh harga Pm yang menunjukkan harga permeabilitas
membran dari difusi pasif dalam g/cm2,menit,g%. Mekanisme difusi dipengaruhi
oleh faktor fisiologis, faktor fisika kimia obat, dan sifat membran biologis.
Jika dilihat dari faktor fisiologis, yang mempengaruhi proses difusi pasif
antara lain luas permukaan tempat absorbsi, kecepatan pengosongan tempat absorbsi,
motilitas usus, dan pH cairan tempat absorbsi. Semakin besar luas permukaan tempat
absorbsi (A), semakin banyak obat yang diabsorbsi (Qkum). Semakin cepat
pengosongan tempat absorbsi, maka semakin baik absorbsinya karena tidak terganggu
dengan kotoran atau sisa-sisa makanan yang ada. Oleh karena itu sebelum digunakan,
usus harus dibersihkan dari kotoran. Semakin besar motilitas usus (gerakan usus) di
sepanjang saluran cerna, maka akan mendorong terjadinya absorbsi (penembusan obat
melalui membran). pH cairan tempat absorbsi ini berhubungan dengan faktor fisiko
kimia obat yaitu pKa obat yang akan diabsorbsi.
Jika dilihat dari faktor fisiko kimia obat, yang mempengaruhi proses difusi
pasif antara lain: koefisien partisi obat, Pka obat, kelarutan obat, stabilitas obat, dan
kekentalan obat. Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Koefisien partisi berhubungan dengan kelarutan obat dalam lipid dan dalam air.
Semakin tinggi koefisien partisi maka semakin tinggi kelarutan obat dalam lipid.
Asetosal lebih larut dalam pelarut polar sehingga menunjukkan ketidak mudahannya
terlarut dalam lipid (koefisien partisinya rendah). Sehingga obat Asetosal ini relatif
agak sulit mengalami proses difusi pasif melalui membran usus. Proses absorbsi
secara difusi pasif dari obat - obat yang agak larut lipid relatif sulit karena sebagian
besar komponen membran intestine (GI) adalah lipid.
Stabilitas obat berhubungan dengan kemampuan obat tersebut lebih banyak
terion atau tidak terion pada tempat absorbsi. Stabilitas obat yang tinggi menunjukkan
semakin banyak obat dalam bentuk tak terion (molekul), artinya semakin kecil reaksi
peruraian yang terjadi menjadi bentuk ion. Dalam hal ini, Asetosal dalam usus
(intestine) relatif lebih tidak stabil dibandingkan dalam lambung. Lambung
mempunyai pH asam, sehingga Asetosal lebih banyak dalam bentuk tidak terionkan
(stabil).
Koefisien partisi (K), menyatakan partisi obat dalam minyak - air. Obat yang
mudah larut dalam lemak memiliki K yang besar. Luas permukaan membran juga
mempengaruhi absorpsi obat. Obat kemungkinan diabsorbsi dari sebagian besar
daerah saluran cerna, tatapi daerah duodenum menunjukkan absorbsi obat yang paling
cepat karena adanya villi dan mikrovili yang menyebabkan besarnya luas permukaan.
Villi tidak terdapat pada daerah saluran cerna lain. Tebal membran merupakan suatu
tetapan bagi tempat-tempat absorbsi tertentu. Biasanya berdifusi secara cepat melalui
kapiler membran sel dalam kompartemen vaskular, sebaliknya yang berdifusi dari
membrane sel dari kapilar otak.
Koefisien difusi (D), adalah suatu tetapan untuk setiap obat dan ditafsirkan
sebagai sejumlah molekul obat yang terdifusi lewat suatu membran dengan luas
tertentu untuk tiap satuan waktu bila perbedaan konsentrasi sama dengan satu. Satuan
D adalah luas per satuan waktu.
Dari hasil percobaan, lag time dari obat A adalah 8,44 menit, sedangkan lag
time dari obat B adalah 0 menit. Lag time merupakan waktu yang diperlukan untuk
mulai menembus membran yang mencerminkan penahanan awal zat aktif dalam
membran. Semakin kecil nilai lag time maka semakin baik obat tersebut karena untuk
menembus membran hanya diperlukan waktu yang singkat.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa obat paten A membutuhkan waktu -8,44
menit untuk menembus membran, sedangkan obat B 0 menit. Pada obat B nilai lag
time yang diperoleh 0 menit, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kesalahan pada saat preparasi sampel cairan obat yang ada di usus tidak masuk semua
ke dalam labu takar, sehingga kadar obatnya yang terukur akan semakin kecil. Pada
menit ke 30 dan 45 absorbansi yang didapat dibawah 0,2, sehingga tidak memenuhi
persyaratan hukum lambert beer yaitu 0,2-0,8. Jika di bawah 0,2 maka kepekaan dari
pembacaan absorbansi akan rendah sehingga nilai a, b, r yang didapat akan semakin
kecil.
Dari data di atas dapat disimpulkan obat paten A lebih baik untuk menembus
membran, dikarenakan mungkin saja obat A mengunakan bahan yang lebih baik
mutunya dibandingkan dengan obat B, baik bahan obat maupun eksipien yang
digunakan, sehingga efektivitasnya lebih baik. Tetapi hal ini tidak mutlak obat A lebih
baik dari obat B, tergantung individual dari pasien. Sedangkan dalam percobaan ada
banyak hal yang mempengaruhi hasil baik human error dari praktikkan atau keadaan
individual (tikus) masing-masing.
Untuk data Pm (permeabilitas membran) dari obat paten A sebesar 1,4746.10-3
mm/menit sedangkan obat paten B sebesar 7,733.10-4 mm/menit. Pm (permeabilitas
membran) merupakan kemampuan suatu membran untuk melewatkan molekul obat.
Pm dipengaruhi oleh ukuran molekul obat, koefisien partisi, koefisien difusi, luas
permukaan membran dan tebal membran. Obat dengan ukuran molekul besar akan
sulit untuk menembus membran sehingga nilai Pm nya akan semakin jelek. Bila
molekul obat larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi
transmembran akan terjadi lebih mudah. Semakin besar luas permukaan maka kontak
antara obat dengan membran semakin besar sehingga absorbsinya juga lebih besar.
Sedangkan pada ketebalan membran, bila semakin tebal maka semakin banyak barrier
yang harus dilewati sehingga absorbsinya semakin kecil.
Dalam hal ini semakin tinggi kecepatan difusi obat maka semakin banyak obat
yang ditranspor per satuan luas permukaan tempat absorbsi (intestine). Lag time
berbanding terbalik dengan kecepatan difusi. Semakin besar kecepatan difusi, nilai lag
timenya (waktu yang diperlukan Asetosal untuk menembus membran) semakin kecil
atau semakin singkat. Sedangkan nilai permeabilitas obat (Pm) berbanding lurus
dengan Ka dan Qkum/A. Semakin tinggi permeabilitas obat maka semakin tinggi pula
kecepatan difusi dan banyaknya obat yang ditransport.

