PENDAHULUAN
2.1 Preeklamsi
2.1.1 Definisi
Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan penyakit sistemik.
Preeklampsiaditandai dengan adanya hipertensi yang disertai proteinuria, terjadi pada
kehamilan setelah minggu ke 20 dari kehamilan (terjadi lebih awal jika ada penyakit
trophoblast)dan dapat juga terjadi segera setelah kelahiran. Berdasarkan manifestasi
klinisnya, preeklampsia diklasifikasikan menjadi preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat. Eklampsia adalah kejadian kejang pada wanita dengan
preeklampsia yang tidak berkaitan dengan penyebab lain.
2.1.2 Epidemiologi
Gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan sering dijumpai dan
termasuk di antara trias mematikan, bersama dengan perdarahan dan infeksi,
yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas karena kehamilan
Diperkirakan 6 - 8% dari seluruh kehamilan mengalami penyulit ini.
Preeklampsia dan hipertensi gestasional merupakan jenis yang paling sering
terjadi, yakni rata-rata 70% dari wanita-wanita yang didiagnosa dengan
hipertensi kehamilan mengalami jenis hipertensi ini.
a) Kardiovaskular
Gangguan-gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi
pada preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada
dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat
hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh
berkurangnya secara patologis, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi
ke dalam ruang ekstraselular, terutama paru. Tekanan darah yang tinggi
pada preeklampsia disebabkan oleh meningkatnya tahanan vaskular
perifer akibat vasokonstriksi. Keadaan ini berlawanan dengan kondisi
kehamilan normal dimana yang terjadi adalah vasodilatasi. Wanita
dengan preeklampsia biasanya tidak mengalami hipertensi yang nyata
hingga pertengahan kedua masa gestasi, namun vasokonstriksi dapat
sudah muncul sebelumnya. Mekanisme yang mendasari vasokontriksi
dan perubahan reaktivitas vaskular pada preeklampsia masih belum
sepenuhnya jelas. Tetapi penelitian-penelitian kini difokuskan untuk
mempelajari perbandingan antara prostanoid vasodilatasi dan
vasokontriksi, sebab ada bukti yang menunjukkan penurunan
prostasiklin dan peningkatan tromboksan pada pembuluh darah wanita
dengan preeklampsia. Selain itu, pada kehamilan normal respon
pembuluh darah pembuluh darah tehadap peptida dan amin vasoaktif
khususnya angiotensin II (AII) menurun, sedangkan wanita dengan
preeklampsia hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini.
b) Ginjal
Patofisiologi ginjal pada preeklampsia disebabkan oleh hal-hal berikut :
Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia,
terjadi hipovolemia sehinggaperfusi ginjal dan filtrasi glomerulus
menurun bahkan dapat mencapai kadar yang jauh di bawah kadar
nonhamil normal. Keadaan ini menyebabkan sekresi asam urat
menurun sehingga kadar asam urat serum meningkat, umumnya 5
mg/cc. Klirens kreatinin juga menurun sehingga kadar kreatinin
plasma meningkat, dapat mencapai 1 mg/cc. Juga dapat terjadi
gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus, yang ditandai oleh oliguria
atau anuria danazotemia progresif (peningkatan kreatinin serum
sekitar 1 mg/dl per hari), umumnya dipicu oleh syok hipovolemik
yang biasanya berkaitan dengan perdarahan saat melahirkan yang
tidak mendapat penggantian darah yang memadai.
Selain itu juga terdapat perubahan anatomis ginal pada preeklampsia
yang dapat dideteksi dengan mikroskop cahaya atau elektron.
Glomerulus membesar dan bengkak tetapi tidak hiperselular.
Lengkung kapiler dapat melebar atau menciut. Sel-sel endotel
membengkak sehingga menghambat lumen kapiler secara total
maupun parsial, dan terdapat fibril (serabut-serabut) yang merupakan
materi protein, yang dahulu disangka sebagai penebalan membran
basal, mengendap di dalam dan di bawah sel-sel tersebut. Perubahan-
perubahan ini disebut endhoteliosis kapiler glomerulusyang menjadi
kelainan ginjal yang khas pada preeklampsia-eklampsia,
Terjadi hiperkalsiuria, sementara pada kehamilan normal terjadi
hipokalsiuria akibat meningkatknya ekskresi kalsium.
Ekskresi natrium dapat terganggu pada preeklampsia meskipun
bervariasi.
Proteinuria. Kerusakan glomerulus mengakibatkan meningkatnyaa
permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran protein.
Pada preeklampsia, umumnya proteinuria terjadi jauh pada akhir
kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria,
karena janin sudah lahir terlebih dahulu.
c) Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan.
Kerusakan hepar pada preeklampsia dapat berkisar mulai dari nekrosis
hepatoselular ringan (nekrosis hemoragik periporta) dengan
abnormalitas enzim serum (aminotransferase dan laktat dehidrogenase)
sampai dengan sindrom HELLP ( Hemolysis, Elevated liver enzymes,
Low platelet). Selain itu perdarahan dari lesi nekrosis hemoragik
periporta dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di
bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular, yang
memerlukan tindakan pembedahan.
d) Susunan Saraf Pusat
Manifestasi preeklampsia pada susuanan saraf pusat telah lama
diketahui. Perubahan neurologik yang terjadi pada preeklampsia dapat
berupa :
Nyeri kepala akibat vasogenik edema yang disebabkan oleh
hiperperfusi otak.
Gangguan visus/penglihatan, terutama pada preeklampsia berat,
akibat spasme arteri retina dan edema retina. Gangguan visus yang
terjadi dapat berupa pandangan kabur, skotoma, dan buta kortikal
(jarang). Prognosisnya baik dan penglihatan biasanya pulih dalam
seminggu.
2.1.5 Diagnosis
Sesuai dengan definisinya, kriteria minimum untuk mendiagnosis
preeklampsia adalah hipertensi plus proteinuria minimal. Semakin parah
hipertensi atau proteinurianya, semakin pasti diagnosis preeklampsia.
2.2.1 Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu
lama, maksimal 2-3 jam.
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rektum perineum
d) Bedah obstetrik-ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
g) Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
2.2.2 Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
a) Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare : Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya.
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau
ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal secara kontinyu dapat dimasukan kateter.
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum
flavum dewasa 6cm.
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada anestesia spinal
adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang terjadi sama dengan pada
penggunaan kombinasi obat -1 dan -adrenergic blockers, dimana nadi dan
tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal
ini karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal. Level blok simpatis
mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana semakin
tinggi blok saraf yang terjadi semakin besar pengaruhnya terhadap parameter
kardiovaskular. 4,6
Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral dipelihara oleh
mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi arteri. Jika
tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin tidak
berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan
terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan
terjadi penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap.
Walaupun begitu, jika tekanan darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal
juga akan kembali normal. 4,6
2.2.9 Farmakologi
d. Bupivakain.
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8
menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia
dan kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah
digunakan sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar
antara 8-10 mg untuk operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20
mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,3
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada tabel dibawah ini.
a. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar
dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal
benarbenar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah
harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5%. Contoh:
Lidokaine (xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml), Bupivakaine (markaine)
0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg
(1-3ml) 2,3
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah
dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada
suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan
serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi
hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain,dibukain.
c. Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama
dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena
terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi
isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar
deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% Spinal anestesi blok
mempunyai beberapa keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan
respon endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi
otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang pasien masih dalam
keadaan sadar. Contoh: Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis
1.006, sifat isobarik, dosis 20-100 mg (2-5 ml), Bupivakaine (markaine)
0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml). 2,3
1. Identitas Penderita
Nama : Ny.R
Umur : 32 thn
Alamat : Jl. Tombolotutu
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 10 Oktober 2017
2. Anamnesis
Keluhan Utama : Muntah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien Masuk Rumah Sakit dengan keluhan muntah (+) > 5x,
nyeri ulu hati (+), pusing (+), sakit kepala (+), nyeri perut tembus
belakang (+) jarang, Pelepasan darah (-), Lendir (-), Air (-), Sesak (-)
batuk (-) BAB dan BAK Lancar. Demam (-), sesak (-), nyeri menelan (-
) dan gangguan menelan (-).
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asma (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit berat lainnya (-)
o Riwayat anestesi (-)
Riwayat penyakit keluarga:
o Riwayat penyakit paru (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4 V5 M6)
Berat Badan : 60 kg
Status Gizi : Gizi Baik
Airway : Paten
Pernafasan : Respirasi 22 kali/menit
Nadi : 84 kali/menit, regular, kuat angkat
TD : 170/100 mmHg
Suhu : 36,5o C
a. B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 4 cm, jarak hyothyoid 4 cm, leher
pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan 22 kali/menit, suara pernapasan : bronkovesikular
(+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),wheezing(-/-),skor
Mallampati : 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
b. B2 (Blood)
Akral hangat, ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),
tekanan darah 170/100 mmHg, denyut nadi 84 kali/menit, reguler, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis, pupil isokor 2mm/2mm, defisit neurologi (-).
d. B4 (Bladder)
Terpasang kateter
e. B5 (Bowel)
Abdomen tampak cembung, peristaltik (+) kesan normal, mual (-),
muntah (-) massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
4. Pemeriksaan Penunjang
Tabel 5. Imunoserologi
Parameter Hasil
HbsAg Negatif
Tabel 5. Pemeriksaan urin
Range
Parameter Hasil
Normal
pH 6-5 4,8 8,0
BJ 1,015 1,003 1,022
Protein +2 negatif
9. Di Ruangan
RSU Anutapura
- Surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan
anestesi (+)
- Puasa selama 8 jam preoperasi
10. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis Pre Operatif : G1P0A0 + gravid 35-36 minggu + PEB
Status Operatif : ASA III, Mallampati II
Jenis Anastesi : Spinal Anastesi /SAB
2.5 Planing
2.5.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : Regional anastesi
Teknik anestesi : subarachnoid block
Obat Anestesi : bupivakain 12,5 mg
Posisi : Lateral Decubitus
Infus : 1 line di tangan kanan kanan dan 1 line ditangan kiri
Anestesi mulai : 10.00 WITA
Anestesi selesai : 11.10 WITA
Operasi mulai : 10.15 WITA
Operasi selesai : 11.10 WITA
Ahli Anestesi : dr. Ajutor Donny, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Abd Faris, Sp.OG
Obat-obatan yang diberikan :
Premedikasi : -
Obat maintenance anestesi :
Inh. O2 2 lpm
Bupivakain 12,5 mg
Obat durante operatif :
Ondansentron 4 mg/IV
Ranitidin 50 mg/IV
Oxytocin 20 IU/ml IV
Ketorolac 30 mg/IV
45 (10.45) 140 90 78
50 (10.50) 140 80 74
55 (10.55) 130 80 87
60 (11.00) 130 80 89
65 (11.05) 130 90 92
70 (11.10) 130 90 85
Pemberian Cairan
a. Cairan masuk:
Pre operatif : Kristaloid RL 500 cc
Durante operatif : Kristaloid RL 1000 cc
Total input cairan : 1500 cc
Cairan keluar durante operatif
- Perdarahan : 250 ml
- Urin : 150 ml
- Total output cairan : 400 ml
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
= 100 ml
= 320 ml
a. Cairan masuk
Kristaloid : 1500 ml
Koloid :-
Whole blood :-
Total cairan masuk : 1.500 ml
Input Cairan:
Pre Operatif :
Ringer Laktat = 500 cc
Durante Operatif :
Ringer Laktat = 1000 cc
Tranfusi whole blood = 700 cc
Hasil = 1.500 cc
Balance cairan =
Cairan masuk Cairan dibutuhkan = 1.500 ml 930 ml
= 570 ml
TOTAL
Perintah di ruangan:
a. Awasi tanda vital (TD, Nadi, Pernapasan tiap jam)
b. Bila kesakitan. beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri Injeksi Ondansetron 4 mg IV
d. Program cairan, infus RL 20 tetes/menit
BAB IV
PEMBAHASAN