Anda di halaman 1dari 6

Efnedy Arief, Pemikiran Politik..

PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI

Efnedy Arief
Dosen Tetap FAI UISU

Abstrak

Al-Mawardi mendasarkan teorinya secara realistik, hal itu dapat dilihat


dalam pemikirannya yang tetap mempertahankan kepala negara harus
berbangsa Arab dari suku Quraisy. Dan yang melatar belakangi adalah
situasi politik pada saat itu, orang-orang Persi dan Turki terang-terangan
akan merebut kekuasaan dari tangan Abbasiyah, dan merekapun bekerja
sama dengan Syiah untuk menggulingkannya. Karenanya, status quo perlu
dipertahankan agar terjamin stabilitas politik. Upaya al-Mawardi
mempertahankan etnis Quraisy, secara konstektual interpretatif dapat
dikatakan, bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya,
melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Karena itu hadits-hadits
yang mengutamakan etnis Quraisy harus dipahami sebagai ajaran yang
bersifat temporal

Kata Kunci: Pemikiran, Politik, al-Mawardi

Pendahuluan
Meninggalnya Nabi Muhammad Saw memunculkan pertanyaan siapa yang akan
menggantikan beliau dalam memimpin umat, Hal ini dikarenakan pertanyaan
lanjutannya adalah apakah kerasulan Muhammad Saw mempunyai kaitan dengan
masalah politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan bentuk
pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam ?
Masalah pertama yang muncul sepeninggal Rasulullah adalah masalah politik,
sehingga melahirkan dua kutup pemikiran yang pertama berpegang kuat pada ajaran
agama yang meyakini bahwa Islam sebagai agama yang amat sempurna mencakup
segala aspek kehidupan, dan pemikiran, kedua yang menyatakan bahwa Islam tidak
memiliki hubungan dengan politik dan pemerintahan.
Munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar kata Sujuti Pulungan,
karena risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah agama yang penuh

13
Efnedy Arief, Pemikiran Politik..

dengan ajaran dan undang-undang (qawanin ) yang bertujuan membangun manusia


guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat., Islam menekankan
terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Karena itu Islam
mengandung ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, akhlak serta prinsip-prinsip
umum tentang kehidupan bermasyarakat.
Perbedaan pemikiran ini dikarenakan Al-Quran dan Sunnah Nabi tidak
menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk
pemerintahan serta pembentukannya. Hal ini kemudian melahirkan berbagai bentuk
dan sistem pemerintahan semenjak meninggalnya Nabi yang dimulai dengan Khulafa al
Rasyidin sampai abad modern ini. Mulai dari bentuk khilafah yang demokratis sampai
kepada bentuk yang monarkis absolut.
Tentang hubungan agama dan negara terdapat tiga kelompok pemikiran,
Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan
sekaligus lembaga politik. Karena itu kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama
dan kekuasaan politik. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga
keagamaan tapi mempunyai fungsi politik.karena itu kepala negara mempunyai
kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara
adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Kepala negara hanya
mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.
Dari pemikiran ini melahirkan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam
kaitannya dengan politik dan pemerintahan, kepada tiga golongan yaitu;
1. Menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan pemerintahan,
karena Islam adalah agama yang paripurna.
2. Mengatakan di dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tapi
mengandung ajaran-ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
3. Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan.Ajaran
Islam hanya berkisar tentang tauhid dan pembinaan akhlak manusia dalam
berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya keragaman praktek dan keragaman konsep dan pemikiran tersebut,
bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam itu sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh
situasi lingkungan seperti tuntutan zaman,sejarah, latar belakang budaya,tingkat
perkembangan peradaban dan intelektual serta pengaruh luar.
H.A.R.Gibb menyatakan; teori-teori politik sunni hanya merupakan rasionalisasi
terhadap sejarah masyarakat dan preseden-preseden yang diratifikasi oleh ijmak.
Akibatnya tidak ada di antara yuridis sunni yang berusaha membuat lompatan
pemikiran tentang teori-teori politik dan kenegaraan untuk mengantisipasi
perkembangan peta kehidupan sosial politik umat Islam dimasa datang. Tampaknya
mereka terlalu yakin bahwa sistem pemerintahan dizaman mereka akan bertahan, tidak
seperti dalam pembahasan dibidang hukum fikih yang banyak melakukan
pengandaian,dengan mengemukakan beberapa kasus yang peristiwanya belum
terjadi,lalu mendapatkan hukumnya.
Di antara pemikir sunni yang melihat bahwa masalah politik tidak bisa
dilepaskan dari nilai-nilai Islam, sekalipun secara eksplisit tidak ada ayat atau hadis yang
berbicara tentang pembentukan pemerintahan atau negara, namun ajaran Islam
mengandung nilai-nilai dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Al
Mawardi termasuk kedalam kelompok ini, sehingga beliau juga ikut memberi
sumbangan terhadap pola pemikiran politik dan kenagaraan dalam Islam.

14
Efnedy Arief, Pemikiran Politik..

Riwayat Hidup Al-Mawardi ( 364 H / 975 M 450 H / 1059 M )


Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali Bin Muhammad bin Habib Al-
Mawardi Al-Basri Al SyafiI gelar Abu Hasan yang lebih dikenal dengan Imam al-
Mawardi. Ia lahir di Basrah pada tahun 364 H / 975 M dan dikota inilah ia pertama kali
belajar, setelah beberapa waktu kemudian ia bersama orang tuanya pindah ke Baghdad
dan disana ia dibesarkan.1
Al Mawardi pernah belajar di berbagai kota besar antara lain di Basrah, karena
kurang puas dengan ilmu yang diperolehnya ia berangkat ke kota Baghdad dan belajar di
Universitas al Jafarani. Selanjutnya ia mengembara ke berbagai Kota, tetapi pada
akhirnya dipilihnya Baghdad sebagai tempat tinggal dan mengajar, dan dikota ini pula
dia menghabiskan waktu untuk menulis gagasan dan pemikirannya.
Selain mendapat pengetahuan dari Perguruan Tinggi, dia juga belajar dari
ulama-ulama seperti tentang ilmu ke-Islaman dari Al Hasan ibn Ali Al Hambali, Jafar ibn
Muhammad ibn al Fadl al Baghdadi dan Abu Hamid al Isfirayani. Gurunya yang disebut
terakhir ini sangat mempengaruhi pemikiran al Mawardi dan dari beliau dia mendalami
mazhab Dyafii. Pemikiran teologi al Mawardi adalah sunni, karena kebanyakan guru-
gurunya dari kalangan Sunni.
Khalifah al Qadir memberinya kehormatan yang tinggi dengan mengangkatnya
menjadi Duta Keliling dan mengutusnya dalam berbagai misi diplomatik, al Mawardi
sangat cerdas dan kecerdasannya ini dapat dilihat terutama ketika dia mampu memberi
solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh pemerintah sehingga dia ditetapkan
menjadi Hakim Agung.

Pemikiran Politik al Mawardi


1. Pengangkatan Kepala Negara
Lembaga kepala negara dan pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi
kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala negara untuk
memimpin umat Islam adalah wajib menurut ijma, akan tetapi, dasar kewajiban itu
diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu wajib berdasarkan rasio karena
rasio manusia mempunyai kecendrungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada
seorang pemimpin yang dapat menghalangi terjadinya kezaliman yang menimpa mereka
serta menuntaskan perselisihan dan permusuhan di antara mereka. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa hal itu wajib syarI, karena kepala negara menjalankan tugas-tugas
agama yang bisa saja rasio tidak mendorongnya dan rasio itu tidak mewajibkan sang
pemimpin untuk menjalankannya.


Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan tatatilah Rasul dan Ulil Amri di
antara kamu ( QS. An-Nisa 4 : 59 )

Bila mengacu kepada fenomena historis, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa


kedudukan Abu bakar, Umar,Usman dan Ali sebagai Khalifah Rasulullah ternya mereka
tampil sebagai pemimpin umat Islam baik dalam urusan agama maupun urusan politik,
karenanya kedudukan mereka itu bersifat politis.

1
Ensiklopesia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houvem, 1999), hlm. 635.

15
Efnedy Arief, Pemikiran Politik..

Jika kepemimpinan negara wajib diadakan maka kewajibannya adalah wajib


kifayah, bila ada orang yang menjalankan dari kalangan orang yang berkompeten maka
kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak seorangpun yang melaksanakannya
maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia, pertama orang-orang
yang berwenang memilih kepala negara, kedua orang-orang yang mempunyai
kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari
mereka untuk memegang jabatan tersebut.
Al Mawardi memberikan kriteria terhadap orang yang mempunyai hak untuk
memilih kepala negara;
1) Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan ( al-adalah ) memenuhi semua
kriteria.
2) Ia mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa
yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala negara dengan
syarat-syaratnya.
3) Ia mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat
memilih siapa yang paling pantas untyk memangku jabatan kepala negara dan
siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat
mewujudkan kemashlahatan umat.2
Dengan demikian jelas bahwa orang yang berwenang dalam pengangkatan
kepala negara memiliki keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan yang lain.
Karena sedemikian pentingnya kepala negara bagi sebuah pemerintahan, bahkan dalam
kenyataan sejarah, kepala negara adalah pemimpin dalam menggantikan Nabi dalam hal
tanggung jawab umum terhadap pengikut agama untuk membuat manusia tetap
mematuhi undang-undang dan peraturan yang datang dari Allah swt dan menjamin hak-
hak masyarakat serta mengatur segala keperluan hidup mereka.
Untuk mewujudkan kemashlahatan umat, kepala negara sangat dibutuhkan,
untuk itu al-Mawardi mengajukan syarat yang mesti dipenuhi oleh seorang calon kepala
negara :
a. Keseimbangan ( al adalah ) yang memnuhi semua kriteria.
b. Ia mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya dapat melakukan ijtihad
untuk menghadapi kejadian-kejadian yang timbul dan untuk membuat
kebijakan hukum.
c. Panca indranya lengkap dan sehat dari pendengaran, penglihatan, lidah
dan sebagainya sehingga ia dapat menangkap dengan benar dan tepat apa
yang ditangkap oleh indranya itu.
d. Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalangi untuk
beraktifitas.
e. Memiliki visi yang baik sehingga ia dapat menciptakan kebijakan untuk
kepentingan masyarakat dan mewujudkan kemashlahatan bersama.
f. Punya keberanian untuk membela rakyat dan melindungi mereka dari
serangan musuh.
g. Mempunyai hubungan nasab dengan Quraisy, karena ada dalil yang
menyatakan demikian.

Pemimpin itu dari Quraisy.

2
Al-Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniah wa al Wilayat al Diniyah, terj. Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Tataran Islam. Abdul Hayyi dan Kamaluddin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press,
1994)

16
Efnedy Arief, Pemikiran Politik..

2. Cara pengangkatan Kepala Negara.


Pengangkatan kepala negara dianggap sah apabila dilakukan dengan cara dipilih
oleh Ahl al hall wa al aqd ( baca Ahlul halli wal aqdi ) yaitu orang-orang yang mempunyai
wewenang untuk melonggarkan dan mengikat, Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih
untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan
hati nurani mereka.3 Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara
langsung.4
Mengenai jumlah Ahl Hall wa al aqd dalam pengangkatan kepala negara terjadi
perbedaan pendapat. Satu kelompok berpendapat bahwa pengangkatan itu hanya sah
bila diikuti oleh mayoritas dari anggota ahl hall wa al aqd dai seluruh negri, sehingga
kepemimpinannya itu mendapat persetujuan secara umum. Hal ini didasari oleh fakta
yang terjadi terhadap pembaiatan Abu Bakar sebagai Khalifah yang hanya berdasarkan
pemilihan orang-orang yang ada bersamanya dan pelaksanaan baiat tidak menunggu
orang yang tidak ada pada saat itu.
Pendapat lain mengatakan bahwa jumlah minimal yang dapat mengesahkan
pengangkatan Khalifah adalah lima orang yang sepakat untuk mengangkat seseorang
sebagai pemangku jabatan itu atau satu orang mencalonkan yang kemudian disetujui
oleh empat orang lainnya. Hal ini didasari oleh kenyataan pengangkatan Abu Bakar yan
diusulkan oleh satu orang, kemudian disetujui orang banyak, atau yang dilakukan Umar
dengan mengangkat majlis syura.

3. Pengangkatan Kepala negara Berdasarkan Mandat.


Menurt ijma, pengangkatan kepala negara berdasarkan penyerahan mandat dari
kepala negara sebelumnya, boleh dilakukan dan telah disepakati legalitasnya. Hal ini
berdasarkan dua peristiwa yang telah dilakukan kaum muslimin dan mereka tidak
mengingkarinya.
Peristiwa pertama Abu Bakar telah menyerahkan mandat jabatan kepala negara
kepada Uma bin Khattab, kemudian kaum muslimin mengakui legalitas jabatan Umar
yang dilakukan dengan adanya mandat tersebut.
Persitiwa kedua adalah ketika Umar bin Khattab menyerahkan mandat jabatan
kepala negara kepada majlis syura dan masyarakat menerima penetapan keenam orang
yang ditunjuk oleh Umar untuk mencari, memilih dan menetapkan pengganti dirinya
nanti. Anggota majlis syura itu adalah tokoh-tokoh masyarakat pada masanya. Hal ini
menunjukkan validitas sistem penyerahan wewenang itu, sementara sahabat lain banyak
yang berada di luar kota Madinah.

4. Tugas Kepala negara.


Tugas-tugas yang harus diemban oleh kepala negara ada sepuluh ;
1) Menjaga agama agar tetap berada di atas pokok-pokok yang konstan dan
sesuai pemahaman yang disepakati oleh generasi salaf. Rima Islam atau
berada di bawah perlindungan negara Islam.
2) Menjalankan hukum dan keadilan bagi pihak-pihak yang berselisih,
sehingga keadilan menjadi milik semua orang.

3
Muhammad Dhiya al Din al rais, Al Nazhariyat wal Siyasat al Islamiyat, (Kairo: Maktabah Misriyah
1960), hlm 167.
4
Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah, Politik
Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 147

17
Efnedy Arief, Pemikiran Politik..

3) Menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat, sehingga orang hidup


penuh kenyamanan dan tidak takut bepergian.
4) Menjalankan hukum had sehingga larangan-larangan Allah tidak ada yang
melanggarnya dan menjaga hak-hak manusia agar tidak dizalimi.
5) Membentuk kekuatan dengan segala perangkat yang memadai, untuk dapat
mempertahankan negara dan masyarakat dari serangan musuh.
6) Berjihad melawan orang-orang yang menentang Islam setelah disampaikan
dakwah kepadanya sehingga orang tersebut bisa menerima Islam atau
berada di bawah perlindungan negara Islam.
7) Menarik pajak dan memungut zakat sesuai dengan ketentuan yang ada dan
mendistribusikannya untuk kemashlahatan masyarakat.
8) Mengatur penggunaan harta bait al mall secara efektif untuk kepentingan
negara dan masyarakat yang memang berhak mendapatkannya.
9) Mengangkat pejabat yang berkualitas dan amanah untuk membantunya
dalam menyelesaikan tugas-tugas negara.
10)Melakukan pengawasan terhadap kinerja bawahan sehingga dia dapat
melakukan tindakan terhadap penyelewengan dan memperbaiki pelayanan
terhadap masyarakat.
Bila tugas-tugas yang diamanahkan kepada kepala negara telah dilaksanakan
dengan baik dan penuh tanggung jawab, maka seorang kepala negara juga berhak
mendapat dari rakyat yang dipimpinnya yaitu ketaatan dan kepatuhan mereka terhadap
segala kebijaksanaan dan ketetapan yang dikeluarkannya.

Penutup
Demikian sekilas pandangan dan konsep politik Islam al-Mawardi. Konsepnya
tentang perlunya pendirian negara tidak hanya didasarkan pada dalil akal tetapi juga
didasarkan pada hukum syara menimbulkan sebuah pemahaman yang baru dan
berharga. Konsep-konsepnya tentang tata negara, bagaimana seorang pemimpin harus
dipilih, persyaratan-persyaratan untuk menjadi pemimpin, perjanjian dan kesepakatan
antara orang yang dipilih dengan yang memilih, merupakan bagian dari pemikirannya
yang brilian. Namun sebagai sebuah pemikiran tentunya akan terdapat beberapa
kelemahan atau kekurangan yang harus dipecahkan bersama dan dicari solusinya.

Daftar Pustaka

Abdul Karim Zaidan, Individu dan Negara menurut Pandangan Islam, dalam Hamidullah,
Politik Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Al-Mawardi, Al Ahkam al Sulthaniah wa al Wilayat al Diniyah, terj. Hukum Tata Negara


dan Kepemimpinan dalam Tataran Islam. Abdul Hayyi dan Kamaluddin Nurdin,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Ensiklopesia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houvem, 1999.

Muhammad Dhiya al Din al rais, Al Nazhariyat wal Siyasat al Islamiyat, Kairo: Maktabah
Misriyah 1960.

18

Anda mungkin juga menyukai