Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN PERPAJAKAN

(PEMILIHAN BADAN USAHA)

OLEH :

KELOMPOK 1
Nur Farida 1610247132
Oetari Andari Prakoso 1610247134
Refinia Widiastuty 1610247135
Yeni Sapridawati 1610247130
Yutri Nurmalasari 1610247138

MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah senantiasa memberikan rahmat dan nikmat yang tiada
terkira bagi kami. Sehingga dengan nikmat dan rahmat-Nya kami mampu untuk menyelesaikan
makalah sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Manajemen Perpajakan.
Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak, yang telah memberikan tugas tersebut
sehingga kami menjadi semakin mengerti tentang mata kuliah Manajemen Perpajakan, khususnya
pada materi Pemilihan Badan Usaha dalam Bentuk PT, CV, dan Perseorangan. Selanjutnya,
terimakasih kepada teman-teman dari kelompok lain yang telah berkenan mempelajari hasil dari
tugas kami.
Sekian dari kami semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua orang umumnya.

Pekanbaru, 19 September 2017

Tim Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

2.1 LATAR BELAKANG


Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan APBN di Indonesia yang paling besar.
Keberadaan pajak secara langsung telah mempengaruhi jalannya pertumbuhan ekonomi dan
kegiatan-kegiatan usaha di indonesia. Salah satu unsur objek pajak adalah penghasilan, maka
tentu saja pemungutan pajak ini mencakup bentuk-bentuk usaha baik yang perseorangan maupun
berbentuk badan.
Setiap perusahaan pasti berharap untuk menjadi salah satu perusahaan yang maju dan
besar. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor awal pendiriannya yaitu pada
saat pemilihan bentuk perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemilihan bentuk perusahaan adalah
tahap awal dari pendirian suatu perusahaan harus dengan benar demi kemajuan perusahaan
tersebut. Untuk memilih bentuk perusahaan, tentunya harus melalui pertimbangan yang matang
dan perlu diperhatikan dengan cermat bagaimana bentuk perusahaan tersebut.
Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri terdiri dari 3 macam yaitu BUMN, Koperasi dan
Swasta. Namun yang tentunya menjadi objek pajak penghasilan adalah bentuk usaha Swasta, yang
mana hal itu bertujuan semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah kekayaan. Bentuk
usaha Swasta sendiri terbagi 5 yaitu perseorangan, CV(persekutuan komanditer), Firma,
PT(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara semua itu tentunya memiliki perlakuan pajak yang
berbeda-beda. Perusahaan perseorangan yang pemiliknya hanya satu orang tentu akan mendapat
pemungutan pajak yang berbeda dengan perusahaan yang pemiliknya lebih dari satu orang seperti
CV, Firma, PT dan Yayasan.
Dalam ketentuan umum perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua yaitu Wajib Pajak
perorangan dan Wajib Pajak badan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada setiap Wajib
Pajak, baik Wajib Pajak perorangan maupun Wajib Pajak badan atas penghasilan yang diterimanya
dalam setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak badan dalam
penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak. Lapisan terendah tarif pajak bagi perorangan adalah
5% dan lapisan tertinggi bagi perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib Pajak Badan tarifnya
25%.
Penghasilan dalam pengertian perpajakan memiliki makna yang sangat luas, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dikonsumsi atau menambah kekayaan. Sehubungan
dengan usaha maka penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah laba usaha,
yaitu penerimaan bruto dikurangi biaya-biaya, yang dalam perpajakan disebut dengan penghasilan

3
neto. Dalam menghitung besarnya laba usaha, perpajakan mempunyai ketentuan mengenai
penghasilan yang diperhitungkan dan biaya yang tidak dapat dikurangkan yang diatur dalam UU
PPh.
Laba usaha yang diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah yang akan dikenai
PPh. Namun demikian, bagi Wajib Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih dahulu
dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya ditetapkan dan
bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.
Sebenarnya, pihak yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan adalah juga perorangan
sebagai investor. Hasil yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik usaha merupakan
penghasilan kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun karena prinsip usaha
adalah going concern maka keuntungan dari sebuah badan usaha tidak selalu langsung dinikmati
oleh investor (pemilik) tetapi dapat ditanamkan kembali untuk memperbesar usaha. Sehingga
penghasilan yang diterima oleh perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai
keuntungan tersebut dibagikan ke perorangan.
Selain itu dalam memungut pajak juga ditentukan dari omzet yang didapat. Semakin besar
omzet/penghasilan yang didapat maka semakin besar pula pajak yang dikenakan. Karena kondisi
itulah menyebabkan terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib pajak untuk menghindari pajak atau
meringankan beban pajak pajak yang didapat dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.
Sehingga perencanaan perpajakan (tax planning) dapat digunaan oleh badan usaha tersebut dalam
melakukan kewajiban perpajakannya.

2.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja bentuk usaha di indonesia?
2. Bagaimana bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan menurut perpajakan?
3. Bagaimana pengaruh bentuk usaha untuk alternatif perpajakan?

2.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk memaparkan mengenai bentuk usaha di Indonesia.
2. Untuk memaparkan mengenai bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan menurut
perpajakan.
3. Untuk memaparkan mengenai pengaruh bentuk usaha untuk alternatif perpajakan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

Memilih bentuk usaha/business vehicle yang tepat merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan oleh investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat
memberikan kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait
ketentuan perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha
yang mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak yang
paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk
mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Pohan (Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pemilihan bentuk usaha, diantaranya:
1. bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu
2. pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya
3. kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dari akumulasi penghasilan perusahaan
4. adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit
investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu
5. kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas
penghasilan personal, holding company, dan seterusnya
6. liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.
Secara umum terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:
1. partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan komanditer
(commanditaire vennootschap = CV), dan firma;
2. perseroan terbatas (PT)
3. koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain
4. usaha orang pribadi/individual basis
Fokus penjelasan tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha berbentuk
usaha orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Dan disini kita hanya mendiskusikan masalah
pemilihan bentuk usaha dilihat dari aspek perpajakannya. Banyak pilihan bentuk usaha yang dapat
dipertimbangkan investor, itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan ditanggung.

5
2.1 USAHA ORANG PRIBADI/ PERSEORANGAN
Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berusaha selama tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Untuk melakukan usaha secara pribadi,
seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya, karena bukan berupa badan usaha
atau badan hukum. Usaha perseorangan ini bisa dijalankan dengan membuat usaha dagang (UD)
atau usaha lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang dijalankan pun bisa
beragam, dari berdagang, manufaktur skala kecil, jasa, dsb.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan seluruhnya
akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan dikenai pajak
sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang diperoleh di atas
Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 30%.
Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan
pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal adanya
pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta miliknya
perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha tetap harus
dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga dapat dipisahkan
biaya penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya pemisahan antara
harta usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban mendaftar NPWP hanya
melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan kewajiban melaporkan pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak diperkenankan, seperti biaya gaji
pemilik, pengeluaran berupa prive dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet setahunnya belum
melebihi Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, sehingga keuntungan
dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Konsekuensi menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui adanya kerugian usaha.

Keuntungan dari Perseorangan mempunyai keuntungan:


1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya
2. Pemilik perusahaan mengendalian secara langsung perusahaannya, yang dengan demikian
memungkinkan pengusaha untuk bertindak lanjut cepat
3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan pemerintahan
4. Pemilik menerima semua keuntungan dan menanggung semua kerugian usaha
5. Bebas dari pajak penghasilan apabila pengasilannya masih dibawah PTKP

6
Kelemahan Perseorangan yaitu Keterbatasa dalam mendapatkan modal

Dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya, usaha perseorangan:


1. menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu pemilik yang sebenarnya
dari usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.
2. pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya, namun
dalam hal peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar,
pengusaha boleh tidak melakukan pembukuan, namun wajib membuat pencatatan. Dalam
menghitung penghasilan neto untuk keperluan perpajakan, pengusaha menggunakan norma.
Ketentuan mengenai pembukuan diatur dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan mengenai norma
penghitungan penghasilan neto diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak nomor PER-17/PJ/2015.
3. selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai ketentuan UU
PPh, pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) yang dihitung berdasarkan keadaan/status perkawinan Wajib Pajak dan
jumlah tanggungannya. Ketentuan mengenai biaya yang dapat dikurangkan diatur dalam Pasal
6 UU PPh, ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
4. dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak yang semakin
meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai tarif pajak diatur
dalam Pasal 17 UU PPh.
5. apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 46/2013, bagi pengusaha yang dalam satu tahun pajak peredaran usahanya
tidak lebih dari Rp4,8 miliar, pengusaha wajib menghitung pajaknya secara final dengan tariff
1% dari peredaran usaha setiap bulannya.

Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, usaha perorangan wajib melakukan pembukuan
atau hanya melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan jika peredaran brutonya kurang
dari Rp. 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).

7
Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam
memilih bentuk usaha Perseorangan adalah:

1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan


No Batasan Penghasilan kena Pajak % Tarif PPh Progresif
1 s.d 50 Juta 5%
2 Lebih 50 juta s.d 250 juta 15 %
3 Lebih 250 Juta s.d 500 Juta 25 %
4 Lebih 500 Juta 30 %

2. Pengurang Penghasilan Kena Pajak


Pertimbangan memilih bentuk usaha perseorangan adalah adanya pegurang
penghasilan kena pajak yang hanya diberikan kepada wajib pajakperseorangan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak
No Status PTKT Setahun
1 Tidak kawin anak 0 Rp 54.000.000,-
2 Kawin Anak 0 Rp 58.500.000,-
3 Kawin Anak 1 Rp 63.000.000,-
4 Kawin Anak 2 Rp 67.500.000,-
5 Kawin Anak 3 Rp 72.000.000,-

3. Pertimbangan Kewajiban Pembukuan


Pembukuan adalah salah satu cara yang dipergunakan oleh wajib pajak untuk dapat
mnghitung penghasilan neto yang berkaitan dengan perhitungan besarnya PPh terutang atas
kegiatan usahanya. Selain menggunakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan neto juga
dapat menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
Bagi wajib pajak badan, pembukuan adalah kewajiban. Untuk wajib pajak peribadi
dengan peredaran usaha sampai dengan 4.800.000.000 diberi pilihan untuk menghitung
besarnya penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau menggunakan norma
perhitungan penghasilan.
Kewajiban pembukuan merupakan beban tersendiri bagi wajib pajak, apalagi jika wajib
pajak tidak mempunyai karyawan yang khusus menangani pembukuan tersebut secara khusus.
Biasanya untuk menghindari kewajiban melaksanakan pembukuan maka wajib pajak biasanya

8
menggunakan bentuk orang pribadi, yang cukup dilakukan dengan mencaatat peredaran bruto
setialp bulan tanpa harus membuat laporan keuangan.
Wajib pajak pribadi yang memiliki omset diatas 4.800.000.000 wajib melakukan
pembukuan, jika wajib pajak tersebut tidak menyelenggarakan pembukuan dengan benar
maka penghasilan netonya akan dihitung dengan norma khusus dan dikenakan sanki kenaikan
sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayar.
4. Pertimbangan kewajiban pemungutan pajak
Wajib pajak badan yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kertas, baja, dan
otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan produknya. Namun
pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak dikenakan kepada wajib pajak perorangan yang
mempunyai industri diatas.
5. Pertimbangan Pertanggung-jawaban Utang Pajak
Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak terpisahkan dengan aktiva dari
kegitan usahanya, sehingga keuntungan yang didapat dari semua kegiatan usaha dalam
bentuk perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya untuk kerugian, semua kesulitan
dalam kegiatan usaha dari bentuk perseorangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi
wajib pajak. Berbeda halnya dengan badan usaha yang harus memisahkan aktiva yang dimiliki
oleh pemilik dan aktiva yang dimiliki perusahaan berbentuk badan usaha dimana keuntungan
maupun kerugian akan diakui sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati baik yang
dimasukkan kedalam anggaran dasar atau tidak.
Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung jawab bagi badan usaha
yang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab pemiliknya yaitu utang pajak. Harta
pemilik modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita apabila terdapat utang pajak
dari wajib pajak badan yang tidak dibayar walaupun telah dilakukan tindakan surat paksa oleh
juru sita pajak Negara.
Jika seseorang ingim memutuskan untuk menanamkan modal pada badan usaha atau
berusaha sendiri melalui bentuk perseorangan, selain mempertimbangkan kemungkinan
besarnya laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan seandainya terjadi kerugian
atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun pemilik modal badan usaha
tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi perrmasalahan dengan utang pajak, hartanya dapat dimint
untuk membayar utng pjak dari badan usah dimmana dia menanamkan modalnya.

9
Contoh
Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan. Selama tahun 2015 laporan
laba/rugi usaha tuan Anas tersebut adalah:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Maka penghitungan besarnya PPh terutang Tuan Anas selama tahun 2015 adalah sebagai berikut:
Laba Usaha Rp700.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) * Rp67.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp632.500.000,-
PPh Terutang
5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000,- Rp134.750.000,-
25% x Rp250.000.000,- = Rp62.500.000,-
30% x Rp132.500.000,- = Rp39.750.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,3%
*) 54.000.000 + 4.500.000 + (24.500.000) = Rp67.500.000

Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu di catat :
1. Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil dibandingkan
daripada usaha berbentuk PT
2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak yang jauh lebih besar dari
pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan
atas dasar pertimbangan ini semata, harus memperhatikan pertimbangan lainnya.
3. Pemihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oeh
para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-
satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang
harus diperhatikan investor.

10
2.2 PERSEKUTUAN KOMANDITER (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP = CV)
CV merupakan salah satu bentuk partnership yang paling umum di Indonesia. CV merupakan
suatu persekutuan yang didirikan oleh seorang atau beberapa orang yang mempercayakan uang
atau barang kepada seorang atau beberapa orang yang menjalankan perusahaan dan bertindak
sebagai pemimpin. Dalam pendiriannya, CV cukup didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, namun tidak perlu disahkan oleh Kementerian
Hukum dan HAM.
Atau Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma pada dasarnya adalah bentuk usaha yang
didirikan oleh dua orang atau lebih yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham. Atas bentuk
usaha tersebut dan bentuk usaha lain yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham mempunyai
perlakuan yang sama dari sudut perpajakan.

Anggota perseroan kommanditer ada dua golongan :


1. Persero Pengusaha atau pesero aktif/bekerja. Pesero ini selain menyerahkan modal ke dalam
perseroan, jika perseroan jatuh pailit atau bangkrut, pesero pengusaha bertanggungjawab
penuh atas seluruh harta-harta pribadinya terhadap hutang-hutang perusahaan.
2. Persero Kommanditer atau pesero diam. Pesero ini hanya menyerahkan modal ke dalam
perseroan dan tidak bertanggung jawab tentang jalannya perseroan. Jika perseroan jatuh
pailit/bangkrut, pesero ini hanya bertanggungjawab sebesar modal penyertaannya.

Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan Rahayu,
(2013:91) antara lain:
Kelebihan
1. relatiif mudah dalam proses pendiriannya
2. kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi
3. cenderung lebih mudah memperoleh kredit
4. dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik
5. lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun
mencairkan kembali modalnya
6. tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT
7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM

11
Kekurangan:
1. kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang bertindak
sebagai sekutu pemimpin CV
2. tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh terhadap semangat
untuk memajukan perusahaan
3. kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4. perlindungan hukumnya masih dianggap minim

Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan
NPWP yang terpisah dengan kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan
penghasilannya CV atau Firma yang akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma sebagai
Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV atau Firma
adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang investor juga aktif menjalankan usaha,
investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain berupa gaji dan tunjangan-tunjangan
lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau Firma kepada
pemilik tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui
adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan berupa
gaji oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik. Demikian juga atas
pembagian laba yang diterima oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma diperlakukan
sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu kesatuan dalam hal
ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma hanya akan dikenai PPh satu
kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan perlakuan
perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan
penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak di sisi
perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai WP
badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya berupa
gaji pemilik dan pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki
keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak. Sebagaimana
dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah 28% sedangkan tarif pajak perorangan tertinggi adalah
30%. Dengan demikian dengan membentuk CV dapat timbul penghematan pajak sebesar 2%.

12
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan
dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak

Secara umum ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:


1. CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh dijelaskan pengertian subjek
pajak badan, bahwa subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
2. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV, CV juga harus
menyelenggarakan pembukuan.
4. Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif dikecualikan sebagai objek pajak
5. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat menjadi pengurang
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh
6. Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25% atau 12,5% apabila memenuhi
ketentuan Pasal 31E UU PPh.

Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-
undang Pajak Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang saham
(pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23 dan bagi yang
menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya dikenakan pada
Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double taxation.

13
Contoh
CV Aurora bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun 2015 menunjukkan informasi
sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji para sekutu) Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Penghitungan besarnya PPh terutang adalah sebagai berikut:


Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
PPh Terutang Tarif x 25% Rp175.000.000,-
Laba Bersih Setelah Pajak Rp525.000.000
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 25%
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para sekutu tidak lagi dikenai Pajak.

2.3 PERSEROAN TERBATAS ( PT)


Dalam tatanan ketentuan perundangan di Indonesia, pendirian dan pengelolaan PT diatur
dalam undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1995 yang telah mengalami perubahan
menjadi UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mendirikan sebuah perusahaan
berbentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, diperlukan adanya pengesahan dari Kementrian
Hukum dan HAM.PT merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar dan seluruhnya terbagi
atas saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UU serta peraturan pelaksanaannya
(Pohan, 2015:54).
Berbeda dari usaha berbentuk CV atau Firma, Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk usaha
yang modalnya terdiri atas saham-saham. Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat atau tanda
kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki tersebut dikenal sebagai surat
berharga (marketable securities) yang dapat diperjualbelikan kepada pihak lain. Keuntungan yang
diperoleh pemegang saham adalah hanya dari pembagian keuntungan atau dividen saja, meskipun
dalam beberapa kasus dan sebenarnya tidak dibenarkan secara aturan, ada beberapa

14
pemegang saham yang merangkap juga sebagai pengurus yang ikut aktif menjalankan roda usaha
sehingga kepadanya juga diberikan penghasilan lain berupa gaji.

Kelebihan dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan Rahayu (2013:100-
101) adalah sebagai berikut :
Kelebihan
1. kewajiban dan tanggung jawab terbatas
2. masa hidup abadi
3. efisiensi manajemen karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengurus
4. modal dapat diperoleh dengan menjual saham

Kekurangan
1. kerumitan perizinan dan organisasi
2. besarnya biaya pengorganisasian perusahaan
3. bidang usaha PT relative susah diubah karena harus mengubah akta pendirian dan sulit
mengubah investasi yang telah ditanamkan
4. hubungan antarperorangan lebih formal dan terkesan kaku

Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib Pajak
yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik berupa sumber
daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi arus mengalirnya
penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang saham dianggap sebagai
penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena dividen itu dihitung dari laba setelah pajak,
maka di sisi perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap besarnya keuntungan usaha
atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas keuntungan atau laba usaha akan
dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau laba tersebut dibagi kepada para pemegang saham
akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).

Beberapa ketentuan perpajakan terkait PT diantaranya:


1. sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak dalam negeri berbentuk badan
2. PT juga wajib menyelenggarakan pembukuan
3. PT harus mendaftarkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP atas nama PT
4. Pengenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu pada saat diakui sebagai laba usaha oleh
PT dan pada saat laba usaha tersebut dibagikan kepada para pemegang saham dalam

15
bentuk dividen, dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17 ayat (2c)
sebesar 10%
5. Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham dan komisaris dapat dibiayakan oleh
PT
6. Penghitungan PPh terutang mengikuti tarif Pasal 17 UU PPh atau Pasal 31E UU PPh.

Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya
perusahaan, dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit pajak bagi
pihak yang dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.

Contoh
PT Angkasa bergerak sebagai distributor mainan anak yang terbuat dari bahan yang aman dan
berkualitas. Laba/rugi PT Angkasa tahun 2015 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Penghitungan PPh terutang PT Angkasa adalah:


Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
PPh Terutang (PPh Badan) Tarif x 25% Rp175.000.000,-
Laba Bersih Setelah Pajak Rp525.000.000,-

Pada saat laba usaha dibagikan kepada para pemegang saham, dikenai PPh atas dividen sebesar
10%, yaitu:
Laba usaha yang akan dibagikan sebagai dividen Rp525.000.000,-
PPh atas dividen (Pasal 17 ayat(2c) UU PPh Rp52.500.000,-

16
Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap peredaran usaha dapat dihitung
sebagai berikut:
Jumlah PPh terutang Rp227.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 32,5%

2.4 PEMILIHAN BADAN USAHA


Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat kita bandingkan besarnya PPh terutang yang harus
ditanggung oleh masing-masing bentuk usaha sebagai berikut:
Uraian PT CV Usaha Perorangan
Peredaran Usaha Rp60.000.000.000, Rp60.000.000.000, Rp60.000.000.000,
Laba Usaha Rp700.000.000,- Rp700.000.000,- Rp700.000.000,-
PPh Terutang Rp227.500.000,- Rp175.000.000,- Rp134.750.000,-
Persentase PPh Terutang 32,5% 25% 19,3%
terhadap laba usaha

A. Pemilihan antara bentuk usaha persekutuan komanditer (Commanditaire


Vennootschap = CV) atau Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan komanditer (CV) maupun PT adalah dua bentuk badan usaha yang berorientasi
pada profit motive yang sangat diminati oleh para pengusaha.Hal-hal yang harus dipertimbangkan
dalam memilih antara CV dengan PT yaitu:
1. Pengakuan Biaya gaji bagi pemiliknya
Bagi perusahaan yang berbentuk perseroan komanditer (CV) yang modalnya tidak terbagi
atas saham, biaya gaji yang dibayarkankepada anggota atau pemilik CV tersebut bukan merupakan
biaya. Sedangkan untuk perseroan terbatas (PT) yang modalnya tidak terbagi atas saham maupun
yang tidak terbagi atas saham, biaya gaji pemilik tersebut diakui sebagai biaya.
Dengan adanya perbedaan atas pengakuan gaji bagi pemiliknya antara CV ataupun PT yang
modalnya tidak terbagi atas saham, sehingga hal terbeut bisa dijadikan pertimbangan badan usaha
mana yang akan dipilih.
Bagi Pemilik CV ataupun PT yang ikut melaksanakan kegiatan usaha, baik sebagai direktur
maupun komisaris mendapatkan gaji atau sejenisnya, tentu memilih bentuk PT disbanding CV,
karena dengan dapat dikurangkannya pembayaran gaji atau sejenisnya kepada pemilik hal tersebut
akan membuat laba kena pajak perusahaan lebih rendah.

17
Gaji dari pemilik CV yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai
pembagaian keuntungan, tentu saja pengakuan penghasilannya diakui oleh pemilik CV tersebut,
sedangkan untuk PT selain harus diakui oleh orang pribadi pemilik PT, Penghasilan tersebut
pajaknya sudah dihitung pada saat pembayaran gaji.

Contoh:
Tuan A adalah pemilik CV. Maksi y bang modalnya tidak terbagi atas saham. Ia sekaligus
sebagai direkturnya dan mendapat gaji Rp. 400.000.000 untuk setahun. Bagaimana erbandinngan
PPh terutang perusahaan itu menggunakan bentuk PT. Penghasilan kena pajak CV. Maksi adalah
Rp. 500.000.000,- setelah memperhitungkan gaji Tuan A tersebut.
Besarnya PPh terutang dihitung sebagai CV dan sebagai PT adalah sebagai berikut:
Keterangan Bentuk PT Bentuk CV Selisih
Penghasilan Bersih 500.000.000 500.000.000 0
Koreksi Gaji 0 400.000.000 400.000.000
Penghasilan Kena Pajak 500.000.000 900.000.000 400.000.000
PPh terhutang 95.000.000 215.000.000 120.000.000
Dari perhitungan diatas tampak bahwa PPh terutang bentuk usaha CV lebih Besar dibandingkan
dengan bentuk usaha PT.

2. Perlakuan keuntungan
Keuntungan yang didapat oleh badan udaha, apabila dibagikan kepada pemegang saham
berupa deviden akan terutang PPh. Namun bagi wajib pajak berbentuk CV akan modalnya tidak
dibagikan atas saham maka atas deviden yang dibagikan tidak terutang PPh. Sedangkan bagi PT
yang sahamnya dimiliki oleh badan usaha termasuk koperasi yang aktif atas pembagian
devidennya tidak dipotong PPh.
Dari pertimbangan itu apabila wajib pajak mendirikan usaha dalam bentuk perseroan terbatas
CV maka lebih menguntungkan kalau modalnya tidak dijual bebas dalam bentuk saham. Demikian
pula apabila bentuk usahanya berupa Perseroan Terbatas, maka pemegang saham cenderung
berupa badan usaha yang jumlahnya tidak banyak tetapi modalnya rata-rata 25 %

18
Contoh:
Keseluruhan laba bersih CV. Maksi yang telah menjadi laba ditahan sebesar Rp.
500.000.000,- dibagi sebagai deviden kepada pemegang anggotanya.
Bagaimana perbandingan PPh terhutang atas deviden yang dibagikan oleh CV. Maksi
disbanding kalau CV. Maksi sebagai PT. dan yang menerima deviden adalah sama yaitu Tuan A.

Keterangan Bentuk PT Bentuk CV Selisih


Deviden 500.000.000 500.000.000 0
PPh Terutang 75.000.000 0 75.000.000

Dari perhitungan tersebut tampak besarnya PPh terutang atas deviden jauh lebih tinggi kalau
berbentuk PT

B. PERBANDINGAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN ANTARA PT, CV, DAN


PERSEORANGAN

Walaupun masing-masing bentuk usaha tersebut di atas mempunyai karakter yang berbeda-
beda beserta keunggulan dan kelemahannya, penulis akan mencoba memberikan perbandingan
atas beban pajak untuk masing-masing bentuk usaha. Supaya perbandingan beban pajak ini dapat
dilakukan secara obyektif, penulis mencoba memberikan asumsi-asumsi pendapatan, pembebanan
biaya dan pembagian keuntungan yang sama untuk masing-masing bentuk usaha tersebut, seperti
yang ada di tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan untuk Penjualan Rp. 1,5 Miliar
Perorangan Dgn
Perorangan Dgn Norma
Keterangan PT CV
Pembukuan Penghitungan
*1)
Penjualan 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000
Beban Usaha *2) 1.200.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000 0
Laba Usaha 300.000.000 300.000.000 300.000.000 450.000.000
PTKP *3) 0 0 18.000.000 18.000.000
Penghasilan Kena Pajak 300.000.000 300.000.000 282.000.000 432.000.000
PPh Terutang 75.000.000 75.000.000 40.500.000 78.000.000
Laba Sesudah PPh 225.000.000 225.000.000 241.500.000 354.000.000
PPh 23 Atas Dividen *4) 33.750.000
Total Beban Pajak 108.750.000 75.000.000 40.500.000 78.000.000
Persentase Beban Pajak
48,33% 33,33% 16,77% 22,03%
terhadap Laba Usaha

19
Asumsi:
*1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang Eceran 30% dari Peredaran Bruto
*2) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*3) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%

Dari Tabel 1 di atas, terlibat bahwa total Beban PPh Terutang terendah adalah usaha
perorangan dengan pembukuan sebesar Rp. 40.500.000, sedangkan total Beban PPh Terutang
terbesar adalah pada usaha perorangan dengan Norma penghitungan sebesar Rp. 78.000.000. Hal
ini terjadi karena secara umum Norma Penghitungan menetapkan margin keuntungan usaha yang
lebih besar (30%) daripada keuntungan usaha sebenarnya (20% dengan pembukuan). Pada
prakteknya, usaha perorangan/orang pribadi mengalami dilemma, jika menggunakan Pencatatan
peredaran bruto (yang mudah/sederhana) dengan Norma penghitungan, Persentase keuntungan
yang sebenarnya masih jauh lebih kecil daripada % Keuntungan yang diterapkan dalam Norma
penghitungan. Sebaliknya, jika mau melakukan pembukuan, masih sulit dan membutuhkan biaya
yang cukup besar.

Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT akan selalu lebih besar dari
CV ataupun perorangan, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari dividen
yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak (bukan
obyek pajak). Maka motivasi sesorang untuk lebih memilih bentuk usaha PT dari pada CV adalah
factor-faktor lain selain factor pajak.

Tabel 2: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan Dengan Penjualan Rp. 3 Miliar

20
Perorangan Dgn
Keterangan PT CV
Pembukuan
Penjualan 3.000.000.000 3.000.000.000 3.000.000.000
Beban Usaha *a) 1.200.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000
Laba Usaha 1.800.000.000 1.800.000.000 1.800.000.000
PTKP *b) 0 0 18.000.000
Penghasilan Kena Pajak 1.800.000.000 1.800.000.000 1.782.000.000
PPh Terutang 450.000.000 450.000.000 479.600.000
Laba Sesudah PPh 1.350.000.000 1.350.000.000 1.302.400.000
PPh 23 Atas Dividen *c) 202.500.000 0 0
Total Beban Pajak 652.500.000 450.000.000 479.600.000
Persentase Beban Pajak
48,33% 33,33% 36,82%
terhadap Laba Usaha

Asumsi :
*a) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*b) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*c) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen dengan tarif 15%

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa total beban pajak penghasilan terkecil adalah CV sebesar
Rp. 450.000.000, diikuti Usaha Perorangan Rp. 479.600.000 dan yang terbesar adalah PT sebesar
Rp. 652.500.000. Dengan demikian perbedaan besarnya total beban pajak yang dibayar oleh usaha
perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh pasal 17 untuk badan (dengan tariff maximum 25%) dan
orang pribadi (dengan tariff maximum 30%).

PPh pasal 23 yang dipotong oleh PT atas dividen yang dibagikan sebesar 15% adalah tidak
final, sehingga besarnya tariff efektif akan tergantung pada besarnya penghasilan pemegang
saham (sebagai perorangan). Contoh: jika penghasilan kena pajak pemegang saham (perorangan)
diluar dividen ini sudah mencapai Rp. 200.000.000, maka tariff efektif atas dividen ini menjadi 35%
sehingga total beban pajak atas PT menjadi lebih besar lagi.

21
BAB III
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Pilihan bentuk usaha ternyata berpengaruh terhadap aspek PPh yang akan dihadapi oleh
seorang investor. Kajian dari tiga pilihan apakah usaha perorangan, badan usaha yang modalnya
tidak terbagi atas saham seperti CV atau Firma atau PT ternyata menunjukkan bahwa pilihan
bentuk usaha yang tidak terbagi atas saham memiliki keuntungan pajak tersendiri. Keuntungan
tersebut jika dibandingkan dengan usaha perorangan adalah pengenaan tarif pajak tertinggi yang
lebih rendah dibandingkan tarif pajak tertinggi perorangan. Jika dibandingkan dengan bentuk PT
maka keuntungan CV atau Firma adalah tidak dikenakannya pajak ganda (double tax) atas
pembagian laba atau dividen.
Kajian di atas tentunya hanya memandang dari sudut perpajakan khususnya PPh dengan
kondisi apapun bentuk usaha yang dipilih memberikan hasil yang sama bagi seorang investor.
Secara lebih mendalam tentu pertimbangan pemilihan bentuk usaha tidaklah sesederhana itu.
Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, seperti aspek tanggung jawab pemegang saham,
aspek kemudahan akses ke pihak lain seperti bank, dan lain sebagainya. Namun demikian sudut
pandang aspek pajak ini setidaknya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam
memilih bentuk usaha.
Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga bentuk Badan
Usaha tersebut bersumber dari Undang Undang 1945 khususnya pasal 33. Di Indonesia kita
mengenal 3 macam bentuk badan yaitu Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ), Koperasi dan
Swasta. Bentuk badan usaha swastadapat dibagi kedalam beberapa macam : Perseorangan,
Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas (PT), Yayasan Pilihan bentuk badan
usaha yang tersedia secara umum adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan
Kommanditer (CV) atau Perorangan (Pribadi). Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total
beban pajak PT akan selalu lebih besar dari CV, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang
harus dipotong dari dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak
dikenakan pajak (bukan obyek pajak). Sedangkan (seperti ilustrasib tabel 2) perbedaan besarnya
total beban pajak yang dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya
Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tariff PPh pasal 17
untuk badan (dengan tariff maximum 30%) dan orang pribadi (dengan tariff maximum 35%).

22
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak bukanlah satu-satunya alasan
dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat
memberikan penghematan pajak.

5.2 Saran
Pajak bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan bentuk
usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak. Sehingga dalam melakukan
penghematan tersebut bisa dengan cara perencanaan pajak agar kewajiban perbajakan dapat
dilakukan oleh wajib pajak dengan baik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang undang nomor
16 tahun 2009

Undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas undang
undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

Pohan, chairil anwar. 2003. Manajemen perpajakan. Gramedia pustaka utama

Santoso, imam dan ning rahayu (2013. Corporate tax management, mengulas upaya pergelolaan
pajak perusahaan secara konseprual-praktikal. Ortax

Nasikhudin. (2016. Artikel. Mengulas tentang memilih badan usaha yang tepat bagi perencanaan
pajak. Ortax

http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=85

https://books.google.co.id/books?id=9nAeg3xbW48C&pg=PA3&lpg=PA3&dq=pemilihan+bentuk+us
aha+dalam+tax+planning&source=bl&ots=Q6MaQk1OSd&sig=kLsmTTQr59cOMO2eq8nWJE
30Z0k&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjr4v3EoanWAhUHTo8KHb3iDYUQ6AEIYjAJ#v=onepage&
q=pemilihan%20bentuk%20usaha%20dalam%20tax%20planning&f=true

24

Anda mungkin juga menyukai