Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mie merupakan salah satu produk yang banyak digemari oleh masyarakat
Indonesia. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan mie adalah tepung
terigu. Sedangkan Indonesia tidak bisa memproduksi sendiri gandum sebagai
penghasil tepung terigu, karena iklim yang kurang cocok. Pada saat ini pola
kehidupan masyarakat semakin modern. Banyak masyarakat yang beralih untuk
memilih makanan cepat saji yaitu salah satunya adalah mie. Mie merupakan
produk makanan yang dibuat dari tepung gandum atau tepung terigu dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan yang diizinkan,
berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Dewan Standarisasi Nasional, 1992).
Berbagai keunggulan yang dimiliki mie terutama dalam hal rasa, yang
memiliki berbagai macam pilihan, tekstur dan kenampakan yang menarik, harga
terjangkau, praktis dalam pengolahannya, serta memiliki kandungan gizi yang
cukup baik (Ritantiyah, 2010). Mampu membuat masyarakat banyak beralih pada
mie sebagai pengganti nasi untuk konsumsi setiap harinya.
Tingginya peningkatan konsumsi akan kebutuhan mie meningkatkan pula
kebutuhan volume impor gandum sebagai bahan utama dalam pembuatan tepung
terigu yang merupakan baku baku yang penting dalam pembuatan mie. Sebagai
alternatifnya dapat digunakan beberapa tepung komposit yaitu proporsi antara
tepung terigu dengan tepung mocaf. Tepung mocaf (Modified Cassava Flour) dari
bahan baku singkong dapat digunakan sebagai alternatif pengganti ketergantungan
terhadap tepung terigu. MOCAF dapat mensubstitusi tepung terigu hingga tingkat
subtitusi 15% pada produk mie bermutu tinggi dan hingga 25% untuk mie bermutu
rendah.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan mie basah
2. Berapa lama penyimpanan mie basah pada suhu refrigerator
3. Bagaimana cara mengetahui uji kimia pada mie basah
4. Bagaimana cara mengetahui uji fisik pada mie basah
5. Bagaimana cara mengetahui uji mikrobioligi pada mie basah
6. Bagaimana cara mengetahui uji organoleptic pada mie basah
7. Apa saja faktor kerusakan pada mie basah

1.3. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :


1. Untuk mengetahui proses pembuatan mie basah
2. Untuk mengetahui lama penyimpanan mie basah pada suhu refrigerator
3. Untuk mengetahui uji kimia pada mie basah
4. Untuk mengetahui uji fisik pada mie basah
5. Untuk mengetahui uji mikrobioligi pada mie basah
6. Untuk mengetahui uji organoleptic pada mie basah
7. Untuk mengetahui faktor kerusakan pada mie basah

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Mie


Mie merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia
khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Menurut legenda, mie pertama kali
dibuat dan diproduksi oleh Cina kira-kira 2000 tahun yang lalu di bawah
kekuasaan dinasti Han. Dari Cina, mie berkembang dan menyebar ke Jepang,
Korea, Taiwan, Indochina dan Asia Tenggara, bahkan meluas ke seluruh dunia,
termasuk Amerika Serikat dan daratan Eropa (Kuntaraf, 1984). Mie yang pertama
kali ditemukan oleh bangsa China berbahan baku beras dan tepung kacang-
kacangan (Puspasari, 2007).
Menurut Standar Industri Indonesia (SII 2046-90) yang dimaksud dengan
mie merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung gandum atau tepung
terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan.
Mie merupakan salah satu produk yang banyak disukai oleh semua kalangan
masyarakat. Mie yang disukai masyarakat Indonesia adalah mie dengan warna
kuning, bentuk khas mie yaitu berupa pilinan panjang yang dapat mengembang
sampai batas tertentu dan lenting serta ketika direbus tidak banyak padatan yang
hilang (Setianingrum dan Marsono, 1999). Pada pembuatan mie, tepung terigu
dijadikan adonan tanpa fermentasi oleh ragi, dilebarkan menjadi lembaran tipis,
kemudian diiris panjang-panjang dan dikeringkan. Saat ini pengerjaan pengirisan
ini sudah dilakukan dengan menggunakan alat (Soediatama, 1993).
Dalam ilmu pangan, mie dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu mie
segar atau mie mentah, mie basah, mie kering, mie goreng dan mie instan.
Beberapa jenis mie diatas, saat ini telah dikonsumsi sebagai salah satu alternatif
pengganti nasi. Hal ini tentu menguntungkan ditinjau dari sudut
penganekaragaman bahan pangan. Dengan menganekaragamkan konsumsi bahan
pangan, kita dapat terhindar dari ketergantungan pada suatu bahan pangan
terpopuler saat ini, yaitu beras (Astawan, 2004)
Standar mutu dalam mie dalam dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Standar Mutu Mie

3
Komposisi Zat Gizi yang terkandung Kriteria
Air Maksimal
Lemak Maksimal
Protein Maksimal
Karbohidrat Maksimal
Abu Maksimal
Serat kasar Maksimal
Kalori/100 gr Minimal
Bau dan rasa Normal tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Standar Mutu Mie Departement Perindustrian RI, 2001

2.2. Jenis-Jenis Mie

Mie diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya ukuran diameter


produk, bahan baku, cara pengolahan, dan karakteristik produk akhirnya.
Berdasarkan bahan bakunya, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan
bakunya berasal dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan
(transparence noodle) dari bahan baku pati, misalnya soun dan bihun (Puspasari,
2007).

Menurut (Astawan, 2006), berdasarkan kadar airnya serta tahap


pengolahannya, mie dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:

1. Mie mentah atau segar, dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran
adonan dengan kadar air 35%. Penyimpanan dalam refrigerator dapat
mempertahankan kesegaran mie ini hingga 50-60 jam. Umunya digunakan
untu bahan baku mie ayam.
2. Mie basah adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami
penggodokan dalam air mendidih lebih dahulu dengan kadar air 52%
sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar).
3. Mie kering adalah mie mentah yang langsung dikeringkan dengan kadar air
10%. Biasanya jenis mie telor dan mie instan.

4
4. Mie goreng adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan terlebih dahulu di
goreng.
5. Mie instan atau mie siap hidang adalah mie mentah yang telah mengalami
pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau
digoreng sehingga menjadi mie instan goreng.

2.3. Fungsi bahan-bahan yang digunakan


Proses pembuatan mie memerlukan berbagai bahan tambahan yang masing-
masing bertujuan, antara lain untuk menambah volume, nenperbaiki mutu ataupun
citrasa serta warna. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie basah
antara lain:

Tepung terigu
Tepung terigu diperoleh dari tepung gandum (Triticum vulgare) yang
digiling. Tepung terigu yang digunakan sebaiknya mengandung gluten 8-12%.
Tepung terigu ini tergolong medium hard flour dikenal sebagai Segitiga Biru atau
Gunung Bromo. Gluten adalah protein yang terdapat pada terigu. Gluten bersifat
elastis sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mie yang
dihasilkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Sodium Tripolyphosphate (STTP)

Sodium Tripolyphosphate merupakan senyawa polifosfat dari natrium


dengan rumus Na5P3O10. STPP berbentuk bubuk atau granula berwarna putih
dan tidak berbau. Kelarutan STPP dalam air sebesar 14.50 gr per 100 ml pada suhu
25oC (larutan 1%) (Jatmiko, dan Teti, 2014)

STTP dapat mempengaruhi kekenyalan dan kelenturan mie. STTP memiliki


sifat dapat mempengaruhi terbentuknya gluten pada mie, sehingga sangat
berpengaruh terhadap tekstur mie yang dihasilkan, dimana tekstur mie akan
menjadi lebih liat. Selain itu STPP juga dapat mengikat air sehingga dapat
menurunkan aktivitas air sehingga kerusakan karena faktor mikroba dapat dicegah
(Setiavani, 2010).

Garam Q

5
Garam alkali memiliki peranan yang sangat dalam pembuatan mie. Garam
alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3),
kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat (KH2PO4). Garam alkali ini dapat
ditambahkan masing-masing atau kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-
masing bahan alkali tersebut berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk
meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. Kalium karbonat berfungsi untuk
meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas
dan fleksibilitas mie (Puspasari, 2007).
Menurut (Suyanti, 2010) fungsi penambahan garam alkali pada pembuatan
mie adalah menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mie yang lentur,
mengubah sifat mie pati tepung terigu sehingga mie menjadi lebih kenyal dan
mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah. Semakin
besar garam alkali yang digunakan, mie semakin keras dan kenyal. Namun
penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap pada mie
yang dihasilkan Batas maksimum garam alkali yang ditambahkan pada pembuatan
mie adalah 1% dari total pemakaian tepung terigu yang digunakan.

Telur
Penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein mie dan
menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus. Putih telur
berfungsi untuk mencegah kekeruhan mie pada proses pemasakan. Kuning telur
digunakan sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada
tepung dan mengembangkan adonan (Astawan, 1999).

Air
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat,
melarutkan garam dan membentuk sifat kenyal. Pati dan gluten akan mengembang
dengan adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 9, hal
ini diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk
pasta yang baik. Penambahan air yang terlalu sedikit akan membuat adonan sulit
dicetak. Sedangkan penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan
adonan mie lengket. Air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air
minum, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006). Air

6
juga digunakan untuk merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada
proses perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dapat
meningkatkan kekenyalan mie (Ratnawati, 2003).

2.4. Proses pengolahan Mie


2.4.1. Pencampuran bahan
Tahap pencampuran bahan bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air
berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten. Untuk mendapatkan
adonan yang baik harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jumlah penambahan air (2838 %)
Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh
dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%,
adonan menjadi basah dan lengket (Yustiareni, 2000).
b. Waktu pengadukan (1525menit)
Apabila kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket,
sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering
Badrudin (1994)
c. Suhu adonan (2440oC)
Apabila suhunya kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan
kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC adonan menjadi lengket dan mie
kurang elastis.

2.4.2. Pembentukan lembaran


Pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten
dan membuat lembaran adonan. Pasta yang dipress sebaiknya tidak bersuhu
rendah yaitu kurang dari 25oC, karena pada suhu tersebut menyebabkan lembaran
pasta pecah-pecah dan kasar. Mutu lembaran pasta yang demikian akan
menghasilkan mie yang mudah patah. Tebal akhir pasta sekitar 1,2 2 mm. Faktor
yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara roll. Suhu yang baik
adalah sekitar 37oC (Puspasari, 2007)

7
2.4.3. Pembentukan mie
Di akhir proses pembentukan lembaran, lembar adonan yang tipis dipotong
memenjang selebar 1 2 mm dengan rool pemotong mie, dan selanjutnya
dipotong melintang pada panjang tertentu, sehingga dalam keadaan kering
menghasilkan berat standar.

2.4.4. Perebusan atau pengukusan


Perebusan atau pengukusan (steaming) dengan uap air bertujuan untuk
menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal.
Proses gelatinisasi ini terjadi dalam beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi,
dan solidifikasi.
a. Pembasahan
Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada permukaannya sehingga mie
bersifat elastis dan tidak mudah patah.
b. Gelatinisasi
Setelah itu, mie tergelatinisasi karena penetrasi uap panas ke dalam mie
sehingga mie menjadi lentur atau liat. Gelatinisasi merupakan peristiwa
pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada
posisi semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan
membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan
kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya
rehidrasi mie (Badrudin, 1994).
c. Solidifikasi
Penguapan air permukaan terjadi pada tahap solidifikasi sehingga mie menjadi
halus, kering, dan solid (kompak). Pati akan meliputi permukaan mie pada saat
mie tergelatinisasi. Fungsinya adalah sebagai pelindung pada saat
penggorengan sehingga mie tidak menyerap minyak terlalu banyak dan tekstur
mie menjadi lembut, lunak, dan elastis. Selain itu, pemborosan minyak pun
dapat dikurangi. Tingkat kematangan mie dapat dilihat dari pati yang
tergelatinisai. Bila proses gelatinisasi tidak sempurna, maka mie matang akan
bersifat rapuh. Selain itu, bila produk dimasak dalam air, maka air akan menjadi
keruh karena larutnya pati yang belum tergelatinisasi. Mie seperti ini saat

8
digoreng akan membentuk gelembung udara dan tekstur mie yang terbentuk
kurang baik.

2.5. Penentuan Kadar Air Mie Basah


2.5.1. Pengertian Air dan Sifat Sifat Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H 2O : satu molekul air
tersusun atas dua atom hidrogen yangterikat secara kovalen pada satu atom
oksigen . Air bersifat tidak berwarna , tidak berasa dan tidak berbau pada
kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K (0
C). Zat kimia ini merupakan suatupelarut yang penting, yang memiliki
kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-garam
,gula , asam , beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organik .
Molekul air dapat diuraikan menjadi unsur-unsur asalnya dengan
mengalirinya arus listrik . Proses ini disebut elektrolisis air. Pada katoda, dua
molekul air bereaksi dengan menangkap dua elektron , tereduksi menjadi gas
H2dan ion hidrokida (OH-). Sementara itu pada anoda, dua molekul air lain
terurai menjadi gas oksigen (O2), melepaskan 4 ion H+ serta mengalirkan
elektron ke katoda. Ion H+ dan OH- mengalami netralisasi sehingga terbentuk
kembali beberapa molekul air. Reaksi keseluruhan yang setara dari elektrolisis
air dapat dituliskan sebagai berikut.
Air adalah pelarut yang kuat, melarutkan banyak jenis zat kimia. Zat-zat
yang bercampur dan larut dengan baik dalam air (misalnya garam-garam) disebut
sebagai zat-zat hidrofilik (pencinta air), dan zat-zat yang tidak mudah
tercampur dengan air (misalnya lemak dan minyak), disebut sebagai zat-zat
hidrofobik (takut-air). Kelarutan suatu zat dalam air ditentukan oleh dapat
tidaknya zat tersebut menandingi kekuatan gaya tarik-menarik listrik (gaya
intermolekul dipol-dipol) antara molekul-molekul air. Jika suatu zat tidak
mampu menandingi gaya tarik-menarik antar molekul air, molekul-molekul zat
tersebut tidak larut dan akan mengendap dalam air.
Air menempel pada sesamanya (kohesi) karena air bersifat polar. Air
memiliki sejumlah muatan parsial negatif (-) dekat atom oksigen akibat
pasangan elektron yang (hampir) tidak digunakan bersama, dan sejumlah muatan
parsial positif (+) dekat atom oksigen. Dalam air hal ini terjadi karena atom

9
oksigen bersifat lebih elektronegatif dibandingkan atom hidrogenyang berarti,
ia (atom oksigen) memiliki lebih kekuatan tarik pada elektron-elektron yang
dimiliki bersama dalam molekul, menarik elektron-elektron lebih dekat ke
arahnya (juga berarti menarik muatan negatif elektron-elektron tersebut) dan
membuat daerah di sekitar atom oksigen bermuatan lebih negatif ketimbang
daerah-daerah di sekitar kedua atom hidrogen.Air memiliki pula sifat adhesi
yang tinggi disebabkan oleh sifat alami kepolarannya.
Air memiliki tegangan permukaan yang besar yang disebabkan oleh kuatnya
sifat kohesi antar molekul-molekul air. Hal ini dapat diamati saat sejumlah kecil
air ditempatkan dalam sebuah permukaan yang tak dapat terbasahi atau
terlarutkan (non-soluble); air tersebut akan berkumpul sebagai sebuah tetesan.
Di atas sebuah permukaan gelas yang amat bersih atau bepermukaan amat halus
air dapat membentuk suatu lapisan tipis (thin film) karena gaya tarik molekular
antara gelas dan molekul air (gaya adhesi) lebih kuat ketimbang gaya kohesi
antar molekul air. Dalam sel-sel biologi dan organel-organel, air bersentuhan
dengan membran dan permukaan protein yang bersifat hidrofilik; yaitu,
permukaan-permukaan yang memiliki ketertarikan kuat terhadap air.

2.5.2. Bentuk dan Tipe Air dalam Suatu Bahan


Air yang terdapat dalam suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk:
Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antarsel dan intergranular dan pori-pori
yang terdapat pada bahan.
Air yang terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan
koloid makromolekulaer seperti protein, pektin pati, sellulosa. Selain itu air
juga terdispersi di antara kolloid tersebut dan merupakan pelerut zat-zat yang
ada di dalam sel. Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat
air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan. Ikatan antara air
dengan kolloid tersebut merupakan ikatan hidrogen.
Air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya
berifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air ini tidak
membeku meskipun pada suhu 0o F.
Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya
tahan bahan itu sendiri. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan

10
terjadi dalam media air yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu
sendiri. Menurut derajat keterikatan air dalam bahan makanan atau bound water
dibagi menjadi 4 tipe, antara lain :
Tipe I adalah tipe molekul air yang terikat pada molekul-molekul air melalui
suatu ikatan hydrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat
dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti
karbohidrat, protein atau garam.
Tipe II adalah tipe molekul-molekul air membentuk ikatan hydrogen dengan
molekul air lain, terdapat dalam miro kapiler dan sifatnya agak berbeda dari
air murni.
Tipe III adalah tipe air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan
seperti membran, kapiler, serat dan lain-lain. Air tipe inisering disebut
dengan air bebas.
Tipe IV adalah tipe air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air
murni, dengan sifat-sifat air biasa.

2.5.3. Kadar Air Dalam Bahan Makanan


Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan
pemanasan. Setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan
mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya. Kadar air bahan
ini disebut dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relatif tertentu dapat
menghasilkan kadar air seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat
hubungan antara kadar air seimbang dengan kelembaban relatif.
Aktivitas air dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Aw = ERH/100
Aw = aktivitas air
ERH = kelembaban relatif seimbang
Bila diketahui kurva hubungan antara kadar air seimbang dengan
kelembaban relatif pada hakikatnya dapat menggambarkan pula hubungan antara
kadar air dan aktivitas air. Kurva ini sering disebut kurva Isoterm Sorpsi Lembab
(ISL). Setiap bahan mempunyai ISL yang berbeda dengan bahan lainnya. Pada
kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang sama belum tentu
memberikan Aw yang sama tergantung macam bahannya. Pada kadar air yang

11
tinggi belum tentu memberikan Aw yang tinggi bila bahannya berbeda. Hal ini
dikarenakan mungkin bahan yang satu disusun oleh bahan yang dapat mebgikat
air sehingga air bebas relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya bahan jenis ini
mempunyai Aw yang rendah.

2.5.4. Penentuan Kadar Air Dalam Bahan Makanan


Kadar air dalam makanan dapat ditentukan dengan berbagai cara:
Metode Pengeringan (Thermogravimetri)
Prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jlaan pemanasan.
Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan berarti semua air sudah
diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahannya antara lain:
Bahan lain di samping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan
uap misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri, dan lain-lain.
Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah
menguap lain. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak
mengalami oksidasi dan sebagainya.
Bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit
melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
2.6. Metode Destilasi (Thermovolumetri)
Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air demgan
pembawa cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan
tidak dapat campur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah daripada
air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain: toluen, xylen, benzen,
tetrakhlorethilen dan xylol.
Cara penentuannya adalah dengan memberikan zat kimia sebanyak 75-100 ml
pada sampel yang diperkirakan mengandung air sebanyak 2-5 ml, kemudain
dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia tersebut diembunkan dan
ditampung dalam tabung penampung. Karena berat jenis air lebih besar
daripadazat kimia tersebut maka air akan berada dibagian bawah pada tabung
penampung. Bila pada tabung penampung dilengkapi skala maka banyaknya air
dapat diketahui langsung. Alat yang dipakai sebagai penampung ini antara lain
tabung Strak-Dean dan Sterling-Bidwell atau modifikasinya.

12
2.7. Penetapan Jumlah Mikroba pada Mie Basah
Pertumbuhan bakteri pada pangan dapat menimbulkan berbagai
perubahan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Bakteri yang
merugikan misalnya yang menyebabkan kerusakan atau pembusukkan pangan,
dan sering menimbulkan penyakit dan keracunan. Sedangkan bakteri yang
menguntungkan adalah yang berperan dalam proses fermentasi pangan.
Banyak tersedia metode untuk menganalisa jumlah mikroorganisme dalam
suatu sampel, diantaranya adalah plate count (spread plate, pour plate, spiral
plate), membrane filtration, MPN, menghitung langsung dengan Petroff Hausser
ataupun cara lainnya (misalnya aktivitas metabolik, turbidimetri, berat kering dan
lain-lain) (Cowhx, 1969). Karena ukuran bakteri sangat kecil, menghitung jumlah
bakteri dalam sampel sangat sulit. Meskipun menghitung jumlah langsung dengan
mikroskop, akan memerlukan banyak waktu dan keahlian. Sebuah metode yang
lebih mudah adalah untuk menyebarkan bakteri di wilayah yang luas (plate agar
yaitu nutrisi) dan menghitung jumlah koloni yang tumbuh. Jika bakteri ini
menyebar cukup, setiap sel bakteri dalam sampel asli harus menghasilkan koloni
tunggal. Biasanya, sampel bakteri harus diencerkan jauh untuk mendapatkan
jumlah yang wajar. Ketika seseorang bermaksud untuk menentukan jumlah sel
dalam kultur bakteri salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan
melakukan pengenceran serial (Eema, 2011).
Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai bahan yang bersifat toksik bagi
tubuh yang dapat membuat makanan tersebut tidak layak lagi untuk dikomsumsi.
Penyakit asal makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme dan dipindah
sebarkan melalui makanan terjadi melalui dua mekanisme yaitu pertama
mikroorganisme yang terdapat dalam makanan menginfeksi inang sehingga
menyebabkan penyakit. Dan kedua mikroorganisme mengeluarkan eksotoksim
dalam makanan dan menyebabkan keracunan makanan bagi yang memakannya.
Mie basah merupakan makanan yang populer dalam diet masyarakat
Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk pangan
yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Anonim, 1992).
Salah satu penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan adalah adanya
cemaran biologis mikroba. Penyakit ini menjadi penyebab kematian terbesar pada

13
anak-anak dan dewasa. Selama tiga tahun berturut-turut salmonella dijumpai
sebagai penyebab keracunan pangan di Indonesia dan kemungkinan terjadinya
berkisar antara 12,5 hingga 25,0 % dari cemaran mikroba. Penyakit infeksi atau
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri merupakan
penyakit yang banyak ditemukan dalam masyarakat (Anonim, 2011).
Pangan yang aman dikonsumsi merupakan pangan yang bebas (dibawah
toleransi maksimum yang dipersyaratkan) dari cemaran berbahaya seperti
cemaran biologis, kimia dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat
cemaran suatu pangan, khususnya cemaran biologis maka perlu dilakukan suatu
pengujian baik kualitatif maupun kuantitatif (Winarno dan Betty, 1982).
Menurut SNI (2009), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk
olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang. Menurut
Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan
berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa
bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam
ditandai dengan terdektesinya bau asam pada mie basah yang telah rusak.
Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase
mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu
dan olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang
berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukkan miselia dan spora.
Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali
dengan adanya spora berwarna hitam (Puspasari, 2007).
Berdasarkan SNI 7388 : 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba
dalam mie basah yaitu : Angka Lempeng Total (ALT) dalam 300 C 72 jam = 1
106 koloni/g, APM Escherichia coli 10/g, salmonella sp negatif/25g,
Staphylococcus aureus 1 103 koloni/g, Bacillus cereus 1 103 koloni/g, dan
Kapang 1 104 koloni/g (Anonim, 1992).

2.7.1. Bakteri
Bakteri merupakan mikrobia uniseluler. Pada umumnya bakteri tidak
mempunyai klorofil. Ada beberapa yang berfotosintetik dan reproduksi
aseksualnya secara pembelahan. Bakteri tersebar luas di alam, di dalam tanah,

14
dalam air, dalam makanan, dalam tubuh hewan, manusia dan tanaman. Jumlah
bakteri tergantung dalam keadaan sekitar (Suhartini dkk, 2006).
Bakteri berasal dari kata (Yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi bakteri
digolongkan dalam Divisio Schizomycetes. Bakteri dari kata latin bacterium
(jamak, bacteria) adalah kelompok raksasa dari organisme hidup seperti
mitokondria dan kloroplas. Mereka sangatlah kecil dan kebanyakan uniseluler,
dengan struktur sel yang telatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, sitoskeleton, dan
organel lain (Anonim. 2009). Bakteri adalah makhluk hidup yang sangat kecil dan
hanya dapat dilihat dengan mikroskop (Irianto, 2006).
Bakteri memiliki ciri-ciri yang membedakannnya dengan mahluk hidup lain
yaitu:
1. Organisme multiselluler
2. Prokariot (tidak memiliki membran inti sel )
3. Umumnya tidak memiliki klorofil
4. Memiliki ukuran tubuh yang bervariasi antara 0,12 s/d ratusan mikron
umumnya memiliki ukuran rata-rata 1 s/d 5 mikron.
5. Memiliki bentuk tubuh yang beraneka ragam
6. Hidup bebas atau parasite
7. Yang hidup di lingkungan ekstrim seperti pada mata air panas,kawah atau
gambut dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan (Anonim, 2008)

Bentuk bakteri terdiri atas bentuk bulat (kokus), batang (basil),dan spiral
(spirilia) serta terdapat bentuk antara kokus dan basil yang disebut kokobasil
(Anonim, 2008)
Faktorfaktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya bakteri adalah :
1. Temperatur yang sesuai untuk tumbuhnya bakteri yang menimbulkan
penyakit (pathogen) secara cepat ialah pada suhu 370C, tetapi ia dapat tumbuh
antara suhu 100C-600C.
2. Dengan merebus atau memanaskan sampai mendidih selama beberapa menit
bakteri akan mati, tetapi untuk memusnahkan toksinnya harus direbus minimal
setengah jam, sedangkan membunuh bakteri yang tahan panas tinggi harus
dipanaskan pada suhu 1200C.

15
3. Menyimpan makanan pada suhu rendah (minimal 70C) bukan berarti bakteri
akan mati, melainkan hanya membuat bakteri tersebut nonaktif. Bila temperatur
yang diperlukan untuk tumbuhnya bakteri tersebut memungkinkan maka ia
akan aktif kembali.
4. Dalam pertumbuhannya bakteri memerlukan air. Oleh karena itu, bahan
makanan yang mengandung cairan lebih cepat busuk dibandingkan dengan
bahan makanan atau makanan kering.
5. Setiap dua puluh menit bakteri akan berkembang. Oleh karena itu, dalam
jangka 5 sampai 6 jam, berjuta-juta bakteri akan tumbuh (Widyati dan
Yuliarsih, 2002)

Perhitungan jumlah koloni akan lebih mudah dan cepat jika pengenceran
dilakukan secar desimal. Sebagai contoh misalnya penempatan jumlah mikroba
pada susu. Pengenceran awal 1 : 10 (=10-1) dibuat dengan cara mengencerkan 1
ml susu kedalam 9 ml larutan pengencer, dilanjutkan dengan pengenceran yang
lebih tinggi, misalnya sampai 10-5 atau 10-4, tergantung pada mutu susunya.
Semakin tinggi jumlah mikroba yang terdapat didalam susu, semakin tinggi
pengenceran yang harus dilakukan. Jika setelah inkubasi misalnya diperoleh 60
dan 64 koloni masing-masing pada cawan duplo yang mengandung pengenceran
10-4, maka jumlah koloni dapat dihitung sebagai berikut (1 ml larutan pengencer
dianggap mempunyai berat 1 g) (Fardiaz, 1993).
Faktor pengenceran = pengenceran x jumlah yang ditumbuhkan
=10-4 x 1.0
=10-4
1
=
Faktor pengenceran
= (60 + 64)/ 2 x 1/10-4
= 6.2 x 105

16
Tabel 1. Standar Mutu Mie Basah (SNI 2987-2015)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Mie Basah Mie Basah
Mentah Matang
1. Keadaan
1.1 Bau - Normal Normal
1.2 Rasa - Normal Normal
1.3 Warna - Normal Normal
1.4 Tekstur - Normal Normal
2. Kadar Air Fraksi massa, Maks. 35 Maks. 65
%
3. Kadar Protein (Nx6.25) Fraksi Massa, Min. 9.0 Min. 6,0
%
4. Kadar abu tidak larut Fraksi Massa, Maks. 0,05 Maks 0,05
dalam asam %
5. Bahan Berbahaya
5.1 Formalin (HCHO) - Tidak Boleh Tidak Boleh
Ada Ada
5.2 Asam borat (H3BO3) - Tidak Boleh Tidak Boleh
Ada Ada
6. Cemaran Logam
6.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0 maks. 1,0
6.2 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2 maks. 0,2
6.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0
6.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,05 maks. 0,05
7 Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,5 maks. 0,5
8. Cemaran Mikroba
8.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 1x106 Maks 1x106
8.2 Escherichia coli APM/g maks. 10 maks. 10
8.3 Salmonella sp. - negatif/25 g negatif/ 25 g
8.4 Staohylococcus aureus koloni/g Maks 1x103 Maks 1x103
8.5 Bacillus cereus koloni/g Maks 1x103 Maks 1x103
8.6 Kapang Koloni/g Maks 1x104 Maks 1x104
9 Deoksinivalenol g/kg maks. 750 maks. 750
(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2015)

17
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Pembuatan Mie Basah


3.1.1. Bahan
Terigu cakra kembar 250 gr
Garam dapur 2,5 gram
Air 62,5 ml
Telur 25 gram

3.1.2. Cara Kerja


1. Larutkan garam dapur dan garam alkali ( larutan kansui ), kemudian
masukkan telur, aduk hingga rata.
2. Aduk bahan kering ( tepung terigu )
3. Masukkan larutan kansui sedikit demi sedikit selama 1 menit
4. Matikan mixer, aduk dengan kecepatan 3 selama 5 menit
5. Masukkan adonan dalam roll prass sedikit demi sedikit, lakukan relaksasi 15
menit untuk mempermudah memotong / mencetak
6. Buat lembaran hingga ketebalan kurang lebih 1,75 mm
7. Masukkan ujung lembaran dalam mesin pemotong
8. Masak mie dengan air mendidih hingga setengah matang
9. Cuci dengan air mengalir hingga licin
10. Tiriskan hingga kering
11. Tambahkan minyak sayur, campur hingga rata

18
3.1.3. Diagram Alir

Larutkan garam dapur dan garam alkali ( larutan kansui ), masukkan telur, aduk
hingga rata

Aduk bahan kering ( tepung terigu ),masukkan larutan kansui sedikit demi sedikit (1
menit)

Matikan mixer, aduk dengan kecepatan 3 selama 5 menit

Masukkan adonan dalam roll prass sedikit demi sedikit, lakukan relaksasi 15 menit
untuk mempermudah memotong / mencetak

Buat lembaran hingga ketebalan kurang lebih 1,75 mm dan masukkan ujung
lembaran dalam mesin pemotong

Masak mie dengan air mendidih hingga setengah matang lalu cuci dengan air
mengalir hingga licin

Tiriskan hingga keringkemudian tambahkan minyak sayur, campur hingga rata

3.2. Uji Kimia


Penentuan Kadar Air Dengan Metode Oven
3.2.1. Tujuan Percobaan
Mahasiswa mampu melakukan analisis kadar air pada setiap bahan pangan.
Mahasiwa dapat menentukan bahan pangan yang ditetapkan kadar airnya
dengan metode oven.

3.2.2. Alat Dan Bahan


Oven dengan suhu 100oC 102oC.
Cawan (stainless steel, alumunium, nikel/porselen). Gunakan cawan lengkap
dengan tutupnya. Untuk bahan-bahan yang memberikan efek korosif,
sebaiknya tidak menggunakan cawan-cawan logam.
Desikator yang berisi bahan pengering ( butiran halus silika gel).

19
Penjepit cawan.
Timbangan analitik.
Mie kuning (mie basah)

3.2.3. Prosedur Percobaan


Cawan kering dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (untuk cawan alumunium
didinginkan selama 10 menit, untuk porselen 20 menit).
Menimbang dengan cepar kurang lebih 5gr sampel yang sudah disebarkan
secara merata di dalamcawan.
Mengangkat tutup cawan dan tempatkan cawan beserta isi dan tutupnya dalam
oven selama 1 jam. Hindarkan kontak antara cawan dengan dinding oven.
Untuk produk yg tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang
lama, dapat dikeringkan selama 20 jam.
Memindahkan cawan ke desikator, tutup dengan penutup cawan, lalu
didinginkan. Setelah dingin
timbang kembali.
Mengeringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat yang tetap.

Kadar Air = W1-W2-blk x 100 %


W1-W0

Keterangan
W0 : bobot botol timbang dan tutup.
W1 : bobot botol timbang + tutup dan contoh uji sebelum dipanaskan.
W2 : bobot botol timbang + tutup dan contoh uji setelah dipanaskan.
Blk : bobot blanko

3.3. Uji Mikrobiologi


3.3.1. Alat dan bahan:
1. Spreader/batang bengkok/batang Drigalsky
2. Pipet volume, lampu bunsen
3. Media NA dalam cawan petri
4. Kultur murni bakteri
5. Larutan pengencer (BPW atau NaCl fisiologis 0,9%)

20
3.3.2. Cara kerja:
1. Buatlah pengenceran 10-1 10-6 dari kultur murni bakteri dengan larutan
pengencer.
2. Ambil tabung reaksi yang mengandung kultur murni bakteri, buka dan bakar
leher tabung.
3. Pindahkan 0,1 ml kultur bakteri secara aseptis ke permukaan media NA dalam
cawan petri.
4. Bakar spreader yang sebelumnya telah dicelupkan dalam alkohol, biarkan
dingin.
5. Tebarkan/sebarkan kultur bakteri dengan spreader secara merata dan biarkan
sampai permukaan agar mengering.
6. Setelah permukaan agar mengering, selanjutnya inkubasikan secara terbalik
selama 24 jam pada suhu kamar dan amati pertumbuhannya.

3.3.3. Diagram Alir:

Pengenceran suspensi bakteri 10-1 10-6

0,5 ml suspensi bakteri diambil dan dipindahkan ke cawan agar

Spreader disterilisasi dengan dicelupkan dalam alkohol 70% dan


dilalukan di atas nyala lampu bunsen, dibiarkan dingin

Kultur bakteri di atas cawan agar ditebarkan secara merata


menggunakan spreader

Diinkubasi secara terbalik selama 24 jam pada suhu kamar

Diamati pertumbuhan bakteri

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Uji Fisik
Dari praktikum pembuatan mie basah didapatkan hasil :
Pengukuran Elongasi
Sebelum Penyimpanan Sesudah Penyimpanan
Mie 1 45 Mie 1 39,9
100% = 92,78% 100% = 98,76%
P0 = 45 cm 48,5 P0 = 39,9 cm 40,4

P1 = 48,5 cm P1 = 40,4 cm
Mie 2 36,6 Mie 2 39,3
100% = 83,94% 100% = 90,97%
P0 = 36,6 cm 43,6 P0 = 39,3 cm 43,2

P1 = 43,6 cm P1 = 43,2 cm
Mie 3 36,6 Mie 3 44,4
100% = 86,32% 100% = 91,54%
P0 = 38,5 cm 43,6 P0 = 44,4 cm 48,5

P1 = 44,8 cm P1 = 48,5 cm
Rata-rata 87,68% Rata-rata 93,76%

4.1.1.1. Foto Hasil Uji Fisik (Elongasi) Mie Basah


Sebelum Penyimpanan
Mie 1

22
Mie 2

23
Mie 3

Sesudah Penyimpanan
Mie 1

24
Mie 2

Mie 3

25
4.1.2. Uji Organoleptik
4.1.2.1. Daya Organoleptik Warna
Analisis : Wilcoxon Signed Ranks Test
Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks
Mean Sum of
N Rank Ranks
Organleptik Warna - Negative 4a 7.88 31.50
Organleptik Warna Ranks
Positive Ranks 12b 8.71 104.50
Ties 14c
Total 30
a. Organleptik Warna < Organleptik Warna
b. Organleptik Warna > Organleptik Warna
c. Organleptik Warna = Organleptik Warna

Test Statisticsb
Organleptik Warna -
Organleptik Warna
Z -1.964a
Asymp. Sig. (2- .049
tailed)
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Hipotesis

H0 : Organoleptik warna mie sebelum penyimpanan tidak mempunyai


pengaruh yang berarti pada warna mie sesudah penyimpanan.
Hi : Organoleptik warna mie sebelum penyimpanan mempunyai pengaruh
yang berarti pada warna mie sesudah penyimpanan.

Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas


Probabilitas > (0,05). Maka H0 diterima
Probabilitas < (0,05). Maka H0 ditolak

26
Dari kolom Asymp.sig untuk dua sisi adalah sebesar 0,049. Oleh karena kasus
adalah uji satu sisi, maka probabilitas adalah 0,049/2 = 0,0245. Berarti <
(0,05). Maka H0 ditolak

Frequencies
Statistics
Organleptik Organleptik
Warna Warna
N Valid 30 30
Missing 0 0

Frequency Table
Organoleptik Warna Sebelum
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Sangat Suka 2 6.7 6.7 6.7
Agak Suka 9 30.0 30.0 36.7
Suka 11 36.7 36.7 73.3
Kurang 7 23.3 23.3 96.7
Suka
Tidak Suka 1 3.3 3.3 100.0
Total 30 100.0 100.0

Organoleptik Warna Sesudah


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Agak Suka 7 23.3 23.3 23.3
Suka 10 33.3 33.3 56.7
Kurang 10 33.3 33.3 90.0
Suka
Tidak Suka 3 10.0 10.0 100.0
Total 30 100.0 100.0

4.1.2.2. Daya Organoleptik Aroma

27
Analisis : Wilcoxon Signed Ranks Test
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
Mean Sum of
N Rank Ranks
Organleptik Aroma - Negative 6a 6.25 37.50
Organleptik Aroma Ranks
Positive Ranks 12b 11.13 133.50
Ties 12c
Total 30
a. Organleptik Aroma < Organleptik Aroma
b. Organleptik Aroma > Organleptik Aroma
c. Organleptik Aroma = Organleptik Aroma

Test Statisticsb
Organleptik Aroma -
Organleptik Aroma
Z -2.131a
Asymp. Sig. (2- .033
tailed)
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Hipotesis

H0 : Organoleptik aroma mie sebelum penyimpanan tidak mempunyai


pengaruh yang berarti pada aroma mie sesudah penyimpanan.
Hi : Organoleptik aroma mie sebelum penyimpanan mempunyai pengaruh
yang berarti pada aroma mie sesudah penyimpanan.

Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas


Probabilitas > (0,05). Maka H0 diterima
Probabilitas < (0,05). Maka H0 ditolak

28
Dari kolom Asymp.sig untuk dua sisi adalah sebesar 0,033. Oleh karena kasus
adalah uji satu sisi, maka probabilitas adalah 0,033/2 = 0,0165. Berarti <
(0,05). Maka H0 ditolak

Frequencies
Statistics
Organleptik Organleptik
Aroma Aroma
N Valid 30 30
Missing 0 0

Frequency Table
Organoleptik Aroma Sebelum
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Sangat Suka 4 13.3 13.3 13.3
Agak Suka 6 20.0 20.0 33.3
Suka 16 53.3 53.3 86.7
Kurang 4 13.3 13.3 100.0
Suka
Total 30 100.0 100.0

Organoleptik Aroma Sesudah


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Sangat Suka 1 3.3 3.3 3.3
Agak Suka 8 26.7 26.7 30.0
Suka 10 33.3 33.3 63.3
Kurang 6 20.0 20.0 83.3
Suka
Tidak Suka 5 16.7 16.7 100.0
Total 30 100.0 100.0

29
4.1.2. Daya Organoleptik Tekstur
Analisis : Wilcoxon Signed Ranks Test
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
Mean Sum of
N Rank Ranks
Organleptik Tekstur - Negative 2a 3.50 7.00
Organleptik Tekstur Ranks
Positive Ranks 25b 14.84 371.00
Ties 3c
Total 30
a. Organleptik Tekstur < Organleptik Tekstur
b. Organleptik Tekstur > Organleptik Tekstur
c. Organleptik Tekstur = Organleptik Tekstur

Test Statisticsb
Organleptik Tekstur - Organleptik
Tekstur
Z -4.429a
Asymp. Sig. (2- .000
tailed)
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Hipotesis

H0 : Organoleptik tekstur mie sebelum penyimpanan tidak mempunyai


pengaruh yang berarti pada tekstur mie sesudah penyimpanan.
Hi : Organoleptik tekstur mie sebelum penyimpanan mempunyai pengaruh
yang berarti pada tekstur mie sesudah penyimpanan.

Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas


Probabilitas > (0,05). Maka H0 diterima
Probabilitas < (0,05). Maka H0 ditolak

30
Dari kolom Asymp.sig untuk dua sisi adalah sebesar 0,00. Oleh karena kasus
adalah uji satu sisi, maka probabilitas adalah 0,00/2 = 0.00. Berarti < (0,05).
Maka H0 ditolak

Frequencies
Statistics
Organleptik Organleptik
Tekstur Tekstur
N Valid 30 30
Missing 0 0

Frequency Table
Organoleptik Tekstur Sebelum
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Sangat Suka 8 26.7 26.7 26.7
Agak Suka 13 43.3 43.3 70.0
Suka 9 30.0 30.0 100.0
Total 30 100.0 100.0

Organoleptik Tekstur Sesudah


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Agak Suka 6 20.0 20.0 20.0
Suka 3 10.0 10.0 30.0
Kurang 7 23.3 23.3 53.3
Suka
Tidak Suka 14 46.7 46.7 100.0
Total 30 100.0 100.0

4.1.2.1. Daya Organoleptik Rasa

31
Frequencies
Statistics
Organleptik Rasa
N Valid 30
Missing 0

Organoleptik Rasa Sebelum


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Sangat Suka 4 13.3 13.3 13.3
Agak Suka 13 43.3 43.3 56.7
Suka 9 30.0 30.0 86.7
Kurang 4 13.3 13.3 100.0
Suka
Total 30 100.0 100.0

Sebelum Penyimpanan Sesudah Penyimpanan

32
4.1.3. Uji Mikrobiologi
Sebelum Penyimpanan Sesudah Penyimpanan
P5A = 10-5 = TBUD P5A = 10-5 = TBUD
P5B = 10-5 = TBUD P5B = 10-5 = TBUD
P6A = 10-6 = 111 P6A = 10-6 = TBUD
1
= 111 1 106

= 111.000.000
P5A = 10-5 = TBUD P5A = 10-5 = TBUD

4.1.3.1. Foto Hasil Uji Mikrobiologi Mie Basah


Sesudah Penyimpanan

33
Sebelum Penyimpanan

34
4.1.4. Uji Kimia
Penetapan Kadar Air

Sebelum Penyimpanan
Sebelum dioven
Cawan + tutup = 28,63 gr
Tutup = 11,43 gr
Cawan = 17,20 gr
Bahan = 3,08 gr
Cawan + tutup + sampel = 31,71 gr

Setelah dikeringkan
29,8780 gr
29,8772 gr
29,8767 gr

W2 = Berat akhir konstan Cawan + tutup


= 29,8767 28,63
= 1,2467 gr

W1 = 3,08 gr
2
% Total padatan = 1 x 100%
1,2467
= x 100%
3,08

= 40,477 %

Setelah Penyimpanan
Cawan = 16,2094 gr
Cawan + tutup = 25,6105 gr
Cawan + sampel = 18,8684 gr

35
Cawan + sampel + tutup = 28,2689 gr
Tutup = 9,4010 gr
Sampel = 3,0448 gr

Setelah dikeringkan
27,6590 gr
27,6530 gr
27,6480 gr

W2 = Berat akhir konstan Cawan + tutup


= 27,6480 25,6105
= 2,0375 gr

W1 = 3,0448 gr
2
% Total padatan = 1 x 100%
2,0375
= 3,0448 x 100%

= 66,917 %

36
Sebelum Penyimpanan
Setelah dikeringkan Pertama 29,8780 gr Setelah dikeringkan Kedua 29,8772 gr

Setelah dikeringkan Ketiga 29,8767 gr

37
Setelah Penyimpanan

Sampel 3,0448 gr Cawan 16,2094 gr Cawan + tutup =

25,6105 gr

Tutup = 9,4010 gr Cawan + sampel = 18,8684 gr Cawan + sampel + tutup =

28,2689 gr

38
Setelah dikeringkan Pertama 27,6590 gr Setelah dikeringkan Kedua

27,6530 gr

Setelah dikeringkan Ketiga 27,6480 gr

39
4.2. Pembahasan
4.2.1. Elongasi
Pada praktikum ini elongasi pada mie basah mengacu pada penelitian
Ekafitri (2009) bahwa mie basah dari tepung terigu memeliki persen elongasi
celup besar 118,47% dan persen rendam air panas sebesar 107,35%. Sedangkan
pada penelitian Rianto (2006) mie basah yang terbuat dari formula 100% terigu,
30% air, garam 1%, dan 0.3% baking powder menghasilkan mie dengan nilai
elongasi sebesar 98,4%. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan standar
mie basahterigu dengan kisaran persen elongasi 98,4-118,47%.

Nilai elongasi mie sebelum dan yang sesudah penyimpanan yaitu 87,68%
dan 93,76% jika dibandingkan dengan standar di atas masih di bawah standar
hal ini di duga karna pengaruh gelatinisasi pati karena panas yang diterima mie
yang direbus lebih besar daripada mie yang hanya dicelup ke air biasa, sehingga
menurunkan daya ikat pati dan pada akhirnya menurunkan elongasi mie.

4.2.2. Organoleptik Mie Basah

Penilaian organoleptik dilakukan oleh 30 orang panelis tetap. Penilaian


organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap
mie sebelum dan sesudah penyimpanan. Penilaian organoleptik yang dilakukan
adalah warna, aroma, tekstur, dan rasa sebelum penyimpanan.
a) Warna
Penilaian panelis terhadap mie basah sebelum penyimpanan maupun sesudah
penyimpanan adalah sama yaitu sebanyak 30 orang. Variabel tertinggi pada
penilaian warna mie sebelum penyimpanan terdapat pada variabel suka (11
orang atau 36.7%) karena pada sebelum penyimpanan warna mie masih
terlihat segar. Sedangkan variabel tertinggi pada penilaian warna mie sesudah
penyimpanan terdapat pada variabel suka (10 orang atau 33.3%) dikarenakan
penyimpanan pada suhu tinggi dapat merusak warna kuning dari mie
dipengaruhi oleh kandungan beta-kaoten tepung terigu dan adanya senyawa
alkali. Penilaian panelis terhadap warna mie basah sebelum dan sesudah
penyimpanan disajikan pada gambar berikut :

40
b) Aroma
Penilaian panelis terhadap mie basah sebelum penyimpanan maupun sesudah
penyimpanan adalah sama yaitu sebanyak 30 orang. Variabel tertinggi pada
penilaian aroma mie sebelum penyimpanan terdapat pada variabel suka (16
orang atau 53.3%) Sedangkan variabel tertinggi pada penilaian warna mie
sesudah penyimpanan terdapat pada variabel suka (10 orang atau 33.3%).
Adanya penurunan daya suka pada penelis disebabkan karena munculnya bau
tengik pada mie. Makin lama penyimpanan, makin tercium aroma tengik.
41
Muchtadi (2008) menyebutkan bahwa aroma tengik ini diduga karena
degradasi makromolekul oleh mikroba. Karbohidrat dipecah menjadi gula
sederhana, protein dipecah menjadi gugus peptida dan senyawa amida serta
gas amoniak, sedangkan lemak dipecah menjadi asam lemak dan gliserol.
Penilaian panelis terhadap aroma mie basah sebelum dan sesudah
penyimpanan disajikan pada gambar berikut :

42
c) Tekstur

Penilaian panelis terhadap mie basah sebelum penyimpanan maupun sesudah


penyimpanan adalah sama yaitu sebanyak 30 orang. Variabel tertinggi pada
penilaian tekstur mie sebelum penyimpanan terdapat pada variabel agak suka
(13 orang atau 43.3%) Sedangkan variabel tertinggi pada penilaian warna mie
sesudah penyimpanan terdapat pada variabel tidak suka (14 orang atau
46.7%). Adanya penurunan daya suka pada penelis disebabkan karena selama
penyimpanan, tekstur mie menjadi semakin keras. Semakin kerasnya tekstur
mie diduga akibat terjadinya proses sineresis. Sineresis adalah
keluarnya/terpisahnya air dari bahan padatan, yang salah satunya dapat terjadi
karena perubahan suhu (Fennema 1996). Semakin lama penyimpanan tekstur
mie basah semakin mengeras, namun terlihat adanya uap air pada bagian
bawah kemasan mie. Hal ini memperkuat dugaan terjadinya sineresis pada
mie.
Penilaian panelis terhadap tekstur mie basah sebelum dan sesudah
penyimpanan disajikan pada gambar berikut :

43
d) Rasa
Penilaian panelis terhadap mie basah sebelum penyimpanan adalah sama
yaitu sebanyak 30 orang. Variabel tertinggi pada penilaian rasa mie sebelum
penyimpanan terdapat pada variabel agak suka (13 orang atau 43.3%)
dikarenakan rasa mie yang masih segar karena baru dibuat. Penilaian panelis
terhadap tekstur mie basah sebelum penyimpanan disajikan pada gambar
berikut :

44
4.2.3. Mikrobiologi Mie Basah
Mikroorganisme dibiakkan di laboratorium pada medium yang terdiri
dari bahan nutrient. Biasanya pemilihan medium yang dipakai bergantung
kepada banyak faktor seperti seperti apa jenis mikroorganisme yang akan
ditumbuhkan. Perbenihan untuk pertumbuhan bakteri agar dapat tetap
dipertahankan harus mengandung semua zat makanan yang diperlukan oleh
organisme tersebut. Faktor lain seperti PH, suhu, dan pendinginan harus
dikendalikan dengan baik (Buckle, 2007)
Mikroorganisme tidak memerlukan banyak ruangan untuk
perkembangannya, sebab itu media buatan (agar) dapat dimasukkan ke dalam
sebuah tabung percobaan labu atau cawan Petri. Pada permulaannya tabung atau
cawan Petri harus dalam keadaan steril (bebas dari setiap mikroorganisme hidup)
lalu setelah itu dimasukkan mikrobia yang diinginkan, tabung atau cawan harus
dilindungi terhadap kontaminasi dari luar. Sumber utama pencemaran dari luar
adalah udara, yang banyak mengandung mikroorganisme yang berterbangan.
Cawan petri, dengan tutup yang saling menyelubungi, dirancang untuk
mencegah pencemaran udara.
Permukaan luar cawan biakan yang menjadi sasaran pencemaran, di
bagian dalam labu atau tabung akan tercemar bila dibuka untuk memasukkan
45
atau mengeluarkan bahan. Bahaya ini dapat dihindari dengan cara membakar
bibir atau pinggiran cawan, tabung atau labu dalam api, segera setelah penutup
dibuka dan dibakar sekali lagi pada waktu akan ditutup.
Pengenceran biasanya menggunakan larutan berupa larutan fosfat buffer,
larutan garam fisiologis 0,9 % atau larutan ringer. Dengan pengenceran dapat
mengurangi kepadatan bakteri yang ditanam. Secara umum, metode penanaman
dapat dibedakan atas dua macam yaitu metode tuang (pour plate) dan metode
sebar (spread plate).
Teknik yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme pada
media agar memungkinkannya tumbuh dengan agak berjauhan dari sesamanya,
juga memungkinkan setiap selnya berhimpun membentuk koloni, yaitu
sekelompok massa sel yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Bahan yang
diinokulasikan pada medium disebut inokulum, dengan menginokulasi medium
agar nutrien (nutrien agar) dengan metode agar sebar, sel-sel mikroorganisme
akan terpisah sendiri-sendiri. Setelah inkubasi, sel-sel mikroba individu
memperbanyak diri secara cepat sehingga dalam waktu 18 sampai 24 jam
terbentuklah massa sel yang dapat dilihat dan dinamakan koloni. Koloni dapat
terlihat oleh mata telanjang. Setiap koloni merupakan biakan murni satu macam
mikroorganisme (Pelczar dan Chan, 2007).
Pengenceran adalah suatu kegiatan untuk mengencerkan larutan yang
bertujuan untuk memperoleh contoh dengan jumlah mikroba terbaik untuk dapat
dihitung yaitu antara 30-300 sel mikroba per ml (Cahaya, 2011). Kurang dari 30
atau lebih dari 300 dikategorikan TBUD artinya jumlah koloni yang tumbuh
tidak bisa dimasukkan ke dalam perhitungan.
Ada beberapa cara untuk mengukur atau menghitung mikrobia yaitu
dengan perhitungan jumlah sel, perhitungan massa sel secara langsung, dan
pendugaan massa sel secara tak langsung. Perhitungan jumlah sel dapat
dilakukan dengan 3 metode yaitu dengan hitungan mikroskopik, MPN (Most
Probable Number), dan hitungan cawan (Fardiaz, 1989). Dari ketiga metode
tersebut metode hitungan cawan paling banyak dan mudah digunakan. Oleh
karena itulah, pada acara praktikum pengawasan mutu pangan untuk meneliti

46
mutu mie basah dilakukan perhitungan koloni dengan menggunakan metode
hitungan cawan.
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikrobia
yang masih hidup pada metode agar, sehingga sel mikrobia tersebut akan
berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan
mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1993).
Cara menghitung koloni pada cawan adalah sebagai berikut :
1. Cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni
antara 30 sampai 300.
2. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan suatu kumpulan
koloni yang besar dimana jumlah koloninya diragukan, dapat dihitung
sebagai satu koloni.
3. Suatu deretan (rantai) koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung
sebagai satu koloni.
Koloni adalah kumpulan dari mikrobia yang memilki kesamaan sifat-sifat
seperti bentuk, susunan, permukaan, dan sebagainya. Sifat-sifat yang perlu
diperhatikan pada koloni yang tumbuh di permukaan medium adalah
(Dwidjoseputro, 1978) :
1. Besar kecilnya koloni. Ada koloni yang hanya serupa suatu titik, namun ada
pula yang melebar sampai menutup permukaan medium.
2. Bentuk. Ada koloni yang bulat, ada yang memanjang. Ada yang tepinya
rata, ada yang tidak rata.
3. Kenaikan permukaan. Ada koloni yang rata saja dengan permukaan
medium, ada pula yang timbul yaitu menjulang tebal di atas permukaan
medium.
4. Halus kasarnya permukaan. Ada koloni yang permukaannya halus, ada yang
permukaannya kasar dan tidak rata.
5. Wajah permukaan. Ada koloni yang permukaannya mengkilat, ada yang
permukaannya suram.

6. Warna. Kebanyakan koloni bakteri berwarna keputihan atau kekuningan.

47
7. Kepekatan. Ada koloni yang lunak seperti lendir, ada yang keras dan kering.
Pada penanaman bakteri dibutuhkan kondisi aseptis atau steril, baik pada
alat maupun proses, untuk menghindari kontaminasi, yaitu masuknya mikrobia
yang tidak diinginkan. (Fardiaz, 1993).
Media PCA digunakan karena merupakan media yang paling cocok
untuk kultur bakteri pada produk yang berbentuk padat. Selanjutnya cawan petri
diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu 37 C dalam keadaan terbalik. Cawan
petri diinkubasi dalam keadaan terbalik untuk menghindari kontaminasi dari air
yang mengembun diatas cawan petri yang mungkin menetes jika cawan petri
diletakan pada posisi normal. Inkubasi dilakukan selama 1 x 24 jam karena
jumlah mikrobia maksimal yang dapat dihitung, optimal setelah masa tersebut
yaitu akhir inkubasi. Selama masa inkubasi, sel yang masih hidup akan
membentuk koloni yang dapat dilihat langsung oleh mata.
Prinsip perhitungan koloni bakteri adalah semakin tinggi tingkat
pengenceran semakin rendah jumlah koloni bakteri. Dengan kata lain tingkat
pengenceran berbanding terbalik dengan jumlah koloni bakteri. Berdasarkan
hasil pengamatan perhitungan koloni bakteri pada mie basah dari kelompok 8
hasil perhitungannya menunjukkan penumbuhan bakteri yang tidak merata,
dimana pada produk mie basah sebelum penyimpanan dipengenceran kelima A
dan B hanya tumbuh 1 dikategorikan TBUD. Sedangkan dipengenceran keenam
A menumbuhkan bakteri sebanyak 111 yang jika dimasukkan ke rumus
menghasilkan 111.000.000 bakteri dan B yang menumbuhkan 1 koloni besar
yang tidak bisa dihitung (TBUD). Kemudian pada produk mie basah sesudah
penyimpanan di suhu dingin selama 4 hari, menghasilkan bakteri dipengenceran
kelima A menumbuhkan 1 koloni besar yang tidak bisa dihitung (TBUD),
sedangkan dipengenceran kelima B dan keenam B menumbuhkan masing-
masing 18 dan 7 bakteri atau dikategorikan TBUD. Namun pada perhitungan
koloni dipengenceran keenam A mengalami kegagalan, karena tidak
menumbuhkan koloni. Hal ini disebabkan terjadinya kontaminan yang berasal
dari alat yang digunakan, praktikan ataupun udara. Selain itu bisa juga

48
disebabkan oleh kurangnya kecermatan dan ketelitian praktikan baik dalam
proses praktikum ataupun perhitungan.

4.2.4. Kadar Air Pada Mie Basah


Mie merupakan bahan pangan yang berbentuk pilinan memanjang
dengan diameter 0,07-0,125 inchi yang dibuat dengan bahan baku terigu atau
tanpa tambahan kuning telur (Beans et al, 1974).

Mie basah adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami


perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu. Pembuatan mie basah secara
tradisional dapat dilakukan dengan bahan utama tepung terigu dan bahan
pembantu seperti air, telur dan pewarna (Anonimf, 2005).

Mie basah dibedakan dengan mie jenis lain berdasarkan kadar air dan
tingkat pemasakan awalnya. Mie mentah yang belum direbus mengandung air
sekitar 35 %, mie basah (mie mentah yang direbus) mengandung air sekitar 52
%, mie kering (mie mentah yang dikeringkan) sekitar 10 %, mie instan (mie
mentah yang dikukus kemudian digoreng) sekitar 8 %, sedangkan mie goreng
(mie mentah yang digoreng) mengandung lipid sekitar 20 % (Krunger et al,
1996).

Air merupakan kebutuhan yang utama bagi semua kehidupan. Air


diperlukan baik oleh manusia, hewan maupun tumbuhan untuk proses
biokimiawinya sehingga sangat essensial. Praktikum kali ini adalah penentuan
kadar air dengan bahan yang digunakan yaitu antara lain mie basah.

Praktikum ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dalam mie
basah. Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah mie basah. Penetapan
kadar air dalam sampel sampel tersebut dilakukan dengan menggunakan
metode oven pengering, yang mana pengeringan tersebut dengan cara
memasukkan sampel ke dalam oven pengering pada suhu 105 C selama 24 jam
atau sampai beratnya konstan atau tetap. Selisih berat sebelum dan sesudah
pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (kadar air).

49
Hasil yang didapatkan dari produk mie basah dengan uji kimia adalah pada
sebelum penyimpanan produk mie basah adalah sebesar 40,477% dan sesudah
penyimpanan produk mie basah didapatkan kadar air sebesar 66,917%.

Pada sampel mie basah setelah penyimpanan didapatkan kadar air yang
cukup tinggi yaitu sebesar 66,917% yang mana seharusnya kadar air dalam mie
basah maksimal 65% hal ini mungkin disebabkan karena adanya kesalahan
prosedur salah satunya mungkin disebabkan karena kurang ketelitian dalam
melakukan penghitungan, penimbangan, dan metode pemanasan.

Kesalahan disebabkan karena pengaruh alat-alatnya seperti timbangan


analitik yang sulit stabil dan karena bahan yang digunakan sudah terkontaminasi
dengan bahan lain ketika penyimpanan atau ketika berada dalam desikator.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 golongan, yaitu:

1. Faktor yang berhubungan dengan udara pengering

Yang termasuk golongan ini adalah: Suhu (Makin tinggi suhu udara maka
pengeringan akan semakin cepat), Kecepatan aliran udara pengering
(Semakin cepat udara maka pengeringan akan semakin cepat), Kelembaban
udara (Makin lembab udara, proses pengeringan akan semakin lambat), Arah
aliran udara (Makin kecil sudut arah udara terhadap posisi bahan, maka
bahan semakin cepat kering)

2. Faktor yang berhubungan dengan sifat bahan

Yang termasuk golongan ini adalah: Ukuran bahan (Makin kecil ukuran
benda, pengeringan akan makin cepat), Kadar air (Makin sedikit air yang
dikandung, pengeringan akan makin cepat).

Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang


menyebabkan terjadinya air ataupun reaksi yang lain karena pemanasan maka

50
dapat dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum. Dengan
demikian akan dihasilkan kadar air yang sebenarnya.

Untuk bahan-bahan yang mengandung kadar gula tinggi maka pemanasan


dengan suhu 100o C dapat mengakibatkan pergerakan pada permukaan bahan.
Sehingga terlihat masih memiliki berat kering yang cukup tinggi.

51
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah sebagai berikut :
1. Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan dan sebelum dipasarkan.
2. Langkah dalam pembuatan mie basah yaitu percampuran basah, pengulenan
adonan, pembentukan lembaran, pencetakan, perebusan, pendinginan.
3. Selama empat hari penyimpanan pada suhu chilling, terjadi kerusakan
mikrobiologis yang ditandai dengan peningkatan jumlah mikroba. Indikasi
meningkatnya jumlah mikroba pada mie ditandai dengan jumlah koloni yang
TBUD.
4. Selama empat hari penyimpanan pada suhu chilling, terjadi kerusakan fisik
yang ditandai dengan sifat elongasi pada mie berkurang dikarenakan kadar
air yang berkurang
5. Selama empat hari penyimpanan pada suhu chilling, terjadi kerusakan
organoleptik yang ditandai dengan terjadi perubahan aroma karena terjadinya
perubahan aroma menjadi tengik dan tekstur menjadi keras karena terjadinya
proses sineresis.

52
DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Astawan, M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Jakarta: Tiga
Serangkai.

Astawan, M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)


sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB. Bogor.

Buckle, K.A. dkk, (2007). Ilmu Pangan. Cetakan keempat. Penerjemah : Hari
Purnomo dan Andiono. Jakarta:UI Press.

Cahaya, 2011. Mikroba dan Peranannya dalam Kehidupan.


http://cahaya_timur.wordpress.com. Diakses pada desember 2017

Dwidjoseputro, D. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan; Jakarta.

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada;


Jakarta..1989. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB; Bogor

Ekafitri R. 2009. karakterisasi tepung lima varietas jagung kuning hibrida dan
potensinya untuk dibuat mie jagung.[skripsi] Fakultas teknologi pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ekafitri R. 2009. karakterisasi tepung lima varietas jagung kuning hibrida dan
potensinya untuk dibuat mie jagung.[skripsi] Fakultas teknologi pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Jatmiko, G., P, dan Teti, E. 2014. Mie Dari Umbi Kimpul (Xanthosoma
Sagittifolium): Kajian Pustaka Noodles From Cocoyam (Xanthosoma
Sagittifolium): A Revie. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.2 No.2 p.127-
134.

53
Kuntaraf. 1984. Makanan Sehat cetakan kedua.Indonesia Publishing House Jakarta
LIPI..

Pelczar, M.J., Chan, E.C.S. 2007. Dasar-dasar mikrobiologi. Jilid ke-1.


Hadioetomo, R. S. , Imas, T., Tjitrosomo, S. S., Angka, S. L., penerjemah.
Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
Puspasari, K. 2007. Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan Untuk
Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ratnawati, I. 2003. Pengayakan Kandungan -karoten Mie Ubi Kayu dengan
Tepung labu Kuning (Curcubita maxima Dutchenes). Skripsi S-1, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Rianto BF. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan
baku tepung jagung [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
PertanianBogor. Bogor.

Ritantiyah, L. 2010. Laporan Magang di PT.Tiga Sejahtera Food,Tbk Sragen


Indonesia (Quality Control Mie Instan). Surakarta: Fakultas Pertanian,
Program Diploma III Teknologi Hasil Pertanian.

Setianingrum, A., W, dan Marsono, 1999. Pengkayaan vitamin A dan vitamin E


dalam Pembuatan Mie instant Menggunakan Minyak Sawit Merah. Jakarta:
Kumpulan Penelitian Terbaik Bogasari 1998-2001.

Setiavani, Gusti. 2010. Teknologi Pembuatan Makanan Dengan Menggunakan


Tepung Mocaf Sebagai Subtitusi Tepung Terigu. Medan.

Soediatama, 1993. Ilmu Gizi Jilid II. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta:


Bharata Karya Aksara.121 Hal.
Suyanti, 2010. Membuat Mie Sehat. Jakarta: Penebar Swadaya.

54
Widyaningsih, T., B, danE., S., Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada
Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Winarno, F., G. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah disajikan
dalam Seminar Sehari Serba Mie. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Winarno, 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan
Tepung Kedelai dalam Pembuatan Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

55
Lampiran Uji kesukaan (uji hedonik) mie basah

UJI ORGANOLEPTIK PENGAWASAN MUTU PANGAN


Nama Panelis :
Hari / Tanggal :
Nama Produk :
Beri tanda ceklis () pada kolom yang menurut anda sesuai dengan produk !
Warna Aroma Tekstur Rasa
Tingkat Kesukaan
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Sangat Suka
Agak Suka
Netral
Kurang Suka
Tidak Suka

56

Anda mungkin juga menyukai