Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PANCASILA

Konflik Horizontal Antar Umat Beragama di Maluku


Berdasarkan Sila Kelima Pancasila

Disusun Oleh:
Aswin Hediprasetya (16/397157/EK/21113)

Intan Permatasari (17/411770/EK/21420)

Nadia Nurrahma (17/411783/EK/21433)

Novebian Saintiva (17/411785/EK/21435)

Elqi

Janet

Fakultas Ekonomika dan Bisnis


Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal itu
merupakan sebuah bukti bahwa sosialitas melekat erat dalam diri manusia. Sosialitas yang
merupakan terjemahan dari kata sociality memiliki arti kecenderungan untuk berkumpul
dengan manusia lain dan membentuk sebuah grup. Dalam sebuah perkumpulan itu tentunya
terdapat berbagai polemik yang berkaitan di dalamnya. Manusia cenderung memihak pada
orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Padahal, keadilan di dalam lingkup sosial
merupakan hal yang sangat penting mengingat manusia saling membutuhkan satu sama lain.

Pada kasus Konflik Maluku yang terjadi pada tahun 1999 sampai dengan 2002,
permasalahan yang terjadi sempat menjadi isu yang hangat dibicarakan sehingga menorehkan
sejarah. Konflik ini terjadi antara kaum muslim dengan kaum kristen yang ada di Maluku.
Rantai panjang diskriminasi kaum kristen sesudah masa kolonial hingga masa orde baru
mengakibatkan perpecahan ini terjadi . Pada masa kolonial, Maluku merupakan pulau yang
terkenal akan rempah-rempahnya sehingga negara-negara Eropa datang ke Pulau Maluku
untuk membeli rempah rempah. Didasarkan oleh teori 3G (gold, glory, gospel), mereka juga
menyebarkan agama kristen selama pelayaran mereka. Terjadilah praktik misionarisai Kristen
Protestan kepada warga lokal. Hal ini menjadikan Maluku Selatan dipenuhi oleh kaum
kristen, sedangkan Maluku Utara masih dalam kepemimpinan Kerajaan Islam Ternate.

Pada masa kolonialisme Belanda, masyarakat Maluku secara general dianggap pro
kepada pihak belanda. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya warga kristen maluku yang
menjadi birokrat dan militer. Hal ini berbanding terbalik dengan kaum islam maluku yang
sangat anti terhadap belanda sehingga tidak mendapatkan posisi yang bagus dalam masalah
birokrasi di Indonesia. Kondisi ini berbanding terbalik setelah indonesia merdeka. Kaum
kristen maluku mulai dianggap separatis karena sebagian besar tergabung dalam RMS yang
menginginkan Maluku untuk merdeka. Pada masa ini, kaum muslim mengambil alih posisi
birokrat yang sebelumnya sebagian besar diisi oleh kaum kristen. Pada saat itu juga, kaum
islam mulai mengkafirkan kaum kristen.

Disamping masalah agama dan politik, kaum kristen juga terdesak karena adanya
pedagang islam yang datang untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pedagang itu berasal dari
bugis, buton, dan makassar. Maka karena merasa terhimpit oleh islamisasi baik dalam
birokrasi maupun ekonomi kemudian pecahlah Konflik Maluku pada tahun 1999 sebagai
pelampiasan kaum Kristen Maluku terhadap kaum Islam baik kaum Islam Maluku asli
maupun pendatang.

1.2.Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Pancasila terhadap konflik Maluku ?

2. Bagaimana kronologi atau presses terjadinya konflik Maluku ?

3. Bagaimana solusi yang dilakukan untuk mengatasi konflik Maluku ?


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Objek Keilmuan

Objek Formal: Manusia atau masyarakat yang berperan sebagai mahluk sosial
Objek Material: Pancasila sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

2.2. Kronologi Konflik Maluku 1999-2002


Menurut Laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam Current Asia and the
Centre for Humanitarian Dialogue - Pengelolaan Konflik di Indonesia Sebuah Analisis
Konflik di Maluku, Papua dan Poso, 2011

1999 Januari Perkelahian jalanan yang kecil meningkat menjadi kerusuhan di


kota Ambon dan sekitarnya.
Maret Kekerasan massal menyebar ke pulau lain di Maluku.
Mei Kampanye pemilihan umum dimulai dan kekerasan berkurang
Juni Pemilihan umum
Juli Kekerasan massal dimulai lagi di kota Ambon
Oktober Provinsi Maluku Utara dipisah dari Provinsi Maluku.
Desember Konflik meningkat setelah gereja Silo dibakar dan pembantaian
terjadi di desa Muslim Tobelo di Maluku Utara.

2000 Mei Laskar Jihad tiba di Ambon.


Juni Pembantaian di Galela dekat Tobelo di Maluku Utara. Senjata
polisi dicuri dan disebarkan ke masyarakat sipil. Darurat sipil
diberlakukan di Maluku dan Maluku Utara dan ribuan tentara
dikerahkan.
Desember Front Kedaulatan Maluku (FKM) menyatakan kemerdekaan
Republik Maluku Selatan (RMS).

