OLEH :
KELOMPOK 6
Nur Farida 1610247132
Oetari Andri Prakoso 1610247134
Refinia Widiastuty 1610247135
Yeni Sapridawati 1610247130
Segala puji bagi Allah swt yang telah senantiasa memberikan rahmat dan nikmat yang
tiada terkira bagi kami. Sehingga dengan nikmat dan rahmat-Nya kami mampu untuk
menyelesaikan makalah sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Pajak Internasional.
Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak, yang telah memberikan tugas tersebut
sehingga kami menjadi semakin mengerti tentang mata kuliah Pajak Internasional, khususnya
pada materi Penghasilan Orang Pribadi dan Penghasilan Lainnya. Selanjutnya, terimakasih
kepada teman-teman dari kelompok lain yang telah berkenan mempelajari hasil dari tugas kami.
Sekian dari kami semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua orang
umumnya.
Tim Penulis
PENGHASILAN ORANG PRIBADI DAN PENGHASILAN LAINYA
2
Ned Shelton, Interpretation and Application of Tax Treaties, Tottke Publishing 2006, Hal.384
exercised in the other Contracting State [Country Source]. If the employment is so exercised,
such remuneration as is derived therefore may be taxed in that other State [Country Source].
Dengan mengacu kepada rumusan di atas, hanya negara domisili yang boleh untuk
mengenakan pajak, kecuali jika pekerja dimaksud melakukan pekerjaan di negara sumber.
Dengan kata lain, negara sumber memiliki hak pemajakan jika pekerjaan itu dilakukan di negara
sumber, dengan tidak memperhatikan status subjek pajak pemberi kerja sebagai subjek pajak
dalam negeri mana, atau bahkan kita tidak perlu tahu siapa pihak pemberi kerjanya.3
Perlu diketahui bahwa ketentuan umum (general rule) dalam Pasal 15 ayat (1)
penerapannya dibatasi dan tunduk (subordinate) terhadap Pasal lain yang lebih spesifik yaitu
Pasal 16 (directors fee), pasal 18 (pesion), dan Pasal 19 (Government service). Hal ini tercermin
dari kalimat subject to the provisions of Articles 16, 18 and 19
Meskipun negara sumber memiliki hak pemajakan sesuai dengan pasal 15 ayat (!)
OECD, akan tetapi pasal 15 ayat (2) OECD memberikan hak eksklusif pemajakan hanya kepada
negara domisili. Jika beberapa persyaratan seperti yang dinyatakan dalam rumus Pasal 15 ayat
(2) OECDModel sebagai berikut terpenuhi :
3
Kevin Holmes, International Tax Policy and Double Tax Treaties: An Introduction to Principles and Application,
IBFD, 2007, hal.313
Hal yang perlu dicatat bahwa semua kondisi diatas (a), (b) dan (c) harus dipenuhi semua
agar penghasilan pekerja yang bersangkutan tidak dikenakan pajak di negara sumber. Apabila
salah satu persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka negara sumber memiliki hak pemajakan atas
penghasilan pekerja tersebut.
Jika negara sumber memiliki hak pemajakan sesuai dengan kriteria di atas maka
penghasilan yang diperoleh pekerja tersebut dikenakan tarif pajak penghasilan sesuai dengan
ketentuan domestik negara sumber dan tidak dibatasi oleh tarif dalam perjanjian penghindaran
pajak berganda.
Berikut ini adalah beberapa kesalahan umum dalam melakukan interpretasi pasal 15
sebagai berikut : 4
1. Karyawan tidak akan pernah dikenakan pajak di negara sumber kecuali kehadiran
karyawan itu paling sedikit 183 hari. Hal yang benar adalah seseorang akan dikenakan
pajak di negara sumber meski baru satu hari kehadirannya di negara sumber jika pihak
pemberi kerja(employer) yang memberikan penghasilan adalah merupakan subjek pajak
dalam negeri di negara sumber;
2. Menyamakan aturan 183 hari dalam Pasal 15 dengan ketentyan perpajakan domestik
terkait dengan status subjek pajak dalam negeri yang juga memuat ketentuan 183 hari.
Sebagao contoh, ketentuan domestik negara sumber mengatur jika seseorang menjadi
subjek dalam negeri jika tinggal di negara sumber paling sedikit selama 183 hari. Hal ini
berbeda dengan ketentuan 183 hari yang diatur dalam Pasal 15.
Rumusan batasan minimal 183 hari dalam Pasal 15 ayat (2) OECD model 2008
menggunakan kata 183 Days in any twelve month period commencing or ending in the fiscal
year concerned perubahan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak dengan
cara tinggal di suatu tahun pajak kurang dari 183 hari dan selanjutnya tinggal kembali di negara
yang sama di tahun berikutnya dengan periode kurang dari 183 hari.
Kasus untuk penentuan 183 hari (183 day-rule), terdapat banyak pendapat yang berbeda.
Paragraf (5) OECD Commentary Tahun 2008 atas pasal 15 menggunakan days of physical
presence method untuk menentukan perhitungan 183 hari. Berdasarkan metode ini, perhitungan
183 hari harus memperhitungkan hal-hal sebagai berikut :
4
Ned Shelton, Interpretation and Application of Tax Treaties, Tottle Publishing, 2006, hal. 384
1. Hari-hari berikut ini harus diperhitungkan sebagai bagian dari satu hari (part of a day),
yaitu:
- Hari kedatangan (day of arrival);
- Hari keberangkatan (day of departure);
- Semua hari lainya yang dihabiskan di negara sumber seperti hari Sabtu dan Minggu,
libur nasional, liburan sebelum, pada saat dan setelah pekerjaa, waktu jeda (short
breaks) di pekerjaan (training, strikes,lock out,delay in suppliers), hari saat karyawan
sakit (kecuali karyawan yang bersangkutan meninggalkan negara sumber).
2. Hari yang dihabiskan untuk dua titik perjalanan di luar negeri (twi points outside the
state)tidak diperhitungkan dalam perhitungan 183 hari. Prinsip ini juga berlaku untuk hari
yang dihabiskan untuk berlibur, perjalanan dinas atau untuk kepentingan lain yang
dilakukan di luar negeri.
3. Selain itu, hari-hari dimana subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri di negara
sumber juga tidak seharusnya diperhitungkan dalam menghitung jangka waktu 183 hari
(183-day rule)
4. Berdasarkan poin 3 diatas, maka aturan 183 hari juga tidak berlaku bagi seseorang yang
pindah kerja ke negara lain dan bekerja kembali ke negara semula.
Berikut ini disajikan contoh untuk menjelaskan penerapan perhitungan 183-day rule yang terkait
dengan poin 3 dan 4 diatas berdasarkan contoh yang diberikan oleh OECD model 5
Contoh
Dari awal bulan januari 2008 sampai dengan akhir Desember 2008, Tuan Uun tinggal dan
menjadi subjek pajak dalam negeri di Negara A. Pada tanggal 1 Januari 2009, Tuan Uun direktur
dan diperkerjakan oleh suatu perusahaan, yaitu pihak pemberi kerja yang berdomisili di Negara
B. Tuan Uun pindak ke Negara B dan menjadi subjek pajak dalam negeri negara B. Selanjutnya,
Tuan Uun dikirim oleh perusahaannya kembali ke Negara A untuk suatu pekerjaan yang dimulai
dari tanggal 15 Maret sampai dengan 31 Maret 2009.
Pada kasus di atas, Tuan Uun hadir di Negara A selama 292 hari yang dihitung dari
periode 1 April 2008 sampai dengan 31 maret 2009 (jangka waktu 12 bulan yang dihirung maju
5
Uraian ini mengadaptasi contoh pada Commentary on article 15 OECD Model Tax Convention On Income and on
Capital, Condensed Version 2008, hal . 211
dari saat terakhir kedatangan kembali di Negara A). Namun karena Tuan Uun di sebelumnya
telah tinggal di Negara A dalam periode 1 April 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, maka
periode itu tidak diperhitungkan dalam menghitungkan 183 hari.
Penugasan Baru
Total
Subjek Pajak 275 Hari 17 Hari 292 Hari
Dalam Negeri
Kriteria yang harus dipenuhi dalam rumusan di atas agar penghasilan akademis tidak
dikenakan pajak di Negara sumber adalah sebagai berikut :
1. Kedatangan di Negara sumber bersifat temporer
2. Kegiatan penelitian ini tidak dilakukan untuk kepentingan orang pribadi atau ke[entingan
orang orang pribadi tertentu. Kan tetapi untuk kegiatan pengajaran tidak menjadi
masalah apabila dilakukan untuk kepentingan pribadi.
Pada Dasarnya, ketentuan mengenai pemajakan atas penghasilan akademisi tidak terdapat
dalam dalam OECD Model dan UN Model. Namun, berbeda dengan OECD Model dan UN
Model, ASEAN Model telah memiliki pasal yang secara khusus mengatur pemajakan atas
penghasilan yang diterima dosen dan peneliti, yaitu melalui Pasal 21.
Berdasarkan rumusan Pasal 21 ASEAN Model, ketentuan pemajakan penghasilan dosen
dan peneliti dalam pasal ini berlaku apabila beberapa persyaratan berikut terpenuhi, yaitu:
1. Sebelum melakukan kunjungan ke negara sumber sehubungan dengan adanya undangan dari
universitas, sekolah atau institusi pendidikan yang sejenis, individu tersebut merupakan
subjek pajak dalam negeri di negara asalnya;
2. Individu tersebut hadir di negara tempat bekerja (negara sumber) tidak lebih dari periode 2
tahun; dan
3. Individu tersebut hadir di negara tempat bekerja (negara sumber) semata-mata untuk tujuan
mengajar dan/atau penelitian.
Dalam hal ketiga syarat di atas telah terpenuhi maka pembayaran atas kegiatan mengajar
dan/atau penelitian dibebaskan pajak di negara tempat bekerja (negara sumber) dan dipajaki di
negara asalnya (negara domisili). Adapun pasal tentang akademisi tidak berlaku terhadap
penghasilan dari penelitian yang sesungguhnya dilakukan untuk memberikan manfaat kepada
pihak swasta atau orang pribadi.
Terlepas dari rumusan Pasal 21 ASEAN Model, menurut Luc De Broe (2015) walaupun
dalam OECD Model dan UN Model tidak terdapat pasal yang mengatur pemajakan atas
penghasilan akademisi, namun secara umum penghasilan yang diterima sehubungan dengan
kegiatan akademis yang dilakukan hanya untuk sementara waktu (temporary period) serta tidak
lebih dari dua tahun, dibebaskan dari pengenaan pajak di negara di mana aktivitas tersebut
dilakukan (disebut juga dengan istilah host state atau negara tempat bekerja).
Selain itu, dengan tidak adanya pasal yang secara khusus mengatur mengenai hal ini
maka beberapa pasal dalam OECD Model dan UN Model dapat diterapkan. Hal ini sebagaimana
juga disebutkan dalam literatur akademis yang menyatakan bahwa ketika suatu P3B tidak
memiliki pasal yang mengatur mengenai dosen tamu dan guru maka ketentuan yang mungkin
berlaku adalah Pasal 15 dalam hal akademisi melakukan pekerjaan di sektor swasta dan Pasal 19
dalam hal akademisi bekerja di sektor pemerintahan.
Selain Pasal 15 dan Pasal 19, pasal lainnya dalam OECD Model atau UN Model juga
dapat diterapkan dalam menentukan pemajakan atas akademisi. Misal, Pasal 7 OECD Model dan
Pasal 14 UN Model dapat diterapkan kepada peneliti yang melakukan pekerjaan bebas.
Apabila dibandingkan dengan pasal substantif lainnya dalam model P3B, yaitu Pasal 6 sampai
Pasal 21, pasal tentang akademisi memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Dalam Pasal 6
sampai Pasal 21 beberapa model P3B (OECD Model dan UN Model), secara tegas menetapkan
alokasi hak pemajakan kepada suatu negara atas penghasilan tertentu.
Sedangkan dalam pasal tentang akademisi, tidak tampak disebutkan negara mana yang
berhak memajaki atas pembayaran yang diterima oleh akademisi. Dengan kata lain, pasal tentang
akademisi ini tidak memiliki alokasi hak pemajakan sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 sampai
Pasal 21 Model P3B. Pasal tentang akademisi tersebut lebih kepada pemberian fasilitas
pembebasan (exemption) dari pengenaan pajak di negara tempat bekerja sepanjang persyaratan
dalam pasal tersebut terpenuhi.
