Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Rinore bukanlah suatu penyakitetapi merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari penyakit
tertentu. Ada beberapa penyakit yg memiliki gejala berupa rinorea atau keluarnya cairan dari
dalam hirung. Bisa penyakit peradangan, massa, trauma dan lainnya. Tetapi penyakit infeksilah
yang paling banyak mengakibatkan gejala berupa rinorea.

Penyakit infeksi di hidung dan sinus seperti rhinitis alergi, vasomotor, medikamentosa, sinusitis,
polip hidung, KNF, trauma (keluarnya LCS) mwmiliki gejala berupa rinorea.
BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI:

Keluarnya secret dari hidung. Sekret di hidung dapat terjadi pada satu atau kedua rongga
hidung. Tanyakan bagaimana konsisitensi secret tersebut, encer bening seperi air, kental,
nanah, atau bercampur darah. Secret hidung yang disebabkan infeksi hidung biasanya bilateral
jernih sampai purulen. Secret yang jernih seperi air dan jumlahnya banyak khas untuk alergi
hidung. Bila secretnya kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis hudung dan bila
bercampur darah dari satu sisi hati-hati adanya tumor hidung.

Pada anak bila secret yang terdapat yanya satu sisi dan berbau kemungkinan terdapat benda
asing di hidung. Secret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut sebagai psnasaldrip
kemungkinan dari sinus paranasal.

ANATOMY DAN FISIOLOGI HIDUNG:

A. Hidung Luar.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :8
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )

Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.8
Kerangka tulang terdiri dari : 8,9

1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )


2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu :8,9

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu :9
1. Kelompok dilator :
- m. dilator nares ( anterior dan posterior )
- m. proserus
- kaput angulare m. kuadratus labii superior

2. Kelompok konstriktor :
- m. nasalis
- m. depresor septi

B. Hidung dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior
dan bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.8

a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.8

b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari : 8,9

- lamina perpendikularis os etmoid


- vomer
- krista nasalis os maksila
- krista nasalis os palatine

Bagian tulang rawan terdiri dari : 8,9


- kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
- kolumela

c. Kavum nasi
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os
palatum.8,9

Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila,
korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina
kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior. 8,9

Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis,
konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina
pterigoideus medial.9
Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.8
Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus
media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.8
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi. 8

Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: 9
1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding
lateral hidung.
2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian superior
posterior.
3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.
fasialis. 8 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach ( Littles area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.8 Vena-vena hidung mempunyai nama
yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.8,9

Persarafan hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar. 3

2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ).
Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina. 3

3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : 3
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).

Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 3, berjalan ke atas dan


mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan
sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung
dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n.
vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis
didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke
pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan
penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.

b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).

Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus salivatorius superior di
medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion
sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post
ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama
terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi
jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik /
parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi
hidung tidak akan terganggu.

4. Olfaktorius ( penciuman )

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah
sepertiga atas hidung.8

Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( airconditioning ),
penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara , refleks nasal dan
turut membantu proses bicara. 3,8

KEKERAPAN
Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan sebanyak 30
60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor dan lebih
banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.10 Walaupun demikian insidens
pastinya tidak diketahui.2,5 Biasanya timbul pada dekade ke 3 4.3 Secara umum prevalensi
rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%.5
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai sebanyak
% menderita keluhan hidung non alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang
berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non alergi dijumpai pada
dekade ke 3.5 21Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari
pasien, menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rhinitis
vasomotor.5 Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1
tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus
( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240
kasus ( 10,07 % ). 10

ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI, DAN PENATALAKSANAAN.

Dibawah ini akan dibahas lebih lanjut beberapa penyakit yang menimbilkan
gejala berupa rinorea:
Inflamasi :
I.1 RINITIS ALERGI:
BATASAN

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah
paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.

PATOFISIOLOGI

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :

Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika.
Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama
penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan
masih merupakan penyebab yang penting.

Polutan

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan
terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon
oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir
ini telah diketahui lebih jelas.

Aspirin

Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita
tertentu.

Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan
IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas berbagai macam
sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting
dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons
selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan
sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan
sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.

Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel mast,
dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi sitokin
termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast.
Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan
sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES
menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel
terutama dipengaruhi oleh IL-5.

Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-leukotrien
yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan
buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator
Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.

Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini membuktikan bahwa epitel
mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi,
dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal
merupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika.

GEJALA KLINIS/Symptom

Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung. Pembagian
rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis musiman
(seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis), dan akibat kerja
(occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,
maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit
berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse
nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung
dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan
kebiru-biruan (boggy and bluish).

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah,
kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini
akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas
hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan
non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih
banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi
intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.

CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSA

Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium.
Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada
keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam
membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor.
Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total,
IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih
terbatas pada bidang penelitian.

DIAGNOSA BANDING

Rinitis alergika harus dibedakan dengan :

1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus

PENYULIT

Sinusitis kronis (tersering)

Poliposis nasal

Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap
aspirin)

Asma

Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah

Hipertyopi tonsil dan adenoid

Gangguan kognitif

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan


imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika,
penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan,
terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan
berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan
memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus
menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila
penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan
obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama
sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai
baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1
dengan dekongestan.

Pemilihan obat-obatan

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :

1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.

2. Tidak menimbulkan takifilaksis.

3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan


terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya


efek samping sistemik.

Tabel 3. : Jenis obat dan efek terapetik.

Jenis obat Bersin Rinorea Buntu Gatal hidung Keluhan mata


Antihistamin H1

Oral ++ ++ + +++ ++

Intranasal ++ ++ + ++ 0

Intraokuler 0 0 0 0 +++
Kortikosteroid intranasal +++ +++ +++ ++ ++
Kromolin

Intranasal + + + + 0

Intraokuler 0 9 0 0 ++
Dekongestan

Intranasal 0 0 +++ 0 0

Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++
Jenis obat yang sering digunakan :

Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6
tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6
tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari;
> 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.

Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 511 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; >
12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4
kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

Kortikosteroid intranasal

Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif
untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.

Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.


I . 2 RINITIS VASOMOTOR:

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.1 Rinitis vasomotor adalah
gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.2 Kelainan ini
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga
dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific
allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.

ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan
sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.1,2,5,11
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi
dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar.
Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan
parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem
saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan
kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang
hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan
kongesti.5,6,13,14
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti sel
mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide
intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter
pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin
dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada
rinitis alergi.14
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor. Banyak
kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume,
asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).14 Dengan demikian,
patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis

vasomotor yaitu :4,14


1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.
PATOGENESIS
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluhpembuluh darah pada
mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen
terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan
refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non spesifik. Serangan dapat muncul akibat
pengaruh beberapa factor pemicu.10,11

1. Latar belakang 2,15


- adanya paparan terhadap suatu iritan ! memicu ketidakseimbangan system saraf otonom
dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung ! vasodilatasi dan
edema pembuluh darah mukosa hidung ! hidung tersumbat dan rinore.
- disebut juga rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis )
- merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan lingkungannya,
berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada
zat allergen nya.
- tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE
( IgE-mediated hypersensitivity )

2. Pemicu ( triggers ) : 2,11,15


- alkohol
- perubahan temperatur / kelembapan
- makanan yang panas dan pedas
- bau bauan yang menyengat ( strong odor )
- asap rokok atau polusi udara lainnya
- faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas
- penyakit penyakit endokrin
- obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral

GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rinitis
alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau
serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian
dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.1,2,6,7,11 Keluhan bersin-
bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa
gatal di hidung dan mata.1,2,6,7 Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur
oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena
asap rokok dan sebagainya.1 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang
jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ). 11
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu
golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore ( runners / sneezers ). Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.1

DIAGNOSIS
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi
dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa.1,6,11
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan
tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.3 Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi
dan berwarna merah gelap atau merah tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai
berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga
hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret
yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak.1,7,11,12 Pada rinoskopi posterior
dapat dijumpai post nasal drip. 11
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test
kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam
batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi
dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret.1,2,7,11
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak
gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1

Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor

DIAGNOSIS BANDING11
1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi

Rinitis alergi Rinitis vasomotor


PENATALAKSANAAN

Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala
yang menonjol.Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17

1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )


2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung


tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin
dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya
digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.
Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )

3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :


- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat (
chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate )
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan pada
n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan
pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi

KOMPLIKASI 11
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
PROGNOSIS
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan
tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan

I.3 RINITIS MEDIKAMENTOSA:

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal

vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal (obat tetes hidung

atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung

yang menetap. Istilah rhinitis mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946.1,2

Rhinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis kimia karena

menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang

berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis -

adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme

terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilah

rhinitis medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal

sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug

induced rhinitis).1

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan sehingga dalam

penggunaan vasokontriktor topikal harus berhati-hati. Vasokontriktor hidung diisolasi pertama kali pada

tahun 1887 dari ma-huang yaitu tanaman yang mengandung ephedrine dan digunakan sebagai

vasokontriktor topikal pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi, minyak, semprot dan tetes.1

Vasokontriktor topikal yang digunakan sebaiknya yang isotonik dengan sekret yang normal, pH antara

6,3 sampai 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu sehingga rhinitis medikamentosa dapat

dicegah.
Rhinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung non alergi yang dapat mengganggu

dan membuat penderita datang berobat ke dokter.

I.4 RINITIS ATROFI:

RINITIS ATROFI (OZAENA)

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada

mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum

foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan

sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan

memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku.

Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut

pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan,

sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis

ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-

hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien

sendiri menderita anosmia).1,2,4

Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih

sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada

masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang

berkembang.1,2,3

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.

Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II

tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.

TINJAUAN PUSTAKA

BatasanRinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica

atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya ialah adanya

atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang

berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,

sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,

terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6


Kekerapan

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama

pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita

dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita

rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang

berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi

mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan

tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H.

Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2

pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah

daripada di Amerika

Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II

tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5

Etiologi

Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori

mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor

herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi

(Ozaena), yaitu :1, 3, 5


Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini
menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman
spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa,
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
Teori mekanik dari Zaufal.
Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat
gangguan sistem saraf otonom.
Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
Herediter.
Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
Golongan darah.

Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang

penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung

atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma,

rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar

penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,

scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa.

Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio

ekonomi rendah.1,5

Patologi dan Patogenesis

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel

skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik

dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu

secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :1


a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi

kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.

b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan

berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan

Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya

absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan

dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan

protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidungterhadap infeksi.

Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi

mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia.

Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan

hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta

yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam

hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :3


Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

Silia hidung. Silia akan menghilang.

Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng

berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya

berkurang.

Gejala Klinis dan Pemeriksaan

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan

penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala,

epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya

napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+)

penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak

tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan

yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur

perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf

pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.1,2,4,5,6

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi

krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat

lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret

purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena

bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.

b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak,

keluhan anosmia belum jelas.

c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak

lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang

timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa

daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk

krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun

terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala

jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis

jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat,

termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan

iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat

mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan

perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan
antara lain :3, 4

Transiluminasi.
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
Pemeriksaan mikroorganisme.

Uji resistensi kuman.

Pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan Fe Serum

Penatalaksanaan

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan

irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan

antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan

lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu

usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah

mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong

dilakukan operasi.1,3
Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,
dan simptomatik.

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi

hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg

1 x sehari selama 12 minggu.


2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan

menghilangkan bau. Antara lain :

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

b. Campuran :
NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur


d. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 gLarutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan

kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian
obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk

membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaenasolu tion dan

streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak

plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak

plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini

membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2

tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol

darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2

minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan

pada 6 dari 7 penderita.


Operasi

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung

yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga

memungkinkan terjadinya regenerasi.1

Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :5

1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan

2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah Beberapa teknik operasi yang

dilakukan antara lain :1

1)Young's operation

Penutupan total rongga hidung denganflap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang

hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama

periode tiga tahun.

2)Modified Young's operation

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3)Lautenschlager operation

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.

4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
Teflon, campuranTr io s ite dan Fibrin Glue.

5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi

mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakanflap faring pada

penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.

Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien

dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung

pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan

implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4


II.1 SINUSITIS.

Definisi:

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid,sinusitis frontal, dan sinusitis
sphenoid. Yang palingsering ditemikan ialah sinusitis maksila dan sinus etmoid,
sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang

Anda mungkin juga menyukai