Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

a. Definisi

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kompleks yang

ditandai autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ (Suarjana,

2014), juga ditandai respon imun hiperaktif dan produksi abnormal autoantibodi yang

akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan organ (Sawla et al., 2012). Menurut

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), SLE adalah penyakit inflamasi autoimun

kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis luas dan perjalanan

penyakit yang beragam.

b. Epidemiologi

Insiden tahunan SLE di Inggris 4.91 per 100.000 penduduk dengan

prevalensi meningkat dari tahun 1999 sebesar 64.99 per 100.000 penduduk menjadi

97.04 per 100.000 penduduk pada tahun 2012. Kejadian SLE pada wanita 6 kali lipat

dibandingkan pria (Rees et al., 2014). Laporan serupa dari Buenos Aires, prevalensi

SLE sebesar 58.6 per 100.000 penduduk dengan kejadian pada wanita 4 kali lipat

dibandingkan pria (Sconik et al., 2014). Data tahun 2002 di RSUP Cipto

Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dilaporkan kasus SLE 1.4% dari total kunjungan

pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sedangkan di RS Hasan Sadikin

Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke

poliklinik reumatologi selama tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).


9

Data pasien SLE di RS dr. Moewardi Surakarta tahun 2011 adalah 2,75% dari seluruh

kunjungan pasien Poli Reumatologi (Adnan, 2012).

c. Imunopatogenesis

Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan dengan jenis

kelamin wanita sangat kuat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor tersebut memicu

kerusakan ireversibel toleransi imunologis yang bermanifestasi pada respon imun

terhadap antigen inti endogen (Bertsias et al., 2012). SLE ditandai dengan hilangnya

self-tolerance secara global dengan aktivasi sel T autoreaktif dan sel B yang

menyebabkan produksi autoantibodi patogen dan kerusakan jaringan. Mekanisme imun

innate berperan penting terhadap respon imun adaptif abnormal pada SLE (Choi et al.,

2012). Gangguan mekanisme regulasi imun seperti gangguan pembersihan sel-sel

apoptosis dan kompleks imun berperan penting dalam perkembangan SLE. Hilangnya

toleransi imun, meningkatnya antigenic load, bantuan sel T berlebihan, gangguan

supresi sel B dan peralihan respons imun dari T helper 1(Th1) ke Th2 menyebabkan

hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik (Suarjana, 2014; Musai,

2010). Faktor genetik, lingkungan, hormonal, epigenetik, dan imunoregulasi berperan

secara berurutan dan simultan pada sistem imun. Faktor-faktor tersebut berinteraksi

sehingga muncul autoantibodi, kompleks imun, sel T autoreaktif, dan sitokin-sitokin

inflamasi yang dapat mengawali dan memperkuat inflamasi serta kerusakan berbagai

organ. Organ target yang terpengaruh dirusak lebih lanjut oleh faktor lokal seperti pada

gambar 1 (Tsokos, 2011).


10

Gambar 1. Ikhtisar patogenesis SLE (Tsokos, 2011)

Aktivasi sel T dan sel B memerlukan stimulasi gen spesifik. Bahan

kimia yang iritatif seperti pristan, DNA, dan fosfolipid dinding sel bakteri, antigen

virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA pada mencit. Selain itu self antigen seperti

kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi.

Antigen lingkungan dan self antigen ditangkap oleh antigen presenting cell (APC) atau

diikat oleh antibodi pada permukaan sel B. APC dan sel B memproses antigen menjadi

peptida kemudian menyajikannya pada sel T melalui molekul HLA (Human Leukocyte

Antigen) permukaan sel. Sel T aktif ini akan merangsang sel B memproduksi

autoantibodi yang patogenik. Selain stimulasi kontak, interaksi APC, sel T dan sel B

difasilitasi oleh berbagai sitokin dan membutuhkan molekul tambahan seperti sistem

CD40/CD40L dan B7/CD28/CTLA4 untuk menginisiasi sinyal kedua (Mok dan Lau,

2003).
11

Perkembangan SLE terjadi dalam beberapa tahap. Terdapat periode waktu

panjang sejak predisposisi sampai dengan autoimunitas yang dipengaruhi oleh

kecenderungan genetik, jenis kelamin dan paparan lingkungan, kemudian sebagian kecil

akan berkembang menjadi autoantibodi yang biasanya mengawali gejala klinis dalam

periode bulan sampai dengan tahun. Sebagian individu dengan autoantibodi

berkembang menjadi SLE secara klinis, dimulai dengan keterlibatan sejumlah kecil

sistem organ, pemeriksaan laboratorium abnormal dan akhirnya terdiagnosis SLE.

Setelah beberapa tahun individu akan mengalami kekambuhan penyakit secara

intermiten dan perbaikan walau tidak total, kerusakan organ, komorbiditas, inflamasi

kronik (Hahn, 2013).

Imunopatogenesis SLE dapat dijelaskan melalui berbagai tahapan, seperti

ditunjukkan pada gambar 2. Diawali dengan stimulasi respon imun innate dan adaptif

oleh autoantigen. Peningkatan produksi autoantigen selama terjadi apoptosis baik terkait

dengan paparan sinar ultraviolet dan atau spontan akan merangsang sitem imun innate

dan adaptif. Nukleosom mengandung ligan endogen yang dapat mengikat pathogen

associated molecule pattern yang tergabung dengan blebs apoptosis yang memicu

aktivasi sel dendritik untuk memproduksi interferon dan memicu sel B untuk

memproduksi autoantibodi (Bertsias et al., 2012).


12

Gambar 2. Imunopatogenesis SLE (Bertsias et al., 2012)

Sel makrofag/monosit, sel dendritik, dan sel limfosit B berproses dan

mempresentasikan antigen (APC). Sel-sel pada sistem imun innate diaktifasi melalui

jalur TLR (toll like receptors) oleh protein DNA atau RNA. Sel dendritik teraktivasi,

berubah dari tolerogenik menjadi sel dendritik pro inflamasi yang mensekresi sitokin

inflamasi (IFN), sel makrofag/monosit mensekresi TNF- dan IL-1, IL-12, serta IL-23.

Sitokin tersebut merupakan hasil aktifasi sel T efektor yang membantu sel B membuat

imunoglobulin G yang bersifat autoantibodi, menginfiltrasi jaringan dan bersifat

sitotoksik. Aktifasi sel limfosit B secara langsung oleh DNA/RNA melalui jalur TLR

dan IFN, dibantu oleh sel T untuk mensekresi autoantibodi juga maturasinya menjadi

sel plasma oleh BLyS (B-lymphocyte stimulator)/BAFF (B cellactivating factor),

IL-6, dan beberapa sitokin lainnya (Hahn, 2013).


13

Autoantibodi merupakan efektor utama pada SLE. Namun tidak cukup

menimbulkan gejala penyakit, sehingga penumpukan autoantibodi di jaringan

membutuhkan aktifasi sistem komplemen dan atau mediator inflamasi lainnya, serta

kemotaksis limfosit dan polimorfonuklear, pelepasan sitokin, kemokin, enzim

proteolitik, sehingga menyebabkan kerusakan organ (Hahn, 2013). Kompleks imun

merupakan penyebab utama kerusakan jaringan pada SLE. Kompleks imun terbentuk

dalam jumlah besar sebagai antibodi antinuklear yang terikat pada materi nuklear di

darah dan jaringan yang tidak dapat dibersihkan dengan baik karena reseptor Fc dan

komplemen berkurang dalam hal jumlah maupun fungsinya (Tsokos, 2011).

Hiperaktifasi sel T dan atau sel B menyebabkan SLE dengan meningkatkan jumlah

autoantibodi dan sitokin pro inflamasi (Hahn, 2013).

2. Interleukin 10 (IL-10)

Sitokin berperan penting dalam patogenesis SLE. Sitokin adalah faktor terlarut

yang berperan dalam diferensiasi, maturasi dan aktivasi berbagai sel imun. Sitokin juga

menyebabkan respon inflamasi lokal yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan

jaringan (Yap dan Lai, 2010). Pelepasan dan fungsi abnormal berbagai sitokin terjadi

pada pasien SLE maupun hewan coba baik in vitro maupun in vivo. Sitokin-sitokin

tersebut dapat memiliki efek pro inflamasi maupun anti inflamasi, atau keduanya

tergantung pada lingkungan spesifiknya (Su et al., 2012).

