Anda di halaman 1dari 11

IDEOLOGI dan POLITIK

A. PENGERTIAN IDEOLOGI

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Katanya sendiri diciptakan


oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains
tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif,
sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung),
sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai
serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan
kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah 'aqliyyah (akidah yang
sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam
kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam
semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan
setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah
alam kehidupan. Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika
memiliki dua syarat, yakni:
Ide yang meliputi aqidah 'aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Jadi,
ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika
kehidupan.
Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan
ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar
wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa
pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara
operasional dalam kehidupan.
Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di
atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham.
B. IDEOLOGI POLITIK

Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan
prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan
menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik
biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan
bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich
Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap
sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada
abad 20. Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme,
komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi
kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme,
libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Di Indonesia sendiri, sebelum era 66 atau pra masa Orde Baru menguasai
pemerintahan, dikenal beberapa aliran atau ideologi politik yang menurut
Herbert Feith dan Lance Castles membentuk teori tapal kuda, yang dari
kiri ke kanan berturut-turut, yaitu : 1. Komunisme (PKI), 2. Nasionalisme
Radikal (PNI), 3. Sosialisme Demokrat (PSI), 3. Tradisionalisme Jawa
(PIR), 5. Islam (Masyumi dan NU). Perkembangan ideologi politik pada
masa Orde Baru nyatanya dipropaganda dengan menetapkan Pancasila,
selain sebagai pandangan hidup dan dasar negara, ia juga harus diambil
sebagai ideologi politik suatu partai. Sehingga kemudian yang tersedia
hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang beraliran Islam,
Golongan Karya (Golkar) yang pragmatis sebagai partai pemerintah, dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang nasionalisme radikal. Ketiga
wadah politik ini wajib menggunakan Pancasila sebagai ideologi
politiknya masing-masing.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang
kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik
adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan
sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan
budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang
menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.

C. IDEOLOGI POLITIK INDONESIA

Dari pengertian di atas, ideologi politik Indonesia boleh jadi disamakan


dengan ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila. Sebelumnya perlu
dipahami bahwa Pancasila memiliki dua peranan dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Pertama, sebagai pandangan hidup, yakni sebagai pedoman
tingkah laku bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila, yang telah
diwariskan kepada bangsa Indonesia merupakan sari dan puncak dari
sosial budaya yang senantiasa melandasi tata kehidupan sehari-hari.
Sumber nilai tersebut antara lain, adalah keyakinan adanya Tuhan YME,
asas kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, asas gotong royong, serta
asas tenggang rasa dan tepo seliro. Dari nilai-nilai inilah kemudian lahir
adanya sikap yang mengutamakan persatuan, kerukunan, dan
kesejahteraan yang sebenarnya sudah lama dipraktekkan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Pandangan hidup bagi suatu bangsa seperti Pancasila
sangat penting artinya karena merupakan pegangan yang mantap, agar
tidak terombang-ambing oleh keadaan apapun, bahkan dalam era
globalisasi dewasa ini.
Kedua, Pancasila sebagai dasar negara, yang tercantum di dalam Alinea IV
Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan yuridis konstitusional dan
dapat disebut sebagai ideologi negara. Sebagai dasar negara, Pancasila
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga semua peraturan
hukum/ketatanegaraan yang bertentangan dengan Pancasila harus dicabut.
Perwujudan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam bentuk
perundang-undangan bersifat imperatif (mengikat) bagi : 1. Penyelenggara
negara, 2. Lembaga kenegaraan, 3. Lembaga kemasyarakatan, 4. Warga
negara Indonesia di mana pun berada, dan 5. Penduduk di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Intinya, Pancasila digunakan
sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan ketatanegaraan negara
yang meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan
hankam. Dalam tinjauan yuridis konstitusional, Pancasila sebagai dasar
negara berkedudukan sebagai norma objektif dan norma tertinggi dalam
negara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana
tertuang di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, jo. Tap. MPR
No. V/MPR/1973, jo. Tap. MPR No. IX/MPR/1978.
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila mengalami berbagai macam
interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa
demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi
ideologi negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan seperti ini
Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup
bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan
dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa. Berdasarkan kenyataan
tersebut, gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan kedudukan
dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal
ini direalisasikan melalui Ketetapan Sidang Istimewa MPR tahun 1998
No. XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan pencabutan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Orsospol di Indonesia, serta
mencabut mandat MPR yang diberikan kepada Presiden atas
kewenangannya untuk membudayakan Pancasila melalui P-4 dan asas
tunggal Pancasila.
Monopoli Pancasila demi kepentingan kekuasaan penguasa hal ini
merupakan dampak yang sangat serius atas manipulasi Pancasila. Dewasa
ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan
bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru. Sehingga
mengembangkan dan serta mengkaji Pancasila dianggap akan
mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang sinis serta upaya
melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era reformasi akan sangat
berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya kepercayaan
rakyat terhadap ideologi negara sehingga akan mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia yang telah lama dimana, dipelihara serta
didambakan bangsa Indonesia sejak dulu.