2001 Januari Batalyon Gabungan (Yongab) melakukan operasi pembersihan


dengan target kelompok garis keras Muslim.
Juni Yongab melakukan operasi pembersihan lainnya.

2002 Februari Perjanjian Damai Malino (Malino II) ditandatangani.


April Kantor pemerintahan provinsi Maluku dibakar. Desa Soya
diserang, setelah itu kekerasan mulai berkurang di Maluku.
Mei Pemimpin Laskar Jihad, Jafar Umar Talib dan FKM, Alex
Manuputti ditangkap.
Oktober Laskar Jihad hilang dari Maluku.
Pada fase awal konflik, target kekerasan adalah masyarakat muslim pendatang dari
Makassar, Buton, dan Bugis yang memiliki posisi dominan dalam pasar kerja dan sektor
tenaga kerja informal yang menimbulkan kebencian bagi umat Kristiani di wilayah Maluku.
Konflik mereda pada 1999 kemudia beralih pada masalah pemilihan umum di Ambon yang
akhirnya dimenangkan oleh PDI-P yang dianggap sebagai Partai Kristiani (karena di
dalamnya termasuk Partai Kristen Indonesia atau PARKINDO). Sejak diumumkannya PDI-P
sebagai pemenang, di Maluku mulai terjadi perang saudara, masing-masing warga berusaha
untuk mempertahankan agamanya. Puncak dari konflik adalah penyerang an terhadap Gereja
Silo yang merupakan Gereja Protestan Maluku terbesar setelah Hari Natal. Pada hari yang
sama, 800 muslim di masjid di Tobelo dibunuh oleh umat Kristiani. Peristiwa ini semakin
memperparah konflik antara umat Muslim dengan Kristiani di Maluku dan pihak militer dn
kepolisian pun tidak mampu untuk mengatasi hal tersebut. Ketidakmampuan pemerintah
untuk menangani kasus tersebut mendorong bangkitnya Front Kedaulatan Maluku, sebuah
gerakan yang mewarisi Republik Maluku Selatan. Konflik mulai merada pada tahun 2001
dan pada tahun 2002 diadakan perjanjian perdamaian yaitu Perjanjian Malino II. Konflik
terus berlanjut namun sudah berkurang intensitasnya. Pada tahun 2004, lebih dari 40 orang
tewas menyusul dengan berkibarnya bendera RMS di rumah pimpinan FKM. Kerusuhan
pecah lagi namun mereda dalam satu minggu. Menyusul kerusuhan ini, pemboman kecil
terjadi namun tidak memicu reaksi keras dari masyarakat lokal.

2.3. Sudut Pandang Pancasila terhadap Konflik Maluku

Keadilan sosial memiliki unsur pemerataan, persamaan, dan kebebasan yang bersifat
komunal. Menurut sila ke-5 Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, konflik Maluku sepatutnya tidak terjadi karena melanggar nilai-nilai yang
terkandung dalam sila ke-5 Pancasila, utamanya dalam hal diskriminasi sosial. Sila ke-5
Pancasila memberi pedoman kepada warga negara Indonesia untuk bersikap adil di
lingkungan sosial tanpa terkecuali, mengingat Indonesia merupakan negara kepualan yang
terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras. Keadilan sosial merupakan hak bagi seluruh warga
negara Indonesia seperti yang dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu
semua warga negara Indonesia perlu mengembangkan sikap adil terhadap bersama, menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan menghormati hak-hak orang lain.

2.4. Penyelesaian Konflik

Konflik berkepanjangan yang terjadi di Maluku setidaknya banyak memunculkan


pertanyaan dari berbagai pihak. Kapan konflik akan selesai? Terjadinya konflik yang
berkepanjangan tidak hanya menjatuhkan korban dari pihak yang bertikai namun juga dari
pihak-pihak yang berada di wilayah pertikaian namun mereka tidak memihak antara pihak
satu dan pihak dua. Mereka hanya ingin keadilan dan penyelesaian dari konflik yang tidak
pernah terselesaikan selama empat tahun. Empat tahun tentu bukan waktu yang singkat bagi
para korban konflik tersebut. Satu hari mungkin terhitung hari yang cukup panjang bagi
mereka menjalani hari-hari di tengah konflik yang terjadi. Dalam konflik ini peran
pemerintah cukup dibutuhkan sebagai penengah konflik ini namun sampai manakah peran
pemerintah hingga konflik ini terjadi selama empat tahun? Menurut Lindawanty (2011)
dalam menyelesaikan suatu konflik terdapat dua cara penyelesaian konflik, yaitu
penyelesaian konflik secara persuasif (persuasive) dan penyelesaian konflik secara kekerasan
atau koersif (coercive). Berdasarkan 2 jenis tersebut memang hal yang paling ideal adalah
menyelesaikan konflik dengan cara persuasive karena menghasilkan titik temu keinginan
antar 2 pihak yang bertikai namun memliki kelemahan karena membutuhkan waktu yang
terbilang lama. Sedangkan penyelesaian konflik secara kekerasan (koersif) memang selesai
dalam jangka waktu pendek namun dapat menyelesaikan masalah atau konflik baru.

Penyelesaian konflik antar agama yang terjadi di Maluku telah diselesaikan melalui
Perjanjian Malino II, namun ada beberapa upaya yang telah diusahakan oleh pemerintah
sebelum akhirnya Perjanjian Malino II disetujui oleh pihak yang bertikai. Sebelumnya,
Gubernur Maluku pada saat itu membentuk sebuah tim informal pemimpin agama, Tim 6,
yang bertugas mereka adalah untuk mencegah penghancuran gereja - gereja, mesjid - mesjid
dan rumah rumah, dan untuk menghentikan menyebarnya kekerasan di kota Ambon. Tim
tersebut terdiri atas enam pemimpin agama dari komunitas Muslim, Katolik dan Protestan
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2011). Sayang, anggota dari tim tersebut nampak
tidak serius dan komit dalam menjalankan tugasnya sehingga pembentukan tim tersebut tidak
berdampak besar dalam penyelesaian konflik tersebut. Peran aparat keamanan seperti TNI
dan Polisi juga tidak cukup membendung terjadinya konflik horizontal yang terjadi di
Maluku karena saat itu pemerintah lebih memusatkan aparat keamanan di wilayah Timor-
Timor yang dalam waktu bersamaan juga terjadi konflik antara penduduk dengan pemerintah.
Melihat kosongnya peran pemerintah dalam menangani konflik tersebut LSM local hinga
internasional tidak berdiam diri. LSM menjadi penyedia bantuan kemanusiaan, sanitasi,
pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya terutama untuk pengungsi. Di tengah
konflik yang terjadi tentu cukup berat bagi LSM untuk menyalurkan bantuan pada pengungsi
karena sulitnya menjamah wilayah konflik tersebut.

Akhirnya di tahun 2002, pemerintah pusat memimpin proses perdamaian, yang sangat
singkat dalam standar komparatif untuk penandatanganan perjanjian damai Malino II pada 11
Februari di pegunungan Malino di Sulawesi Selatan. Dua tokoh dari Pemerintah pusat yang
berperan dalam melaksanakannya adalah Menteri Kordinator Urusan Politik, Hukum ,Susilo
Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
sedangkan ada juga perwakilan dari kedua belah pihak yang bertikai yaitu 35 orang Muslim
dan 34 orang Kristen. Dari perundingan ini dihasilkan 11 poin yaitu (Lindawaty, 2011):

1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan.

2. Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena

itu, aparat harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.

3. Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan.

4. Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang
berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan memperhatikan budaya
setempat.

5. Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku
dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum
yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan
Maluku.

6. Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan
Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa.

7. Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik.


8. Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum
seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa depan
seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu,
segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi dan
sosial berjalan dengan baik.

9. Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat
diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI/ Polri sesuai fungsi dan tugasnya.
Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan
fungsinya.

10. Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan
Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang
dan ketentuan lain tanpa pemaksaan.

11. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan
bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan
prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.

Melalui perjanjian ini, konflik antar umat Islam dan Kristen dianggap berakhir secara
resmi. Pasca perjanjian tersebut Maluku khususnya Ambon mulai menata kehidupan
perkenomian, social dan budaya masyarakatnya.
BAB 3

KESIMPULAN

Konflik antar umat beragama yang terjadi di Maluku merupakan bentuk dari
kecemburuan sosial yang tidak segera ditangani dengan kekeluargaan namun dibiarkan
menumpuk dan tumbuh di tubuh-tubuh masing kelompok. Terjadinya konflik ini, tentu
menodai sejarah toleransi antar umat beragama di Indonesia dan juga melukai nilai Pancasila.
Khusunya nilai Pancasila pada sila kelima yang mengandung arti keadilan sosial bagi seluruh
rakyat di Indonesia. Adanya konflik panjang yang terjadi di Maluku menandakan bahwa tiap
kelompok merasa belum mendapat keadilan sosial dan ditambah pula dengan toleransi yang
kurang mengakar diantara kedua kubu tersebut. Berlangsungnya konflik horizontal yang
terjadi di Maluku memang menorehkan sejarah kelam entah bagi pelaku maupun korban.
Penyelesaian yang akhirnya berujung damai dan perjanjian antara kedua belah pihak
membuktikan bahwa tiap diri manusia selalu ada sisi ingin adanya kedamaian di
lingkungannya. Dengan selesainya konflik yang terjadi di Maluku maka berkahir pula amarah
dan kekerasan yang pernah terjadi antara kedua belah pihak tersebut. Kedua belah pihak yang
pernah berseteru juga mulai bahu membahu membangun Maluku yang damai dan nyaman
ditinggali bagi seluruh warganya tanpa melihat asal, ras, dan agama yang dia anut.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2011). Pengelolaan Konflik di Indonesia Sebuah
Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso. Switzerland: The Centre for
Humanitarian Dialogue.

Lindawaty, D. S. (2011). Konflik Ambon: Kajian terhadap Beberapa Akar Permasalahan dan
Solusinya. Politica, 299.

Anda mungkin juga menyukai