IL-10 merupakan sitokin imunoregulasi yang berperan penting dalam reaksi

imun dan inflamasi. IL-10 adalah penghambat kuat aktivasi sel monosit, dendritik dan

makrofag sehingga menurunkan produksi mediator proinflamasi termasuk sitokin dan

kemokin, molekul adesi dan asesori sehingga mengurangi stimulasi sel T (Beebe et al.,

2002). Target utama IL-10 pada sel-sel imun adalah APC dan limfosit. IL-10
14

menghambat kapasitas APC dari monosit dan makrofag dengan melakukan down

regulasi MHC II, molekul kostimulasi dan adesi, juga menghambat produksi IFN dari

limfosit T sehingga menghambat secara langsung proliferasi sel T CD4+ dengan akibat

merusak respon imun seluler dan terjadi ketidakseimbangan Th1/Th2 (Su et al., 2012).

IL-10 merupakan kofaktor kuat proliferasi sel B yang diaktifkan oleh anti IgM,

CD40 dan memicu produksi imunoglobulin oleh sel B. Kultur sel B teraktifasi dalam

jangka waktu lama dengan adanya IL-10 menyebabkan diferensiasi sel B menjadi sel

plasma. Paparan dalam waktu lama oleh IL-10 juga menyebabkan modulasi fungsi dan

fenotip monosit dan sel T. Pada gambar 2 di bawah ini, IL-10 menghambat fungsi sel

monosit dan sel dendritik namun menstimulasi aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel

B (Beebe et al., 2002; Saxena et al., 2014). Namun IL-10 juga dapat diproduksi oleh sel

B. Sel B dapat berfungsi sebagai regulator positif dan negatif dalam respon imun.

Regulasi positif pada sistem imun adalah dengan membentuk antibodi spesifik terhadap

antigen dan memicu aktivasi sel T optimal. Regulasi negatif terjadi dengan produksi

sitokin imunomodulator, hal ini ditunjukkan oleh berbagai penelitian dengan tikus

model autoimun/inflamasi. Sekresi IL-10 oleh sel B mengakibatkan menurunnya

aktivasi dan fagositosis makrofag, berkurangnya produksi sitokin dan nitric oxide, pada

APC menyebabkan berkurangnya presentasi antigen, berkurangnya produksi sitokin dan

molekul kostimulasi, sedangkan pada sel Th menyebabkan kecenderungan terhadap Th2

dan menjauhi TH1 dan Th17 (Kalampokis et al., 2013).


15

Gambar 3. Efek inhibisi dan stimulasi IL 10 (Beebe et al.,2002)

Pasien SLE dengan peripheral blood mononuclear cell dikultur tanpa stimulasi

menghasilkan IL-10 33 kali lebih banyak daripada control/orang sehat (Llorente et al.,

1993). Ini berarti produksi IL-10 lebih tinggi pada pasien SLE. Sebagian besar IL-10

berasal dari monosit dan limfosit B, hanya sebagian kecil berasal dari limfosit T. Kadar

serum IL-10 terbukti lebih besar 3 sampai 12 kali lipat pada pasien SLE dibandingkan

kontrol sehat. Hubungan IL-10 dengan aktifitas penyakit telah dibuktikan oleh semua

penelitian yang meneliti hal ini. Kadar serum IL-10 sekitar 9 kali lebih tinggi pada

pasien SLE dengan penyakit aktif dibandingkan kontrol normal dan terkait dengan skor

SLEDAI (Park et al., 1998). Serum IL-10 juga terkait dengan perubahan skor SLEDAI

setelah pemberian terapi (Beebe et al., 2002; Wang et al., 2004; Saxena et al., 2014).

3. High Sensitivity C-Reactive Protein (hsCRP)

C- Reactive Protein (CRP) ditemukan pada tahun 1930 karena kemampuannya

mempresipitasi polisakarida C dari Streptococcus pneumonia. CRP merupakan protein

reaktan fase akut pertama ditemukan, kadarnya meningkat drastis selama proses
16

inflamasi atau infeksi, keganasan dan kerusakan jaringan. Tempat utama sintesis dan

sekesi protein adalah hati dan jaringan lemak, sebagai respon terhadap IL-6, diproduksi

terutama oleh makrofag dan adiposit. CRP meningkat di atas batas normal dalam 6 jam

dan puncaknya pada sekitar 48 jam. Pasien dengan inflamasi kronik seperti SLE kadar

CRP meningkat seiring dengan meningkatnya risiko kardiovaskuler (Genest, 2010).

Induksi CRP pada hepatosit diatur oleh IL-6 melalui aktivasi faktor transkripsi

STAT3, Rel protein (NFB) (Black et al., 2004). CRP yang beredar dalam sirkulasi

melakukan opsonisasi bakteri dan sel-sel apoptosis, memfasilitasi klirens melalui sistem

komplemen dan fagositosis yang dimediasi FcR. Ligasi CRP dapat berperan dalam

pelepasan sitokin imunomodulator oleh sel fagosit. Berbagai bukti menunjukkan serum

CRP yang tertimbun pada jaringan inflamasi akan aktif secara biologis dan bersifat

proinflamasi. (Rhodes et al., 2011).

Gambar 4. Jalur CRP fungsional (Rhodes et al., 2011)


17

Penelitian baru-baru ini dengan menggunakan hsCRP menunjukkan pada

sebagian besar pasien SLE terjadi peningkatan hsCRP selama proses perjalanan

penyakit terlepas dari adanya infeksi akut secara bersamaan. Peningkatan CRP juga

terkait dengan keterlibatan muskuloskeletal, pulmonal dan ginjal pada SLE. (Lee,

2008).

Pemeriksaan CRP standar dan hsCRP hanya berbeda pada kalibrasi alat,

sehingga semua laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan CRP standar juga

dapat melakukan pemeriksaan hsCRP (Genest, 2010). hsCRP adalah teknik yang

digunakan untuk mendeteksi kadar CRP yang lebih rendah dibandingkan dengan

pemeriksaan CRP standar (Rezaiyeyazdi et al., 2011). Pemeriksaan CRP konvensional

mengukur kadar lebih dari 3 mg/l sedangkan hsCRP dapat mendeteksi CRP pada kadar

0,3 mg/l (Mok et al., 2013). Beberapa penelitian menyebutkan batas kadar CRP 5-6

mg/dl, bila lebih dari batas tersebut dicurigai terdapat infeksi. Kadar hsCRP signifikan

lebih tinggi pada pasien SLE dengan kerusakan organ dibanding tanpa kerusakan organ

(Lee et al., 2008).) Kadar hsCRP lebih dari 5 mg/dl terkait dengan infeksi akut dengan

spesifitas 80%, bila hsCRP 6 mg/dl spesifitas 84% (Firooz et al., 2011). Kadar serum

hsCRP dipengaruhi oleh faktor usia, ras, infeksi, indeks massa tubuh, keganasan,

kejadian kardiovaskuler dan obat. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kadar CRP

meningkat pada pasien SLE terutama ketika diperiksa dengan metode high sensitivity.

(Rezaiyeyazdi et al., 2011; Lee et al., 2008). Peningkatan kadar CRP tidak terlalu tinggi

pada pasien SLE dengan penyakit aktif tanpa tanda infeksi (Firooz et al., 2011).

Kadar hsCRP meningkat pada pasien SLE dibandingkan kontrol normal tanpa

dipengaruhi aktifitas penyakit, penanda laboratorium dan keterlibatan organ lain. Hasil

penelitian tersebut sama dengan penelitian oleh Barnes, Karadag dan Williams
18

(Rezaiyeyazdi et al., 2011; Lee et al., 2008). Terdapat hubungan antara hsCRP dengan

aktifitas penyakit SLE (Lee et al., 2008). Kadar hsCRP terkait dengan kerusakan

pulmonal dan sistem endokrin juga menunjukkan hubungan signifikan hsCRP dengan

risiko kardiovaskuler pada pasien SLE (Mok et al., 2013).

4. Mencit Model Lupus

Mencit BALB/c yang diberikan injeksi pristan menyebabkan gambaran yang

memenuhi kriteria lupus yaitu artritis, ANA, anti-dsDNA, anti-Sm, immune complex-

mediated glomerulonephritis, pulmonary capillaritis (pulmonary vasculitis) dan

didapatkan IFN1 pada darah perifer. Inflamasi pada perikardium dan pleura juga terjadi.

Mencit dengan injeksi pristan memenuhi 4 kriteria ACR 1997 untuk penegakan SLE,

yaitu anti ds DNA, artritis, lupus nefritis, dan vaskulitis. Seperti SLE pada manusia,

SLE pada mencit juga cenderung terjadi pada mencit betina (Reeves et al., 2009).

Mencit Balb/c yang diberikan injeksi minyak hidrokarbon (pristan) 0,5 ml secara

intraperitoneal, menunjukkan bahwa mencit normal dapat mengalami sindrom autoimun

seperti lupus. Penelitian ini menunjukkan bahwa pristan dapat memicu apoptosis in

vitro dan in vivo. Pristan menghentikan pertumbuhan sel dan memicu kematian sel

secara apoptosis melalui jalur mitokondria dengan aktivasi caspase. Terbentuknya

autoantigen inti yang dipicu oleh pemberian pristan tersebut sehingga terjadi apoptosis

sel-sel limfoid di dalam kavum peritoneal akan memulai perkembangan autoimunitas

(Calvani et al., 2007).

Pristan (Tetramethylpentadecane/TMPD) merupakan alkalin isoprenoid yang

ditemukan pada tumbuhan dan organisme laut (alga, plankton) yang dapat menginduksi

SLE pada hewan bila diberikan secara intraperitoneal. Pristan dapat memicu

autoantibodi dan manifestasi klinis SLE (Calvani et al., 2007). Injeksi pristan
19

intraperitoneal pada mencit BALB/c akan menyebabkan glomerulonefritis, arthritis,

ANA dan berbagai autoantibodi lupus seperti anti-dsDNA dan anti-Sm. Produksi

autoantibodi karena pristan ini melalui jalur signal IFN 1 yang merupakan mediator

kunci SLE dan menghubungkan respon imun innate dan adaptif. Peningkatan IFN 1

terjadi pada pasien SLE dan diketahui sejak 30 tahun lalu (Reeves et al., 2009).

Gambar 5. Struktur kimia pristan (2,6,10,14-tetramethylpentadecane) (Reeves et al,


2009)

Imunoglobulin G antoantibodi yang diinduksi pristan berhubungan dengan SLE,

dengan target komponen inti sel yaitu ds DNA, single-stranded DNA, kromatin, Sm,

RNP dan ribosomal P. Pristan memicu produksi IFN dan IFN oleh monosit imatur

(Ly6Chi). Injeksi pristan intrapritoneal memicu produksi MCP-1 (CCL2), suatu

kemokin yang menginduksi produksi IFN 1 dan menyebabkan keluarnya monosit

imatur dengan penanda permukaan sel CD11b, Ly6Chi, Mac-3, F4/80, dan CCR2 dari

sumsum tulang menuju kavum peritoneum. Gambar 6 menunjukkan mekanisme pristan

dalam menginduksi lupus (Reeves et al., 2009).


20

Gambar 6 . Mekanisme pristan menginduksi lupus (Reeves et al., 2009)

5. Secretome sel punca mesenkimal

Sel punca adalah sel tubuh yang memiliki kemampuan istimewa

memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri dan mampu berdiferensiasi

menjadi sel lain, sehingga dapat membentuk jaringan dan organ (Hui et al., 2011). Sel

punca mesenkimal adalah prototipe sel punca dewasa yang mempunyai kapasitas

memperbarui diri dan berdiferensiasi dengan jaringan distribusi yang luas (Williams dan

Hare, 2011). Sel punca mesenkimal diidentifikasi di sumsum tulang dan dapat

dimurnikan dari berbagai jaringan seperti adiposa (Madrigal et al., 2014), jantung

(Hoogduijn et al., 2007), Wharton 's jelly tali pusat (Chao et al, 2008), darah perifer (He

et al., 2007), darah haid (Meng et al., 2007) dan vili korionik (Yang et al., 2013). Pada

mencit dewasa, sel punca mesenkimal dapat diisolasi dari hampir semua tipe jaringan

seperti otak, limpa, hati, paru, sumsum tulang, otot, timus, aorta, vena cava dan
21

pankreas (Williams dan Hare, 2011). Sel tersebut dapat dikembangkan luas secara in

vitro untuk digandakan sampai 50 sel tanpa diferensiasi (Carrion dan Figueroa, 2011).

Sel punca mesenkimal dapat menghindar dari pengenalan sel T, menekan respon

sel T terhadap mitogen dan memperpanjang survival skin graft pada babon. Ini

ditemukan pada penelitian oleh Bartholomew tahun 2002. Meskipun memiliki efek

imunomodulasi yang beragam dan kemudian terbukti mempengaruhi limfosit T dan B,

natural killer dan APC, sel punca mesenkimal bersifat hipoimunogenik (Carrion dan

Figueroa, 2011).

Sel punca mesenkimal menghasilkan sejumlah besar faktor yang disekresikan

seperti sitokin, kemokin dan growth factor yang memediasi beragam fungsi melalui

signal antara berbagai tipe sel. Di dalam niche, sel punca mesenkimal mengendalikan

survival, proliferasi dan diferensiasi sel punca, juga berperan dalam regenerasi jaringan

baik secara lokal maupun jarak jauh. Mediator terlarut tersebut dapat bertindak secara

langsung, memicu mekanisme intraseluler pada sel yang cedera atau secara tidak

langsung memicu sekresi mediator aktif oleh sel-sel di sekitarnya (Maumus et al.,

2013). Aktivitas memodulasi penyakit oleh sel punca mesenkimal karena produk yang

disekresikan oleh sel punca tersebut (Madrigal et al., 2014). Efek parakrin ini pertama

kali diamati pada mencit model penyakit jantung, sel punca mesenkimal sumsum tulang

disuntikkan ke dalam infark jantung tidak berdiferensiasi menjadi kardiomiosit secara

fisiologis dalam kondisi in vivo (Murry et al., 2004). Sel punca mesenkimal yang

diberikan injeksi intravena, sebagian sel punca tersebut didapatkan di paru-paru dan

jantung dan hanya sebagian kecil memasuki jaringan patologi yang rusak di jantung

(Wang et al., 2012). Efek anti-inflamasi dan pengurangan ukuran infark jantung

merupakan akibat dari sekresi sel punca (Lee et al., 2009). Pada mencit model kandung
22

kemih hiperaktif, sel punca mesenkimal tidak tertanam ke dalam kandung kemih yang

rusak, tetapi meningkatkan ekspresi gen sel (Song et al., 2014).

Penelitian eksperimental dan uji klinis telah membuktikan bahwa manfaat sel

punca mesenkimal sebagian besar bergantung pada faktor pertumbuhan dan sitokin,

bukan karena transplantasi sel (Gallina et al., 2015). Faktor regulasi yang disekresikan

oleh sel punca messenkimal meliputi faktor pertumbuhan, sitokin dan kemokin. Sel

punca mesenkimal tidak hanya mensekresi faktor regeneratif namun juga faktor akibat

respon terhadap stimulus. Kondisi hipoksia, penambahan rangsang inflamasi, dan

penumbuhan sel kultur dalam bidang 3 dimensi akan merangsang sekresi dari faktor

terapi sesuai yang diharapkan (Madrigal et al., 2014).

Gambar 7. Pemberian sistemik sel punca mesenkimal menimbulkan efek jauh / lokal
(Madrigal et al., 2014)

Sel punca mesenkimal yang diberikan kondisi hipoksia akan mensekresi

berbagai mediator terapeutik parakrin. Kondisi tersebut menyebabkan keluarnya VEGF,


23

Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2), Hepatocyte Growth Factor (HGF), Insulin like

Growth Factor-1 (IGF-1) melalui jalur NFB. Kondisi hipoksia akan menstimulasi

peningkatan produksi growth factor dan molekul-molekul antiinflamasi (Madrigal et al.,

2014). Medium terkondisi hipoksia dari sel punca mesenkimal sumsum tulang dapat

memperbaiki fungsi neurologis pada tikus model jejas traumatik otak secara signifikan

lebih baik daripada penggunaan medium terkondisi normoksia (Chang et al., 2013).

Efek potensial antiinflamasi/imunomodulasi secretome juga tampak pada penelitian

klinis yang menunjukkan manfaatnya dalam menghambat graft versus host disease

(Madrigal et al., 2014).

Pemberian secara sistemik sel punca mesenkimal akan menimbulkan efek jauh

atau efek lokal (parakrin) meliputi angiogenesis, diferensiasi dan pertumbuhan sel,

hambatan fibrosis dan hambatan apoptosis. Efek imunomodulasi yaitu : supresi sel T

dan sel B, diferensiasi sel T, inhibisi sel NK, inhibisi maturasi sel dendritik, seperti

ditunjukkan gambar 6 (Carrin dan Figueroa, 2011). VEGF merupakan modulator kunci

angiogenesis, proliferasi sel endotel dan migrasi, kemotaksis, dan permiabilitas kapiler,

yang diregulasi dalam sejumlah kondisi fisiologis dan patologis yang berhubungan

dengan hipoperfusi dan/atau hipoksia. VEGF bekerja sebagai molekul anti-apoptosis

dengan menekan p53 yang dimediasi apoptosis oleh aktivasi FAK (focal adhesi kinase),

dan juga dengan mempromosikan Bcl-2 dan A1 (Tachi et al., 2008).

HGF dapat bekerja sebagai imunomodulator. Sel dendritik yang diberikan HGF

dapat menurunkan kemampuan sel dendritik untuk memicu inflamasi oleh sel Th1

melalui blokade ekspresi molekul ko-stimulator seperti CD80 dan CD86. Penelitian lain

menunjukkan pemberian HGF secara in vivo melindungi terhadap penyakit autoimun

seperti ensefalomyelitis autoimun dan collagen induced arthritis melalui stimulasi T-reg
24

yang memproduksi sitokin imunosupresif IL10 (Madrigal et al., 2014). Mekanisme

HGF sebagai anti apoptotis dengan menghambat peningkatan jumlah sel B, ekspresi

MHC kelas II oleh sel B dan IgG serum serta anti-DNA. terapi HGF akan menurunkan

ekspresi IL4, ekspansi sel B, dan produksi autoantibodi. Sehingga terapi HGF ini

menghambat penyakit lupus dengan inhibisi pada sel Th2. Mekanisme HGF

menghambat Th2 masih belum diketahui secara pasti. Mekanisme yang mungkin adalah

HGF menekan ekspresi MHC kelas 2 oleh sel B sehingga mengurangi presentasi APC

ke sel T CD4+. (Kuwoira et al., 2006). Mekanisme lain adalah menekan sel dendritik,

induksi fenotip sel CD4+ yang memproduksi IL-10 dan TGF (Okunishi et al., 2007).

Pengaruh HGF yang dihasilkan oleh sel punca mesenkimal bersifat multifungsional dan

merupakan kombinasi dari angiogenesis, imunomodulasi, dan proteksi terhadap

apoptosis (Madrigal et al., 2014).


25

B. Kerangka berpikir

pristan
TLR9
MyD88
makrofag
NFKB
mitokondria
TNF IL 1B
Apoptosis jalur ekstrinsik
secretome ekstrinsikekstrinsik
Sel limfoid

Apoptotik body
IL 6 TLR7
Sumsum TNF TGF
tulang Monosit
IL 8 Ly6Chi
TNF
E selectin secretome
Complemen
leukositosis
Pembuluh darah Th0
IFN-1
Th2 Sel B autoreaktif
Th1
IL 10 IL 6 Sel Plasma
PMN TLR9
Autoantibodi
hepatosit

hsCRP
Sel mesangial
ginjal
Fibroblas
ECM
MMP 9
ECM
Kolagen tipe IV
Kolagen tipe I

Degradasi kolagen Glomerulosklerosis Fibrosis


interstitial
Mikroalbuminuria
26

Keterangan :
: mengaktifkan/meningkatkan
: menghambat
: efek menurunkan dari secretome
: efek meningkatkan dari SLE
: variabel tergantung
: variabel bebas

Keterangan bagan kerangka konseptual :

Injeksi intraperitoneal pristan pada mencit normal akan menyebabkan manifestasi

klinis SLE. Hal ini diawali dengan terpicunya produksi MCP-1 (CCL2), suatu kemokin yang

menyebabkan keluarnya monosit imatur dan merangsang molekul adaptor MyD88 dan

memicu apoptosis sel-sel limfoid (Reeves et al., 2009) secara in vivo dan in vitro melalui

mekanisme aktifasi caspase jalur mitokondria (Calvani et al., 2007). Apoptotic body akan

dikenali oleh TLR7 sebagai autoantigen. Rangsangan endosomal TLR 7 akan merangsang

monosit imatur yang mengekspresikan Ly6Chi pada permukaannya dan menyebabkan

transkripsi gen IFN-1 sehingga terjadi produksi IFN-1 (Reeves et al., 2009). Autoantigen

yang terbentuk dari inti sel limfoid yang mengalami apoptosis dalam kavum peritoneum

disertai gangguan milieu sitokin menyebabkan autoimunitas (Calvani et al., 2007).

IFN-1 yang terbentuk akan berikatan dengan reseptornya IFNAR dan menyebabkan

aktifasi respon imun innate dan adaptif (Reeves et al., 2009). IFN-1 akan mengaktifkan dari

sel T autoreaktif, mempercepat maturasi sel B dan produksi autoantibodi dan maturasi sel

dendritik (Rottman dan Willis, 2010). IL-10 dan IL-6 merupakan sitokin yang diproduksi

oleh sel Th2 yang dapat memicu pembentukan antibodi (Chun et al., 2007). Mekanismenya

melalui fungsi maturasi sel B menjadi sel plasma sehingga memicu sekresi immunoglobulin

(Yap dan Lai, 2010). IL-10 juga dapat diproduksi oleh sel B. Sel B dapat berfungsi sebagai

regulator positif dan negatif dalam respon imun. Regulasi positif pada sistem imun adalah
27

dengan membentuk antibodi spesifik terhadap antigen dan memicu aktivasi sel T optimal

(Kalampokis et al., 2013). IL-6 akan menginduksi CRP pada hepatosit melalui aktivasi faktor

transkripsi STAT3, Rel protein (NFB) (Black et al., 2004). CRP menyebabkan disfungsi

endotel yang berakibat aterosklerosis sehingga lumen pembuluh darah menjadi sempit dan

terjadi hipoksia sehingga metabolisme aerob berkurang yang menyebabkan produksi ATP

berkurang sehingga metabolisme pompa natrium intrasel kurang aktif dan natrium tidak dapat

keluar ke interseluler yang mengakibatkan retensi air dan edema sel sehingga sel mengalami

onkosis di glomerulus dan terjadi kerusakan sel-sel glomerulus dengan manifestasi

albuminuria (Vallance dan Leiper, 2004; Zoccali et al., 2004; Robbins dan Cotran, 2005).

CRP dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik (Ji et al., 2006).

Adanya autoantigen, antibodi dsDNA bersama dengan sistem komplemen akan menimbulkan

kompleks imun, jika mengendap di target organ akan menyebabkan kerusakan organ

(Banchereau dan Pasqual, 2006).

HGF yang diproduksi oleh sel punca mesenkimal dalam kondisi hipoksia akan

menurunkan ekspansi sel B dan produksi autoantibodi sehingga menghambat penyakit lupus

dengan inhibisi pada sel Th2. Mekanisme HGF menghambat Th2 masih belum diketahui

secara pasti. Mekanisme yang mungkin adalah HGF menekan ekspresi MHC kelas II oleh sel

B sehingga mengurangi presentasi APC ke sel T CD4+. (Kuwoira et al., 2006) Mekanisme

HGF yang lain adalah menekan sel dendritik, induksi fenotip sel CD4+ yang memproduksi

IL-10 dan TGF- (Okunishi et al., 2007). HGF dapat bekerja sebagai imunomodulator. Sel

dendritik yang diberikan HGF dapat menurun kemampuannya untuk memicu inflamasi oleh

sel Th1 melalui blokade ekspresi molekul ko-stimulator seperti CD80 dan CD86 (Madrigal et

al., 2014).

C. Hipotesis Penelitian
28

1. Ada pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap ekspresi IL-10 pada mencit

model lupus dengan induksi pristan.

2. Ada pengaruh secretome sel punca mesenkimal terhadap kadar hsCRP pada mencit

model lupus dengan induksi pristan.

Anda mungkin juga menyukai