VII. Kesimpulan
1. Perpindahan obat Acetosal dari dalam usus ke saluran cerna merupakan perpindahan
difusi pasif.
2. Semakin tinggi kecepatan difusi obat (Ka) maka semakin banyak obat yang
ditranspor persatuan luas permukaan tempat absorbsi (Qkum/A)
3. Lag time berbanding terbalik dengan kecepatan difusi. Semakin besar kecepatan
difusi (Ka), nilai lag timenya (waktu yang diperlukan Acetosal untuk menembus
membran) semakin kecil atau semakin singkat.
4. Permeabilitas obat (Pm) berbanding lurus dengan Ka dan Qkum/A. Semakin tinggi
permeabilitas obat maka semakin tinggi pula kecepatan difusi dan banyaknya obat
yang ditransport.
5. Berdasarkan data yang diperoleh obat yang mempunyai kemampuan lebih baik
untuk menembus membran adalah obat paten A -8.44 menit, dengan kemampuan
permeabilitas membran yaitu 1,4746.10-3 mm/menit

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.1995.Farmakope Indonesia edisi IV.Depkes RI : Jakarta

Martindale.2007.The Complete Drug Reference.The Pharmaceutical Press

Mycek,Mary J.1997.Farmakologi Ulasan Bergambar edisi II.Lippincott,Philadelphia


USA

Shargel, Leon dan B. C Andrew. 1985. Biofarmasetikadan Farmakokinetika Terapan.


Surabaya : Airlangga University Press

Tanu Ian. 1995.Farmakologi dan Terapi, edisi IV. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-ObatPenting. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo

Semarang, 22 November 2017


Dosen Pengampu Praktikan
Dhimas Adhityasmara, S.Farm. Apt Galuh Nilam Pratiwi
(1041511073)

Intan Nur Faizah


(1041511084)

Khairunnisa
(1041511092)

Latifatul Khoiriyah
(1041511098)

Fithria Lathifatul B
(1041611175)

Nur Aliya Fitri Ana


(1041611184)

Anda mungkin juga menyukai