Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

EPIDURAL HEMATOMA (EDH)

DISUSUN OLEH :

ANIS NUR AZIZAH

170104020

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA

PURWOKERTO

2017
LAPORAN PENDAHULUAN
EPIDURAL HEMATOMA (EDH)

1. DEFINISI
Epidural hematoma atau perdarahan ekstradura diartikan sebagai adannya
penumpukan darah diantara dura dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak.
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi olek tulang tengkorak yang kaku
dan keras. Otak juga dikelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang
disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan
membentuk periosteum tabula interna (Japardi, 2007).
Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah
trauma kepala. Kasus epidural hematoma di Amerika Serikat ditemukan 1-2% dari
semua kasus trauma kepala yang ada dan ditemukan pula sebanyak 10% pada pasien
dengan koma akibat trauma (Muttaqin, 2008).
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan (Jarpadi, 2007).

2. ETIOLOGI
Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah yang
ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang menyebabkan
fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma (Japardi, 2007).
Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri meningica media (paling sering),
vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria, dan sinus venosus duralis
(Musliha, 2010).

3. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala yang biasanya dijumpai pada orang yang menderita epidural
hematom diantaranya antara lain (Muttaqin, 2008):
1. mengalami penurunan kesadaran sampai koma secara mendadak dalam kurun
waktu beberapa jam hingga 1-2 hari,
2. adanya suatu keadaan lucid interval yaitu diantara waktu terjadinya trauma
kepala dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita
adalah baik, tekanan darah yang semakin bertambah tinggi, nadi semakin
bertambah lambat, sakit kepala yang hebat, hemiparesis,
3. dilatasi pupil
4. keluarnya darah yang bercampur CSS dari hidung (rinorea) dan telinga (othorea),
5. susah bicara,
6. mual,
7. pernafasan dangkal dan cepat kemudian irregular,
8. suhu meningkat,
9. funduskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian)
10. foto rontgen menunjukan garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri
meningea media atau salah satu cabangnya

4. PATOFISIOLOGI
Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau
trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah
arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara
durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri menyebabkan
perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak
durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah durameter
dengan tengkorak, hal ini akan memperluas hematoma. Perluasan hematom akan
menekan hemisfer otak dibawahanya yaitu lobus temporal ke dalam dan ke
bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan efek yang cukup
berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan penekanan
saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata yang menyebabkan
terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada bagian ini terdapat nervus
okulomotor yang menekan saraf sehingga menyebabkan peningkatan TIK,
akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada diotak (Japardi, 2007 dan Judha &
Hamdani, 2011).
5. PATHWAY

Luka, trauma/fraktur kepala

Rusaknya pembuluh darah arteri meningeal

Darah keluar dari Darah memenuhi epidural Darah memenuhi


vaskuler epidural

Syok hipovolemik Hematoma

Hipoksia otak Naiknya volume intrakranial Edema Otak

Iskemik Herniasi Peningkatan TIK

Penekanan N. Batang otak Gangguan Rasa


Risiko gangguan
perfusi jaringan Nyaman: Nyeri
otak Penurunan kesadaran
Gangguan pusat
dan motorik
pernafasan
Hambatan Mobilitas Fisik Hiperventilasi

Pola nafas tidak efektif

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Batticaca (2008) pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada
kasus epidural hematom yaitu sebagai berikut:
1. CT Scan : untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler pergeseran otak. CT Scan merupakan pilihan primer dalam hal
mengevaluasi trauma kepala. Sebuah epidural hematom memiliki batas yang
kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT Scan dan MRI. Tampakan
biasanya merupakan lesi bikonveks dengan densitas tinggi yang homogen,
tetapi mingkin juga tampok sebagai ndensitas yang heterogen akibat dari
pencampuran antara darah yang menggumpal dan tidak menggumpal.
2. MRI : memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas
karena mampu melakukan pencitraan dari berbagai posisi apalagi dalam
pencitraan hematom dan cedera batang otak.
3. Angiografi serebral : untuk menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak karena edema dan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan gelombang patologis.
5. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan/edema), dan adanya
fragmen tulang.
6. BAER (brain auditory evoked respons) : untuk menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
7. PET (positron emmision topography): untuk menunjukan metabolisme otak.
8. Pungsi lumbal : untuk menduga kemungkinan perdarahan subarachnoid.
9. AGD : untuk melihat masalah ventilasi/oksigenasi yang meningkatkan TIK.

7. PENATALAKSANAAN EPIDURAL HEMATOM


Penatalaksanaan epidural hematom terdiri dari:
a. Terapi Operatif.
Terapi operatif bisa menjadi penanganan darurat yaitu dengan melakukan
kraniotomi. Terapi ini dilakukan jika hasil CT Scan menunjukan volume
perdarahan/hematom sudah lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 cm
atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom untuk menghentikan
sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dikembalikan. Jika saat
operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak
dikembalikan (Batticaca, 2008).
b. Terapi Medikamentosa.
Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Musliha,
2011):
1) mengelevasikan kepala pasien 30o setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau posisikan trendelenburg terbalik untuk mengurangi TIK.
2) Berikan dexametason (pemberian awal dengan dosis 10 mg kemudian
dilanjutkan dengan dosis 4 mg setiap 6 jam).
3) Berikan manitol 20% untuk mengatasi edema serebri.
4) Berikan barbiturat untuk mengatasi TIK yang meninggi.

8. DIAGNOSA
Menurut Herdman (2011), diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan
epidural hematom sebagai berikut:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskular.
d. Pola nafas tidak efektif.

9. INTERVENSI
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral.
NOC: Tissue Prefusion : cerebral (Morhead et al., 2008)
NIC: Cerebral perfusion pressure (Doetherman dan Gloria, 2008)
1. Monitot TTV klien
2. Berikan posisi semi fowler
3. Pertahankan tirah baring
4. Evaluasi keadaan pupil
5. Kaji peningkatan rigiditas, regangan, dan serangan kejang.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
NOC: Pain Level, pain control, comfort level (Morhead et al., 2008)
NIC: Pain management, Analgesic administration (Doetherman dan Gloria,
2008)
1. Kaji nyeri dengan format PQRST.
2. kontrol lingkungan yang dapat berkontribusi terhadap nyeri seperti suhu,
suara, dan cahaya.
3. Ajarkan pasien teknik non farmakologis seperti nafas dalam.
4. Kolaborasikan pemberian farmakologik untuk mengurangi nyeri.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskular.
NOC: Ambulation, Balance (Morhead et al., 2008)
NIC: Balance exercise, self care assistance (Doetherman dan Gloria, 2008)
1. Ubah posisi klien setiap 2 jam sekali.
2. Bantu klien melakukan rentang gerak.
3. Berikan masase.
4. Periksa kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang
terjadi.
d. Pola nafas tidak efektif.
NOC: Respiratory status : Ventilation, Respiratory status : Airway patency,
Vital sign Status (Morhead et al., 2008)
NIC: Airway Management (Doetherman dan Gloria, 2008)
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Pasang mayo bila perlu
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
6. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
7. Monitor respirasi dan status O2
DAFTAR PUSTAKA

Doetherman, J.M dan Gloria N.B. 2008. Nursing Intervensions Classification (NIC). Edisi 5.
USA: Mosby Elsevier.
Morhead, S. et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Edisi 5. USA: Mosby
Elsevier.
Heardman. (2011). Diagnosa Keperawatan. Jakarta. EGC.
Japardi. (2007). Cedera Kepala. Jakarta: PT Bhauna Ilmu Populer.
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Judha Mohamad dan Hamdani Rahil Nazwar. 2011. Sistem Persarafan Dalam Asuhan
Keperawatan.Yogyakarta:Gosyen Publishing

Musliha,S.Kep.,Ns. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai