Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


TETE MATA ATROPIN

Disusun Oleh
Fauzia Rahma Amalina /1041511069
Helina Dewi Nurfaizah /1041511076
Ifa Devina Krisaputri /1041511078
Ignatia Lusi Ardifa /1041511079
Ivan Novendra /1041511087
Guntur Wicaksono Putro /1041611176

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


“YAYASAN PHARMASI” SEMARANG
2017/2018
TETES MATA STERIL ATROPIN

Tugas : Pembuatan sediaan steril tetes mata Atropin sulfat.


Tujuan :
 Dapat mengetahui cara pembuatan tetes mata steril.
 Dapat mengevaluasi hasil sediaan tetes mata steril.

I. DASAR TEORI
Larutan untuk mata adalah larutan steril yang dicampur dan dikemas untuk
dimasukkan ke dalam mata. Selain steril preparat tersebut memerlukan
pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor farmasi seperti kebutuhan bahan
antimikroba, isotonisitas, dapar, viskositas dan pengemasan yang cocok.

(Ansel, 2008:541)

Obat mata digunakan untuk mencapai efek diagnostik dan terapetik lokal,
lainnya mereka berlaku untuk merealisasikan kerja farmakologis, yang
dibebaskan setelah berlangsungnya penetrasi bahan obat dalam jaringan-jaringan
yang terbatas, akan tetapi umumnya tetap terbatas pada mata.

Bahan obat yang khas digunakan pada mata (opthalmologika) adalah


farmaka pelebar pupil (midriatika), seperti atropin, skopolamin fenilefrin, dan
efinefrin dan bahan dengan kerja penyempit pupil (mitoka) seperti pilokarpin,
fisostigmin, neostigmi, dan paraxson (miotisal). Untuk melawan proses inreksi
digunakan antibiotika (misalnya: kloramfenikol, tirotrisin) disamping garam
perak, untuk mengobati rasa nyeri diperlukan anastetika lokal (misalnya : kokain,
tetrakain. Akhirnya yang di perlukan adalah bahan antiplogistik (misalnya : seng
sulfat, kortikosteroida).

Mata menggambarkan suatu organ yang paling peka dari manusia.


Karenanya ditetapkan, bahwa persyaratan kualitas diputuskan lebih tajam
terhadap obat mata. Tetes mata harus menunjukkan suatu efektivitas yang baik
tergantung secara fisiologis ( bebas rasa nyeri, tidak merangsang) dan
menunjukkan steriolitas.

(R.Voigt, 1995:523-524)

Persyaratan obat tetes mata untuk sediaan yang tertanggungkan maka


faktor – faktor yang perlu diperhatikan :

1. Sterilitas/miskin kuman
2. Jernih (bebas bahan melayang atau miskin bahan melayang)
3. Pengawetan
4. Tonisitas
5. Stabilitas
Selain itu juga penting artinya pengaturan nilai-nilai optimal (pendaparan)
dan pengaturan viskositas.
(R.Voigt,1995:524)
1. Sterilitas

semua larutan untuk mata harus dibuat steril jika diberikan dan bila
mungkin ditambahkan bahan pengawet yang cocok untuk menjamin sterilitas
selama pemakaian, larutan untuk mata yang dimaksudkan untuk digunakan
selama operasi atau pada mata yang terkena trauma, umumnya tidak mengandung
bahan pengawet, karena hal ini akan menyebabkan iritasi pada jaringan di dalam
mata. Larutan ini biasanya dikemas dalam wadah untuk dosis tunggal dan semua
larutan yang tidak dipakai harus dibuang.

Meskipun larutan untuk mata disterilkan dengan uap air mengalir dalam
otoklaf dalam wadah akhirnya, metode yang digunakan tergantung pada sifat
khusus dari sediaannya. Obat-obat tertentu yang dalam media asam termostabil
(tahan panas) dapat menjadi termolabil (tidak tahan panas) ketika didapar
mendekati kisaran pH fisiologis (kira-kira 7,4). Jika diinginkan pH yang lebih
tinggi, larutan obat yang belum didapar dapat dipanaskan dahulu dalam otoklaf
dan larutan dapar steril ditambahkan kemudian secara aseptis. Dengan
kekecualian garam basa kuat dengan asam lemah seperti natrium fluorescein atau
natrium sulfasetamid, larutan obat mata yang paling biasa yang disiapkan dalam
pembawa asam borat dapat disterilkan dengan aman pada 1210C selama 15 menit.

Jika perlu saringan bakteri dapat digunakan untuk menghindari pemakaian


panas. Meskipun saringan bakteri bekerja sangat efisien, sterilisasi ini tidak dapat
menjamin seperti dalam otoklaf. Keuntungan dari penyaringan seperti yang telah
disebutkan terdahulu adalah penahanan bahan yang khusus, membersihkannya
merupakan hal yang sangat penting pada pembuatan dan penggunaan dari larutan
obat mata.

Larutan untuk mata yang digunakan pada mata dengan selaput kornea
yang utuh dapat dikemas dalam wadah dosis ganda. Meskipun steril, ketika
disalurkan setiap larutan ini harus mengandung bahan anti bakteri yang efektif
yang tidak mengiritasi atau campuran dari bahan-bahan tersebut untuk mencegah
berkembang atau masuknya mikroorganisme dengan tidak sengaja yang masuk
kedalam larutan, ketika wadah terbuka selama pemakaian. Pengawetan yang tepat
dan konsentrasi maksimum dari pengawet untuk tujuan ini termasuk: (a) 0,013%
benzalkonium klorida; (b) 0,01% benzetonium klorida; (c) 0,5% klorobutanol; (d)
0,004% fenilmerkuri asetat; (e) 0,004% fenilmerkuri nitrat;(f) 0,01% timerosal.
Setiap zat ini mempunyai syarat-syarat tertentu berkenaan dengan kestabilan,
tersatukan secara kimia dengan bahan lain dalam formulasi dan aktivitas
antibakteri. Sebagai contoh, klorobutanol terhidrolisis dan rusak pada temperatur
otoklaf. Kemudian hidrolisis dari klorobutanol terjadi pada panas yang cukup atau
perlahan-lahan pada temperatur kamar dengan pembentukan asam hidroklorida
yang tidak hanya memudahkan larutan terkena pertumbuhan mikroorganisme tapi
mungkin dapat mengubah pH dari larutan yang tidak didapar dan mengakibatkan
ketidakstabilan atau aktivitas fisiologis dari zat aktif berubah. Benzalkonium
klorida adalah salah satu pengawet larutan untuk mata, yang paling dapat
diandalkan, karena mempunyai aktivitas antimikroba dengan spektrum luas, tetapi
para ahli farmasi harus hati-hati ketidak cocokan dengan obat-obat anionik,
salisilat dan nitrat-nitrat dan untuk larutan yang berisi salah satu zat ini maka
harus dipakai salah satu pengawet seperti fenilmerkuri nitrat atau fenilmerkuri
asetat.

(Ansel, 2005:541-543)

2. Kejernihan (bebas bahan melayang)

Persyaratan larutan bebas partikel atau miskin partikel sedapat mungkin


menghindarkan rangsangan akibat bahan padat. Melalui filtrasi dengan
menggunakan kertas saring atau kain maka larutan bebas bahan melayang tidak
bisa dihasilkan. Sebagai material penyaring karenanya digunakan leburan gelas,
misalnya Jeaner-fritten dengan ukuran pori G 3-G 5. Alat penyaring terdiri dari
suatu pipa Allihn dengan gelas terpasang di atasnya, yang menghalangi
meloncatnya Fritte selama penyaringan.

(R.Voigt,1995:525)

3. Pengawetan

Dengan mengecualikan sediaan, yang digunakan pada mata luka atau


tujuan pembedahan, dan yang dibuat sebagai obat takaran tunggal, maka tetes
mata harus diawetkan. Untuk ini bahan yang digunakan harus memenuhi
persyaratan bekerja terhadap kuman (Pseudomonas aeruginosa). Dari sekian
banyak palet bahan pengawet yang digunakan secara farmasetik digunakan
terutama tiomersa (0,002 %), garam fenilmerkuri (0,002 %), garam alkonium dan
garam benzalkonium (0,002-0,01%) dalam kombinasinya dengan natrium edebat
(0,1%), selanjutnya juga klorheksidin (0,005-0,01%), klopbutanol (0,5%) dan
benzilalkohol (0,5-1%). Pada pemilihan bahan pengawet dan penetapan
konsentrasinya maka tersatukannya dengan bahan obat dan bahan pembantu serta
dengan material wadah dan material tutup dan dengan nilai pH sediaan harus
diperhatikan.

(R.Voigt,1995:526-527)
4. Tonisitas

Cairan air mata memiliki suatu tekanan osmotik yang nilainya sama
dengan darah dan cairan jaringan. Dia berjumlah 0,65-0,8 Mpa (6,5-8 atmosfer),
yang penurunan titik bekunya terhadap air dari Δ = 0,52 K atau konsentrasinya
sesuai dengan larutan natrium klorida dalam air 0,9%. Larutan hipertonis adalah
relatif dapat diterima daripada yang hipotonis. Larutan yang digunakan pada mata
luka atau mata yang telah di operasi sebaiknya isotonis. Untuk menyediakan
larutan mendekati isotonis maka sejumlah bahan obat yang telah ditentukan
dilarutkan dalam suatu medium isotonis atau sedikit hipotonis.

(R.Voigt,1995:527)

5. Pendaparan

Mirip seperti darah maka cairan mata juga menunjukkan kapasitas dapar,
yang tentu saja sedikit lebih rendah, oleh karena sistem yang terdapat pada darah
mengandung asam karbonat-hidrogen karbonat. pH mata sama seperti darah 7,4
akan tetapi dengan hilangnya karbondioksid dapat meningkat sampai nilai pH 8-9.
Pada pemberian tetesan biasa yang dipandang sebagai bebas rasa nyeri adalah
larutan dari nilai pH 7,3-9,7. Daerah pH 5,5-11,4 masih dapat diterima.

(R.Voigt,1995:528)

6. Viskositas

Tetes mata dalam air mempunyai kerugian yaitu dapat ditekan keluar oleh
pelupuk mata dari saluran konjunktival. Oleh karena itu maka kontaknya pada
mata menurun. Melalui peningkatan viskositas maka dapat dicapai suatu distribusi
yang lebih baik.

(R.Voigt,1995:529)
7. Wadah dan Penyimpanan

Tetes mata dapat diisikan dalam wadah takaran tunggal atau wadah
takaran ganda. Yang lebih baik untuk dipertimbangkan adalah wadah pemberian,
yang memungkinkan suatu pengambilan takaran pada pertukaran udara paling
minimal, artinya tanpa membuka wadah. Botol gelas mata yang dikonstruksi
sedemikian memiliki perlengkapan tetes mata yang terdiri dari ret atau bahan
buatan yang elastis, yang dioperasikan dengan takaran jari mengambil setetes
demi setetes cairan. Dalam waktu dewasa ini juga dijumpai penggunaan wadah
plastik untuk menyimpan tetes mata. Problem serupa ditemui juga pada daya guna
dari material penutup. Mereka sebaiknya tidak atau memiliki sedikit absorpsi
untuk bahan obat dan bahan pembantu dan tidak boleh memberikan bahan
pengendap kedalam larutan bahan obat. Selain itu, mereka harus dapat disterilisasi
tanpa memperhatikan sifat elastisitasnya, untuk mengurangi sorpsion dari bahan
pengawet, yang dapat menyebabkan suatu inaktivasi total, maka disarankan
tutupnya setelah dibersihkan dengan cermat dalam suatu larutan, yang
mengandung konsentrasi bahan pengawet yang dibutuhkan untuk menstabilkan
mirobial, dibiarkan pada suhu 1000C selama 30 menit.

Umumnya untuk tetes mata 1000C di cantumkan suatu pembatasan daya


tahan, yang secara internasional terletak antara 4-6 minggu setelah pemakaian, hal
ini karena bahan pengawet umumnya habis karenakontaminasi mikroorganisme
berat.

(R.Voigt,1995:531-532)

8. Pengujian Obat Mata Cair

Pada pengujian larutan terhadap kejernihan atau bebas bahan melayang,


yang umumnya berlangsung sebagai kontrol penglihatan tanpa bahan pembantu
aparatif, hanya mengijinkan serabut tunggal, tetapi sama sekali tidak boleh
terdekati adanya partikel tak larut. Pengujian terhadapkemurnian mikrobial
berlangsung secara mikrobiologis menurut petunjuk farmakope. Pengujian
selanjutnya terutama terhadap tonisitas, yang berlangsung melalui penentuan
penurunan titik beku terhadap air, dan ukuran partikel suspensi melalui
pengukuran partikel secara mikroskopis.

(R.Voigt,1995:534)

II. PRAFORMULASI
1. Tinjauan farmakologi bahan obat
Memblokir aksi asetilkolin yang mengakibatkan relaksasi otot sfingter
kolinergis yang berasal dari iris, memblokir stimulasi kolinergik pada otot
siliaris akomodatif lensa. Efek antikolinergik dimata menghasilkan pelebaran
pupil (mydriasis) dan kelumpuhan akomodasi (cycloplegia).
(Medscape)
2. Tinjauan sifat fisika kimia bahan obat
a. Atropini Sulfas
Atropin Sulfas mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari
101,0% (C17H23NO3)2.H2SO4, dihitung terhadap zat anhidrat.
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak
berbau; mengembang diudara kering; perlahan-lahan terpengaruh oleh
cahaya.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol,
terlebih dalam etanol mendidih; mudah larut dalam gliserin.
(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 115)
b. Atropin Sulfatis Guttae Ophtalmicae
Tetes mata Atropin Sulfat adalah larutan seril dari atropin sulfat dalam
air. Mengandung atropin sulfat, (C17H23NO3)2.H2SO4.H2O, tidak kurang
dari 93,0% dan tidak lebih dari 107,0% dari jumlah yang tertera pada
etiket. Dapat mengandung bahan stabilisator dan antimikroba yang
sesuai.
pH : antara 3,5 dan 6,0
(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 116)
c. Natrii Chloridum
Pemerian : Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk hablur
putih, rasa asin.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; sedikit lebih mudah larut dalam air
mendidih; larut dalam gliserin; sukar larut dalam etanol.
(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 584)
Stabilitas : Sangat higroskopis dan harus dilindungi dari kelembaban.
Konsentrasi : ≤ 0,9% sebagai pengisotonis
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th Edition : 637)
d. Benzalkonii Chloridum
Pemerian : Gel kental atau potongan seperti gelatin, putih atau putih
kekuningan. Biasanya berbau aromatic lemah. Larutan dalam air berasa
pahit, jika dikocok sangat berbusa dan biasanya sedikit alkali.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol; bentuk anhidrat
mudah larut dalam benzena dan agak sukar larut dalam eter.
(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 130)
Stabilitas : Bersifat higroskopis dan mungkin dipengaruhi oleh
cahaya, udara dan bahan logam. Larutannya stabil pada rentang pH dan
rentang temperature yang lebar.
Inkompatibilitas : Tidak kompatibel dengan aluminium, surfaktan
anionik, sitrat, kapas, fluoresin, hidrogen peroksida, hipromilar, iodida,
kaolin, lanolin, nitrat, surfaktan nonionik dalam konsentrasi tinggi,
permanganat, protein, salisilat, garam perak, sabun, sulfonamida, tartrat,
oksida seng, seng sulfat, beberapa campuran karet, dan beberapa
campuran plastik.
Konsentrasi : 0,01-0,02% w/v sebagai pengawet. Biasanya
dikombinasikan dengan 0,1% w/vdisodium edetat.
pH : 5-8 untuk 10% w/v larutan
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th Edition : 56)
e. Dinatrii Edetas
Pemerian : Serbuk hablur, putih.
Kelarutan : Larut dalam air.
(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 329)
Stabilitas : Disodium edetat bersifat higroskopis dan tidak
stabil bila terkena kelembaban
Inkompatibilitas : Disodium edetate bersifat sebagai asam lemah,
menggantikan karbon dioksida dari karbonat dan bereaksi dengan logam
membentuk hidrogen.
Konsentrasi : 0,005 dan 0,1% w/v sebagai pengelat
pH : 4,3-4,7 (1% b/v larutan dalam air bebas karbon
dioksida)
(Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th Edition : 242)
f. Aqua pro injection
Pemerian : Cairan, jernih, tidak berwarna, tidak berbau.
Kegunaan : sebagai pelarut

3. Cara sterilisasi masing-masing bahan


 Atropin Sulfat : autoklaf (Martindale edisi 28 : 292)
 BenzalkoniumKlorida : autoklaf (HPE 6th editional : 56)
 NatriiChlorida : autoklaf (HPE 6th editional : 637)
 Disodium Edetas : autoklaf (HPE 6th editional : 242)

4. OTT : Dengan bromida, iodida, alkalis, asam tanat, kina dan garam
merkuri.(Martindale ed 28, 292)

5. Cara Penggunaan :
Sediaan tetes mata steril Atropin Sulfat digunakan dengan
meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar bola mata.
III. FORMULASI
1) Permasalahan dan penyelesaian
PERMASALAHAN PENYELESAIAAN

Sediaan tetes mata yang dibuat dalam Ditambahkan antimikroba Benzalkonium


sediaan dosis ganda, dikhawatirkan Klorida 0,02%
terjadi kontaminasi mikroba
Atropin Sulfat memiliki pH 3,5 - 6,0 Ditambahkan dapar fosfat, karena
(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: benzalkonium klorida incompatible dengan
116), sedangkan pH ideal sediaan tetes dapar sitrat.
mata sama dengan pH cairan mata yaitu
7,4.

Larutan obat tetes mata harus isotonis Ditambahkan zat pengisotonis NaCl, karena
dengan cairan mata mampu membuat sediaan menjadi isotonis
dengan cairan mata, dan NaCl compatible
dengan bahan lainnya.

Zat akif atropin sulfat mudah larut Digunakan pembawa aqua pro injectio, karena
dalam air zat aktif mudah larut dalam pembawa air untuk
injeksi.
Zat aktif Atropin sulfat tidak stabil Digunakan botol tetes berpipet berwarna
terhadap cahaya coklat.
Tetes mata harus steril dan bebas Disaring dengan kertas saring terlebih dahulu
partikel asing untuk menghilangkan partikel kemudian
disaring kembali dengan membrane filter
steril untuk sterilisasi.
2) Formula
Formula Standar (Formularium Nasional hal 32)
Tiap 10 ml mengandung:
Atropini Sulfas 100 mg  1%
Natrii Chloridum 70 mg  0,77%
Benzalkonii Chloridum 2 𝜇𝑙  0.02%
Dinatrii Edetas 5 mg  0.05%
Aqua pro injectione ad 10 ml
Dosis 3-5x sehari 1-2 tetes

Perhitungan PTB

Bahan PTB
Atropini Sulfas 0,07
Natrii Chloridum 0,576
Benzalkonii Chloriduum 0,09
Dinatrii Edetas 0,13

(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 1236-1251)


Perhitungan isotonis
B = 0,52-[ (B1 x C1) + (B2 x C2) + …….+ (Bn x Cn)]
PTB pengisotonis (NaCl)
= 0,52- [ (0,07x1) + (0,09x0,02) + (0,13 x 0,05) ]
0,576
= 0,52 – [ 0,0783]
0,576
= 0,4417
0,576
= 0,7668 g / 100ml
= 76,7mg / 10ml
Kesimpulan hipotonis
(NaCl→ 76,7 mg – 70 mg = 6,7 ml

3) Perhitungan berat dan volume bahan yang dipakai


Tetes mata yang akan dibuat :
2 botol x @ 10 mL = 20 mL
Diberi kelebihan 20% = 2 x {(10 mL x 20%) + 10 mL} = 24 mL

NO. NAMA PERHITUNGAN JUMLAH

1 Atropini sulfas 1% x 24 ml = 0,24 g 240 mg

2 Benzalkonium Klorida 0,02% x 24 ml = 0,48 g 480 mg

3 Natrii Chloridum 0,77% x 24 ml = 0,1848g 184,8 mg

4 Dinatrii Edetas 0,05% x 24 ml = 0,012 g 12 mg

5 Aqua pro injectione Ad 24 ml ± 23,1ml

Pengenceran

Dinatrii edetas 12 mgx10mg = 2,4 ml

50 mg
4) Cara pembuatan dan evaluasi sediaan yang dibuat
 Pembuatan sediaan tetes mata

Dikalibarsi beakerglass 24 ml dengan aqua pro injection.

Dilarutkan atropine sulfat dalam sebagian a.p.i

Dilarutkan NaCl dalam sebagian a.p.i

Dicampur kedua larutan

Ditambahkan larutan disodium edetas

Ditambahkan larutan benzalkonium chloridum

Ditambahkan a.p.i mendekati volume akhir, cek pH

Larutan ditambahkan a.p.i ad 24ml

Larutan disaring dengan membran filter dan masukkan ke dalam 2 botol


tetes mata sebanyak 10,0 ml secara aseptis (sterilisasi akhir)

Membran filter memiliki ukuran pori yang berbeda 14-0,025𝜇𝑚 untuk


persyaratan spesifik. Untuk bakteri terkecil sekitar 0,2 μm dan poliovirus
sekitar 0,025 μm.

(Ansel, 2005:447)
 Evaluasi sediaan tetes mata
a) Uji Kejernihan

Diambil 2 botol sediaan tetes mata Atropin sulfat.

Diuji kejernihan dengan latar belakang hitam dan putih, bila perlu dengan
bantuan lampu.

Diamati apakah ada benda asing melayang.

(Lachman et al, 1994: 1355)

b) Uji pH

Diambil beberapa tetes larutan tetes mata, diletakkan ke dalam plat tetes.

Dicek pH dengan indikator universal.

Dilihat pH sediaan.

Syarat pH : antara 3,5 dan 6,0


(Farmakope Indonesia ed IV, 1995: 116)
DAFTAR PUSTAKA

1. Ansel, Howard C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi


keempat. Jakarta : UI-Press.
2. Allen L.V., Popovich, N. G., Ansel, H.C., 2005. Pharmaceutical Dosage
Forms and Drug Delivery Systems, ninth edition. Philadhelpia: Lippincott
Williams & Wilkins.
3. Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
4. Department of Pharmaceutical Sciences. 1982. Martindale The Extra
Pharmacopoeia, twenty-eight edition. London : The Pharmaceutical Press.
5. Lachman, L., Lieberman H. A., Kaning, J.L., 1994. Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Jakarta: UI Press
6. Rowe R.C., Sheskey, P. J., Queen, M.E., 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients. London: Pharmaceutical Press and American
Pharmacist Assosiation

Anda mungkin juga menyukai