Kemudian, tidak seperti pasal tentang pemajakan atas pelajar atau mahasiswa, pasal
mengenai pemajakan atas penghasilan akademisi tidak memerlukan syarat bahwa sumber
pembayaran harus berada di luar negara di mana kegiatan mengajar atau penelitian dilakukan.
Alasannya, pasal ini dirancang agar mengajar di luar negeri lebih menarik, sehingga tujuan pasal
tentang akademisi ini adalah mendorong pertukaran akademik.
Kata immediately menunjukkan bahwa rumusan ini tidak berlaku untuk seseorang
yang sebelumnya telah menjadi subjek pajak dalam negeri (resident) di suatu Negara (misalnya
Negara A) yang selanjutnya pindah status subjek pajak dalam negeri ke Negara lainnya (
misalnya Negara B ) dan kemudian kembali ke Negara yang disebut pertama ( Negara A ).
BANYAKNYA arus pertukaran pelajar dan peserta magang antarnegara, menjadikan ketentuan
khusus pemajakan atas penghasilan yang diterima para pelajar dan peserta magang sehubungan
dengan kegiatan pendidikan atau pelatihan, menjadi bagian yang penting untuk diatur lebih
lanjut dalam ketentuan P3B.
Dalam OECD Model dan UN Model, ketentuan mengenai pelajar dan peserta magang
terdapat dalam Pasal 20. Bisa dikatakan pasal ini adalah pasal yang cukup sederhana karena
hanya terdiri dari satu kalimat yang panjang dan Commentary dari pasal ini pun hanya memuat
dua paragraf.
Pasal 20 OECD Model dan UN Model berisi ketentuan mengenai hak pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh pelajar dan peserta magang, yang mana pasal ini memberikan
pembebasan pajak (exemption) atas penghasilan tersebut di negara di mana pelajar dan peserta
magang tersebut hadir. Namun, ketentuan ini hanya berlaku jika pembayaran yang diterima oleh
pelajar dan peserta magang tersebut berasal dari luar negara tempat pelajar dan peserta magang
berada (host state).
Perlu diperhatikan bahwa Pasal 20 berbeda dari ketentuan pasal substantif lainnya karena
pasal ini tidak mengatribusikan hak pemajakan, melainkan hanya memberikan pembebasan pajak
kepada pelajar dan peserta magang di negara di mana pelajar dan peserta magang tersebut hadir.
Apakah selanjutnya ia akan dipajaki di negara lainnya, hal tersebut akan tergantung kepada
apakah ia tetap mempertahankan status subjek pajak dalam negeri-nya pada negara domisili.
Perbedaan lainnya antara Pasal 20 dengan pasal substantif lainnya adalah pasal ini tidak secara
eksplisit mensyaratkan bahwa pelajar atau peserta magang tersebut adalah subjek pajak dalam
negeri dari salah satu negara atau kedua negara dalam P3B. Artinya, pelajar dan peserta magang
tersebut tidak perlu menjadi subjek pajak dalam negeri di negara di mana ia hadir ketika ia
menerima pembayaran.
Selain itu, menurut ketentuan ini, negara di mana pelajar dan peserta magang tersebut
hadir, dikecualikan hak pemajakannya sekalipun di kemudian hari ia menjadi subjek pajak dalam
negeri di negara tersebut. Hal ini memungkinkan pelajar yang sebelumnya menempati Negara A,
kemudian memutuskan untuk menempuh studi di Negara B (di mana ia hadir dan mengikuti
program studi) dan menjadi subjek pajak dalam negeri Negara B, tetap mendapatkan
pembebasan pajak di Negara B atas penghasilan yang diterimanya terkait dengan kegiatan
studinya. Pembebasan ini diberikan sepanjang penghasilan yang diterima pelajar tersebut berasal
dari luar Negara B.
Permasalahan yang mungkin timbul atas penerapan Pasal 20 ini adalah mengenai definisi
dari business or business apprentice yang mana tidak didefinisikan dalam bunyi pasal itu
sendiri atau dalam Commentary. Banyak negara yang memodifikasi mengenai definisi ini,
misalnya saja Amerika Serikat yang mendefinisikan bahwa karyawan yang dikirim oleh
perusahaannya untuk mendapatkan pelatihan tertentu tidak dikategorikan sebagai pelajar atau
peserta magang. Apabila ditelaah lebih jauh, bunyi ketentuan Pasal 20 OECD Model dan UN
Model ini mengacu pada pelajar dan peserta magang yang mengunjungi (visiting) suatu negara
untuk tujuan studi atau pelatihan.
Berdasarkan rumusan tersebut, hak pemajakan atas Penghasilan pejabat diplomatic dan
konsulat berada di Negara yang mengirimkan pejabat diplomatik dan konsulat tersebut.
Di Antara pasal yang terdapat dalam model P3B, terdapat ketentuan internasional yang
berlaku khusus, yaitu ketentuan mengenai pajak atas penghasilan pejabat diplomatik dan
konsulat. Adapun dalam OECD Model ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 28,
sedangkan dalam UN Model terdapat dalam Pasal 27.
Pasal 28 OECD Model dan Pasal 27 UN Model diatur hal yang sama, yaitu dalam hal
suatu negara masih mempertahankan hak untuk mengenakan pajak, hak tersebut menjadi tidak
berlaku apabila Konvensi Wina atau aturan lain dari hukum internasional menegaskan bahwa
penghasilan atau keuntungan yang diterima pejabat diplomatik dan konsulat tidak dikenakan
pajak di negara yang menerima pejabat diplomatik atau konsulat tersebut.
Dalam hal ini, negara yang menerima pejabat diplomatik atau konsulat tersebut (negara
penerima) memberikan pembebasan atas semua jenis pungutan dan pajak, baik personal,
nasional, lokal atau kota, kecuali atas:
1. Pajak tidak langsung, di mana secara normal dimasukkan dalam harga barang atau jasa;
2. Pungutan atau pajak atas harta tidak bergerak yang dimiliki secara pribadi yang terletak di
wilayah negara penerima, kecuali kepemilikan harta tersebut untuk tujuan dari suatu misi
diplomatik;
3. Pajak atas perumahan, penggantian atau warisan dikenakan di negara penerima;
4. Pungutan atau pajak atas penghasilan pribadi yang diperoleh dari negara penerima dan pajak
atas modal yang diinvestasikan dalam usaha komersil di negara penerima;
5. Tagihan yang dikenakan untuk penyerahan jasa tertentu; (vi) Biaya pendaftaran, pengadilan
atau catatan, hutang hipotik dan materai, yang berkaitan dengan harta tidak bergerak.
Pembebasan pajak atas penghasilan atau keuntungan yang diterima pejabat diplomatik
dan konsulat di negara penerima ini, terkait dengan adanya fiscal privileges atau keistimewaan
fiskal yang dimiliki pejabat diplomatik atau konsulat tersebut. Menurut Vogel (1997), pengertian
dari istilah fiscal privileges dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Keistimewaan fiskal disebut juga sebagai kekebalan fiskal (fiscal immunity), yaitu
keistimewaan yang dinikmati oleh anggota misi diplomatik (member of diplomatic missions)
atau konsulat (consular post), yang bersifat insidental dan digunakan untuk membebaskan
pengenaan pajak bagi perwakilan asing di negara di mana perwakilan asing tersebut diterima.
2. Bentuk dan lingkup dari keistimewaan tersebut berdasarkan dua instrumen internasional,
yaitu Vienna Convention on Diplomatic Relation (VCDR) atau Konvensi Wina untuk
Hubungan Diplomatik dan Vienna Convention on Consular Relation (VCCR) atau Konvensi
Wina untuk Hubungan Konsulat.
Pada dasarnya, ketentuan mengenai pajak atas penghasilan pejabat diplomatik dan
konsulat yang terdapat dalam OECD Model dan UN Model ini hanya untuk memastikan bahwa
tidak ada ketentuan yang terdapat dalam P3B yang akan mempengaruhi hak-hak istimewa di
bidang pajak dari pejabat diplomatik dan konsulat sebagaimana diatur dalam ketentuan umum
dari hukum internasional atau ketentuan dari perjanjian internasional yang bersifat khusus. Atau
dengan kata lain, secara prinsip Pasal 28 OECD Model dan Pasal 27 UN Model merupakan
ketentuan tentang kekebalan fiskal pemerintah (fiscal immunity of government) yang berkaitan
dengan urusan luar negeri mereka.
Sedangkan yang dimaksud dengan tempat usaha tetap, pasal 14 UN Model tidak
memberikan definisinya tetapi dapat di maknai istilah tempat usaha tetap tersebut dapat berupa
suatu ruangan kantor atau tempat untuk melakukan praktik seperti praktik dokter, ahli hokum,
maupun akuntan.
Pasal 14 yang mengatur mengenai independent personal services, dlam OECD Model,
telah dihapuskan dan diasimilasikan ke dalam pasal 7 yang mengatur tentang permanent
establishment. Alasan dihapusnya pasal 14 adalah bahwa tidak ada perbedaan yang
mendasar antara karakterisasi pengahasilan yang di terima atau di peroleh oleh subjek
pajak orang pribadi seperti yang di atur dalam pasal 14 OECD Model.
Mengingat semakin meningkatnya transaksi lintas batas negara atas sektor jasa yang
dilakukan oleh individu profesional, perlu untuk mengetahui aspek pajak internasional atas
kegiatan usaha yang dijalankan oleh individu tersebut (disebut juga dengan penghasilan dari
pekerjaan bebas (independent personal services). Ketentuan mengenai pemajakan atas
penghasilan dari pekerjaan bebas saat ini hanya terdapat dalam UN Model, yaitu diatur dalam
Pasal 14.
Sedangkan dalam OECD Model, ketentuan ini telah dihapus pada tahun 2000 dan
diasimilasikan ke dalam Pasal 7 yang mengatur tentang laba usaha (business profit). Walaupun
Pasal 14 OECD Model telah dihapus, namun menurut suatu penelitian pada tahun 2013,
diketahui bahwa 77% P3B di seluruh dunia masih memuat ketentuan mengenai pemajakan atas
penghasilan dari pekerjaan bebas.
Dalam Pasal 14 ayat (1) UN Model diatur mengenai prinsip umum pemajakan atas
penghasilan dari pekerjaan bebas. Berdasarkan pasal ini, penghasilan yang diperoleh oleh orang
pribadi (individu) dari pemberian jasa profesional (professional services) atau pekerjaan bebas
lainnya hanya dapat dikenakan pajak (shall be taxable only) di negara di mana orang pribadi
tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri atau di negara domisili.
Namun, terdapat pengecualian atas ketentuan di atas dalam hal salah satu ketentuan yang
akan dijelaskan di bawah ini terpenuhi. Dengan demikian, negara sumber dapat mengenakan
pajak atas penghasilan dari pemberian jasa profesional yang dilakukan oleh orang pribadi.
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi agar negara sumber dapat mengenakan pajak adalah
sebagai berikut:
1. Apabila orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur
baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
2. Apabila orang pribadi tersebut tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau periode-
periode yang jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai atau berakhir
pada satu tahun pajak yang bersangkutan.
Cakupan penghasilan dari pekerjaan bebas dalam Pasal 14 UN Model terdiri atas penghasilan
dari jasa profesional dan penghasilan dari kegiatan dengan karakter independen lainnya (other
activities of an independent character).
Pasal 14 ayat (2) UN Model menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jasa profesional
terutama termasuk:
1. Kegiatan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan;
2. Kesusasteraan;
3. Pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli hukum, dokter
gigi, arsitek, dan akuntan. Namun, cakupan penghasilan dari pekerjaan bebas tidak terbatas
pada contoh-contoh yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2). Hal ini dikarenakan kalimat
other activities of an independent character yang terdapat dalam rumusan Pasal 14 ayat (1)
menunjukkan bahwa terdapat pemberian jasa-jasa lainnya yang dapat saja masuk dalam
cakupan pekerjaan bebas.
Berbeda dengan istilah jasa profesional, istilah tempat tetap (fixed base) yang juga
digunakan dalam rumusan Pasal 14 UN Model tidak diberikan definisinya. Akan tetapi, istilah
ini dapat dimaknai bahwa tempat tetap tersebut dapat berupa suatu ruangan kantor atau tempat
untuk melakukan praktik seperti praktik dokter, ahli hukum, maupun akuntan.
Sedangkan terkait dengan perhitungan time test terbentuknya tempat tetap, dalam
beberapa P3B Indonesia hal ini ditentukan dari adanya kehadiran pemberi jasa yang melampaui
jangka waktu tertentu (time test), umumnya selama 90 hari atau 120 hari atau 183 hari.
Perlu diperhatikan bahwa sebagaimana dijelaskan dalam UN Commentary Pasal 14 hanya
dapat diterapkan jika pemberi jasa profesional merupakan orang pribadi. Sedangkan jika pemberi
jasa merupakan suatu perusahaan atau bentuk badan hukum lainnya maka Pasal 7 yang
seharusnya diterapkan.
Selain itu, terkait dengan alokasi laba usaha, UN Commentary atas Pasal 14 secara jelas
juga menyebutkan bahwa prinsip-prinsip alokasi laba sebagaimana diterapkan dalam Pasal 7,
berlaku juga untuk Pasal 14. Salah satu prinsip alokasi laba tersebut menyebutkan bahwa alokasi
laba kepada suatu BUT harus memperhitungkan biaya-biaya yang dapat dibebankan (net-basis).
Hal yang sama juga berlaku bagi tempat tetap. Atau, dengan kata lain, pengenaan pajak
berdasarkan gross-basis terhadap suatu tempat tetap tidak diperbolehkan oleh P3B.
Dalam OECD Model dan UN Model, terdapat pasal khusus yang mengatur tentang
pemajakan atas penghasilan yang secara spesifik tidak diatur oleh pasal lainnya dalam P3B
(income not dealt with in the foregoing articles of the convention). Pasal yang dimaksud adalah
Pasal 21 mengenai Penghasilan Lain. Pasal 21 ini merupakan pasal pamungkas (catch all
provision) untuk mengalokasikan hak pemajakan atas penghasilan yang belum jelas diatur dalam
pasal substantif lainnya dalam P3B.
Ruang lingkup yang diatur dalam oleh Pasal 21 ini tidak hanya mencakup penghasilan
yang bersumber di negara yang mengadakan P3B. Tetapi, juga memperluas penghasilan yang
bersumber dari luar negara yang mengadakan P3B (negara ketiga).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup Pasal 21 tidak hanya mencakup
penghasilan yang tidak secara tegas diatur (income not expressly dealt with) dalam pasal-pasal
substantif lainnya (Pasal 6 sampai Pasal 20), tetapi juga penghasilan dari sumber yang tidak
secara tegas disebutkan (income from sources not expressly mentioned).
Dengan demikian, apabila terdapat penghasilan tertentu, yang menurut identifikasi
penghasilan tersebut diterima oleh subjek pajak dalam negeri dari negara domisili dan
penghasilan itu tidak diketahui sumbernya dari mana, ketentuan yang berlaku dalam menentukan
pemajakan atas penghasilan tersebut adalah Pasal 21 OECD Model dan UN Model.
Pada Pasal 21 ayat (1) OECD Model dan UN Model ditegaskan bahwa suatu penghasilan
(item of income) yang diperoleh oleh subjek pajak dalam negeri dari negara yang mengadakan
P3B dari manapun penghasilan tersebut berasal, di mana penghasilan tersebut tidak dicakup oleh
pasal-pasal dalam P3B (Pasal 6 sampai dengan Pasal 20), hanya dikenakan pajak (shall be
taxable only) di negara domisili dari penerima penghasilan.
Hal tersebut tercermin dari kata shall be taxable only yang digunakan dalam rumusan
Pasal 21 ayat (1) OECD Model yang mengandung arti bahwa hanya negara domisili yang
memiliki hak pemajakan atas penghasilan lain. Sedangkan negara lainnya, tidak diperbolehkan
mengenakan pajak atas penghasilan lain. Pada dasarnya, Pasal 21 OECD Model dan UN Model
tidak mengatur mengenai penghasilan seperti apa yang dapat digolongkan sebagai item of
income. Namun, hal tersebut dapat ditentukan berdasarkan kasus per kasus.
Pasal 21 ayat (2) OECD Model dan UN Model berisi ketentuan pengecualian dari
ketentuan Pasal 21 ayat (1) OECD Model dan UN Model. Pasal 21 ayat (2) OECD Model
mengatur bahwa apabila penghasilan lain tersebut mempunyai hubungan efektif (effectively
connected) dengan suatu BUT maka Pasal 7 yang diberlakukan.
Artinya, hak pemajakan atas penghasilan lain tersebut diberikan kepada negara di mana
BUT tersebut berada. Adapun dalam Pasal 21 ayat (2) UN Model, tidak hanya Pasal 7 UN Model
yang dapat diterapkan, tetapi juga Pasal 14 UN Model. OECD telah menghapus keberadaan
Pasal 14 OECD Model karena memiliki konsekuensi pajak yang sama dengan Pasal 7 OECD
Model.
Ketentuan Pasal 21 ayat (2) ini tidak dapat diberlakukan dalam hal penghasilan tersebut
diperoleh dari harta tak bergerak. Hal ini dikarenakan atas penghasilan dari harta tak bergerak
hak pemajakannya selalu berada di negara sumber.
Pengecualian di Pasal 21 ayat (2) OECD Model juga berlaku dalam kasus di mana pihak
yang membayarkan penghasilan dan penerima penghasilan yang sebenarnya (beneficiary of the
income) adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang sama dan penghasilan tersebut
diatribusikan kepada BUT yang dimiliki oleh penerima penghasilan di negara lainnya.
Lebih lanjut, tidak seperti OECD Model, UN Model memiliki Pasal 21 ayat (3) yang
mengatur mengenai hak pemajakan oleh negara sumber. Pasal 21 ayat (3) UN Model memuat
ketentuan yang menyimpang dari Pasal 21 ayat (1) dan (2) UN Model. Sebab, ketentuan ini
mengatur bahwa hak pemajakan atas penghasilan yang tidak diatur dalam pasal-pasal
sebelumnya dan muncul di negara sumber tidak hanya berada di negara domisili, tetapi juga di
negara sumber.
Jenis-jenis Penghasilan yang Dapat Dikenakan Pajak di Negara Sumber (Maybe Taxed in..)
Pasal 14 Penghasilan Profesi Dapat dikenakan pajak di negara sumber apabila
individu yang menjalankan kegiatan profesi tersebut
mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara
sumber.
Pasal 15 Gaji Pegawai/ Gaji Dapat dikenakan pajak di negara sumber sepanjang:
Karyawan Pegawai tersebut hadir di negara sumber dalam
periode yang melebihi 183 hari dalam periode waktu
12 bulan yang dimulai dan berakhir di tahun fiskal
yang bersangkutan, atau Imbalan tersebut dibayar
oleh pemberi kerja yang subjek pajak dalam negeri
dari negara sumber penghasilan, atau Imbalan
tersebut dibiayakan di negara sumber oleh BUT dari
si pemberi kerja.
Pasal 16 Gaji Direktur Dapat dikenakan pajak di negara sumber
Pasal 17 Artis dan Dapat dikenakan pajak di negara sumber atas
Olahragawan penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan
penghasilan dari pertunjukannya maupun penghasilan
olahragawan yang terkait dengan penghasilan dari
pertandingannya.
Jenis-jenis Penghasilan yang Hanya Dikenakan Pajak di Negara Domisili (Shall be Taxable Only
in..)
Pasal 14 Penghasilan Profesi Hanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali
apabila individu yang menjalankan kegiatan profesi
tersebut mempunyai tempat tetap (fixed base) di
negara sumber.
Pasal 15 Gaji Pegawai Hanya dikenakan pajak di negara domisili sepanjang:
Pegawai tersebut tidak hadir di negara lainnya
(negara sumber) dalam periode yang tidak melebihi
183 hari dalam periode waktu 12 bulan yang dimulai
dan berakhir di tahun fiskal yang bersangkutan, dan
Imbalan tersebut dibayar oleh pemberi kerja yang
bukan subjek pajak dalam negeri dari negara sumber
penghasilan, dan Imbalan tersebut tidak dibiayakan di
negara sumber oleh BUT dari si pemberi kerja.
Pasal 18 Pensiun Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Pasal 19 Gaji Pegawai Negeri Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Sipil
Pasal 21 Penghasilan Lainnya Hanya dikenakan pajak di negara domisili
DAFTAR PUSTAKA
http://news.ddtc.co.id/#openModal