Rinorea
Rinorea
PENDAHULUAN
Rinore bukanlah suatu penyakitetapi merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari penyakit
tertentu. Ada beberapa penyakit yg memiliki gejala berupa rinorea atau keluarnya cairan dari
dalam hirung. Bisa penyakit peradangan, massa, trauma dan lainnya. Tetapi penyakit infeksilah
yang paling banyak mengakibatkan gejala berupa rinorea.
Penyakit infeksi di hidung dan sinus seperti rhinitis alergi, vasomotor, medikamentosa, sinusitis,
polip hidung, KNF, trauma (keluarnya LCS) mwmiliki gejala berupa rinorea.
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI:
Keluarnya secret dari hidung. Sekret di hidung dapat terjadi pada satu atau kedua rongga
hidung. Tanyakan bagaimana konsisitensi secret tersebut, encer bening seperi air, kental,
nanah, atau bercampur darah. Secret hidung yang disebabkan infeksi hidung biasanya bilateral
jernih sampai purulen. Secret yang jernih seperi air dan jumlahnya banyak khas untuk alergi
hidung. Bila secretnya kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis hudung dan bila
bercampur darah dari satu sisi hati-hati adanya tumor hidung.
Pada anak bila secret yang terdapat yanya satu sisi dan berbau kemungkinan terdapat benda
asing di hidung. Secret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut sebagai psnasaldrip
kemungkinan dari sinus paranasal.
A. Hidung Luar.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :8
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.8
Kerangka tulang terdiri dari : 8,9
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu :8,9
2. Kelompok konstriktor :
- m. nasalis
- m. depresor septi
B. Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior
dan bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.8
a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.8
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari : 8,9
c. Kavum nasi
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os
palatum.8,9
Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila,
korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina
kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior. 8,9
Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis,
konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina
pterigoideus medial.9
Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.8
Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus
media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.8
Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi. 8
Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: 9
1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding
lateral hidung.
2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian superior
posterior.
3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.
fasialis. 8 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach ( Littles area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.8 Vena-vena hidung mempunyai nama
yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.8,9
Persarafan hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar. 3
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ).
Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina. 3
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : 3
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus salivatorius superior di
medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion
sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post
ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama
terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi
jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik /
parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi
hidung tidak akan terganggu.
4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah
sepertiga atas hidung.8
Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara ( airconditioning ),
penyaring udara, indra penghidu ( olfactory ), untuk resonansi suara , refleks nasal dan
turut membantu proses bicara. 3,8
KEKERAPAN
Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan sebanyak 30
60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor dan lebih
banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.10 Walaupun demikian insidens
pastinya tidak diketahui.2,5 Biasanya timbul pada dekade ke 3 4.3 Secara umum prevalensi
rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%.5
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai sebanyak
% menderita keluhan hidung non alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang
berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non alergi dijumpai pada
dekade ke 3.5 21Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari
pasien, menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rhinitis
vasomotor.5 Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1
tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus
( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240
kasus ( 10,07 % ). 10
Dibawah ini akan dibahas lebih lanjut beberapa penyakit yang menimbilkan
gejala berupa rinorea:
Inflamasi :
I.1 RINITIS ALERGI:
BATASAN
Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah
paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.
PATOFISIOLOGI
Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika.
Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama
penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan
masih merupakan penyebab yang penting.
Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan
terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon
oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir
ini telah diketahui lebih jelas.
Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita
tertentu.
Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan
IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas berbagai macam
sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting
dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons
selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan
sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan
sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel mast,
dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi sitokin
termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast.
Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan
sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES
menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel
terutama dipengaruhi oleh IL-5.
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-leukotrien
yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan
buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator
Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin.
Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini membuktikan bahwa epitel
mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi,
dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal
merupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika.
GEJALA KLINIS/Symptom
Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung. Pembagian
rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis musiman
(seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis), dan akibat kerja
(occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,
maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit
berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse
nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung
dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan
kebiru-biruan (boggy and bluish).
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah,
kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini
akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas
hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan
non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih
banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi
intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.
CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSA
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium.
Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada
keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam
membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor.
Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total,
IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih
terbatas pada bidang penelitian.
DIAGNOSA BANDING
1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus
PENYULIT
Poliposis nasal
Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap
aspirin)
Asma
Gangguan kognitif
PENATALAKSANAAN
Pemilihan obat-obatan
Oral ++ ++ + +++ ++
Intranasal ++ ++ + ++ 0
Intraokuler 0 0 0 0 +++
Kortikosteroid intranasal +++ +++ +++ ++ ++
Kromolin
Intranasal + + + + 0
Intraokuler 0 9 0 0 ++
Dekongestan
Intranasal 0 0 +++ 0 0
Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++
Jenis obat yang sering digunakan :
Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6
tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6
tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari;
> 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.
Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 511 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; >
12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4
kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
Kortikosteroid intranasal
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif
untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.
Leukotrien antagonis
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.1 Rinitis vasomotor adalah
gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.2 Kelainan ini
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga
dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific
allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.
ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan
sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.1,2,5,11
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1,3,12
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi
dan bau yang merangsang.
3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
PATOFISIOLOGI
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar.
Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan
parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem
saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan
kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang
hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan
kongesti.5,6,13,14
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti sel
mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide
intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter
pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin
dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.
Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada
rinitis alergi.14
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis vasomotor. Banyak
kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume,
asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).14 Dengan demikian,
patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rhinitis
GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rinitis
alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau
serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian
dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.1,2,6,7,11 Keluhan bersin-
bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa
gatal di hidung dan mata.1,2,6,7 Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur
oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena
asap rokok dan sebagainya.1 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang
jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ). 11
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu
golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore ( runners / sneezers ). Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.1
DIAGNOSIS
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi
dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa.1,6,11
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan
tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.3 Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi
dan berwarna merah gelap atau merah tua ( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai
berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga
hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret
yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak.1,7,11,12 Pada rinoskopi posterior
dapat dijumpai post nasal drip. 11
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test
kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam
batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi
dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret.1,2,7,11
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak
gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1
DIAGNOSIS BANDING11
1. Rinitis alergi
2. Rinitis infeksi
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala
yang menonjol.Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11-17
KOMPLIKASI 11
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
PROGNOSIS
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan
tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal
vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal (obat tetes hidung
atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung
yang menetap. Istilah rhinitis mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946.1,2
Rhinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis kimia karena
menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang
berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis -
adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme
terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilah
rhinitis medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal
sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug
induced rhinitis).1
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan sehingga dalam
penggunaan vasokontriktor topikal harus berhati-hati. Vasokontriktor hidung diisolasi pertama kali pada
tahun 1887 dari ma-huang yaitu tanaman yang mengandung ephedrine dan digunakan sebagai
vasokontriktor topikal pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi, minyak, semprot dan tetes.1
Vasokontriktor topikal yang digunakan sebaiknya yang isotonik dengan sekret yang normal, pH antara
6,3 sampai 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu sehingga rhinitis medikamentosa dapat
dicegah.
Rhinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung non alergi yang dapat mengganggu
PENDAHULUAN
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada
mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum
foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan
sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan
memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut
pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan,
sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis
ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-
hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien
Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih
sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada
masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang
berkembang.1,2,3
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II
tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.
TINJAUAN PUSTAKA
BatasanRinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica
atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya ialah adanya
atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang
berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama
pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita
dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita
rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang
berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi
mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan
tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H.
Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2
pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah
daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II
tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.5
Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai teori
mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor
herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang
penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung
atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma,
rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,
scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa.
Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat sosio
ekonomi rendah.1,5
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel
skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik
dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan
Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya
absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan
dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidungterhadap infeksi.
mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia.
Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan
hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan histopatologi dalam
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng
berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya
berkurang.
Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala,
epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya
napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain (+)
penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak
tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan
yang makin progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur
perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi
krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat
lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret
purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena
bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 1
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak,
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak
lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang
timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa
daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk
krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun
terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala
jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis
jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat,
termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan
iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat
mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan
perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan
antara lain :3, 4
Transiluminasi.
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
Pemeriksaan mikroorganisme.
Pemeriksaan Fe Serum
Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan
irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan endokrin; steroid; dan
lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu
usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan operasi.1,3
Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,
dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg
b. Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
Na diborat 28,4 gLarutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian
obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk
membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaenasolu tion dan
streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak
plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak
plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini
membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol
darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2
minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung
yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah Beberapa teknik operasi yang
1)Young's operation
Penutupan total rongga hidung denganflap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang
hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama
3)Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti
Teflon, campuranTr io s ite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi
mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakanflap faring pada
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan, pasien
dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung
pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan
Definisi:
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid,sinusitis frontal, dan sinusitis
sphenoid. Yang palingsering ditemikan ialah sinusitis maksila dan sinus etmoid,
sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang