Pendahuluan
Hingga saat ini ditengarai bahwa metode mengajar di sekolah dasar dan sekolah menengah
masih banyak menggunakan metode mengajar secara informatif (Sukron, 2000). Pengajar lebih
banyak berbicara dan bercerita sedangkan murid hanya mendengarkan atau mencatat yang
disampaikan. Para pengajar di sekolah-sekolah lebih menitikberatkan pada kemampuan kognitif. Hal
ini didorong oleh rasa tanggung jawab mereka kepada masyarakat yaitu mencetak lulusan dengan nilai
yang bagus, walaupun kompetensi yang lain belum tentu terpenuhi
Pada tingkat SMA/MA, Fisika dipandang penting untuk diajarkan sebagai mata pelajaran
tersendiri bukan bagian dari IPA. Selain memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, mata pelajaran
fisika merupakan wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran fisika membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman dan
kemampuan yang berguna untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta bekal untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), salah satu standar kompetensi
yang dikembangkan pada mata pelajaran sains di SD, fisika di SMP dan SMA adalah kemampuan
melakukan kerja ilmiah. Kemampuan itu dikembangkan melalui pengalaman langsung (hands-on)
dengan melakukan penyelidikan atau percobaan sains di laboratorium atau kelas. Penyelidikan atau
percobaan yang dilaksanakan baik di laboratorium maupun di dalam kelas dapat melatih keterampilan
proses sains siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru Fisika di SMA Negeri 1 Singkil,
pembelajaran Fisika di SMA tersebut sampai saat ini kurang dapat menumbuhkan keterampilan proses
sains siswa. Pembelajaran difokuskan pada aspek kognitif, sedangkan aspek psikomotorik dan aspek
afektif kurang diperhatikan. Hal ini menyebabkan kesempatan siswa untuk terlibat dalam proses
belajar dan kesempatan untuk mengembangkan diri berkurang. Salah satu prinsip psikologi belajar
menyatakan bahwa semakin besar keterlibatan siswa dalam kegiatan, maka semakin besar kesempatan
untuk mengalami proses belajar. Proses belajar meliputi semua aspek yang menunjang siswa menuju
ke pembentukan manusia seutuhnya (a fully functioning person) (Amien, 1987). Hal ini berarti
pembelajaran yang baik harus meliputi aspek psikomotorik, aspek afektif, dan aspek kognitif. Untuk
itu, guru fisika harus berusaha agar siswa tidak hanya belajar memahami konsep-konsep dan prinsip-
prinsip, tetapi siswa juga mengalami proses belajar tentang pengarahan diri sendiri, tanggung jawab,
dan komunikasi sosial melalui Problem Based Instruction.
Problem Based Instruction merupakan suatu model pengajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa pada masalah autentik. Masalah autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah
yang sering ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan PBI siswa dilatih menyusun sendiri
pengetahuannya, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mandiri serta meningkatkan
kepercayaan diri. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat membentuk makna dari
bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu
dapat digunakan lagi (Nurhadi, 2004).
Dalam KTSP, fluida merupakan salah satu pokok bahasan mata pelajaran fisika di kelas XI
semester 2. Pokok bahasan fuida merupakan suatu materi yang sangat dekat dengan kehidupan nyata.
Banyak peristiwa-peristiwa yang kita jumpai sehari-hari menggunakan prinsip-prinsip dalam materi
fluida. Sebagai contoh, pompa hidrolik ban sepeda merupakan penerapan hukum Pascal. Balon udara,
galangan kapal, dan hidrometer merupakan penerapan hukum Archimedes. Dengan demikian, penulis
berasumsi bahwa materi fluida sesuai apabila dalam penyampaiannya menggunakan model pengajaran
berbasis masalah.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana meningkatkan keterampilan proses
sains siswa menggunakan model pengajaran Problem Based Instruction?. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana meningkatkan keterampilan proses sains siswa pada pokok bahasan
Fluida melalui model pengajaran dengan Problem Based Instruction.
