Anda di halaman 1dari 17

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera)

VARIETAS NUSA TENGGARA TIMUR TERHADAP KADAR ALBUMIN


DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus Strain Wistar) YANG DIBERI DIET
NON PROTEIN

Lintang Purwara Dewanti1, Aris Widodo2, Eriza Fadhilah3


1Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
2Laboratorium Farmakologi Klinik FKUB
3Jurusan Gizi Kesehatan FKUB
Email: lintangpurwara@gmail.com

ABSTRAK
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang
merupakan faktor utama (60%) penyebab kematian bayi di bawah lima tahun
(balita) di daerah tropis dan subtropis. KEP disebabkan oleh kekurangan makanan
sumber energi dan protein. Pada kondisi KEP konsentrasi albumin darah berkurang
dan tekanan onkotik dalam plasma terganggu sehingga dapat menyebabkan edema.
Daun kelor memiliki kandungan protein tinggi yang memiliki potensi terapi
suplementasi untuk anak-anak KEP. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pemberian tepung daun kelor varietas Nusa Tenggara Timur terhadap
kadar albumin darah tikus putih yang diberi diet non protein. Desain penelitian
yang digunakan adalah Post Test Only Control Group. Penelitian dilakukan selama
93 hari dengan menggunakan 6 kelompok, yaitu K(-) (diet normal), K(+) (diet non
protein dilanjutkan diet normal), P1, P2, P3, dan P4 (diet non protein dilanjutkan
diet normal + tepung daun kelor 180 mg, 360 mg, 720 mg, 1440 mg). Variabel yang
diukur adalah kadar albumin darah dengan menggunakan metode enzimatik
colorimetri. Analisis data menggunakan Oneway ANOVA dilanjutkan dengan Post
Hoc Duncan. Pemberian suplementasi tepung daun kelor per oral (Moringa oleifera)
varietas Nusa Tenggara Timur dapat meningkatkan kadar albumin darah tikus
Rattus novergicus strain wistar yang diberi diet non protein. Nilai albumin darah
normal diperoleh dari kelompok K(-) (tidak dikondisikan KEP dan tetap menerima
diet normal) sebesar 3,300,08 mg/dl. Nilai albumin darah kelompok K(+)
(dikondisikan KEP lalu menerima diet normal tanpa penambahan tepung daun
kelor) adalah yang paling rendah, yaitu sebesar 2,750,30 mg/dl. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan tepung daun kelor varietas NTT per oral sebesar 720 mg
(P3) pada diet normal tikus yang KEP memberikan pengaruh terbaik bagi kadar
albumin darah tikus (3,250,17 mg/dl) sebab mendekati kadar albumin darah
kelompok tikus non KEP/ kontrol negatif (3,300,08 mg/dl). Saran untuk penelitian
ke depan adalah penggunaan sonde agar dosis kelor yang diasup dapat diketahui
secara akurat.

Kata kunci: tepung daun kelor, kadar albumin darah, diet non protein.

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 23


ABSTRACT
Protein Energy Malnutrition (PEM) is a major factor of infant mortality under
five years old in the tropics and subtropics. PEM is caused by a lack of food sources
of energy and protein. In PEM conditions, serum albumin concentration decreased,
disrupted plasma oncotik pressure that can cause edema. Moringa leaves contain
high protein that have therapeutic supplements potential for PEM children. The
purpose of this study is to determine the effect of Nusa Tenggara Timur (NTT)
varieties of moringa leaf powder on serum albumin in white rats fed non-protein
diet. The study design used was the Post Test Only Control Group. Research
conducted over 93 days using six groups: K (-) (normal diet), K (+) (non-protein diet,
followed by normal diet), P1, P2, P3, and P4 (non protein diet, followed by normal
diet + moringa leaf powder 180 mg, 360 mg, 720 mg, 1440 mg). The variables
measured were serum albumin levels using enzymatic colorimetry methods. Data
analysis using Oneway ANOVA followed by Post Hoc Duncan. Moringa oleifera
Leaf Powder Varieties of Nusa Tenggara Timur supplementation per oral can
increase albumin level of White Male Rats (Rattus Norvegicus Strain Wistar) with
Non-Protein Diet. Normal value of albumin obtained from K group (not conditioned
PEM and still receive normal diet) are 3,300,08 mg/dl. The albumin value K (+)
group (conditioned PEM then receive normal diet without moringa leaf powder
supplementation) is the lowest, amounting 2,750,30 mg/dl. Results showed the
supplementation of NTT varieties of moringa leaf powder per oral at 720 mg (P3) on
the normal diet gives the best effect for rat serum albumin levels (3,250,17 mg/dl)
approaching non-PEM groups of rats/ negative control (3,300,08 mg/dl).
Suggestion for future research is the use of the sonde for animal for the consumed
dose can be determined accurately.

Keywords: Moringa leaf powder, Serum albumin level, Non-protein diet.

PENDAHULUAN dibawah usia 5 tahun di berbagai

Kurang Energi Protein (KEP) belahan dunia (Fuglie, 2001).

adalah salah satu bentuk malnutrisi Prevalensi KEP pada balita di

yang merupakan faktor utama dari Indonesia dapat dilihat dari angka

sering terjadinya kematian bayi di kejadian gizi buruk dan kurang. Pada

daerah tropis dan subtropis. Di negara Seminar Hari Gizi Nasional Tahun

miskin, satu dari lima bayi meninggal 2007, Menteri Koordinator

selama proses pertumbuhannya dan Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie

disebutkan sampai 13%. Malnutrisi menyebutkan bahwa sekitar 5.543.944

dan defisiensi mikronutrient memiliki balita dari 19.799.874 atau 28% balita

peran penting pada 60% kematian yang ada di seluruh Indonesia

anak dari semua kematian anak mengalami gizi buruk dan kurang
(Republika, 2007).

24 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


Nusa Tenggara Timur (NTT) Albumin merupakan protein
merupakan salah satu provinsi di serum yang memiliki kandungan
Indonesia dengan prevalensi KEP cukup besar dalam tubuh sekitar 5%
tergolong tinggi. Data demografi balita dan disintesis oleh hati setiap harinya.
di Provinsi NTT berdasarkan Badan Albumin memiliki half life yang cukup
Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 adalah panjang yaitu 14-20 hari dan benar-
652.000 balita dari total populasi benar mampu untuk menjadi marker
sebanyak 4,35 juta atau sekitar 15% status nutrisi kronik. Fungsi albumin
populasi. Berdasarkan pantauan Dinas yang utama sebagai protein carier dan
Kesehatan pada bulan Juni 2008, balita membantu untuk menjaga tekanan
yang ditimbang secara teratur sebesar onkotik. Manifestasi klinis dari KEP
79% populasi balita, dan 16,6% adalah gangguan metabolik yang
dinyatakan berat badan rendah menyebabkan edema karena
(World Food Programme, 2008). kekurangan protein dalam diet. Hal
KEP disebabkan oleh ini disebabkan berbagai asam amino
kekurangan makan sumber energi esensial dalam serum yang diperlukan
secara umum dan kekurangan sumber untuk sintesis dan metabolisme
protein. (Almatsier, 2004). Protein mengalami kekurangan. Makin
merupakan bagian dari semua sel berkurangnya asam amino dalam
hidup dan merupakan bagian terbesar serum ini akan menyebabkan
tubuh sesudah air. Seperlima bagian kurangnya produksi albumin hepar,
tubuh adalah protein, separuhnya ada yang dapat berakibat gangguan
di dalam otot, seperlima di dalam keseimbangan tekanan onkotik plasma
tulang dan tulang rawan, sehingga cairan intasel akan keluar ke
sepersepuluh di dalam kulit, dan ekstrasel dan mengakibatkan
selebihnya di dalam jaringan lain dan timbulnya edema (Bahn, 2006).
cairan tubuh. Darah, semua enzim, Penanganan malnutrisi biasanya
berbagai hormon dan pengangkut zat- dititikberatkan pada pemberian
zat gizi adalah protein (Almatsier, asupan makanan yang baik mengingat
2004). albumin merupakan salah satu serum
Akibatnya pada kondisi protein darah. Makanan yang baik
malnutrisi terjadi beberapa gangguan adalah makanan yang kuantitas dan
fisiologis tubuh, salah satunya kualitasnya baik. Makanan dengan
terhadap penurunan konsentrasi kuantitas yang baik adalah makanan
albumin dalam darah (Wykes, 1996). yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Sedangkan

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 25


makanan yang kualitasnya baik protein, kalium, magnesium,
adalah makanan yang mengandung selenium, zinc, dan mampu menjaga
semua zat gizi, antara lain protein, keseimbangan dengan baik untuk
karbohidrat, lemak, vitamin dan semua asam amino esensial (Fuglie,
mineral (Depkes, 2003). Pemberian 2001).
diet tinggi protein pada KEP diduga Kondisi geografis NTT dengan
meningkatkan sintesis albumin. iklim tropis kering memungkinkan
Kelor (Moringa oleifera) adalah tanaman kelor tumbuh dengan baik.
tanaman yang banyak dijumpai di Kerentanan pangan pada komunitas
daerah tropis dan subtropis. Tanaman masyarakat ini memerlukan sebuah
kelor memiliki peranan penting solusi tambahan bahan pangan lokal
terhadap pencegahan penyakit alternatif yang dapat dijumpai pada
metabolik dan beberapa penyakit ekosistem sekitar agar dapat
infeksi karena berpotensi sebagai meningkatkan kualitas kesehatan
sumber utama beberapa zat gizi dan secara makro. Gambaran komposisi
elemen terapeutik, termasuk anti nutrisional dari kelor varietas NTT
inflamasi, antibiotik, dan memacu dalam jangka panjang diharapkan
sistem imun mengingat kandungan dapat memberikan suatu kontribusi
zat besi dan proteinnya cukup tinggi sumber pangan baru yang tidak hanya
yang memiliki potensi terapi terbatas pada komunitas masyarakat
suplementasi untuk anak-anak pulau tersebut, tetapi dapat
malnutrisi (Fuglie, 2001). memberikan manfaat bagi masyarakat
Penambahan kelor pada diet secara umum. Bila dibandingkan,
harian anak-anak mampu melakukan standar nutrisional hasil analisis
pemulihan secara cepat karena tepung kering daun kelor per 100g
mengandung 40 zat gizi esensial. adalah protein 13,22%, karbohidrat
Daun pohon kelor menjadi sumber 18,63%, dan lemak 1,12% (Gopalan, et
dari banyak zat gizi yang diprospek al. dan Fuglie, dalam Simbolon, dkk,
mampu untuk mengatasi malnutrisi di 2008). Sedangkan kandungan zat gizi
daerah yang beriklim tropis dan makro yang terdapat dalam tepung
subtropis. Kelor menjadi sumber daun kelor varietas lokal NTT per 100
vitamin A dan zat besi terbaik gram adalah protein 27,02%,
dibandingkan beberapa tanaman suku karbohidrat 27,33%, dan lemak 1,97%
leguminoceae. Daun kelor (Therik, 2008).
menawarkan kuantitas signifikan dari Uji in vivo tepung daun kelor
vitamin C, B komplek, kalsium, varietas NTT belum pernah dilakukan

26 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


sehingga perlu dilakukan pengkajian saja, kelompok ke-2 adalah kelompok
lebih lanjut melalui penelitian kontrol positif (K (+)) yaitu diberi diet
eksperimental laboratorium, untuk non protein saja lalu diberi diet
mengetahui dan membuktikan sejauh normal, kelompok ke-3 adalah
mana pengaruh kandungan nutrisi kelompok perlakuan 1 (P(1)) yaitu
tanaman kelor varietas NTT yang diberi diet non protein lalu diberi diet
diolah dalam bentuk suplemen tepung normal + tepung daun kelor dosis
daun kelor. Penulisan ini dilakukan 180mg, kelompok ke-4 adalah kelom-
dengan cara mengkaji apakah pok perlakuan 2 (P(2)) yang diberi diet
pemberian tepung daun kelor non protein lalu diberi diet normal +
berpengaruh terhadap kadar albumin tepung daun kelor dosis 360mg,
darah pada hewan coba tikus putih kelompok ke-5 adalah kelompok
rattus norvegicus strain wistar jantan perlakuan 3 (P(3)) yang diberi diet
yang diberi diet non protein, non protein lalu diberi diet normal +
mengingat kadar albumin darah tepung daun kelor dosis 720mg,
merupakan salah satu faktor yang sedangkan kelompok ke-6 adalah
berpengaruh terhadap transportasi kelompok perlakuan 4 (P(4)) yang
protein dalam tubuh. diberi diet non protein lalu diberi diet
normal + tepung daun kelor dosis
SUBJEK DAN METODE 1440mg. Total sampel pada penelitian
Penelitian ini merupakan ini sejumlah 36 ekor tikus dengan
penelitian eksperimental laboratorik rincian 6 ekor tikus untuk masing-
pada hewan coba tikus wistar dengan masing kelompok perlakuan.
desain post test only control group. Adapun komposisi diet normal
Kriteria sampel inklusi yaitu tikus tikus sebanyak 300 gram, terdiri atas
galur strain wistar, jenis kelamin 200 gram comfeed PAR-S dan 100
jantan sehat (ditandai dengan bulu gram tepung terigu. Perhitungan dosis
bersih, gerakan aktif, dan mata jernih), minimal tepung daun kelor varietas
umur 2 bulan (6-8 minggu), berat NTT dilakukan berdasarkan data dari
badan 150- 200 gram. Pengambilan penelitian yang dilakukan oleh The
unit eksperimen dilakukan secara Tshikaji Moringa Tree Project yang
judgemental purposive sampling. menyatakan bahwa penambahan daun
Dalam penelitian ini terdapat 6 kelor sebanyak 25 gram (sekitar 3
kelompok sampel yaitu kelompok sendok makan) pada anak usia 1-3
pertama adalah kelompok kontrol tahun menjadi strategi efektif dalam
negatif (K (-)) yaitu diberi diet normal menangani gizi buruk di Regional

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 27


Nutrition Rehabilitation Center, Good Variabel dependen adalah kadar
Shepherd Hospital, Tshikaji, Kongo albumin darah tikus yang diperoleh
(Haninger, 2007). Apabila anak usia 3 dari serum bagian jantung dan diukur
tahun (14 kg) membutuhkan 25 gr dengan metode enzimatik colorimetri.
tepung kelor per hari maka tikus Penelitian ini dilaksanakan di
dengan berat badan 200 gr Laboratorium Fisiologi, Fakultas
membutuhkan 360 mg tepung kelor. Kedokteran, Universitas Brawijaya
Jika dosis 360 adalah dosis optimal Malang. Analisis statistik
(dosis n), maka dalam penelitian ini menggunakan One Way Anova pada
dibuat dosis tepung daun kelor tingkat kepercayaan 95%, dilanjutkan
varietas NTT sebesar 2n, n, dan n. analisis statistik Duncan Post Hoc Test.
Pemberian tepung daun kelor
dilakukan dengan mencampurnya HASIL
pada pakan tikus/ diet normal dan Karakteristik Sampel
terdapat kemungkinan bahwa pakan Berdasarkan hasil uji statistik
tidak habis 100%. Agar asupan tepung rata-rata berat badan tikus pada masa
daun kelor dapat mencapai aklimatisasi yang menunjukkan hasil
perhitungan dosis yang ditentukan signifikan (p=0,696) sehingga dapat
maka jumlah tiap dosis ditingkatkan disimpulkan bahwa sampel tikus
sebanyak dua kali lipat. sudah homogen dan sesuai dengan
Penelitian dimulai dengan kriteria inklusi.
mengadaptasikan tikus selama tujuh Perubahan Kondisi Tikus Selama
hari dengan pemberian diet normal Penelitian
(masa aklimatisasi), kemudian Dari tahapan penelitian yang
memberikan diet non protein selama dilakukan, terjadi perubahan pada
56 hari agar tikus menjadi KEP dan warna bulu, keadaan umum, dan berat
diakhiri dengan pemberian diet badan tikus. Perubahan kondisi tikus
normal + tepung daun kelor selama 30 setelah diberi diet non protein
hari. Pengukuran berat badan tikus ditunjukkan dengan penurunan berat
dilakukan pada akhir masa badan rata-rata sebesar 8,56 gram,
aklimatisasi, setiap minggu selama warna bulu lebih kuning serta rontok,
pemberian diet non protein dan setiap kurang aktif, dan kadar albumin yang
minggu selama pemberian diet normal rendah. Perubahan kondisi tikus
+ tepung daun kelor untuk melihat setelah diberi diet normal + tepung
secara detil perubahan berat badan daun kelor ditunjukkan dengan rata-
tikus pada setiap tahapan penelitian.

28 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


rata peningkatan berat badan sebesar Persentase rata-rata asupan
68,41 gram. pakan pakan tikus saat diet non
Asupan Pakan Tikus protein dan diet normal+ tepung daun
Perbedaan Persentase Asupan Pakan kelor disajikan dalam Gambar 1.
Tikus Selama Penelitian

Gambar 1.
Persentase rata-rata asupan pakan (gram) tikus
selama penelitian

Rata-rata asupan pakan setelah walaupun perbedaannya tidak


diberikan diet normal + tepung daun bermakna (p=0,270).
kelor cenderung mengalami Asupan Pakan Tikus Selama Diet
penurunan. Analisis terhadap Normal + Tepung Daun Kelor
hubungan asupan pakan sebelum dan Asupan pakan merupakan
sesudah diberikan diet normal + selisih antara pakan awal yang
tepung daun kelor dilakukan dengan diberikan dan sisa pakan atau
uji Paired T-Test dan didapatkan hasil banyaknya pakan yang dikonsumsi
p <0,0001 (=0,05). Hal ini bermakna oleh tikus.
bahwa pemberian diet normal + Analisis terhadap asupan pakan
tepung daun kelor memiliki pengaruh harian tikus yang dilakukan
yang nyata terhadap penurunan menggunakan uji One Way ANOVA
asupan pakan tikus yang diberi diet menunjukkan bahwa ada perbedaan
non protein. Berbeda dengan rata-rata asupan energi yang
kelompok kontrol yang tidak signifikan pada keenam kelompok
mengalami penurunan asupan pakan perlakuan dengan nilai p <0,0001
namun justru mengalami peningkatan (=0,05). Analisis dilanjutkan dengan

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 29


menggunakan uji Duncan untuk penelitian ini, rata- rata asupan pakan
mengetahui pada kelompok perlakuan pada kelompok P1, P2, P3, dan P4,
mana perbedaan bermakna tersebut berbeda secara signifikan terhadap
terjadi. Rata-rata asupan pakan selama kelompok kontrol K(-) dan K(+) yang
diet normal + tepung daun kelor dapat menerima diet normal tanpa tepung
dilihat pada Gambar 2. Pada daun kelor.

b b a a a a

Gambar 2.
Rata-rata asupan pakan tikus per hari (gram)
selama diet normal + tepung daun kelor

Asupan Energi Tikus Selama Diet menunjukkan bahwa ada perbedaan


Normal+ Tepung Daun Kelor rata-rata asupan energi yang
Asupan energi tikus diperoleh signifikan pada keenam kelompok
dari selisih antara berat pakan yang perlakuan dengan nilai p <0,0001 (=
diberikan dalam keadaaan basah 0,05). Analisis dilanjutkan dengan
(dengan air) dengan berat sisa pakan menggunakan uji Duncan untuk
yang kemudian dikonversikan ke mengetahui pada kelompok perlakuan
dalam bentuk satuan energi (kkal). mana perbedaan bermakna tersebut
Analisis terhadap asupan energi terjadi. Rata-rata asupan energi selama
harian tikus yang dilakukan diet normal + tepung daun kelor dapat
menggunakan uji One Way ANOVA dilihat pada gambar 3.