D. KRISIS IDENTITAS DAN IDEOLOGI

Dari penjelasan di atas, permasalahan yang muncul kemudian adalah krisis


identitas dan tak memiliki ideologi yang menjadi gambaran umum partai-
partai politik di Indonesia dewasa ini. Dampaknya tentu membuat arah
partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para
tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang
baik bagi kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk gontok-gontokan dan
bagi-bagi kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran
alternatif mengenai bagaimana membenahi persoalan-persoalan bangsa.
Pada masa sebelum tahun 1945, peran partai-partai politik kita jelas, yakni
sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan. Tahun 1950, konteks parpol
secara umum untuk mengisi kemerdekaan atau membangun Indonesia
merdeka. Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, partai dituntut
menjadi bagian dari revolusi yang belum selesai. Kemudian, pada zaman
Soeharto, partai dituntut dan direkayasa sedemikian rupa untuk
mendukung stabilitas, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi. Pasca-
Soeharto, parpol-parpol dituntut untuk merumuskan mau di bawa ke mana
bangsa ini. Namun hal ini belum dilakukan meski secara parsial memang
muncul. Demokratisasi, pemerintahan yang bersih, antikorupsi, penegakan
supremasi hukum, dan segala macam itu semua partai punya. Cuma
bagaimana hal itu diperjuangkan, belum sepenuhnya solid dalam visi
parpol-parpol.
Kondisi seperti itu menyebabkan sulit membedakan satu partai dengan
partai lainnya. Akibatnya, pilihan pemilih terhadap partai lebih banyak
didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya tak rasional, seperti kultural,
agama, dan ketokohan (figur yang populer), tanpa dilandasi pengetahuan
yang memadai mengenai visi partai bersangkutan tentang masa depan
bangsa ini. Kondisi seperti itu juga membuat energi parpol-parpol habis
untuk soal-soal yang sifatnya tidak substansial. Konflik-konflik selalu
muncul menjelang atau sesudah kongres atau muktamar partai karena tidak
ada diskusi atau perdebatan yang signifikan dalam partai mengenai soal-
soal yang lebih mendasar. Yang ada hanya ribut-ribut bagi kekuasaan,
seperti siapa yang menjadi ketua umum. Tidak adanya identitas ini
menambah derajat kompleksitas persoalan di dalam partai, di luar
persoalan-persoalan seperti kepemimpinan dan demokrasi internal yang
tak kunjung muncul di dalam partai, sehingga akhirnya juga memengaruhi
kinerja partai secara keseluruhan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, krisis identitas ini antara lain bisa
dilihat dari sifat keanggotaan partai-partai politik yang tidak jelas akan
dikembangkan ke mana, yakni apakah akan membuat partai kader atau
partai massa, atau gabungan kedua-duanya? Contoh partai massa adalah
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sedangkan contoh partai kader adalah PKS, di mana jelas ada kader-kader
yang dibina. Tidak jelasnya sifat keanggotaan itu disebabkan oleh basis
massa yang tidak jelas, kecuali partai-partai yang sejak awal
identifikasinya memang kultural, seperti PKB dengan basis massa
nahdiyyin dan PAN dengan basis massa Muhammadiyah-nya. Meski
seyogyanya, parpol itu lebih diikat oleh kesamaan platform atau visi,
bukan kesamaan identitas kultural, seperti sama-sama NU, sama-sama
Muhammadiyah, atau lainnya. Hal sama juga terjadi di Golkar, yang
ikatan anggotanya lebih karena sama-sama oportunisme, bukan karena
persamaan visi. Sedangkan gabungan partai kader dan partai massa, atau
dikenal dengan istilah catch all party (partai yang merangkul semua),
berkembang antara lain di Eropa. Dalam partai semacam ini, partai tetap
mengembangkan sistem pengaderan, tetapi di sisi lain juga
mengembangkan pola massa. Dalam seleksi kepemimpinan, tak ada
persoalan dalam partai kader karena sudah jelas jenjangnya. Dengan
demikian, tidak akan terjadi ribut-ribut seperti terjadi dalam kongres atau
muktamar PKB, PAN, atau Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-
P) lalu. Bedanya dengan partai massa, di partai massa siapa pun bisa
menclok sebagai elite partai tanpa harus melalui ikatan jenjang pengaderan
