A. PENGERTIAN IDEOLOGI
Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan
prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan
menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik
biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan
bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich
Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap
sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada
abad 20. Contoh ideologi lainnya termasuk: anarkisme, kapitalisme,
komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi
kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme,
libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial.
Di Indonesia sendiri, sebelum era 66 atau pra masa Orde Baru menguasai
pemerintahan, dikenal beberapa aliran atau ideologi politik yang menurut
Herbert Feith dan Lance Castles membentuk teori tapal kuda, yang dari
kiri ke kanan berturut-turut, yaitu : 1. Komunisme (PKI), 2. Nasionalisme
Radikal (PNI), 3. Sosialisme Demokrat (PSI), 3. Tradisionalisme Jawa
(PIR), 5. Islam (Masyumi dan NU). Perkembangan ideologi politik pada
masa Orde Baru nyatanya dipropaganda dengan menetapkan Pancasila,
selain sebagai pandangan hidup dan dasar negara, ia juga harus diambil
sebagai ideologi politik suatu partai. Sehingga kemudian yang tersedia
hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang beraliran Islam,
Golongan Karya (Golkar) yang pragmatis sebagai partai pemerintah, dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang nasionalisme radikal. Ketiga
wadah politik ini wajib menggunakan Pancasila sebagai ideologi
politiknya masing-masing.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang
kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik
adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan
sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan
budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang
menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.
Masa depan ideologi politik Indonesia masih belum jelas bahkan akan
terus cenderung diwarnai dengan pengaruh kapitalisme global yang
mengawinkan secara manis antara politik dan bisnis. Dan ideologi politik
akan bertindak sebagai mas kawinnya. Pengalaman pesta politik dalam
Pemilu 2004 lalu, dari 237 parpol yang mendaftar ke Departemen
Kehakiman dan HAM, hanya 50 parpol dinyatakan lolos verifikasi
administratif. Lalu, 24 dari 50 parpol itu dinyatakan lolos verifikasi faktual
dan berhak ikut Pemilu 2004. Artinya, hanya 10,13% dari parpol yang
berdiri dinyatakan layak mewakili suara rakyat Indonesia. Dinyatakan
"lebih alamiah", sebab persyaratan yang harus dipenuhi oleh parpol
(melalui UU Nomor 31/2002, UU Nomor 12/2003, UU Nomor 22/2003,
dan UU Nomor 23/2003) menggunakan logika bottom up, melihat
faktualitas partai dari tataran akar rumput politik. Namun cara
pengurangan yang bisa disebut "benar-benar alamiah" adalah apabila
jumlah parpol itu turun melalui mekanisme pemilihan kualifikasi.
Mengapa kita yakin jumlah parpol tidak lebih dari 10 jika proses yang
"benar-benar alamiah" dilaksanakan? Hal ini terkait dengan realitas bahwa
ideologi politik masyarakat Indonesia tidak sekompleks bayangan orang.
Konkretnya, jumlah parpol yang banyak itu tidak identik dengan
banyaknya ideologi.
Bila kita amati sejarah politik (khususnya pemilu) di Indonesia, maka
sebenarnya hanya ada tiga kutub ideologi dalam masyarakat Indonesia.
Yaitu nasionalisme, religius, dan sosialis. Ketiga kutub ini membentuk
poros nasionalis-religius, nasionalis-sosialis, dan religius-sosialis. Semua
parpol yang (pernah) ada dengan pola pikir pragmatis yang dikembangkan,
hanya varian dari tiga kutub ideologi ini dan tersebar di ketiga poros yang
terbentuk. Dari 237 parpol yang muncul, diketahui 48% lahir dari poros
nasionalis-sosialis, 36% dari poros nasionalis-religius, dan 16% dari poros
religius-sosialis. Dari 24 parpol peserta Pemilu 2004, diketahui 70% dari
poros nasionalis-sosialis, 25% dari poros nasionalis-religius, dan 5% dari
poros religius-sosialis. Angka-angka statistik ini menunjukkan,
kecenderungan (tren) Pemilu 2004 adalah perebutan suara di ladang
nasionalis-sosialis yang selama ini "dikuasai" oleh PDI-P dan Golkar. Bila
melihat "suara lepas" (besarnya kantong suara yang belum dikuasai oleh
PDI-P dan Golkar di kelompok ini) yang hanya 5,279%, maka bisa diduga
akan terjadi pertarungan habis-habisan antarparpol kelompok nasionalis-
sosialis. Apalagi, simulasi statistik menunjukkan bahwa dua penguasa
kelompok ini memiliki derajat fragmentasi yang sangat tinggi.
Konkretnya, mereka mudah pecah, mretheli kata orang Jawa.
Ideologi politik Indonesia masih diharapkan untuk benar-benar ideal
dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan Indonesia seutuhnya.
Kehadirannya bisa jadi memicu konsolidasi antarkekuatan reformis yang
sejauh ini memang terfragmentasi. Kalau ini yang terjadi, bisa dipastikan
Pemilu 2004 menjadi pertaruhan terakhir kelanjutan gerakan Reformasi
1998. Kalau boleh jujur, tampaknya tak peduli ideologi politik sebuah
partai di Indonesia itu apa, tokh sesungguhnya mereka sama saja. Hampir
di seluruh dunia dewasa ini dengan munculnya satu ideologi, dimana
partai-partai memiliki kebijakan yang sama tentang persoalan-persoalan
kunci seperti pajak dan kesejahteraan, yang hampir tidak mungkin
dibedakan secara jelas, pemilih gagal mengembangkan keteguhan rasa
identitas partai dan semakin enggan menawarkan kesetiaan abadi pada
partai politik. Jika kecenderungan ini berlanjut, telah dimulai sejak Pemilu
2004, lebih kurang dari setengah populasi Indonesia memihak kepada
politik apa saja, yang membuat hasil pemilihan menjadi sangat tidak stabil
dan tidak dapat diprediksi.
Perasaan terasing pasif yang dialami publik mewujudkan dirinya dengan
cara lain, seperti menarik diri dari urusan publik bersama-sama. Karena
pemerintah Indonesia saat ini masih belum mampu lepas dari pengaruh
kapitalis global. Pemerintah saat ini seperti kupu-kpu yang terjebak dalam
jaringan kompleks pasar. Para pemilih melihat apapun ideologi politik
yang dianut suatu partai, pada akhirnya tetap akan melahirkan
pemerintahan dengan para politisi yang tunduk pada perintah perusahaan
yang telah memodali proses kampanye partainya. Mereka sadar bahwa
retorika politik yang didengar tidak diterjemahkan menjadi realitas nyata;
mereka merasa bahwa dalam banyak hal politisi telah terlibat dalam
perjanjian rahasia dengan bisnis sehingga mereka semakin berpaling dari
politik.
DAFTAR PUSTAKA;