Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah senantiasa memberikan rahmat dan nikmat yang
tiada terkira bagi kami. Sehingga dengan nikmat dan rahmat-Nya kami mampu untuk
menyelesaikan makalah sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah “Manajemen Perpajakan”.

Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak, yang telah memberikan tugas tersebut
sehingga kami menjadi semakin mengerti tentang mata kuliah “Manajemen Perpajakan”,
khususnya pada materi “Pemilihan Badan Usaha dalam Bentuk PT, CV, dan Perseorangan”.
Selanjutnya, terimakasih kepada teman-teman dari kelompok lain yang telah berkenan
mempelajari hasil dari tugas kami.

Sekian dari kami semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua orang umumnya.

Gresik, 05 April 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan APBN di Indonesia yang paling
besar. Keberadaan pajak secara langsung telah mempengaruhi jalannya pertumbuhan
ekonomi dan kegiatan-kegiatan usaha di indonesia. Salah satu unsur objek pajak adalah
penghasilan, maka tentu saja pemungutan pajak ini mencakup bentuk-bentuk usaha baik
yang perseorangan maupun berbentuk badan.

Setiap perusahaan pasti berharap untuk menjadi salah satu perusahaan yang maju
dan besar. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor awal pendiriannya
yaitu pada saat pemilihan bentuk perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemilihan bentuk
perusahaan adalah tahap awal dari pendirian suatu perusahaan harus dengan benar
demi kemajuan perusahaan tersebut. Untuk memilih bentuk perusahaan, tentunya harus
melalui pertimbangan yang matang dan perlu diperhatikan dengan cermat bagaimana
bentuk perusahaan tersebut.

Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri terdiri dari 3 macam yaitu BUMN,


Koperasi dan Swasta. Namun yang tentunya menjadi objek pajak penghasilan adalah
bentuk usaha Swasta, yang mana hal itu bertujuan semata-mata untuk mencari
keuntungan dan menambah kekayaan. Bentuk usaha Swasta sendiri terbagi 5 yaitu
perseorangan, CV(persekutuan komanditer), Firma, PT(Perseroan Terbatas) dan
Yayasan. Di antara semua itu tentunya memiliki perlakuan pajak yang berbeda-beda.
Perusahaan perseorangan yang pemiliknya hanya satu orang tentu akan mendapat
pemungutan pajak yang berbeda dengan perusahaan yang pemiliknya lebih dari satu
orang seperti CV, Firma, PT dan Yayasan.

Dalam ketentuan umum perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua yaitu Wajib
Pajak perorangan dan Wajib Pajak badan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada
setiap Wajib Pajak, baik Wajib Pajak perorangan maupun Wajib Pajak badan atas
penghasilan yang diterimanya dalam setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak
perorangan dan Wajib Pajak badan dalam penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak.
Lapisan terendah tarif pajak bagi perorangan adalah 5% dan lapisan tertinggi bagi
perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib Pajak Badan tarifnya 25%.
Penghasilan dalam pengertian perpajakan memiliki makna yang sangat luas, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dikonsumsi atau menambah
kekayaan. Sehubungan dengan usaha maka penghasilan sebagai tambahan kemampuan
ekonomis adalah laba usaha, yaitu penerimaan bruto dikurangi biaya-biaya, yang dalam
perpajakan disebut dengan penghasilan neto. Dalam menghitung besarnya laba usaha,
perpajakan mempunyai ketentuan mengenai penghasilan yang diperhitungkan dan biaya
yang tidak dapat dikurangkan yang diatur dalam UU PPh.

Laba usaha yang diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah yang akan
dikenai PPh. Namun demikian, bagi Wajib Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan
pajak terlebih dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
besarnya ditetapkan dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.

Sebenarnya, pihak yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan adalah juga
perorangan sebagai investor. Hasil yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik
usaha merupakan penghasilan kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan.
Namun karena prinsip usaha adalah “going concern” maka keuntungan dari sebuah
badan usaha tidak selalu langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat
ditanamkan kembali untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima
oleh perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai keuntungan
tersebut dibagikan ke perorangan.

Selain itu dalam memungut pajak juga ditentukan dari omzet yang didapat.
Semakin besar omzet/penghasilan yang didapat maka semakin besar pula pajak yang
dikenakan. Karena kondisi itulah menyebabkan terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib
pajak untuk menghindari pajak atau meringankan beban pajak pajak yang didapat
dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. Sehingga perencanaan perpajakan (tax
planning) dapat digunaan oleh badan usaha tersebut dalam melakukan kewajiban
perpajakannya.
BAB II

PEMBAHASAN

Memilih bentuk usaha/business vehicle yang tepat merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan oleh investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat
memberikan kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait
ketentuan perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha
yang mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak
yang paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk
mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.

Pohan (Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam


pemilihan bentuk usaha, diantaranya:

1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu

2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya

3. Kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dari akumulasi penghasilan perusahaan

4. Adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit
investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu

5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas
penghasilan personal, holding company, dan seterusnya

6. Liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.

Secara umum terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:

1. Partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan komanditer


(commanditaire vennootschap = CV), dan firma;

2. Perseroan terbatas (PT)

3. Koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain

4. Usaha orang pribadi/individual basis


Fokus penjelasan tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha berbentuk
usaha orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Dan disini kita hanya mendiskusikan masalah
pemilihan bentuk usaha dilihat dari aspek perpajakannya. Banyak pilihan bentuk usaha yang
dapat dipertimbangkan investor, itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan
ditanggung.

2.1 USAHA ORANG PRIBADI/ PERSEORANGAN

Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berusaha selama


tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Untuk melakukan usaha secara
pribadi, seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya, karena bukan berupa
badan usaha atau badan hukum. Usaha perseorangan ini bisa dijalankan dengan membuat
usaha dagang (UD) atau usaha lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang
dijalankan pun bisa beragam, dari berdagang, manufaktur skala kecil, jasa, dsb.

Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan
seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut
akan dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang
diperoleh di atas Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan
sebesar 30%.

Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan


pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal
adanya pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta
miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha
tetap harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga
dapat dipisahkan biaya penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak
adanya pemisahan antara harta usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan
kewajiban mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan
kewajiban melaporkan pajaknya.

Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak diperkenankan, seperti biaya


gaji pemilik, pengeluaran berupa prive dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet
setahunnya belum melebihi Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan,
sehingga keuntungan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Konsekuensi menggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui
adanya kerugian usaha.

Keuntungan dari Perseorangan mempunyai keuntungan:

1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya


2. Pemilik perusahaan mengendalian secara langsung perusahaannya, yang dengan
demikian memungkinkan pengusaha untuk bertindak lanjut cepat

3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan pemerintahan

4. Pemilik menerima semua keuntungan dan menanggung semua kerugian usaha

5. Bebas dari pajak penghasilan apabila pengasilannya masih dibawah PTKP

Kelemahan Perseorangan yaitu Keterbatasa dalam mendapatkan modal

Dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya, usaha perseorangan:

1. Menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu pemilik yang
sebenarnya dari usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.

2. Pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya,


namun dalam hal peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak tidak melebihi
Rp4,8 miliar, pengusaha boleh tidak melakukan pembukuan, namun wajib membuat
pencatatan. Dalam menghitung penghasilan neto untuk keperluan perpajakan,
pengusaha menggunakan norma. Ketentuan mengenai pembukuan diatur dalam Pasal
28 UU KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan penghasilan neto diatur dalam
Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015.

3. Selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai


ketentuan UU PPh, pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dihitung berdasarkan keadaan/status
perkawinan Wajib Pajak dan jumlah tanggungannya. Ketentuan mengenai biaya yang
dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 6 UU PPh, ketentuan mengenai PTKP diatur
dalam Pasal 7 UU PPh.

4. Dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak
yang semakin meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan
mengenai tarif pajak diatur dalam Pasal 17 UU PPh.

5. Apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam


Peraturan Pemerintah nomor 46/2013, bagi pengusaha yang dalam satu tahun pajak
peredaran usahanya tidak lebih dari Rp4,8 miliar, pengusaha wajib menghitung
pajaknya secara final dengan tariff 1% dari peredaran usaha setiap bulannya.

Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, usaha perorangan wajib melakukan


pembukuan atau hanya melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan jika
peredaran brutonya kurang dari Rp. 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).
Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
dalam memilih bentuk usaha Perseorangan adalah:

1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan

No Batas Penghasilan Kena Pajak % Tarif PPh Progresif


1 s.d 50 Juta 5%
2 Lebih 50 Juta s.d 250 Juta 15%
3 Lebih 250 Juta s.d 500 Juta 25%
4 Lebih 500 Juta 30%

2. Pengurang Penghasilan Kena Pajak


Pertimbangan memilih bentuk usaha perseorangan adalah adanya pegurang
penghasilan kena pajak yang hanya diberikan kepada wajib pajakperseorangan.

No Status PTKP Setahun


1 Tida kawin anak 0 Rp 54.000.000,-
2 Kawin Anak 0 Rp 58.500.000,-
3 Kawin Anak 1 Rp 63.000.000,-
4 Kawin Anak 2 Rp 67.500.000,-
5 Kawin Anak 3 Rp 72.000.000,-

3. Pertimbangan Kewajiban Pembukuan


Pembukuan adalah salah satu cara yang dipergunakan oleh wajib pajak untuk dapat
mnghitung penghasilan neto yang berkaitan dengan perhitungan besarnya PPh terutang
atas kegiatan usahanya. Selain menggunakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan
neto juga dapat menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
Bagi wajib pajak badan, pembukuan adalah kewajiban. Untuk wajib pajak peribadi
dengan peredaran usaha sampai dengan 4.800.000.000 diberi pilihan untuk menghitung
besarnya penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau menggunakan norma
perhitungan penghasilan.
Kewajiban pembukuan merupakan beban tersendiri bagi wajib pajak, apalagi jika
wajib pajak tidak mempunyai karyawan yang khusus menangani pembukuan tersebut
secara khusus. Biasanya untuk menghindari kewajiban melaksanakan pembukuan maka
wajib pajak biasanya menggunakan bentuk orang pribadi, yang cukup dilakukan dengan
mencaatat peredaran bruto setialp bulan tanpa harus membuat laporan keuangan.
Wajib pajak pribadi yang memiliki omset diatas 4.800.000.000 wajib melakukan
pembukuan, jika wajib pajak tersebut tidak menyelenggarakan pembukuan dengan benar
maka penghasilan netonya akan dihitung dengan norma khusus dan dikenakan sanki
kenaikan sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayar.

4. Pertimbangan kewajiban pemungutan pajak


Wajib pajak badan yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kertas, baja, dan
otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan produknya. Namun
pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak dikenakan kepada wajib pajak perorangan yang
mempunyai industri diatas.

5. Pertimbangan Pertanggung-jawaban Utang Pajak


Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak terpisahkan dengan
aktiva dari kegitan usahanya, sehingga keuntungan yang didapat dari semua kegiatan
usaha dalam bentuk perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya untuk kerugian,
semua kesulitan dalam kegiatan usaha dari bentuk perseorangan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab pribadi wajib pajak. Berbeda halnya dengan badan usaha yang harus
memisahkan aktiva yang dimiliki oleh pemilik dan aktiva yang dimiliki perusahaan
berbentuk badan usaha dimana keuntungan maupun kerugian akan diakui sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati baik yang dimasukkan kedalam anggaran dasar atau
tidak.
Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung jawab bagi badan usaha
yang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab pemiliknya yaitu utang pajak. Harta
pemilik modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita apabila terdapat utang
pajak dari wajib pajak badan yang tidak dibayar walaupun telah dilakukan tindakan surat
paksa oleh juru sita pajak Negara.
Jika seseorang ingim memutuskan untuk menanamkan modal pada badan usaha
atau berusaha sendiri melalui bentuk perseorangan, selain mempertimbangkan
kemungkinan besarnya laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan
seandainya terjadi kerugian atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun pemilik modal badan
usaha tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi perrmasalahan dengan utang pajak, hartanya
dapat dimint untuk membayar utng pjak dari badan usah dimmana dia menanamkan
modalnya.

2.2 PERSEKUTUAN KOMANDITER (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP = CV)

CV merupakan salah satu bentuk partnership yang paling umum di Indonesia. CV


merupakan suatu persekutuan yang didirikan oleh seorang atau beberapa orang yang
mempercayakan uang atau barang kepada seorang atau beberapa orang yang menjalankan
perusahaan dan bertindak sebagai pemimpin. Dalam pendiriannya, CV cukup didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, namun
tidak perlu disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Atau Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma pada dasarnya adalah bentuk usaha
yang didirikan oleh dua orang atau lebih yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham.
Atas bentuk usaha tersebut dan bentuk usaha lain yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham mempunyai perlakuan yang sama dari sudut perpajakan.

Anggota perseroan kommanditer ada dua golongan :

1. Persero Pengusaha atau pesero aktif/bekerja. Pesero ini selain menyerahkan modal ke
dalam perseroan, jika perseroan jatuh pailit atau bangkrut, pesero pengusaha
bertanggungjawab penuh atas seluruh harta-harta pribadinya terhadap hutang-hutang
perusahaan.

2. Persero Kommanditer atau pesero diam. Pesero ini hanya menyerahkan modal ke dalam
perseroan dan tidak bertanggung jawab tentang jalannya perseroan. Jika perseroan jatuh
pailit/bangkrut, pesero ini hanya bertanggungjawab sebesar modal penyertaannya.

Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan Rahayu,
(2013:91) antara lain:

Kelebihan

1. Relatiif mudah dalam proses pendiriannya

2. Kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi

3. Cenderung lebih mudah memperoleh kredit

4. Dai segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik

5. Lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih mudah untuk menginvestasikan
maupun mencairkan kembali modalnya

6. Tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT

7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM

Kekurangan:

1. Kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang
bertindak sebagai sekutu pemimpin CV

2. Tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh terhadap
semangat untuk memajukan perusahaan

3. Kewajiban sekutu yang tidak terbatas

4. Perlindungan hukumnya masih dianggap minim

Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan
NPWP yang terpisah dengan kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan
penghasilannya CV atau Firma yang akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma
sebagai Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV
atau Firma adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang investor juga aktif
menjalankan usaha, investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain berupa gaji dan
tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau Firma kepada
pemilik tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui
adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan
berupa gaji oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik.
Demikian juga atas pembagian laba yang diterima oleh pemilik.

Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma
diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu
kesatuan dalam hal ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma
hanya akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.

Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan perlakuan


perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan
penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak di sisi
perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai
WP badan.

Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya berupa


gaji pemilik dan pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV
memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak.
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah 28% sedangkan tarif pajak
perorangan tertinggi adalah 30%. Dengan demikian dengan membentuk CV dapat timbul
penghematan pajak sebesar 2%.

Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan


dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak

Secara umum ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:

1. CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh dijelaskan pengertian
subjek pajak badan, bahwa subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap

2. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

3. Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV, CV juga harus
menyelenggarakan pembukuan.
4. Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai pajak. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau
diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif dikecualikan sebagai objek pajak

5. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat menjadi pengurang
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh

6. Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25% atau 12,5% apabila
memenuhi ketentuan Pasal 31E UU PPh.

Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-
undang Pajak Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang
saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23 dan
bagi yang menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya
dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double taxation.

2.3 PERSEROAN TERBATAS ( PT)

Dalam tatanan ketentuan perundangan di Indonesia, pendirian dan pengelolaan PT diatur


dalam undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1995 yang telah mengalami
perubahan menjadi UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mendirikan sebuah
perusahaan berbentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, diperlukan adanya
pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM.PT merupakan badan hukum yang
merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar dan seluruhnya terbagi atas saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh UU serta peraturan pelaksanaannya (Pohan, 2015:54).

Berbeda dari usaha berbentuk CV atau Firma, Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk
usaha yang modalnya terdiri atas saham-saham. Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat
atau tanda kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki tersebut dikenal
sebagai surat berharga (marketable securities) yang dapat diperjualbelikan kepada pihak lain.
Keuntungan yang diperoleh pemegang saham adalah hanya dari pembagian keuntungan atau
dividen saja, meskipun dalam beberapa kasus –dan sebenarnya tidak dibenarkan secara
aturan–, ada beberapa pemegang saham yang merangkap juga sebagai pengurus yang ikut
aktif menjalankan roda usaha sehingga kepadanya juga diberikan penghasilan lain berupa
gaji.
Kelebihan dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan Rahayu
(2013:100-101) adalah sebagai berikut :

Kelebihan

1. kewajiban dan tanggung jawab terbatas

2. masa hidup abadi

3. efisiensi manajemen karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengurus

4. modal dapat diperoleh dengan menjual saham

Kekurangan

1. Kerumitan perizinan dan organisasi

2. besarnya biaya pengorganisasian perusahaan

3. bidang usaha PT relative susah diubah karena harus mengubah akta pendirian dan
sulit mengubah investasi yang telah ditanamkan

4. hubungan antarperorangan lebih formal dan terkesan kaku

Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib
Pajak yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik
berupa sumber daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi
arus mengalirnya penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang
saham dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena dividen itu
dihitung dari laba setelah pajak, maka di sisi perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh
terhadap besarnya keuntungan usaha atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan
bahwa atas keuntungan atau laba usaha akan dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau
laba tersebut dibagi kepada para pemegang saham akan dikenai pajak lagi di pemegang
saham (perorangan).

Beberapa ketentuan perpajakan terkait PT diantaranya:

1. Sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak dalam negeri berbentuk badan

2. PT juga wajib menyelenggarakan pembukuan

3. PT harus mendaftarkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP atas nama PT

4. Pengenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu pada saat diakui sebagai laba usaha
oleh PT dan pada saat laba usaha tersebut dibagikan kepada para pemegang saham
dalam bentuk dividen, dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17
ayat (2c) sebesar 10%

5. Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham dan komisaris dapat dibiayakan
oleh PT

6. Penghitungan PPh terutang mengikuti tarif Pasal 17 UU PPh atau Pasal 31E UU PPh.

Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai
biaya perusahaan, dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit
pajak bagi pihak yang dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.

2.4 PEMILIHAN BADAN USAHA

2.4.1 Pemilihan antara bentuk usaha persekutuan komanditer (Commanditaire


Vennootschap = CV) atau Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan komanditer (CV) maupun PT adalah dua bentuk badan usaha


yang berorientasi pada profit motive yang sangat diminati oleh para
pengusaha.Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih antara CV dengan
PT yaitu:

1. Pengakuan Biaya gaji bagi pemiliknya

Bagi perusahaan yang berbentuk perseroan komanditer (CV) yang


modalnya tidak terbagi atas saham, biaya gaji yang dibayarkankepada anggota
atau pemilik CV tersebut bukan merupakan biaya. Sedangkan untuk perseroan
terbatas (PT) yang modalnya tidak terbagi atas saham maupun yang tidak
terbagi atas saham, biaya gaji pemilik tersebut diakui sebagai biaya.

Dengan adanya perbedaan atas pengakuan gaji bagi pemiliknya antara


CV ataupun PT yang modalnya tidak terbagi atas saham, sehingga hal terbeut
bisa dijadikan pertimbangan badan usaha mana yang akan dipilih.

Bagi Pemilik CV ataupun PT yang ikut melaksanakan kegiatan usaha,


baik sebagai direktur maupun komisaris mendapatkan gaji atau sejenisnya,
tentu memilih bentuk PT disbanding CV, karena dengan dapat
dikurangkannya pembayaran gaji atau sejenisnya kepada pemilik hal tersebut
akan membuat laba kena pajak perusahaan lebih rendah.

Gaji dari pemilik CV yang modalnya tidak terbagi atas saham


diperlakukan sebagai pembagaian keuntungan, tentu saja pengakuan
penghasilannya diakui oleh pemilik CV tersebut, sedangkan untuk PT selain
harus diakui oleh orang pribadi pemilik PT, Penghasilan tersebut pajaknya
sudah dihitung pada saat pembayaran gaji.

2. Perlakuan keuntungan

Keuntungan yang didapat oleh badan udaha, apabila dibagikan kepada


pemegang saham berupa deviden akan terutang PPh. Namun bagi wajib pajak
berbentuk CV akan modalnya tidak dibagikan atas saham maka atas deviden
yang dibagikan tidak terutang PPh. Sedangkan bagi PT yang sahamnya
dimiliki oleh badan usaha termasuk koperasi yang aktif atas pembagian
devidennya tidak dipotong PPh.

Dari pertimbangan itu apabila wajib pajak mendirikan usaha dalam


bentuk perseroan terbatas CV maka lebih menguntungkan kalau modalnya
tidak dijual bebas dalam bentuk saham. Demikian pula apabila bentuk
usahanya berupa Perseroan Terbatas, maka pemegang saham cenderung
berupa badan usaha yang jumlahnya tidak banyak tetapi modalnya rata-rata 25
%

2.4.2 PERBANDINGAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN ANTARA PT, CV, DAN


PERSEORANGAN

Walaupun masing-masing bentuk usaha tersebut di atas mempunyai


karakter yang berbeda-beda beserta keunggulan dan kelemahannya, penulis
akan mencoba memberikan perbandingan atas beban pajak untuk masing-
masing bentuk usaha. Supaya perbandingan beban pajak ini dapat dilakukan
secara obyektif, penulis mencoba memberikan asumsi-asumsi pendapatan,
pembebanan biaya dan pembagian keuntungan yang sama untuk masing-
masing bentuk usaha tersebut, seperti yang ada di tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan untuk Penjualan Rp. 1,5 Miliar

Asumsi:

*1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang Eceran 30% dari Peredaran Bruto

*2) Beban Usaha 80% dari Penjualan

*3) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000

*4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal 23 dengan
tarif 15%

Dari Tabel 1 di atas, terlibat bahwa total Beban PPh Terutang terendah
adalah usaha perorangan dengan pembukuan sebesar Rp. 40.500.000, sedangkan
total Beban PPh Terutang terbesar adalah pada usaha perorangan dengan Norma
penghitungan sebesar Rp. 78.000.000. Hal ini terjadi karena secara umum Norma
Penghitungan menetapkan margin keuntungan usaha yang lebih besar (30%)
daripada keuntungan usaha sebenarnya (20% dengan pembukuan). Pada
prakteknya, usaha perorangan/orang pribadi mengalami dilemma, jika
menggunakan Pencatatan peredaran bruto (yang mudah/sederhana) dengan
Norma penghitungan, Persentase keuntungan yang sebenarnya masih jauh lebih
kecil daripada % Keuntungan yang diterapkan dalam Norma penghitungan.
Sebaliknya, jika mau melakukan pembukuan, masih sulit dan membutuhkan biaya
yang cukup besar.

Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT akan
selalu lebih besar dari CV ataupun perorangan, karena adanya tambahan PPh
pasal 23 yang harus dipotong dari dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan
pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak (bukan obyek pajak). Maka
motivasi sesorang untuk lebih memilih bentuk usaha PT dari pada CV adalah
factor-faktor lain selain factor pajak.

Tabel 2: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan Dengan Penjualan Rp. 3 Miliar

Asumsi :

*a) Beban Usaha 80% dari Penjualan

*b) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000

*c) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen dengan tarif 15%

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa total beban pajak penghasilan terkecil
adalah CV sebesar Rp. 450.000.000, diikuti Usaha Perorangan Rp. 479.600.000
dan yang terbesar adalah PT sebesar Rp. 652.500.000. Dengan demikian
perbedaan besarnya total beban pajak yang dibayar oleh usaha perorangan dan
PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh pasal 17 untuk badan (dengan tariff
maximum 25%) dan orang pribadi (dengan tariff maximum 30%).

PPh pasal 23 yang dipotong oleh PT atas dividen yang dibagikan sebesar
15% adalah tidak final, sehingga besarnya tariff efektif akan tergantung pada
besarnya penghasilan pemegang saham (sebagai perorangan). Contoh: jika
penghasilan kena pajak pemegang saham (perorangan) diluar dividen ini sudah
mencapai Rp. 200.000.000, maka tariff efektif atas dividen ini menjadi 35%
sehingga total beban pajak atas PT menjadi lebih besar lagi.
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Pilihan bentuk usaha ternyata berpengaruh terhadap aspek PPh yang akan
dihadapi oleh seorang investor. Kajian dari tiga pilihan apakah usaha perorangan, badan
usaha yang modalnya tidak terbagi atas saham seperti CV atau Firma atau PT ternyata
menunjukkan bahwa pilihan bentuk usaha yang tidak terbagi atas saham memiliki
keuntungan pajak tersendiri. Keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan usaha
perorangan adalah pengenaan tarif pajak tertinggi yang lebih rendah dibandingkan tarif
pajak tertinggi perorangan. Jika dibandingkan dengan bentuk PT maka keuntungan CV
atau Firma adalah tidak dikenakannya pajak ganda (double tax) atas pembagian laba atau
dividen.

Kajian di atas tentunya hanya memandang dari sudut perpajakan khususnya PPh
dengan kondisi apapun bentuk usaha yang dipilih memberikan hasil yang sama bagi
seorang investor. Secara lebih mendalam tentu pertimbangan pemilihan bentuk usaha
tidaklah sesederhana itu. Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, seperti aspek
tanggung jawab pemegang saham, aspek kemudahan akses ke pihak lain seperti bank,
dan lain sebagainya. Namun demikian sudut pandang aspek pajak ini setidaknya dapat
dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam memilih bentuk usaha.

Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian atas tiga
bentuk Badan Usaha tersebut bersumber dari Undang – Undang 1945 khususnya pasal
33. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk badan yaitu Badan Usaha Milik Negara
( BUMN ), Koperasi dan Swasta. Bentuk badan usaha swastadapat dibagi kedalam
beberapa macam : Perseorangan, Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan
Terbatas (PT), Yayasan Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum adalah
berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Kommanditer (CV) atau Perorangan
(Pribadi). Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT akan selalu
lebih besar dari CV, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari
dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan
pajak (bukan obyek pajak). Sedangkan (seperti ilustrasib tabel 2) perbedaan besarnya
total beban pajak yang dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada
besarnya Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan
tariff PPh pasal 17 untuk badan (dengan tariff maximum 30%) dan orang pribadi
(dengan tariff maximum 35%).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak bukanlah satu-satunya
alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat
memberikan penghematan pajak.

3.2. Saran

Pajak bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun


pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak. Sehingga
dalam melakukan penghematan tersebut bisa dengan cara perencanaan pajak agar
kewajiban perbajakan dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang undang nomor 16
tahun 2009

Undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas
undang undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

Pohan, chairil anwar. 2003. Manajemen perpajakan. Gramedia pustaka utama

Santoso, imam dan ning rahayu (2013. Corporate tax management, mengulas upaya pergelolaan
pajak perusahaan secara konseprual-praktikal. Ortax

Nasikhudin. (2016. Artikel. Mengulas tentang memilih badan usaha yang tepat bagi perencanaan
pajak. Ortax

http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=85

https://books.google.co.id/books?
id=9nAeg3xbW48C&pg=PA3&lpg=PA3&dq=pemilihan+bentuk+usaha+dalam+tax+planning&
source=bl&ots=Q6MaQk1OSd&sig=kLsmTTQr59cOMO2eq8nWJE30Z0k&hl=id&sa=X&ved=
0ahUKEwjr4v3EoanWAhUHTo8KHb3iDYUQ6AEIYjAJ#v=onepage&q=pemilihan%20bentuk
%20usaha%20dalam%20tax%20planning&f=true

Anda mungkin juga menyukai