berkala. Artinya, kalau suatu partai melihat ada tokoh populer dari luar
yang bisa dimanfaatkan sebagai pemimpin partai, ia bisa ditempatkan di
situ.
Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di Indonesia tidak memiliki
ideologi. Kalaupun ada, yang disebut ideologi itu tak lebih hanya aksesori,
tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan dalam perjuangan
politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi itu
hanya simbolis. Kita dapat melihat contoh apa yang terjadi di PDI-P.
Kalau memang benar PDI-P sungguh commit pada wong cilik, mengapa
itu tidak tercermin dalam tingkah laku para elite atau kebijakan di
legislatif? Juga kenapa kalau ideologisnya nasionalis, pada pemerintahan
Megawati, banyak aset negara dijual? Elite partai seharusnya melihat
kembali apakah ideologinya itu masih relevan atau tidak. Ideologi harus
dapat menjadi semacam safety belt dalam situasi seperti apa pun.
Di PAN, hal itu ditunjukkan oleh sikap PAN dalam penyusunan calon
anggota legislatif yang masih melihat apakah calon bersangkutan
Muhammadiyah atau bukan. Padahal, partai ini selalu mengklaim dirinya
sebagai partai terbuka. Hal yang sama terjadi di PKB. Menurut pengamat
politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J
Kristiadi, partai-partai politik di Indonesia sebenarnya belum menjalankan
kodratnya sebagaimana layaknya sebuah parpol seperti dipraktikkan di
negara-negara lain, terutama negara-negara maju. Di negara-negara maju,
partai-partai politik memiliki tiga fungsi atau tripartit, yakni fungsi dalam
pemilu, fungsi dalam organisasi, dan fungsi dalam pemerintahan. Dalam
pemilu, partai harus bisa menyederhanakan pilihan-pilihan bagi para
pemilihnya, mendidik warga negara, memproduksi (generate) simbol-
simbol untuk mengikat kesetiaan, dan memobilisasi masyarakat untuk
berpartisipasi. Dalam organisasi, partai-partai politik melakukan
rekrutmen, pelatihan, artikulasi kepentingan, dan agregasi. Sementara
dalam pemerintahan, mereka harus menciptakan mayoritas,
mengorganisasikan pemerintahan, mengimplementasikan kebijakan,
mengorganisasikan perbedaan, menjamin pertanggungjawaban, dan
melakukan kontrol. Dari semua fungsi itu, yang sudah dijalankan oleh
partai-partai politik di Indonesia baru rekrutmen, dalam arti menempatkan
orang-orang jika ia berhasil memobilisasi massa untuk berkuasa.
Kegagalan partai-partai politik menjalankan fungsi yang lain disebabkan
mereka tidak memiliki ideologi atau cita-cita partai yang inklusif dan
dilaksanakan dengan baik.
Beberapa partai nasional yang ada, seperti PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan
Partai Demokrat, dinilai juga terlalu pragmatis sehingga memungkinkan
terjadinya shady deals atau deal-deal yang sangat tricky, yang dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan berkuasa, tentunya
mereka punya akses ke hal-hal yang bisa menambah sesuatu yang selama
ini diburu, yakni kekayaan. Tak pelak memang sesederhana itu politik di
Indonesia sekarang ini.
Kita dapat melihat bahwa apa yang disebut sebagai ideologi oleh partai-
partai yang ada sekarang ini baru sebatas rumusan dan belum merupakan
nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader. Dari puluhan partai yang
ada, baru PKS yang dinilai memiliki konsep nilai-nilai yang
diinternalisasikan ke para kader ini dan dilaksanakan. Sementara partai-
partai politik yang lain terlalu pragmatis dan menjurus sangat oportunistis
sehingga yang ingin dicapai hanya jalan pintas untuk berkuasa. Partai
menjadi satu-satunya instrumen yang bisa mengubah nasib orang yang tak
jelas menjadi orang yang berkuasa. Ke depan, jika partai-partai ini tak bisa
membangun suatu ideologi yang solid dan inklusif serta tak bisa mengurus
kader-kader, dapat kita prediksikan bahwa dalam Pemilu 2009 tak akan
terjadi perubahan apa-apa. Partai-partai politik akan disaingi oleh tokoh-
tokoh individual yang bisa jadi lebih besar dari partainya itu sendiri.
Contohnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat-
nya pada pemilihan presiden langsung tahun 2004 lalu. Hal sama bisa
terjadi pada pemilu legislatif jika pemilu legislatif nanti dilakukan lebih
langsung.
E. MASA DEPAN IDEOLOGI POLITIK INDONESIA

Masa depan ideologi politik Indonesia masih belum jelas bahkan akan
terus cenderung diwarnai dengan pengaruh kapitalisme global yang
mengawinkan secara manis antara politik dan bisnis. Dan ideologi politik
akan bertindak sebagai mas kawinnya. Pengalaman pesta politik dalam
Pemilu 2004 lalu, dari 237 parpol yang mendaftar ke Departemen
Kehakiman dan HAM, hanya 50 parpol dinyatakan lolos verifikasi
administratif. Lalu, 24 dari 50 parpol itu dinyatakan lolos verifikasi faktual
dan berhak ikut Pemilu 2004. Artinya, hanya 10,13% dari parpol yang
berdiri dinyatakan layak mewakili suara rakyat Indonesia. Dinyatakan
"lebih alamiah", sebab persyaratan yang harus dipenuhi oleh parpol
(melalui UU Nomor 31/2002, UU Nomor 12/2003, UU Nomor 22/2003,
dan UU Nomor 23/2003) menggunakan logika bottom up, melihat
faktualitas partai dari tataran akar rumput politik. Namun cara
pengurangan yang bisa disebut "benar-benar alamiah" adalah apabila
jumlah parpol itu turun melalui mekanisme pemilihan kualifikasi.
Mengapa kita yakin jumlah parpol tidak lebih dari 10 jika proses yang
"benar-benar alamiah" dilaksanakan? Hal ini terkait dengan realitas bahwa
ideologi politik masyarakat Indonesia tidak sekompleks bayangan orang.
Konkretnya, jumlah parpol yang banyak itu tidak identik dengan
banyaknya ideologi.
Bila kita amati sejarah politik (khususnya pemilu) di Indonesia, maka
sebenarnya hanya ada tiga kutub ideologi dalam masyarakat Indonesia.
Yaitu nasionalisme, religius, dan sosialis. Ketiga kutub ini membentuk
poros nasionalis-religius, nasionalis-sosialis, dan religius-sosialis. Semua
parpol yang (pernah) ada dengan pola pikir pragmatis yang dikembangkan,
hanya varian dari tiga kutub ideologi ini dan tersebar di ketiga poros yang
terbentuk. Dari 237 parpol yang muncul, diketahui 48% lahir dari poros
nasionalis-sosialis, 36% dari poros nasionalis-religius, dan 16% dari poros
religius-sosialis. Dari 24 parpol peserta Pemilu 2004, diketahui 70% dari
poros nasionalis-sosialis, 25% dari poros nasionalis-religius, dan 5% dari
poros religius-sosialis. Angka-angka statistik ini menunjukkan,
kecenderungan (tren) Pemilu 2004 adalah perebutan suara di ladang
nasionalis-sosialis yang selama ini "dikuasai" oleh PDI-P dan Golkar. Bila
melihat "suara lepas" (besarnya kantong suara yang belum dikuasai oleh
PDI-P dan Golkar di kelompok ini) yang hanya 5,279%, maka bisa diduga
akan terjadi pertarungan habis-habisan antarparpol kelompok nasionalis-
sosialis. Apalagi, simulasi statistik menunjukkan bahwa dua penguasa
kelompok ini memiliki derajat fragmentasi yang sangat tinggi.
Konkretnya, mereka mudah pecah, mretheli kata orang Jawa.
Ideologi politik Indonesia masih diharapkan untuk benar-benar ideal
dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan Indonesia seutuhnya.
Kehadirannya bisa jadi memicu konsolidasi antarkekuatan reformis yang
sejauh ini memang terfragmentasi. Kalau ini yang terjadi, bisa dipastikan
Pemilu 2004 menjadi pertaruhan terakhir kelanjutan gerakan Reformasi
1998. Kalau boleh jujur, tampaknya tak peduli ideologi politik sebuah
partai di Indonesia itu apa, tokh sesungguhnya mereka sama saja. Hampir
di seluruh dunia dewasa ini dengan munculnya satu ideologi, dimana
partai-partai memiliki kebijakan yang sama tentang persoalan-persoalan
kunci seperti pajak dan kesejahteraan, yang hampir tidak mungkin
dibedakan secara jelas, pemilih gagal mengembangkan keteguhan rasa
identitas partai dan semakin enggan menawarkan kesetiaan abadi pada
partai politik. Jika kecenderungan ini berlanjut, telah dimulai sejak Pemilu
2004, lebih kurang dari setengah populasi Indonesia memihak kepada
politik apa saja, yang membuat hasil pemilihan menjadi sangat tidak stabil
dan tidak dapat diprediksi.
Perasaan terasing pasif yang dialami publik mewujudkan dirinya dengan
cara lain, seperti menarik diri dari urusan publik bersama-sama. Karena
pemerintah Indonesia saat ini masih belum mampu lepas dari pengaruh
kapitalis global. Pemerintah saat ini seperti kupu-kpu yang terjebak dalam
jaringan kompleks pasar. Para pemilih melihat apapun ideologi politik
yang dianut suatu partai, pada akhirnya tetap akan melahirkan
pemerintahan dengan para politisi yang tunduk pada perintah perusahaan
yang telah memodali proses kampanye partainya. Mereka sadar bahwa
retorika politik yang didengar tidak diterjemahkan menjadi realitas nyata;
mereka merasa bahwa dalam banyak hal politisi telah terlibat dalam
perjanjian rahasia dengan bisnis sehingga mereka semakin berpaling dari
politik.

DAFTAR PUSTAKA;

Budiardjo, Miriam. 2004 (Cetakan ke-26). Dasar-dasar Ilmu Politik.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hertz, Noreena. 2005. PERAMPOK NEGARA; Kuasa Kapitalisme Global
& Kematian Demokrasi. Yogyakarta: Alenia.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kompas. 7 Mei 2005. Demokratisasi Partai Politik: Krisis Identitas dan
Ideologi yang Hilang
Pontoh, Rudy S. 2004. Janji-janji dan Komitmen SBY-Jk; Menabur Kata
Menanti Bukti. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Syarbaini, Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai