Disusun Oleh:
Aswin Hediprasetya (16/397157/EK/21113)
Elqi
Janet
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal itu
merupakan sebuah bukti bahwa sosialitas melekat erat dalam diri manusia. Sosialitas yang
merupakan terjemahan dari kata sociality memiliki arti kecenderungan untuk berkumpul
dengan manusia lain dan membentuk sebuah grup. Dalam sebuah perkumpulan itu tentunya
terdapat berbagai polemik yang berkaitan di dalamnya. Manusia cenderung memihak pada
orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Padahal, keadilan di dalam lingkup sosial
merupakan hal yang sangat penting mengingat manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Pada kasus Konflik Maluku yang terjadi pada tahun 1999 sampai dengan 2002,
permasalahan yang terjadi sempat menjadi isu yang hangat dibicarakan sehingga menorehkan
sejarah. Konflik ini terjadi antara kaum muslim dengan kaum kristen yang ada di Maluku.
Rantai panjang diskriminasi kaum kristen sesudah masa kolonial hingga masa orde baru
mengakibatkan perpecahan ini terjadi . Pada masa kolonial, Maluku merupakan pulau yang
terkenal akan rempah-rempahnya sehingga negara-negara Eropa datang ke Pulau Maluku
untuk membeli rempah rempah. Didasarkan oleh teori 3G (gold, glory, gospel), mereka juga
menyebarkan agama kristen selama pelayaran mereka. Terjadilah praktik misionarisai Kristen
Protestan kepada warga lokal. Hal ini menjadikan Maluku Selatan dipenuhi oleh kaum
kristen, sedangkan Maluku Utara masih dalam kepemimpinan Kerajaan Islam Ternate.
Pada masa kolonialisme Belanda, masyarakat Maluku secara general dianggap pro
kepada pihak belanda. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya warga kristen maluku yang
menjadi birokrat dan militer. Hal ini berbanding terbalik dengan kaum islam maluku yang
sangat anti terhadap belanda sehingga tidak mendapatkan posisi yang bagus dalam masalah
birokrasi di Indonesia. Kondisi ini berbanding terbalik setelah indonesia merdeka. Kaum
kristen maluku mulai dianggap separatis karena sebagian besar tergabung dalam RMS yang
menginginkan Maluku untuk merdeka. Pada masa ini, kaum muslim mengambil alih posisi
birokrat yang sebelumnya sebagian besar diisi oleh kaum kristen. Pada saat itu juga, kaum
islam mulai mengkafirkan kaum kristen.
Disamping masalah agama dan politik, kaum kristen juga terdesak karena adanya
pedagang islam yang datang untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pedagang itu berasal dari
bugis, buton, dan makassar. Maka karena merasa terhimpit oleh islamisasi baik dalam
birokrasi maupun ekonomi kemudian pecahlah Konflik Maluku pada tahun 1999 sebagai
pelampiasan kaum Kristen Maluku terhadap kaum Islam baik kaum Islam Maluku asli
maupun pendatang.
1.2.Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Objek Formal: Manusia atau masyarakat yang berperan sebagai mahluk sosial
Objek Material: Pancasila sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial memiliki unsur pemerataan, persamaan, dan kebebasan yang bersifat
komunal. Menurut sila ke-5 Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, konflik Maluku sepatutnya tidak terjadi karena melanggar nilai-nilai yang
terkandung dalam sila ke-5 Pancasila, utamanya dalam hal diskriminasi sosial. Sila ke-5
Pancasila memberi pedoman kepada warga negara Indonesia untuk bersikap adil di
lingkungan sosial tanpa terkecuali, mengingat Indonesia merupakan negara kepualan yang
terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras. Keadilan sosial merupakan hak bagi seluruh warga
negara Indonesia seperti yang dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu
semua warga negara Indonesia perlu mengembangkan sikap adil terhadap bersama, menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan menghormati hak-hak orang lain.
Penyelesaian konflik antar agama yang terjadi di Maluku telah diselesaikan melalui
Perjanjian Malino II, namun ada beberapa upaya yang telah diusahakan oleh pemerintah
sebelum akhirnya Perjanjian Malino II disetujui oleh pihak yang bertikai. Sebelumnya,
Gubernur Maluku pada saat itu membentuk sebuah tim informal pemimpin agama, Tim 6,
yang bertugas mereka adalah untuk mencegah penghancuran gereja - gereja, mesjid - mesjid
dan rumah rumah, dan untuk menghentikan menyebarnya kekerasan di kota Ambon. Tim
tersebut terdiri atas enam pemimpin agama dari komunitas Muslim, Katolik dan Protestan
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2011). Sayang, anggota dari tim tersebut nampak
tidak serius dan komit dalam menjalankan tugasnya sehingga pembentukan tim tersebut tidak
berdampak besar dalam penyelesaian konflik tersebut. Peran aparat keamanan seperti TNI
dan Polisi juga tidak cukup membendung terjadinya konflik horizontal yang terjadi di
Maluku karena saat itu pemerintah lebih memusatkan aparat keamanan di wilayah Timor-
Timor yang dalam waktu bersamaan juga terjadi konflik antara penduduk dengan pemerintah.
Melihat kosongnya peran pemerintah dalam menangani konflik tersebut LSM local hinga
internasional tidak berdiam diri. LSM menjadi penyedia bantuan kemanusiaan, sanitasi,
pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya terutama untuk pengungsi. Di tengah
konflik yang terjadi tentu cukup berat bagi LSM untuk menyalurkan bantuan pada pengungsi
karena sulitnya menjamah wilayah konflik tersebut.
Akhirnya di tahun 2002, pemerintah pusat memimpin proses perdamaian, yang sangat
singkat dalam standar komparatif untuk penandatanganan perjanjian damai Malino II pada 11
Februari di pegunungan Malino di Sulawesi Selatan. Dua tokoh dari Pemerintah pusat yang
berperan dalam melaksanakannya adalah Menteri Kordinator Urusan Politik, Hukum ,Susilo
Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
sedangkan ada juga perwakilan dari kedua belah pihak yang bertikai yaitu 35 orang Muslim
dan 34 orang Kristen. Dari perundingan ini dihasilkan 11 poin yaitu (Lindawaty, 2011):
4. Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang
berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan memperhatikan budaya
setempat.
5. Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku
dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum
yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan
Maluku.
6. Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan
Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa.
9. Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat
diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI/ Polri sesuai fungsi dan tugasnya.
Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan
fungsinya.
10. Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan
Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang
dan ketentuan lain tanpa pemaksaan.
11. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan
bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan
prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.
Melalui perjanjian ini, konflik antar umat Islam dan Kristen dianggap berakhir secara
resmi. Pasca perjanjian tersebut Maluku khususnya Ambon mulai menata kehidupan
perkenomian, social dan budaya masyarakatnya.
BAB 3
KESIMPULAN
Konflik antar umat beragama yang terjadi di Maluku merupakan bentuk dari
kecemburuan sosial yang tidak segera ditangani dengan kekeluargaan namun dibiarkan
menumpuk dan tumbuh di tubuh-tubuh masing kelompok. Terjadinya konflik ini, tentu
menodai sejarah toleransi antar umat beragama di Indonesia dan juga melukai nilai Pancasila.
Khusunya nilai Pancasila pada sila kelima yang mengandung arti keadilan sosial bagi seluruh
rakyat di Indonesia. Adanya konflik panjang yang terjadi di Maluku menandakan bahwa tiap
kelompok merasa belum mendapat keadilan sosial dan ditambah pula dengan toleransi yang
kurang mengakar diantara kedua kubu tersebut. Berlangsungnya konflik horizontal yang
terjadi di Maluku memang menorehkan sejarah kelam entah bagi pelaku maupun korban.
Penyelesaian yang akhirnya berujung damai dan perjanjian antara kedua belah pihak
membuktikan bahwa tiap diri manusia selalu ada sisi ingin adanya kedamaian di
lingkungannya. Dengan selesainya konflik yang terjadi di Maluku maka berkahir pula amarah
dan kekerasan yang pernah terjadi antara kedua belah pihak tersebut. Kedua belah pihak yang
pernah berseteru juga mulai bahu membahu membangun Maluku yang damai dan nyaman
ditinggali bagi seluruh warganya tanpa melihat asal, ras, dan agama yang dia anut.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2011). Pengelolaan Konflik di Indonesia Sebuah
Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso. Switzerland: The Centre for
Humanitarian Dialogue.
Lindawaty, D. S. (2011). Konflik Ambon: Kajian terhadap Beberapa Akar Permasalahan dan
Solusinya. Politica, 299.