30 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


b b a a a a

Gambar 3.
Rata-rata Asupan Energi Tikus per Hari (kkal)
Selama Diet Normal+ Tepung Daun Kelor

Pada penelitian ini, rata- rata menggunakan uji One Way ANOVA
asupan energi pada kelompok P1, P2, menunjukkan bahwa ada perbedaan
P3 dan P4 berbeda secara signifikan rata-rata asupan protein yang
terhadap kelompok kontrol K(-) dan signifikan pada keenam kelompok
K(+) yang menerima diet normal perlakuan dengan nilai p <0,0001 (=
tanpa tepung daun kelor. 0,05). Analisis dilanjutkan dengan
Asupan Protein Tikus Selama Diet menggunakan uji Duncan untuk
Normal+ Tepung Daun Kelor mengetahui pada kelompok perlakuan
Asupan protein merupakan mana perbedaan bermakna tersebut
jumlah protein rata-rata yang terjadi. Rata-rata asupan protein
dikonsumsi tikus selama 56 hari sesudah perlakuan dapat dilihat pada
pemberian diet normal ditambah gambar 4.
tepung daun kelor.
Analisis terhadap asupan
protein harian tikus yang dilakukan

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 31


b b a a a a

Gambar 4.
Rata-rata asupan protein tikus per hari (gram)
selama diet normal+ tepung daun kelor

Pada penelitian ini, rata- rata jukkan bahwa ada perbedaan albumin
asupan protein pada kelompok P1, P2, serum yang signifikan dari semua
P3, dan P4, berbeda secara signifikan kelompok perlakuan (p=0,002).
terhadap kelompok kontrol K(-) dan Uji statistik lanjut menggu-
K(+) yang menerima diet normal nakan Post Hoc Test Duncan
tanpa tepung daun kelor. ditunjukkan pada Gambar 5.
Berdasarkan Uji Post Hoc Duncan
Albumin Darah Tikus didapatkan bahwa kadar albumin
Pengukuran albumin darah pada kelompok K(-) signifikan
tikus pada tiap kelompok perlakuan terhadap K(+), P1 dan P2 dan tidak
dilakukan setelah empat minggu signifikan terhadap P3 dan P4.
diberi diet normal ditambah tepung Sedangkan kelompok K(+) berbeda
daun kelor. Berdasarkan hasil Uji signifikan terhadap K(-), P2, P3 dan P4
statistik One Way Annova menun- dan tidak signifikan dengan P1.

32 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


b a a ab b b

Gambar 5.
Rata-rata Kadar Albumin Darah Tikus (g/dl)

bulu putih bersih. Dengan


DISKUSI homogenitas ini maka segala
Karakteristik Sampel perubahan yang terjadi pada tikus
Setiap satuan percobaan disebabkan oleh perlakuan yang
mempunyai kesempatan yang sama diberikan selama penelitian.
untuk terpilih atau tidak sebagai Pada masa pemberian diet non
sampel dan semua sampel diharuskan protein tikus menunjukkan gejala dan
berada dalam keadaan yang sama tanda kurang gizi. Keadaan ini sesuai
(homogen) agar dapat mengurangi dengan harapan penelitian di mana
terjadinya bias pada hasil penelitian semua sampel (kecuali sampel pada
(Sastroasmoro, 2000). Pemilihan tikus kelompok kontrol negatif/ K(-))
percobaan pada awal penelitian harus mengalami kurang energi dan protein
dilakukan dengan teliti dan sesuai (KEP). Gejala klinis yang dialami tikus
dengan kriteria inklusi. percobaan menunjukkan gejala yang
Pada masa aklimatisasi, hampir sama dengan anak yang
karakteristik sampel telah homogen mengalami KEP, antara lain:
secara statistik, yaitu p>0,05 (p=0,696). a. Keadaan umum yang kurang
Karakteristik sampel yang digunakan aktif,
adalah tikus jenis Rattus norvegicus b. Penurunan berat badan sebesar
Strain Wistar jantan dengan rata-rata + 8,56 gram,
umur 6-8 minggu dan berat badan c. Warna bulu kekuningan dan
yang homogen, yakni antara 130-160 rontok,
gram. Keadaan umum tikus pada
masa ini adalah aktif dengan warna

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 33


d. Penurunan kadar albumin dari masa aklimatisasi, akibatnya pakan
nilai normal (3,8-4,8 gram/dl yang dikonsumsi sangat sedikit dan
(Johnson-Delaney,1996)), yakni bahkan ada beberapa hewan coba
2,6 gram/dl. yang tidak mau makan sama sekali

Asupan Pakan Tikus Selama sehingga asupan pakan, energi dan

Penelitian proteinnya juga rendah. Tekstur yang

Diet normal yang diberikan berserat tinggi (karena kandungan

pada masa aklimatisasi bertekstur serat tebu kasar) dan tidak beraroma

agak kasar sesuai pakan tikus sehari- menjadi faktor yang memengaruhi

hari. Setelah aklimatisasi, tikus diberi penurunan asupan pakan hewan coba.

diet non protein sampai menjadi KEP Selama pemberian diet normal +

lalu dilanjutkan dengan diet normal + tepung daun kelor selama 28 hari,

tepung daun kelor sebagai upaya tikus diberikan diet normal ditambah

penanganan KEP. Berdasarkan hasil tepung daun kelor dengan dosis sesuai

penelitian, selama masa pemberian dengan kelompok perlakuan.

diet non protein dan diet normal + Penambahan tepung daun kelor pada

tepung daun kelor diketahui bahwa diet normal adalah 180 mg pada

persentase asupan pakan, energi dan kelompok P1, 360 mg pada kelompok

protein antar kelompok perlakuan P2, 720 mg pada kelompok P3, dan

berbeda jumlahnya. Asupan pakan, 1440 mg pada kelompok P4. Diet yang

energi dan protein selama diet non diberikan teksturnya agak kasar sesuai

protein lebih tinggi daripada selama pakan tikus sehari-hari (sama dengan

diet normal + tepung daun kelor pada diet normal), dan berwarna kehijauan

kelompok P1, P2, P3, dan P4. Asupan dan beraroma mirip teh hijau.

pakan, energi dan protein selama diet Persentase asupan pakan dari diet non

normal + tepung daun kelor pada protein menjadi diet normal + tepung

kelompok P1, P2, P3 dan P4 adalah daun kelor menunjukkan adanya

relatif sama namun berbeda signifikan penurunan pada kelompok perlakuan

(lebih rendah) terhadap kelompok P1, P2, P3 dan P4. Penurunan tersebut

kontrol K(-) dan K(+). dapat dipengaruhi oleh beberapa

Diet non protein diberikan faktor, diantaranya faktor hewan coba

selama 56 hari dengan tujuan tikus dan faktor pakan.

menjadi KEP. Komposisi bahan Faktor hewan coba meliputi

makanan diet non protein jauh nafsu makan dan keadaan kesehatan

berbeda dengan diet normal pada yang memengaruhi nafsu makannya.


Pada keadaan KEP karena diet non

34 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


protein, terjadi gangguan pada daerah berbeda terhadap diet normal.
gastrointestinal yang memengaruhi Semakin banyak dosis tepung daun
asupan makan. Kejadian KEP kelor yang diberikan ke dalam diet
berasosiasi dengan beberapa normal maka semakin berwarna
malabsorbsi usus akibat dari atrofi vili kehijauan dan beroma seperti daun
pada mukosa usus jejunum. teh hijau. Hal ini dibuktikan dengan
Perubahan morfologi tersebut jumlah asupan tertinggi adalah pada
menyebabkan gejala anoreksia dan kelompok P1 (diet normal dengan
menyebabkan penurunan asupan per penambahan tepung daun kelor dosis
oral (Oshikoya dan Senbanjo, 2009). terkecil, 180 mg) sedangkan jumlah
Pada saat pemberian diet normal asupan terendah adalah pada
ditambah tepung daun kelor, gejala kelompok P4 (diet normal dengan
anoreksia masih terjadi terutama pada penambahan tepung daun kelor dosis
masa stabilisasi dari kondisi KEP tertinggi, 1440 mg).
menuju pemulihan. Pemberian makanan tambahan
Faktor pakan yang bagi penderita KEP tidak dilakukan
memengaruhi penurunan jumlah langsung pada awal penanganan (fase
asupan meliputi warna pakan, tekstur stabilisasi dan transisi), namun pada
dan aroma pakan. Asupan pakan antar fase rehabilitasi. Penanganan pada
kelompok PI, P2, P3, dan P4 tidak fase stabilisasi dan transisi difokuskan
menunjukkan perbedaan yang pada tanda bahaya dan tanda penting
signifikan. Namun jumlah asupan seperti ada tidaknya hipoglikemia,
kelompok PI, P2, P3, dan P4 berbeda hipotermia, dehidrasi, dan gangguan
secara nyata (lebih rendah) terhadap keseimbangan elektrolit. Pemberian
kelompok K(+). Hal ini membuktikan makanan tambahan yang baik secara
bahwa faktor hewan coba bukan satu- kualitas dan kuantitas hanya memiliki
satunya penyebab menurunnya pengaruh positif bagi penanganan
asupan, sebab kelompok K(+) KEP pada fase rehabilitasi. Keadaan
sebelumnya juga mengalami KEP tubuh pada fase stabilisasi dan transisi
namun asupannya justru meningkat tidak memungkinkan pemberian diet
setelah diberi diet normal tanpa tambahan dapat berjalan optimal.
penambahan daun kelor. Asupan makan tikus yang lebih
Penambahan tepung daun kelor rendah selama pemberian diet normal
pada diet normal diduga + tepung daun kelor sesuai dengan
memengaruhi selera makan sebab fase penanganan KEP pada fase
menimbulkan warna dan aroma rehabilitasi.

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 35


Tidak ditetapkannya fase Berbeda dengan pengaruh
pemberian makanan pada tikus penambahan tepung daun kelor pada
percobaan menjadi keterbatasan diet normal terhadap kadar albumin
dalam penelitian ini. Penelitian tikus yang KEP. Pemberian tepung
pendahuluan tentang fase stabilisasi, daun kelor menunjukkan kadar
transisi, dan rehabilitasi pada hewan albumin darah yang berbeda secara
coba belum pernah dilakukan dan signifikan pada dosis 180 mg, 360 mg,
bukan merupakan tujuan dari dan 720 mg. Dosis 720 dan 1440 tidak
penelitian yang dilakukan sekarang. menunjukkan perbedaan secara
bermakna atau kadar albumin darah
Pengaruh Asupan Pakan terhadap pada kedua kelompok ini relatif sama.
Kadar Albumin Darah Tikus Pada kelompok P3 yaitu kelompok
Kelompok K(-) merupakan dengan penambahan tepung daun
kelompok non perlakuan (tidak kelor sebanyak 720 mg menunjukkan
dikondisikan KEP dan tetap menerima kadar albumin (3,250,17 mg/dl) yang
diet normal) sehingga nilai albumin tertinggi dan berbeda secara signifikan
darah dalam kelompok ini adalah nilai dengan kadar albumin kelompok
albumin darah normal. Nilai albumin kontrol negatif (K(-)) (3,300,08
darah kelompok K(-) adalah 3,300,08 gram/dl).
mg/dl. Hasil penelitian ini sejalan
Hasil penelitian menunjukkan dengan penelitian yang dilakukan
bahwa pemberian diet normal oleh The Tshikaji Moringa Tree Project
sebanyak 30 gram pada tikus yang yang menyatakan bahwa penambahan
KEP (kelompok K(+)) menghasilkan daun kelor sebanyak 25 gram (sekitar
kadar albumin darah yang paling 3 sendok makan) pada anak usia 1-3
rendah (2,750,30 mg/dl) diantara tahun menjadi strategi efektif dalam
semua kelompok perlakuan dan menangani gizi buruk di Regional
berbeda signifikan terhadap kelompok Nutrition Rehabilitation Center, Good
P2, P3 dan P4. Hasil tersebut Shepherd Hospital, Tshikaji, Kongo.
menunjukkan bahwa perlakuan diet Penelitian tersebut menyebutkan
normal tanpa tepung daun kelor pada bahwa anak dengan KEP memiliki
tikus KEP tidak cukup baik untuk respon penyembuhan lebih cepat saat
meningkatkan kadar albumin darah diberikan daun kelor dalam diet
tikus bila dibandingkan dengan nilai mereka (Haninger, 2007).
albumin darah pada kelompok K(-) Penelitian membuktikan bahwa
yang sebesar 3,300,08 mg/dl. penambahan daun kelor memiliki

36 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


pengaruh positif terhadap Setelah dihitung berdasarkan skor
peningkatan kadar albumin darah asam amino (SAA), diketahui bahwa
tikus yang KEP. Pada keadaan mutu protein dalam kelor adalah baik,
malnutrisi, albumin merupakan salah sebab hanya memiliki dua asam amino
satu serum protein yang berkurang pembatas, yaitu asam amino dalam
kadarnya dalam darah. Berkurangnya jumlah terkecil relatif terhadap jumlah
albumin sebagai bagian dari serum yang diperlukan tubuh untuk sintesis
protein dikarenakan pada kondisi protein dalam tubuh (Tejasari, 2005).
malnutrisi, tubuh kehilangan suplai SAA daun kelor sebesar 36,9% dengan
asam amino yang menyebabkan asam amino pembatasnya adalah
penurunan sintesis protein metionin dan sistin. Dengan demikian,
(Adityawarman, 2008). Penelitian komposisi protein dalam daun kelor
terdahulu juga melaporkan bahwa merupakan asupan yang tepat untuk
kombinasi berbagai asam amino mensintesa plasma protein terutama
esensial: arginin, histidin, isoleusin, albumin di dalam tubuh.
leusin, lysine, metionin, fenilalanin, Kadar albumin terendah pada
treonin, triptofan, dan valin adalah kelompok K(+) membuktikan bahwa
efektif sebagai bagian dari diet protein komposisi protein pada diet normal
untuk produksi plasma protein yang saja tidak mampu memperbaiki status
mana salah satunya adalah albumin albumin yang rendah akibat KEP.
(Madden, et al, 1943). Komposisi protein pada diet normal
Daun kelor merupakan sumber tidak memiliki kandungan asam
protein yang sangat baik dan sekaligus amino esensial, yaitu antara lain
sumber lemak dan karbohidrat yang triptopan, arginin, ornitin, lisin,
sangat rendah (Fuglie, 2001). Terkait fenilalanin, treonin dan prolin, yang
dengan kandungan protein, daun diperlukan untuk sintesis albumin.
kelor memiliki komposisi protein Berdasarkan penelitian, tepung terigu
sebesar 40% dengan 9 asam amino yang menjadi komponen diet normal
esensial pada jumlah yang bervariasi. mengandung sedikit protein dari
Daun kelor juga diindikasikan sebagai gandum, sekitar 9-15%. Sumber
jenis tanaman dengan rasio protein protein terigu juga digunakan secara
tertinggi (Marcu, 2005) yang kaya akan tidak efisien, sebab sebagian besar
10 asam amino esensial yaitu arginin, produksi terigu melalui proses
histidin, isoleusin, leusin, lysine, penggilingan yang menyebabkan
metionin, fenilalanin, treonin, terpisahnya bagian lembaga (germ)
triptofan, dan valin (Simbolon, 2008). gandum, padahal kadar protein