Mata pelajaran Fisika di SMA dikembangkan dengan tujuan untuk mengembangkan observasi
dan eksperimentasi (Depdiknas, 2002). Hal ini didasari oleh tujuan pembelajaran sains, yakni
mengamati, memahami dan memanfaatkan gejala-gejala alam yang melibatkan materi (zat) dan energi.
Kemampuan observasi dan eksperimentasi ini lebih lebih ditekankan pada melatih kemampuan
berpikir eksperimental yang mencakup tata laksana percobaan dengan mengenal peralatan yang
digunakan dalam pengukuran baik di laboratorium maupun di luar laboratorium. Dengan kemampuan
matematis yang dimiliki dari pelajaran matematika, siswa dilatih untuk mengembangkan kemampuan
berpikir. Kemampuan berpikir ini dilatih melalui pengelolaan data yang selanjutnya dengan perangkat
matematis dibangun konsep, prinsip, hukum dan teori.
Wayne Welch dosen sains Universitas Minnesota, berargumentasi bahwa teknik-teknik yang
dibutuhkan untuk pembelajaran sains yang efektif sama dengan teknik yang digunakan untuk
penyelidikan ilmiah yang efektif. Jadi, metode-metode yang digunakan dalam pembelajaran fisika
merupakan metode yang digunakan fisikawan. Metode penyelidikan ilmiah ini sering kita sebut
sebagai proses inkuiri. Welch mengidentifikasi lima metode penyelidikan ilmiah:
1. Pengamatan. Sains diawali dengan pengamatan materi atau gejala. Pengamatan merupakan
langkah permulaan untuk penyelidikan ilmiah. Namun, seperti yang dikemukakan Welch,
pengajuan pertanyaan merupakan aspek yang penting dari proses pengamatan.
2. Pengukuran. Deskripsi kuantitatif suatu objek dan gejala merupakan praktek sains yang
diterima dan diinginkan. Sebab, deskripsi yang presisi dan akurat akan memperoleh
penghargaan yang tinggi dalam sains.
3. Eksperimentasi. Eksperimen-eksperimen yang dirancang untuk menguji pertanyaan-
pertanyaan dan ide-ide merupakan landasan sains. Eksperimen melibatkan pertanyaan,
pengamatan dan pengukuran.
4. Komunikasi. Mengkomunikasikan hasil ke masyarakat ilmiah dan masyarakat umum
merupakan kewajiban ilmuwan. Nilai-nilai yang independen dan penuh kejujuran dalam
melaporkan hasil pengamatan dan pengukuran merupakan hal utama dalam penyampaian.
Pada umumnya komunikasi dilakukan melalui publikasi di jurnal, diskusi dan seminar.
5. Proses-proses mental. Welch memberikan beberapa proses berpikir yang merupakan bagian
dari penyelidikan ilmiah yaitu: penalaran induktif, merumuskan hipotesis dan teori, penalaran
deduktif, analogi, ekstrapolasi, sintesis dan evaluasi. Proses-proses mental dalam penyelidikan
ilmiah melibatkan proses-proses lainnya semacam penggunaan imajinasi dan intuisi.
Dari beberapa uraian tentang hubungan fisika dengan pengetahuan lain dan dari metode
penyelidikan ilmiah yang dikemukakan oleh Welch, dapat diketahui karakteristik mata pelajaran
fisika. Seperti mata pelajaran yang lain, hasil yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran fisika
adalah penguasaan materi. Mata pelajaran fisika disampaikan melalui proses penyelidikan ilmiah.
Dalam proses penyelidikan ilmiah, siswa dilatih untuk menumbuhkan dan mengembangkan
keterampilan proses sains dan sikap ilmiah. Oleh karena itu, dengan proses pembelajaran yang
berulang-ulang, tidak hanya penguasaan materi saja yang tercapai akan tetapi keterampilan proses
sains dan sikap ilmiah siswa dapat terbentuk. Hal inilah yang menjadi karakteristik dari pelajaran
fisika.
Problem Based Instruction merupakan suatu model pengajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa pada masalah autentik. Masalah autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah
yang sering ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan PBI siswa dilatih menyusun sendiri
pengetahuannya, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mandiri serta meningkatkan
kepercayaan diri. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat membentuk makna dari
bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu
dapat digunakan lagi (Nurhadi, 2004).
Problem Based instruction dikenal dengan nama lain seperti pembelajaran proyek (Project-
based teaching), pendidikan berdasarkan pengalaman (Experience-based education), pembelajaran
autentik (Authentic Learning), dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata (Anchored
Instruction). Pengajaran berdasarkan masalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pengajaran berdasarkan masalah diawali dengan guru
mengajukan pertanyaan dan masalah yang secara sosial dianggap penting dan secara pribadi
bermakna untuk siswa. Sebagai contoh, pada pembelajaran materi fluida statis yaitu melayang,
terapung, dan tenggelam dapat diajukan pertanyaan tentang cara membedakan telur yang masih
segar dengan telur yang sudah busuk.
2. Terintegrasi dengan disiplin ilmu yang lain. Meskipun PBI berpusat pada mata pelajaran tertentu
(IPA, matematika, dan ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah ditentukan secara
pasti agar dalam pemecahannya siswa meninjau dari banyak mata pelajaran. Sebagai contoh,
permasalahan dalam materi fluida statis pokok bahasan prinsip Archimedes yaitu penyebab kapal
yang terbuat dari besi tidak tenggelam di laut. Penyelesaian permasalahan ini melibatkan ilmu
lain seperti matematika dalam perhitungan dan kimia dalam analisis masalah.
3. Penyelidikan autentik. PBI menuntut siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari
penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Sebagai contoh, permasalahan dalam materi fluida
statis yaitu melayang, terapung, dan tenggelam. Permasalahannya adalah cara membedakan telur
masak dengan telur mentah. Untuk mengetahui jawabannya maka harus dilakukan penyelidikan
langsung.
4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBI menuntut siswa untuk menghasilkan
produk yang mewakili bentuk pemecahan masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa
laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Dalam pembelajaran materi fluida,
produk yang dapat dihasilkan berupa laporan.
5. Kerjasama. PBI mempunyai ciri khusus yaitu siswa bekerja sama dalam kelompok kecil. Adapun
keuntungan bekerja sama dalam kelompok kecil di antaranya siswa dapat saling memberikan
motivasi dalam tugas-tugas kelompok dan dapat mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan berpikir.
Proses pembelajaran Fisika dikenal beberapa pendekatan diantaranya adalah pendekatan fakta,
pendekatan kosep, dan pendekatan keterampilan proses sains. Menurut
Ardana, pengajaran yang berdasarkan fakta akan cepat terkikis dan ketinggalan zaman, sebab
informasi tidak terangkum menjadi satu dan tidak dilandasi oleh pemahaman urutan informasinya.
Oleh karena itu informasi tidak berakar pada diri siswa tetapi akan cepat hilang. Sedangkan menurut
Funk, pendekatan konsep lebih baik daripada pendekatan fakta. Pada pendekatan konsep informasi
sudah tersusun secara urut.
Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Subiyanto menyebutkan
bahwa keterampilan proses merupakan pendekatan proses dalam pengajaran ilmu pengetahuan alam
didasarkan atas pengamatan terhadap apa yang dilakukan oleh seorang ilmuwan. Keterampilan proses
tersebut dibagi menjadi dua, yaitu keterampilan dasar dan keterampilan terintegrasi.
1. Keterampilan Proses Dasar. Keterampilan proses dasar meliputi keterampilan-keterampilan
observasi, klasifikasi, komunikasi, pengukuran, prediksi, dan penarikan kesimpulan.
2. Keterampilan Proses Terintegrasi. Adapun keterampilan-keterampilan proses terintegrasi antara
lain, identifikasi variabel, penyusunan tabel data, penyusunan grafik, pemrosesan data, analisis
investigasi, penyusunan hipotesis, penyusunan variabel-variabel secara operasional, perancangan
investigasi, dan eksperimen. Menurut Semiawan (1992) kemampuan atau keterampilan mendasar
itu antara lain adalah kemampuan atau keterampilan mengamati termasuk menghitung, mengukur,
dan mengklasifikasi, membuat hipotesis, merencanakan penelitian, mengendalikan variabel,
menafsirkan data, menyusun kesimpulan, sementara, memprediksi, mengaplikasikan,
mengkomunikasikan. Menurut Mundilarto dalam Somantri (2005), keterampilan proses meliputi
mengamati, mengklasifikasikan, berkomunikasi, mengukur, memprediksi, dan membuat inferensi.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri atas 3 siklus dimana
setiap siklus terdiri atas Planning, Acting, Observation, dan Reflecting. Penelitian dilaksanakan di
kelas XI IPA-2 SMA Negeri 1 Singkil. Subjek penelitian berjumlah 32 siswa dimana peneliti
merupakan guru pengajar mata pelajaran Fisika pada kelas tersebut. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Teknik tes. Teknik pengumpulan data dengan tes meliputi tes tertulis dan lembar kerja siswa
(LKS). Tes digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep siswa selama kegiatan
pembelajaran. Lembar kerja siswa terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan materi
pelajaran yang bertujuan membantu siswa dalam membuat perencanaan percobaan yang akan
dilaksanakan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.
2. Teknik non tes. Teknik non tes yang digunakan berupa observasi. Observasi dalam penelitian ini
adalah pengamatan langsung pada saat kegiatan praktikum untuk mengungkap tentang aktivitas
dan sikap siswa selama pelaksanaan praktikum.
Setelah data terkumpul, data di analisis dengan menghitung rata rata perolehan skor
pemahaman siswa. Siswa yang mendapat nilai kurang dari 65 dinyatakan mengalami kesulitan belajar,
sedangkan siswa yang mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 65 dinyatakan tuntas belajar.
Sedangkan untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep siswa dan menganalisis hasil observasi
digunakan rumus distribusi prosentase. Analisis data untuk keterampilan proses sains tiap siklus.
Untuk melihat kecenderungan peningkatan keterampilan proses sains dari siklus I ke berikutnya secara
keseluruhan maka data dianalisis dengan menggunakan rata-rata prosentase.
Adapun indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah :
1. Adanya peningkatan prosentase penguasaan keterampilan proses sains selama pembelajaran
pada setiap siklusnya.
2. Ketuntasan pemahaman materi dinyatakan jika prosentase siswa yang tuntas belajar atau siswa
yang mendapatkan nilai 65 % berjumlah 85% dari seluruh siswa di kelas.
3. Keberhasilan untuk keterampilan proses sains siswa dinyatakan jika prosentase siswa yang
mendapatkan skor 75% berjumlah 85% dari seluruh siswa di kelas (Mulyasa, 2002)
4. Ketuntasan afektif dinyatakan jika prosentase siswa yang tuntas belajar atau siswa yang
mendapatkan nilai 60 % berjumlah 75% dari seluruh siswa di kelas (Prihatiningsih, 2003).
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam tiga siklus, masing-masing siklus membahas
materi yang berbeda. Siklus I membahas materi prinsip Archimedes, siklus II membahas materi
melayang, mengapung, dan tenggelam, siklus III membahas materi viskositas. Dari ketiga siklus
tersebut diperoleh hasil penelitian berupa penguasaan keterampilan proses sains, pemahaman materi,
dan sikap ilmiah siswa.
1. Keterampilan proses sains.
Pengembangan keterampilan proses sains untuk siswa kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Singkil
pada pokok bahasan fluida, dibagi menjadi beberapa komponen yaitu komponen merencanakan,
melaksanakan, dan mengkomunikasikan. Penguasaan keterampilan proes sains tersebut dapat dilihat
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Prosentase pengembangan keterampilan proses sains
Komponen Keterampilan Siklus I Siklus II Siklus III
Proses Sains (%) (%) (%)
1. Merencanakan
Pemahaman konsep 70.39 73.49 72.84
Menentukan alat bahan 72.33 83.49 96.51
Menentukan langkah kerja 70.30 68.73 96.12
Rata-rata tiap komponen 70.60 71.97 80.65
2. Melaksanakan
Menyiapkan alat dan bahan 67.91 68.84 82.79
Melakukan percobaan 52.09 60.47 89.77
Melakukan pengambilan data 63.26 63.26 78.60
Merapikan alat dan bahan 53.26 75.12 85.81
Rata-rata tiap komponen 59.13 66.92 82.24
3. Mengkomunikasikan
Hasil pengamatan 67.91 86.51 88.84
Analisis data 52.56 82.79 79.07
Pembahasan 34.57 74.42 76.74
Kesimpulan 52.09 82.79 80.70
Rata-rata penguasaan tiap
46.91 79.73 79.93
komponen
Rata-rata keterampilan proses sains
62.02 72.43 81.67
tiap siklus
Ketuntasan klasikal 6.98 53.49 88.37
Pada Tabel 1 terlihat prosentase penguasaan keterampilan proses sains tiap siklus. Prosentase
penguasaan untuk setiap komponen dari siklus I sampai dengan siklus III meningkat. Pada siklus I
indicator prosentase penguasaan keterampilan proses sains belum memenuhi indicator keberhasilan
yaitu 75 %. Kemudian pada siklus III prosentase penguasaan meningkat dan memenuhi Indikator
keberhasilan. Secara keseluruhan, prosentase penguasaan ketiga komponen keterampilan proses sains
dari siklus I sampai siklus III mengalami peningkatan. Adapun prosentase penguasaan untuk siklus III
adalah sebesar 88.37%.
2. Pemahaman Materi.
Pemahaman materi siswa diperoleh dengan desain evaluasi melalui tes awal dan tes akhir. Hasil
tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat kemampuan pemahaman materi siswa
mengalami peningkatan dari sebelum pembelajaran dan sesudah pembelajaran. Ketuntasan klasikal
sesudah pembelajaran sebesar 97.67%.
Tabel 2. Tingkat Pemahaman materi
Nilai Nilai Ketuntasan
Tes rata-rata
tertinggi terendah klasikal
Siklus I 94 22 68.63 58.14%
Siklus II 94 45 76.43 73.2%
Siklus II 96 64 82.9 97.67%
3. Sikap ilmiah (kemampuan afektif)
Sikap yaitu kemampuan afektif siswa diperoleh melalui lembar observasi. Hasil tersebut
dapat dilihat dalam Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat sikap ilmiah siswa mengalami peningkatan dari
siklus I sampai siklus III. Untuk ketuntasan klasikal dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar
2.32%. Untuk siklus II ke siklus III meningkat sebesar 25.58 %.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diungkapkan, didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penerapan model PBI dalam pembelajaran dapat meningkatkan keterampilan proses sains
siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
2. Pelakanaan model PBI untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa yaitu dengan
pengajuan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, kemudian siswa
dikelompokkan secara bervariasi untuk melakukan penyelidikan ilmiah. Siswa dituntut untuk
melaporkan hasil penyelidikan ilmiah dan menyimpulkan pemecahan dari masalah yang telah
diajukan.
3. Keterampilan proses sains yang dapat dikembangkan dengan pelaksanaan model PBI ini antara
lain Keterampilan merencanakan, meliputi pemahaman konsep, menentukan alat dan bahan,
serta menentukan langkah kerja. Keterampilan melaksanakan, meliputi menyiapkan alat dan
bahan, melaksanakan percobaan, melakukan pengambilan data, dan merapikan kembali alat dan
bahan. Keterampilan mengkomunikasikan, meliputi menuliskan hasil pengamatan,
menganalisis data, membuat pembahasan dan menyimpulkan.
Daftar Pustaka
Amien, Moh. 1987. Mengajar Ilmu Pengetahuan (IPA) dengan Metode Discovery dan Inquiry.
Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. 2003 a. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains SMP dan MTS.
Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Nurhadi, Burhan Y., Agus G. S. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang : Universitas Negeri Malang.
Semiawan C., A.F. Tangyong., S. Belen., Yulaeawati M., dan Wahjudi S. 1992. Pendekatan
Keterampilan Proses. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Somantri, Sandi. 2005. Pengembangan Keterampilan Proses Sains bagi Mahasiswa Calon Guru melalui
Paraktikum Fisika Dasar Pokok Bahasan Gelombang. Skripsi
Mulyasa, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosdakarya.
Priatiningsih, Titi. 2003. Pengembangan Instrumen penilaian Biologi. Semarang: Depdikbud.
Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.