Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu “rhin / rhino” yang berarti
hidung dan “itis” yang berarti radang. Jadi, rhinitis berarti radang hidung atau suatu
kondisi inflamasi dan iritasi yang mengenai mukosa hidung. Gejalanya meliputi
hidung tersumbat, hiperiritabilitas, rinore, dan post nasal drip. Rhinitis sering
didapatkan pada populasi umum dan dikaitkan dengan asma. Kejadian rhinitis dan
asma semakin meningkat sejak revolusi industry (peningkatan kegiatan industri),
bahkan 1 dari 4 penduduk Amerika diperkirakan menderita rhinitis.1

Secara garis besar, rhinitis dibagi menjadi 2 bagian, yaitu rhinitis non-alergi
dan alergi. Gejala-gejala hidung yang berlangsung kronis tanpa penyebab alergi
disebut rhinitis non-alergi, sedangkan bila didapati adanya penyebab alergi (alergen)
disebut rhinitis alergi.2

Klasifikasi baku mengenai rhinitis sampai sekarang ini belum ada, tetapi
klasifikasi terbaru membagi rhinitis dalam beberapa tipe yaitu rhinitis non alergi,
rhinitis okupasional, dan rhinitis atrofi. Rhinitis okupasional (RO) bersama rhinitis
yang eksaserbasi saat kerja (Work Aggravated Rhinitis) merupakan bagian dari
rhinitis yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Rhinitis). Rhinitis
okupasional sendiri terbagi dalam RO alergi dan non alergi.1

Rhinitis okupasional kurang mendapatkan perhatian, hal ini disebabkan tidak


adanya standarisasi diagnosis dan faktor-faktor determinan seperti insiden,
prevalensi, riwayat penyakit, serta mekanisme patogenesis yang kurang dipahami
dengan baik.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Hidung
1.1. Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3)
puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus
frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum.6,7
Pada hidung bagian dalam terdiri dari rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior dan
bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. Vestibulum terletak tepat dibelakang nares
anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut vibrissae. Septum nasi dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nassalis os maksila, dan krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan terdiri dari kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela.6,7
Pada cavum nasi, dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os
maksila dan prosesus horisontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago

2
lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus
os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum
nasi dan permukaan kranial konka superior. Dinding lateral dibentuk oleh
permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior,
konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina
pterigoideus medial.6,7
Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih
kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.6,7
Meatus nasi diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.Dinding medial Dinding medial
hidung adalah septum nasi.6,7

3
Gambar 2.1. Anatomi Hidung Luar

Gambar 2.2. Anatomi Hidung Dalam

4
1.2. Vaskularisasi Hidung
Sistem peredaran darah pada hidung, berasal dari 3 sumber utama
yaitu etmoidalis anterior, yang memberikan suplai darah ke septum bagian
superior anterior dan dinding lateral hidung. Etmoidalis posterior ( cabang
dari a. oftalmika ), memberikan suplai darah ke septum bagian superior
posterior. Sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang
menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada
septum nasi. 6,7
Bagian bawah rongga hidung mendapat aliram darah dari cabang a.
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat aliran darah dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-
vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus. 6,7

5
Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung

1.3. Persarafan Hidung


Sistem persarafan pada hidung,terdiri dari saraf motorik, saraf
sensoris, saraf otonom. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang
mempersarafi otot-otot hidung bagian luar. Saraf sensoris. Bagian depan dan
atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior,
merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.
maksila melalui ganglion sfenopalatina. 6,7
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu saraf post ganglion saraf
simpatis (adrenergik) dan serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).
Pada saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik) ini, saraf simpatis
meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – T3, berjalan ke atas dan
mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis
berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus
profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus
superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis

6
pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion
sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke
pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan
mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat
sedikit mempengaruhi kelenjar.7
Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik) berasal dari
ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di
medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju
ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut.
Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan
saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan
sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n.
vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada
mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung
tidak akan terganggu.7
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.7

7
Gambar 2.4. Persarafan Hidung

1.4. Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional,
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) Fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. 2)
fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. 3) Fungsi fonetik yang berguna untuk
resonasi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang. 4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas. 5) Refleks
nasal.6

II. Rhinitis Okupasional


2.1. Definisi
Rhinitis okupasional (RO) adalah penyakit radang hidung yang
ditandai dengan gejala intermiten atau persisten (hidung tersumbat, bersin,

8
rhinorrhea, gatal), dan / atau hambatan aliran udara hidung dan / atau
hipersekresi yang timbul dari sebab dan kondisi yang disebabkan oleh
lingkungan kerja tertentu dan bukan rangsangan yang ditemui di luar tempat
kerja.3

2.2. Epidemiologi
Prevalensi dan insiden RO di populasi umum tidak pernah dilakukan
investigasi spesifik, namun penelitian hanya dilakukan pada populasi
tertentu. Prevalensi RO yang dihubungkan dengan High Molecular Weight
Agents (HMW) bervariasi dari 2 - 87%, sedangkan Low Molecular Weight
Agents (LMW) sekitar 3-48%. Penelitian menyebutkan insiden RO pada
pekerja laboratorium binatang 0,7 - 12,1%, sedangkan pekerja yang
berhubungan dengan bahan tepung sekitar 11,8% - 13,1%.1
Penelitian memperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita
RO, dimana pekerja industri merupakan penderita terbanyak (48%),
kemudian pekerja administrasi (29%) dan pekerja manufaktur (13-16%).
Departments of Labor and Public Health Connecticut melaporkan penderita
RO sekitar 4% dari kelainan pada penyakit saluran napas. Pekerjaan yang
mempunyai risiko tinggi menderita RO yaitu petani, pekerja laboratorium
farmasi, tukang kayu atau cat, pekerja industri makanan, dan pekerja
kesehatan. Semakin tinggi konsentrasi substansi dan semakin lama pajanan
yang diterima, semakin meningkatkan risiko menderita RO.1
Penelitian lain menunjukkan bahwa kejadian rhinitis okupasional lebih
tinggi pada pria daripada wanita (masing-masing 60 dan 40 persen). Juga,
perbedaan gender ada untuk usia di mana rhinitis okupasional berkembang.
Pria memiliki insiden tertinggi pada kisaran usia 25-29 tahun, setelah itu
insiden secara bertahap menurun. Pada wanita, insidensi rhinitis okupasional
berangsur-angsur meningkat dan memuncak antara usia 40 dan 44 tahun.
Perbedaan ini terkait dengan fakta bahwa pria dan wanita terlibat dalam

9
pekerjaan yang berbeda dan karenanya terkena berbagai jenis agen
penyebab.11

2.3. Etiologi
Sumber penyebab RO berupa HMW dan LMW (Tabel 2.1), dimana
hampir semua HMW menimbulkan gejala melalui mekanisme
immunoglobulin (Ig) E dependent. Beberapa LMW bisa bersifat IgE
dependent atau IgE mediated dengan menghasilkan antibody IgE spesifik
yang bersama protein membentuk ikatan hapten-protein.1
High Moleculer Weight Agents berupa derivat protein yang berasal
dari bahan biologi (binatang, tanaman, mikroba), sedangkan LMW yang
dapat membentuk ikatan hapten-protein berupa isosianat, asam anhidrad,
nikel, dan garam platinum. Low Molecular Weight Agents merupakan bahan
kimia (alam, sintetis atau logam) yang bersifat iritan (akut dan kronik) atau
korosif. Sebagian LMW dapat menimbulkan mekanisme alergi non IgE
mediated (garam persulfat, kayu-kayuan), walapun mekanismenya belum
sepenuhnya diketahui.1
Bahan iritan kronik yang memberikan pajanan berupa bentuk (uap,
asap, debu, dan gas) dan jenis (klorin, ammonia, glutaradehid, serbuk kayu)
yang berbeda. Bahan korosif yang menyebabkan RO pada umumnya
berbentuk logam (kromium, arsen, nikel dan tembaga). Logam korosif ini
terinhalasi dan memberikan inflamasi pada mukosa hidung maupun septum
secara insidentil atau bertahap, sehingga menimbulkan gejala rhinitis.
Pajanan bahan korosif yang lama dapat menimbulkan kelainan yang lebih
berat.1

10
Tabel 2.1. Etiologi dan jenis pekerjaan penderita RO1,4,11
Agen Penyebab Jenis pekerjaan
Low Molecular Weight Agents
Anhidrida (trimellitic anhidrida, Pekerja kimia
metil tetrahidroptalik anhidrida, Pekerja produksi resin epoksi
pyrotomellitikc anhidrida)
Diisosianat (toluene diisosianat, Tukang kayu
difenil-metan diisosianat) Pembuat 11urniture
Pelukis
Pekerja cetakan uretan
Obat-obatan (psyllium, senna, Petugas kesehatan
spiramisin) Apoteker
Pekerja pabrik obat pencahar
Logam (platinum, nikel, kromium) Pekerja kilang platinum
Kolofoni Tukang las, pekerja elektronik
Debu Kayu Tukang kayu
Pembuat furnitur
Zat-zat kimia lainnya (perwarna Tukang sepatu
aktif, carmine, poliamida, polyester, Pekerja salon
para-amida) Pekerja pabrik kertas
Pekerja produksi pewarna reaktif
Pekerja tekstil
Kapas Pabrik kapas
Klorin Produksi kertas
High Molecular Weight Agents
Protein hewani Petugas laboratorium hewan
Pemilik toko hewan
Dokter hewan

11
Enzim biologi Tukang roti
Pekerja industri detergen
Apoteker
Protein ikan dan makanan laut Penyelam
Pekerja pabrik makanan ikan
Pekerja proses dan pengepakan
makanan laut
Debu tepung Tukang roti
Pekerja pengepakan tepung
Pekerja pengangkutan biji-bijian
Wol Pekerja tekstil wol
Daun tembakau Pekerja tembakau
Latex Petugas kesehatan
Serbuk sari Tukang kebun
Pekerja rumah kaca
Serbuk sari bunga matahari Pekerja pertanian

2.4. Patofisiologi
a. Rhinitis Okupasional Alergi
Mekanisme alergi pada RO sama halnya dengan rhinitis alergi.
Reaksi hipersensitivitas yang terjadi bisa tipe I atau tipe IV. Reaksi alergi
tipe I dimediasi oleh IgE yang mempunyai 3 tahap, yaitu sensitisasi,
respon fase awal, dan respon fase lambat.1
 Sensitisasi
Sensitisasi dimulai dari alergen kontak pada mukosa hidung,
alergen yang masuk ke dalam epitel mukosa hidung dianggap sebagai
antigen, sehingga merangsang sel imun. Antigen Presenting Cells
(APC) berperan seperti makrofag dan sel dendrit dengan mencerna

12
antigen menjadi peptide-peptida kecil memicu timbulnya Th0 dari
timus (limfosit T naïve).1
Proses pengenalan antigen dilakukan oleh Major
Histocompatibility Complexes (MHC) kelas II, dimana afinitas yang
terjadi antara MHC kelas II dengan antigen spesifik merupakan
bagian signifikan dari sistem imun untuk menentukan respon
terhadap protein spesifik. Diferensiasi limfosit T menjadi Th1 atau
Th2 ditentukan oleh ekspresi MHC kelas II dengan protein antigen
spesifik. Pada RO, limfosit T berubah menjadi Th2 yang menyekresi
berbagai sitokin, salah satunya Interleukin (IL), seperti IL3, IL4, IL5,
IL9, IL10, IL13. Proliferasi limfosit B dan produksi antibody IgE
dipicu oleh IL4, IL10, dan IL13. Penelitian menunjukkan mekanisme
alergi akibat induksi bahan persulfat melalui aktivasi limfosit Th1 dan
penelitian mendapatkan bahwa peningkatan IL18 dan basophil terjadi
pada RO yang diinduksi bahan tepung.1

 Respon fase awal


Fase awal respon alergi dimulai dari afinitas tinggi dari IgE
pada reseptor di permukaan sel mast dan basophil yang merangsang
terjadinya degranulasi sekitar 15 menit pasca pajanan alergen.
Pelepasan histamin, prostaglandin, triptase, leukotrin, dan faktor
kemotaksis lain memicu pergerakan eosinophil, basophil, dan
neutrophil (sel-sel inflamasi) memulai proses inflamasi. Hal tersebut
memberikan efek pada pembuluh darah yaitu terjadi vasodilatasi,
penebalan mukosa, peningkatan permeabilitas, rinore encer,
pembesaran kelenjar dan peningkatan sekret, sedangkan pada saraf
timbul rasa gatal, bersin-bersin dan reflek parasimpatis.1

13
 Respon fase lambat
Fase lambat terjadi setelah 4-12 jam (bisa sampai lebih dari 72
jam) pasca pajanan alergen, ditandai dengan peningkatan eosinophil,
basophil, dan neutrophil pada mukosa hidung. Hal tersebut
menyebabkan gangguan epitel mukosa berupa buntu hidung, napas
terasa berat, gangguan tidur, mendengkur, dan keluhan lainnya.
Pajanan alergen selama di lingkungan kerja dapat meningkatkan
inflamasi lokal akibat sekresi sitokin-sitokin yang berbeda dan Tumor
Necrosis Factor (TNF) alfa yang diproduksi oleh mastosit, makrofag,
eosinophil, dan limfosit. Peningkatan inflamasi ini menyebabkan
stimulasi saraf sensoris di mukosa hidung yang berakibat hiperreaksi
dan hipersensitif mukosa hidung. Reaksi alergi tipe IV dapat terjadi
pada RO, meskipun sangat jarang, reaksi alerginya disensitisasi oleh
logam berat seperti kromium dan nikel.1

b. Rhinitis Okupasional Non-Alergi


Pajanan bahan iritan akut maupun kronik menyebabkan RO melalui
mekanisme reflek neurogenic berupa ketidakseimbangan masukan sistem
otonom di mukosa hidung akibat pelepasan transmitter neurosensoris
yang disebut substansi P (SP), suatu neuropeptide, dan mediator
inflamasi lainnya. Bahan iritan menstimuli reseptor aferen saraf
trigeminus dan menyebabkan reflek parasimpatis dan reflek akson yang
memicu pelepasan SP. Substansi P dan Calcitonin Gene-Related Peptides
(CGRP) menyebabkan peningkatan sekresi plasma dan sekresi kelenjar
lewat asetilkolin dan reseptor muskarinik berakibat nyeri dan buntu
hidung. Selain SP, Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) dan Nitric Oxide
(NO) dapat menimbulkan efek yang sama. Neurokinin A (NKA) dapat
meningkat bersama SP oleh bahan iritan ozon, dimana NKA akan

14
menghambat sistem saraf simpatis, sehingga pelepasan Neuro Peptide
Tyrosin (NPY) dan noradrenalin juga terhambat. Noradrenalin dan NPY
memberikan efek dekongestan dan vasokonstriksi. Pajanan asap rokok
juga menyebabkan peningkatan SP, VIP, dan NPY.1
Reaksi yang terjadi akibat iritan akut menyerupai Reactive Upper
Airway Dysfunction Syndrome (RUDS) dimana pajanan bahan iritannya
dalam konsentrasi tinggi. gejala rhinitis timbul cepat (Sekitar 24 jam
pasca pajanan) berupa hiperreaktif hidung dengan sifat yang persisten,
tanpa ada riwayat penyakit saluran napas atas sebelumnya, dan terkadang
terjadi peningkatan tahanan jalan napas pada hidung walaupun sudah
tidak terpajan bahan iritan lagi.1
Iritan kronik bersifat insidentil dan gejala rhinitis dapat progresif
tanpa riwayat pajanan akut. Bahan ini memberi efek lokal deskuamasi
epitel, hipertrofi kelenjar, infiltrasi limfosit, dan proliferasi serabut saraf
sensoris.1

2.5. Gejala Klinik


a. Rhinitis Okupasional Alergi
Gejala-gejala rhinitis okupasional alergi, yaitu alergi hidung terhadap
alergen udara lingkungan umum, termasuk pruritus hidung, bersin,
rhinorrhea, dan penyumbatan hidung. Seperti halnya asma okupasional,
rinitis okupasional alergi dapat melibatkan eksaserbasi dari kondisi yang
sudah ada sebelumnya atau kepekaan de novo. Pada pasien rhinitis alergi,
gejala mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang dan
dapat dimanifestasikan oleh respons yang tertunda beberapa jam setelah
pajanan.4, 11

15
b. Rhinitis Okupasional Non-Alergi
Gejala rhinitis okupasional non-alergi dapat mencakup
ketidaknyamanan hidung, rhinore, kongesti, post nasal drip, sinus
headache, dan biasanya epistaksis. Pasien dengan rhinitis non alergi
dapat mengembangkan gejala langsung pada paparan dan tidak memiliki
respons tertunda.4, 11

2.6. Diagnosis
Penegakan diagnosis RO dapat dilakukan dengan menggunakan
algoritma diagnosis (Gambar 2.8) yang telah menjadi suatu konsensus.
Algoritma ini meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.5
a. Anamnesis
Anamnesis hendaknya dilakukan dengan baik, lengkap, dan rinci,
bahkan dapat merupakan suatu kuesioner. Bentuk kuesioner dapat berupa
kuesioner pelayanan kesehatan umum atau Medical Outcome Survey
Short Form dan kuesioner kualitas hidup. Keadaan tempat kerja dan
substansi yang memberikan pajanan secara langsung maupun tidak
langsun perlu diselidiki. Data mengenai lama berkerja sebelum terjadi
gejala (masa laten), bahan-bahan penyebab, tugas atau proses yang
berhubungan dengan munculnya gejala, dan manifestasi klinik saat tidak
bekerja harus diketahui. Asal, durasi, dan frekuensi pajanan harus
didokumentasikan.5
Riwayat atopi dan penyakit pernapasan masa anak pada penderita atau
keluarganya yang mempunyai penyakit alergi perlu ditanyakan. Penyakit
yang menyertai penderita seperti kelainan kardiovaskuler dan sistem
saraf pusat serta semua obat-obatan yang dikonsumsi harus diperhatikan,
seperti aspirin, alpha-blocker, beta-blocker, antidepresan dan Angiotensin
Converting Enzyme (ACE) inhibitor. Riwayat gejala pada mata,

16
tenggorokan, kulit, dan dada yang ditimbulkan juga harus diperhatikan.
Riwayat merokok, minum alkohol, hobi dan aktivitas saat libur, serta
binatang peliharaan seharusnya dipertimbangkan dengan baik.1,5,11
Keluhan buntu hidung, rhinore, dan bersin dengan gatal pada hidung,
mata, dan palatum yang muncul saat di lingkungan kerja kemudian
menghilang saat libur mengarah pada RO alergi. Pada RO non-alergi,
keluhan bergantung pada bahan yang memberikan pajanan. Bahan dapat
bersifat bahan berbahaya, iritan saluran napas dan sensitizer yang
potensial.1,5

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan hidung dapat dilakukan dengan rhinoskopi anterior atau
endoskopi. Pemeriksaan hidung harus mencakup deskripsi perubahan
mukosa, sifat sekret, krusta, epistaksis, ulserasi, dan perforasi. Ini sangat
penting dalam kasus medikolegal.. Kelainan yang ditemukan berupa
sekret jernih dan edem konka. Mukosa hidung bisa tampak pucat, merah
muda, atau hiperemi. Pemeriksaan mata untuk konjungtivitis dan rongga
mulut / pemeriksaan orofaring untuk ulserasi juga harus dilakukan.
Pemeriksaan endoskopi berguna untuk mengevaluasi struktur anatomi
kavum nasi, sehingga kelainan seperti polip nasi dan deviasi septum
dapat diketahui dengan lebih baik. Tanda khas seperti pada penderita
rinokonjungtiva alergi dapat muncul berupa allergic shiner, injected
conjunctivae, atau sclera dan kemosis. Krusta dan epistaksis lebih sering
terjadi pada rinitis iritan. Pemeriksaan dada untuk tanda-tanda asma
penting serta pemeriksaan untuk dermatitis, yang terjadi pada alergi
lateks.1,5, 11
Kelainan lebih berat disebabkan bahan korosif berupa mukosa
hiperemi (inflamasi) permanen, ulserasi, dan perforasi septum nasi.
Adanya sekresi pus pada ostium sinus, hyperplasia limfoid, neoplasma,

17
dan perubahan pada korda vokalis berguna untuk menentukan diagnosis
banding.5

c. Pemeriksaan penunjang
i. Pemeriksaan mikrokopis
Pemeriksaan ini dapat menemukan eosinophilic cationic
protein, basophil, dan triptase. Peningkatan sel eosinofil merupakan
tanda signifikan untuk RO alergi akibat pajanan alergen di
lingkungan kerja.8

ii. Pemeriksaan imunologi


Penderita RO dengan riwayat atopi dan keluarga yang
menderita perlu melakukan Skin Prick Test (SPT). Pemeriksaan ini
sensitive tetapi tidak spesifik, cepat, murah, namun untuk kasus
RO, reagen berpa ekstrak HMW dan LMW terstandarisasi sebagai
penyebab RO sangat terbatas dan sulit didapatkan.8
Pengukuran total serum IgE spesifik pada penderita rhinitis
dengan dugaan alergi IgE mediated dapat dilakukan. Penderita RO
yang dididuga akibat LMW dapat diketahui dengan pemeriksaan
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA),
Radioallergosorbent Test (RAST), immune dot, dan immunoCAP.8

18
Gambar 2.5. Skin Prick Test

Gambar 2.6. Radioallergosorbent Test (RAST)

iii. Nasal Provocation Test (NPT)


Indikasi utama penggunaan NPT adalah untuk mengetahui
gejala alergi dan kepentingan imunoterapi. Penggunaan NPT pada

19
RO dapat untuk RO alergi maupun RO non alergi akibat bahan
iritas, metode ini merupakan gold standard untuk RO alergi.kriteria
NPT dinilai dari gejala yang timbul, terdiri atas gejala yang
berhubungan dnegan hidung dan ekstra hidung.9
Bahan alergen yang digunakan untuk NPT dapat berupa cairan
(sprai atau oles) dan inhalan, sebagai control dapat diberikan
normal saline atau placebo, dimana bahan alergen diberikan pada
sisi kanan dan kiri. Macam gejala yang diperiksan dan skoring
tergantung pada pemeriksa. Masa waktu penilaian dapat 15-30
menit pasca NPT atau sampai keesokan harinya dimanya penderita
diberikan daftar penilaian. Ealuasi NPT mempunyai hasil positif
apabila skor dari gejala yang timbul ≥4. NPT juga dipertimbangkan
mempunyai hasil positif bila terdapat penurunan aliran udara idung
sekitar 40% dan peningkatan resistensi sekitar 60%.9

Gambar 2.7. Nasal Provocation Test

iv. Nasal Challenge Test (NCT)


Metode ini merupakan tes baku untuk konfirmasi peran agen
spesifik penyebab dan mekanisme terjadinya rhinitis. Bahan yang
diberikan berupa histamine, metakolin, dan udara kering yang

20
dingin. Bahan tersebut bisa diteteskan, sprai, dan dihirup dengan
atau tanpa alat pada satu atau dua sisi hidung.9
Mekanisme hiperreaktivitas yang terjadi dapat dilihat pasca
pemberian NCT. Pemberian bahan inhalan pada NCT dilakukan
pada RO, dimana dapat dilakukan evaluasi simultan pada jalan
napas atas maupun bawah. Metode ini baik digunakan untuk
kepentingan penelitian dan tidak relevan bila digunakan sebagai
diagnosis dalam praktek klinik sehari-hari.9

Gambar 2.8. Algoritma Diagnosis Rhinitis Okupasional

2.7. Diagnosis Diferensial


a. Rhinitis Vasomotor
Pada anamnesis keluhan yang ditemukan adalah hidung tersumbat
bergantian kiri dan kanan, rhinnore yang mukoid ataupun serosa.

21
Keluhan sebagian besar berkaitan dengan iritan-iritan yang ada diudara,
perbedaan suhu dan kelembapan yang sangat besar. Pada pemeriksaan
rhinoskopi anterior, tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa
hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi pula pucat.
Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat
licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat
sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret
yang ditemukan ialah serosa dan jumlahnya banyak.6

b. Rhinitis Medikamentosa
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa
gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu
lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung menetap.
Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (drug abuse). Adapun gejala klinis pasien mengeluh hidung
tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak
edema/hipertrofi konka dan sekret hidung yang berlebihan. Apabila
diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.6

c. Rhinitis Atrofi
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai dengan
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya berupa
napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak (krusta)
hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang,

22
konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret
purulent dan krusta yang berwarna hijau.6

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan meliputi tindakan prevensi,
farmakologi, imunoterapi dan pembedahan. Tujuan penatalaksanaan bagi
penderita RO adalah meminimalkan gejala-gejala rhinitis dan dampaknya
bagi kesehatan, serta mencegah perkembangan dari penyakit tersebut.10

a. Prevensi primer
Prevensi berupa pengontrolan pajanan di tempat kerja, identifikasi
pekerja yang diduga menderita RO dapat diketahui dari kuesioner
prakerja yaitu adanya riwayat atopi atau keluarga yang menderita
penyakit alergi. Tindakan lanjutan berupa menghindari alergen,
memindahkan pekerja ke bagian bebas alergen, ventilasi tempat kerja
yang baik, edukasi, dan pemakaian alat pelindung personal.10

b. Prevensi sekunder
Kegiatan prevensi sekunder berupa surveilans individu yang berisiko
setiap tahun. Program surveilans ini meliputi kuesioner pra penempatan
danpengaturan periodic, deteksi aergen pemicu dengan SPT bila dapat
dilakukan, merujuk pekerja diduga RO untuk dilakukan NPT.10

c. Farmakologi
i. Irigasi nasal atau cuci hidung dengan cairan saline. Ini berguna
mencegah stasis intranasal dan mengurangi timbulnya krusta. Ini
juga dapat meningkatkan efektivitas pemberian obat topical
intranasal dan peningkatan fungsi silia.1

23
Gambar 2.9. Irigasi Hidung

ii. Kortikosteroid topical. Pemberian obat ini dapat mengurangi


kemotaksis eosinophil dna neutrophil di mukosa hidung. Hal ini
menyebabkan berkurangnya inflamasi lokal, supresi reaksi sel
mast, dan penurunan edem intraseluler. Kerja obat ini
menyebabkan relaksasi otot halus, sehinggal mengurangi
hiperresponsif jalan napas. Gejala rhinore, bersin, gatal, dan
kongesti dapat dikontrol. Kortikosteroid yang dapat diberikan
meliputi flunisolide, triamcinolone, beclomethasone, budesonide,
dan fluticasone. Pemerian dilakukan setiap hari selama sebulan,
bila pemberian dilakukan selama beberapa minggu dan tidak ada
perubahan, diharapkan konsul ulang.1
iii. Antihistamin. Pemberian antihistamin bisa diberikan pada RO
alergi dan non alergi. Antihistamin berguna mengurangi rhinore,
bersin dan gatal hidung. Antihistamin generasi kedua lebih unggul
dibanding generasi pertama karena tidak ada efek sedasi.
Antihistamin yang dapat diberikan adalah cetirizine 5-10mg,
fexofenadine 60mg, loratadine 10mg, dan desloratadine 5mg.10
iv. Dekongestan. Dekongestan bersifat agonisa pada reseptor alfa-1
dan alfa-2 adrenergik, sehingga dapat menurunkan edem dan
obstruksi hidung. Dekongestan lokal maupun sistemik digunakan

24
sebagai pengobatan jangka pendek, sekitar 5-10 hari.
Dekongestan yang dapat diberikan yaitu pseudoefedrin 30-60mg
tiap 4-6 jam atau 120mg tiap 12 jam, xylometazoline 2-3 sprai
tiap 8-10 jam, dan oxymetazoline 2-3 sprai tiap 12 jam.1
v. Antikolinergik. Antikolinergik bekerja menghambat impuls saraf
parasimpatis. Sediaan yang ada hanya topical yaitu ipratropium
bromide dan cromolyn sodium. Antikolinergik hanya mempunyai
efek menurunkan rhinore tanpa dapat menurunkan atau mengobati
gejala bersin, gatal, dan buntu hidung. Efek samping obat ini
dapat menyebabkan nyeri kepala, epistaksis, faringitis, hidung
terasa kering, mual, dan iritasi hidung. Ipratopium bromide
mempunyai sediaan dengan konsentrasi 0,03% dan 0,06%.
Penderita RO dianjurkan memakai konsentrasi 0,03% dan dapat
dikombinasi dengan kortikosteroid intranasal. Dosis anjuran
untuk ipratropium bromide dalam sehari adalah 168-252 mcg
atau 2-3 kali. Cromolyn sodium merupakan antikolinergik yang
dapat dipakai secara berulang-ulang. Obat ini tersedia dalam
bentuk spai, waktu paruh yang singkat, dan efek kerjanya
stabilisator membrane sel mast.1

d. Imunoterapi
Pemerian imunoterapi dipertimbangkan bgi penderita RO akibat
alergen spesifik, dimana alergen tersebut mempunyai ekstrak secara
komersial sehingga dapat digunakan untuk terapi. Indikasi pemberian
imunoterapi meliputi adanya kegagalan respon optimal dnegan
farmakologi dan apabila alergen penyebab tidak bisa dihindari.
Kekurangan pemeberian imunoterapi berupa kesulitan mendapatan
alergen okupasional, harga pengobatan mahal, pengobatan jangka lama

25
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan. Hal ini menyebabkan
imunoterapi jarang menjadi pilihan terapi.1

e. Bedah
Pembedahan dilakukan pada penderita RO dengan kelainan anatomi
hidung. Kelainan yang terjadi seirng mengenai septum dan konka nasi.
Deviasi septum ditangani dengan septoplasty atau rekonstruksi nasoseptal
berupa koreksi terhadap kelainan kartilago atau tulang penyusun septum.
Pembesaran konka nasi patologis yang mengganggu patensi jalan napas
juga dapat terjadi akibat RO. Ini memerlukan pembedahan pengurangan
atau reseksi konka. Teknik operasi lain yang bertujuan mengembalikan
fungsi dari hidung adalah Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS).1

Gambar 2.10. Functional Endoscopic Sinus Surgery

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabilarussdi., Roestiniadi, D.S. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis


Okupasional. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Diakses pada tanggal 1 Februari 2019.
2. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University
School of Medicine. Diakses tanggal 1 Februari 2019
3. Airaksinen, Liisa. 2010. Occupational Rhinitis : Diagnosis and Heath Related
Quality of Life. University of Helsinki. Diakses pada tanggal 1 Februari 2019
4. Shusterman, Dennis. 2014. Occupational Irritant and Allergic Rhinitis. Curr Allergy
Asthma Rep. Vol. 14. Number 425. Diakses pada tanggal 1 Februari 2019
5. Quirce, Santiago. 2004. Occupational Rhinitis. Hospital Uuniversitario La Paz
Madrid. Diakses pada tanggal 2 Februari 2019
6. Soepardi, E. et al. (2012). Hidung. Buku ajar Ilmu Kesehatan THT-KL: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 7. Hal 96-100
7. Paulsen, F., & Waschke, J. (2013). Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Silvia, Murino., Macario Alejandro. 2016. Occupational Rhinitis. Journal of
Otolaryngology – ENT Research. Volume 4. Issue 5. Diakses pada tanggal 2 Februari
2019.
9. Moscato G., Vandenplas O., Van Wijk RG., Malo JL., Quirce S., Walusiak J., et al.
2008. Occupational Rhinitis. Journal Allergy. Volume 63. Diakses pada tanggal 3
Februari 2019
10. Maci, Lucio., Mario Tavolaro. 2017. Occupational Rhinitis. Journal of Stem Cell
Biology and Transplantation. Volume I. Number 1. Diakses pada tanggal 3 Februari
2019.
11. Gleeson, Michael. 2008. Scott-Brown’s Otorhinolaryngoscology, Head and Neck
Surgery. Seventh Edition. Volume 2. London : Hodder Arnold Publisher

27

Anda mungkin juga menyukai