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 37


lembaga ini cukup tinggi (18-26%) dan (grp78) dan penurunan kadar
mendekati mutu protein hewani vegf plasenta pada preeklamsia
(Muchtadi, 2010). dengan hipoalbuminemia.
Pemberian suplementasi tepung Diakses tanggal 30 Agustus
daun kelor (Moringa oleifera) varietas 2010.
Nusa Tenggara Timur dapat <www.adln.lib.unair.ac.id>
meningkatkan kadar albumin darah Almatsier, S. (2003). Prinsip dasar ilmu
tikus Rattus novergicus strain wistar gizi. Jakarta: PT Gramedia
yang diberi diet non protein. Nilai Pustaka Utama.
albumin darah normal diperoleh dari Arisman. (2003). Gizi dalam daur
kelompok K(-) (tidak dikondisikan kehidupan. EGC: Jakarta.
KEP dan tetap menerima diet normal) Banh, Le. (2006). Serum proteins as
sebesar 3,300,08 mg/dl. Nilai markers of nutrition: what are
albumin darah kelompok K(+) we treating?. Nutrition Issues In
(dikondisikan KEP lalu menerima diet GastroEnterology, 43: 1-11.
normal tanpa penambahan tepung Carter, M. (2007). Tingkat albumin
daun kelor) adalah yang paling dalam air seni yang lebih tinggi
rendah, yaitu sebesar 2,750,30 mg/dl. pada odha kaitannya dengan
Hasil Uji statistik One Way Annova risiko penyakit jantung dan
menunjukkan adanya perbedaan ginjal. (10 Agustus 2009).
kadar albumin darah yang signifikan <http://www.aidsmap.com>.
antara kelompok P1, P2, P3 dan P4. Departemen Kesehatan Republik
Penambahan tepung daun kelor Indonesia. (2003). Buku Pedoman
varietas NTT per oral sebesar 720 mg Tatalaksana Gizi Buruk. Dinas
pada diet normal tikus yang KEP (P3) Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
memberikan pengaruh terbaik bagi Fuglie, L.J. (2001). Combating
kadar albumin darah tikus (3,250,17 Malnutrition with Moringa.
mg/dl) sebab mendekati kadar Senegal: Bureau Regional
albumin darah kelompok K(-) Afrika.
(3,300,08 mg/dl). Fuglie, LJ., LArbre de la Vie: Les
Multiples Usages du Moringa.
RUJUKAN (2002). Church World Service,
Adityawarman. (2008). Pengaruh 475 Riverside Drive, New York,
perubahan profil asam amino NY 10115.
terhadap peningkatan protein
endoplasmic retikulum stress

38 Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016


Gibson, RS. (2005). Principal of
Nutritional Assessment. United
State: Oxford University Press.
Haninger, N. (2007). Tshikaji
agricultural development
project. (6 Juli
2010).<http://www.gpmchurch
.org>.
Hidayat, B dkk. Kurang Energi Protein
(KEP), Bag SMF Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya, (2 Juli 2009),
<http://www.pediatrik.com>.
Indra, R.M. (1999). Penelitian
Experimental dalam Buku Ajar
Metodologi Penelitian.
Laboratorium Fisiologi. Malang:
FK UNIBRAW.
Johnson-Delaney, C. (1996). Exotic
animal companion medicine
handbook for veterinarians.
Zoological Education Network.
Kristijono A. (2002). Karakteristik
Balita Kurang Energi Protein
(KEP) yang Dirawat Inap di
RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun
19992000.
Montogomery, Rex et all. (1993).
Biochemistry: A Case-Oriented
Approach. St. Louis: University
of Lowa College of Medicine.

Volume 1, Nomor 1, JanuariJuni 2016 39

Anda mungkin juga menyukai