Anda di halaman 1dari 6

Enam Dekade Dinamika Persahabatan

Indonesia-Rusia
Written by RR Emilia Yustiningrum
Wednesday, 02 February 2011 14:43
There are no translations available.

Rusia, yang kala itu masih Uni Soviet, mulai menjalin hubungan diplomatik dengan
Indonesia sejak mengakui kemerdekaan Indonesia melalui surat Menteri Luar Negeri (Menlu)
Rusia, Andrei Vyshinski, kepada Menlu/ Perdana Menteri Indonesia, Mohammad Hatta,
tanggal 26 Januari 1950 (Michael Leifer, 1986). Hubungan dengan Uni Soviet mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Soekarno, namun kemudian mengalami kemunduran
pada masa Soeharto, hingga akhirnya Megawati Soekarnoputri menggeliatkan lagi hubungan
kedua negara melalui pembelian pesawat tempur Sukhoi.

Sejak perumusan politik luar negeri yang bebas aktif tahun 1948 oleh Mohammad Hatta,
Indonesia mengalami pasang surut dalam pelaksanaan politik luar negeri, karena orientasi
politik luar negeri sangat ditentukan oleh kebijakan presiden yang berkuasa pada saat itu.
Salah satu faktor yang mempengaruhi orientasi politik luar negeri adalah dinamika politik
domestik, di mana tuntutan dari dalam negeri mampu mempengaruhi arah politik luar negeri.
Mulai masa Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia telah
mengalami beragam orientasi politik luar negeri, dari menjalin kedekatan hubungan dengan
Blok Timur hingga ke Blok Barat. Hal-hal tersebut turut memberi warna pada dinamika
hubungan Indonesia-Rusia, bahkan sejak masih berupa Uni Soviet, yang memberi jejak
sejarah bagi negeri ini.

Pada masa Soekarno, hubungan Indonesia-Uni Soviet mengalami peningkatan yang


signifikan. Kedua negara mendorong terbentuknya komunike bersama yang ditandatangani
oleh Menlu Indonesia, Ruslan Abdul Gani, dan wakil Menlu Uni Soviet, Andrei Gromyko,
yang sejalan dengan kepentingan internasional Uni Soviet. Komunike bersama ini dibentuk
oleh Indonesia berkaitan dengan upaya menjalin kerjasama dengan Uni Soviet. Bahkan, Uni
Soviet meminjamkan dana hutang luar negeri sebesar 12,5 juta dollar AS pada bulan Juli
1959 untuk membiayai pembangunan stadion olahraga di Indonesia yang berkapasitas
120.000 penonton sebagai tuan rumah penyelenggaraan pesta olah raga Asian Games.
Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, Nikita Krushchev, melakukan kunjungan
diplomatik ke Indonesia yang sekaligus memberikan kredit 250 juta dollar AS dan bantuan
200 unit tempat tidur bagi rumah sakit di Indonesia pada tahun 1960. Selanjutnya, Menteri
Pertahanan Indonesia, Jenderal A.H. Nasution, memimpin delegasi Indonesia ke Uni Soviet
untuk melakukan pembelian senjata bagi kepentingan militer Indonesia dan berhasil
memperoleh kredit 450 juta dollar AS dari Uni Soviet (Michael Leifer, 1986).

Kedekatan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet meredup ketika terjadi pergolakan politik
domestik di Indonesia hingga pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965.
Soeharto, yang memadamkan pemberontakan tersebut, mengeluarkan Tap MPRS No. XXV
tahun 1966 yang melarang penyebaran komunis di Indonesia. Uni Soviet sebagai induk
gerakan komunisme di Indonesia juga mengalami imbasnya. Hal ini dibarengi dengan
pemulangan ribuan pakar asal Uni Soviet yang bekerja di berbagai proyek di Indonesia dan
juga dipulangkannya ribuan mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet, dan
sebagian lainnya menetap di berbagai negara Eropa Timur.
Turunnya Soekarno yang kemudian digantikan oleh Soeharto pada tahun 1960-an juga
membawa implikasi bagi perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia. Pada masa ini,
kondisi dalam negeri Indonesia diwarnai oleh kebutuhan untuk melaksanakan pembangunan
sehingga membutuhkan bantuan dana dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS),
Jepang, dan Eropa Barat. Bantuan dana asing ini digunakan untuk membangun infrastruktur
ekonomi di Indonesia.

Politik luar negeri Indonesia pada masa ini diwakili oleh karakter Soeharto yang menjalankan
low profile foreign policy, artinya kebijakan luar negeri Indonesia dilakukan melalui
kepemimpinan yang tenang, penuh harga diri, hati-hati, dan tidak menonjolkan kualitas
personal Soeharto sebagai tokoh publik (Michael Leifer, 1986). Pada waktu itu, politik luar
negeri Indonesia diprioritaskan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Asia-
Afrika termasuk negara nonblok, serta menciptakan stabilitas dan kerjasama di kawasan Asia
Tenggara.

Masa Presiden Soeharto ditandai dengan meredupnya hubungan bilateral dengan Uni Soviet.
Soeharto pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet dan bertemu dengan
Mikhail Gorbachev pada tanggal 7-12 September 1989 dengan mengunjungi Moskow dan
beberapa kota di Asia Tengah, tempat komunitas Muslim Uni Soviet berada. Kunjungan
Presiden Soeharto juga dibarengi dengan upaya membuka peluang perdagangan dan
kerjasama seiring mulai mencairnya ketegangan hubungan Timur-Barat.

Jatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998 yang kemudian dilanjutkan oleh B.J. Habibie juga
membuat arah kebijakan luar negeri Indonesia mengalami perubahan. Jika pada masa
sebelumnya orientasi politik luar negeri Indonesia dilakukan dengan mendekati negara-
negara maju yang mampu memberikan hutang luar negeri kepada Indonesia, maka pada masa
B.J. Habibie yang singkat ini, orientasi politik luar negeri Indonesia tersedot untuk
menyelesaikan masalah Timor Timur. Posisi Indonesia mendapatkan tekanan hebat yang
disebabkan oleh gerakan milisi Timor Timur untuk melepaskan diri dari Indonesia,
meningkatnya diplomasi internasional Ramos Horta dan Uskup Bello hingga mendapatkan
Nobel Perdamaian, serta besarnya tekanan internasional yang mengesahkan aneksasi militer
Indonesia terhadap Timor Timur yang membuat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa
Bangsa (DK PBB) mengeluarkan resolusi mengenai Timor Timur dan membuat Indonesia
harus segera menyelesaikan masalah ini. Akibatnya, orientasi politik luar negeri Indonesia
pada masa Habibie terkuras untuk masalah ini dan kurang mempunyai perhatian terhadap
wilayah lain, termasuk Rusia.

Hubungan dengan Rusia diaktifkan kembali dengan kunjungan Menlu Rusia, Yuri
Maslyukov, ke Jakarta bulan Maret 1999, yang melakukan perundingan dengan Presiden B.J.
Habibie, Menteri Pertahanan Keamanan, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia. Usai perundingan tersebut, kedua pihak sepakat untuk menandatangani
persetujuan perdagangan, persetujuan kerjasama teknik dan ekonomi, dan persetujuan
penghindaran pajak berganda.

Sejak B.J. Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid tahun 1999, arah kebijakan luar
negeri Indonesia juga turut mengalami perubahan. Bahkan, Abdurrahman Wahid pernah
melakukan terobosan politik luar negeri dengan mencoba membuka hubungan diplomatik
dengan Israel, namun tidak mendapatkan dukungan dari dalam negeri. Pada masa ini,
hubungan dengan Rusia tidak mengalami peningkatan. Abdurrahman Wahid pernah
mengadakan pertemuan dengan Vladimir Putin, sewaktu menghadiri Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Millenium PBB di New York tanggal 7 September 2000. Namun, pembicaraan
kedua presiden belum mengarah pada peningkatan hubungan bilateral kedua negara.

Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid pada 2001
mulai menggeliatkan lagi hubungan Indonesia-Rusia. Megawati dan Vladimir Putin sempat
mengadakan pertemuan pada saat dilaksanakannya KTT APEC (Asia Pacific Economic
Cooperation) di Shanghai, China, tanggal 19 Oktober 2001. Vladimir Putin juga
mengirimkan kawat kenegaraan kepada Megawati tanggal 13 Oktober 2002 berkaitan dengan
upaya Indonesia untuk memerangi terorisme dan kawat kedua tanggal 9 Oktober 2003
sehubungan dengan kecelakaan tragis di Jawa Timur. Selain itu, kunjungan resmi Menlu
Indonesia, Hasan Wirajuda, ke Rusia dan melakukan pembicaraan dengan Menlu Rusia, Igor
Ivanov, tanggal 27 September 2002 merupakan momentum yang melahirkan komitmen baru
kedua negara untuk memasuki tahapan hubungan dan kerjasama yang lebih tinggi. Peristiwa
ini mempunyai arti penting mengingat kunjungan pertama Menlu RI dilakukan setelah 13
tahun pasca runtuhnya Uni Soviet. Dalam pertemuan bilateral itu juga dilakukan
penandatanganan Memorandum Konsultasi Bilateral antara Kementerian Luar Negeri yang
menyepakati bahwa suatu ketika akan meningkat menjadi Konsultasi Bilateral Antar
Pemerintah. Bersamaan dengan kunjungan Menlu RI tersebut, kedua negara untuk pertama
kalinya mengadakan Sidang Komisi Bersama dalam format baru guna mendorong
peningkatan hubungan ekonomi, perdagangan, serta iptek.

Megawati melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia tanggal 20-23 April 2003 dan
menghasilkan deklarasi kerangka kerja hubungan persahabatan dan kemitraan antara
Republik Indonesia dan Federasi Rusia pada abad ke-21. Deklarasi tersebut membahas
sejumlah kesepakatan seperti kerjasama teknik militer, perbankan, dan teknologi ruang
angkasa. Pada saat bersamaan, kedua pihak sedang mempersiapkan berbagai persetujuan
bilateral di bidang penggunaan nuklir untuk maksud damai, perikanan, pariwisata, usaha kecil
dan menengah (UKM), kesehatan, olah raga, dan pendidikan.

Sementara itu, perkembangan politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan orientasi
sejak memasuki masa reformasi. Pada masa ini, politik luar negeri Indonesia diarahkan untuk
lebih banyak terlibat dalam upaya penyelesaian masalah internasional, di mana pada saat
yang bersamaan diterjemahkan sebagai upaya mendukung pembangunan nasional khususnya
pasca reformasi.

Di dalam negeri, muncul kebutuhan untuk memodernisasi peralatan militer untuk


memperkuat sistem pertahanan nasional. Sayangnya, pada saat itu Indonesia masih menjalani
embargo senjata dari AS, sehingga ketika muncul kebutuhan untuk memodernisasi peralatan
militer, tidak bisa mengharapkan kerjasama dengan AS. Hal ini memacu Megawati untuk
melakukan langkah taktis dengan melakukan kunjungan ke Rusia dan sejumlah negara Eropa
Timur untuk keluar dari belitan embargo senjata ini. Kunjungan kenegaraan ini mendapatkan
respon positif dari Rusia.

Meski diwarnai kontroversi, Megawati melakukan pembelian dua pesawat Sukhoi Su-27SK,
dua pesawat tempur Sukhoi Su-30MK, dan dua helikopter tempur MI-35 dengan sistem imbal
dagang. Komoditas untuk imbal dagang tersebut antara lain produk minyak kelapa sawit
mentah dan karet, dengan total imbal dagang kurang lebih AS $ 175 juta. Kerjasama ini
dinilai banyak pihak sebagai tindakan tidak populer di tengah krisis ekonomi dan tekanan
defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Upaya Megawati ini menghasilkan hubungan kemitraan yang telah diperbaharui antara
Indonesia dan Rusia yang menyepakati beberapa hal. Pertama, bidang politik, Indonesia dan
Rusia sepakat untuk menjamin stabilitas keamanan dan kemakmuran di kawasan Asia
Pasifik, serta akan meningkatkan interaksi politik di antara lembaga dan pejabat kedua
negara. Kedua, bidang ekonomi dan perdagangan, kedua negara juga sepakat meningkatkan
hubungan ekonomi, perdagangan, penanaman modal, dan teknologi melalui mekanisme
komisi bersama. Ketiga, bidang industri militer, Indonesia dan Rusia sepakat meningkatkan
kerjasama teknik militer. Dalam masalah keamanan, kedua negara sepakat menyelesaikan
masalah internasional dengan mengedepankan aspek legal dan kepentingan bersama semua
pihak yang terlembaga melalui forum PBB.

Sejak SBY menduduki kursi Presiden Indonesia bulan Oktober 2004, Vladimir Putin telah
dua kali memulai pembicaraan telepon dengannya. Pembicaraan pertama tanggal 20 Oktober
2004 ketika Putin memberikan ucapan selamat atas terpilihnya SBY sebagai Presiden
Indonesia dan pembicaraan telepon kedua pada 26 Desember 2004 sehubungan dengan
keprihatinan Putin atas bencana tsunami Aceh. Selama menjabat sebagai Presiden Indonesia,
SBY melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia sebanyak tiga kali, dan pertemuan di Jakarta
tanggal 6 September 2007 merupakan pertemuan yang keempat, yang dilanjutkan oleh
pertemuan kelima di sela-sela KTT APEC di Australia.

Sebagai tindak lanjut dalam pembelian pesawat tempur, Rusia mengirimkan dua belas orang
teknisi militer untuk merakit pesawat Sukhoi di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, pada
bulan September 2010, sebagai komitmen negara penjual kepala pembeli. Sayangnya, tiga
teknisi meninggal dunia karena keracunan methanol dalam minuman keras, meskipun hal
tersebut dibantah oleh Kedutaan Rusia di Jakarta (Vivanews, 2010). Ketiga teknisi tersebut,
Alexander Poltorak (50), Sergei Voronig (55), dan Viktor Savanoc (55), dipulangkan ke
Rusia dengan menggunakan pesawat Antonov. Namun demikian, Rusia mengirimkan teknisi
pengganti sehingga proses perakitan pesawat Sukhoi tetap berjalan, tanpa mempengaruhi
hubungan kedua negara.

Telah diterima secara luas bahwa dinamika persahabatan Indonesia-Rusia mengalami pasang
surut seiring dengan turun naiknya politik domestik dan orientasi politik luar negeri
Indonesia. Kebijakan yang dilaksanakan oleh masing-masing presiden yang pernah berkuasa
di Indonesia juga mewarnai dinamika persahabatan kedua negara. Namun demikian,
kepentingan nasional Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pertahanan telah menempatkan
Rusia sebagai mitra yang strategis di masa yang akan datang. (RR Emilia Yustiningrum)

Kehidupan
Beragama
Di Rusia
Rabu, 08 Desember 2010 02:03
ShareThis
Selama ini, saya memiliki gambaran bahwa Rusia adalah masyarakat komunis dan atheis.
Bekas negara uni soviet tersebut tidak membolehkan agama hidup. Agama dibenci dan
dianggap sebagai penyakit. Tetapi ternyata, pandangan saya tersebut tidak seluruhnya benar.
Mungkin itu terjadi dahulu. Sekarang, keadaannya sudah berubah. Di kota Moskow, ternyata
sudah ada perguruan tinggi Islam, madrasah tempat belajar agama dan juga masjid. Apalagi
saya diundang ke Moskow juga dalam acara konferensi pendidikan teologi, yang maksudnya
adalah pendidikan Islam.

Sebenarnya Islam sudah masuk di beberapa kota di Rusia, sebelum agama itu masuk ke
Indonesia. Islam masuk ke Rusia jauh lebih dulu. Ulama besar di bidang ilmu hadits
bernama Imam Bukhori, adalah berasal dari Bukhoro, daerah yang merupakan bagian dari
Uni Soviet. Namun akhirnya perkembangan Islam tidak sepesat di Indonesia, karena
idiologi komunis itu. Idiologi itu membenci apapun yang bernama agama. Masjid, gereja atau
apa saja dihancurkan. Orang dilarang beribadah atau melakukan kebaktian.

Sekarang ini, setelah komunis bubar dan mengaku sebagai negara demokratis, agama
berkembang lagi. Di mana-mana tumbuh masjid. Jumlah umat Islam sudah lebih dari 20 %
dari jumlah penduduk sekitar 140 juta jiwa. Bahkan, presiden Tartarskan, pada saat ini
beragama Islam. Tatarskan adalah merupakan negara yang masuk bagian dari negara Rusia.
Di Kazan, ibu kota Tartarskan, terdapat universitas Islam Rusia. Selain itu, juga terdapat
masjid besar di tengah kota. Menurut informasi di negeri ini, jumlah masjid sudah lebih dari
1000 buah.

Informasi lain yang saya dapatkan bahwa pertumbuhan pupulasi penduduk Rusia
menunjukkan angka minus. Jumlah kematian lebih banyak dari kelahiran. Anehnya, setelah
diteliti pengurangan penduduk itu terjadi di kalangan Kristen Ortodok, sedangkan mereka
yang beragama Islam justru tumbuh, baik dari kelahiran maupun sebagai pemeluk baru.

Besarnya kematian itu disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, akibat banyaknya mereka
yang mengonsumsi narkoba dan mabuk setelah meminum minuman keras. Selain itu, adalah
alasan rasional, bahwa orang perkotaan, ------kebanyakan Kristen Ortodok, tidak
menginginkan lagi memiliki anak banyak. Berbeda dengan itu adalah ummat Islam. Mereka
tidak mengonsumsi obat-obat yang membahayakan atau juga tidak mabuk. Selain itu, umat
Islam kebanyakan hidup di pinggiran kota, atau di pedesaan, sehingga masih bersedia
memiliki anak banyak. Jika keadaan seperti ini berlangsung lama, maka sangat mungkin
suatu ketika Islam menjadi mayoritas.

Pada saat ini, terasa bahwa Islam mulai bangkit kembali, setelah sebelumnya selama kurang
lebih 70 tahun dipaksa oleh penguasanya menganut komunis yang atheis. Di mana-mana, di
sejumlah propinsi, ------ada yang menyebut negara, sejumlah masjid, madrasah dan bahkan
perguruan tinggi Islam muncul. Perkembangannya juga tepat, berjalan sesuai dengan
kulturnya. Tatkala saya dan rombongan ke Kazan, mengunjungi universitas Islam Rusia,
sempat shalat Jumat di Masjid besar di kota itu dan juga berkunjung ke kediaman Mufti.
Denyut-denyut kebangkitan Islam di negara itu sangat terasakan. Di Republik Kazan, jumlah
muslim sudah mencapai 55 % dari semua penduduk. Selainnya, adalah pengikut Kristen
Ortodok, Yahudi dan ada yang mengaku sebagai atheis.
Perkembangan Islam di Kazan ini adalah penting bagi perkembangan Islam di Rusia pada
umumnya ke depan. Sebab, Kazan selama ini dianggap sebagai negara, atau propinsi, yang
memiliki perkembangan ekonomi terpesat dibanding propinsi lainnya di Rusia. Teknologi di
Rusia, seperti pabrik helikopter, berpusat di kota Kazan ini. Itulah sebabnya, perkembangan
ekonomi menjadi sangat maju. Kemajuan itu ternyata juga dibarengi oleh kebangkitan Islam
yang sebelumnya dimatikan oleh paham komunis yang dipaksakan oleh pemerintah.

Atas dasar kenyataan ini, maka rasanya sangat tepat jika UIN Maliki Malang mengambil
prakarsa untuk menjalin kerjasama di berbagai bidang dengan perguruan tinggi pada
umumnya, dan perkuguruan tinggi Islam Rusia pada khususnya. Kerjasama ini akan
memberikan dampak yang luas bagi pengembangan Islam pada masa mendatang. Selain itu,
kerjasama tersebut tidak akan sulit dilakukan, karena faham keagamaan di antara kedua
negara tersebut ------Indonesia dan Rusia, memiliki kemiripan. Jika hal itu terjadi, maka
Indonesia akan memberikan sumbangan besar bagi perkembangan Islam secara global.
Wallahu alam.

Moscow, 6
Nopember 2010

Anda mungkin juga menyukai