Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan APBN di Indonesia
yang paling besar. Keberadaan pajak secara langsung telah mempengaruhi
jalannya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan-kegiatan usaha di indonesia.
Salah satu unsur objek pajak adalah penghasilan, maka tentu saja
pemungutan pajak ini mencakup bentuk-bentuk usaha baik yang
perseorangan maupun berbentuk badan.
Setiap perusahaan pasti berharap untuk menjadi salah satu perusahaan
yang maju dan besar. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah
faktor awal pendiriannya yaitu pada saat pemilihan bentuk perusahaan
tersebut. Oleh karena itu pemilihan bentuk perusahaan adalah tahap
awal dari pendirian suatu perusahaan harus dengan benar demi kemajuan
perusahaan tersebut. Untuk memilih bentuk perusahaan, tentunya harus
melalui pertimbangan yang matang dan perlu diperhatikan dengan cermat
bagaimana bentuk perusahaan tersebut.
Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri terdiri dari 3 macam yaitu
BUMN, Koperasi dan Swasta. Namun yang tentunya menjadi objek pajak
penghasilan adalah bentuk usaha Swasta, yang mana hal itu bertujuan
semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah kekayaan. Bentuk
usaha Swasta sendiri terbagi 5 yaitu perseorangan, CV(persekutuan
komanditer), Firma, PT(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara semua
itu tentunya memiliki perlakuan pajak yang berbeda-beda. Perusahaan
perseorangan yang pemiliknya hanya satu orang tentu akan mendapat
pemungutan pajak yang berbeda dengan perusahaan yang pemiliknya lebih
dari satu orang seperti CV, Firma, PT dan Yayasan.
Dalam ketentuan umum perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua
yaitu Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak badan. Pajak Penghasilan
(PPh) dikenakan kepada setiap Wajib Pajak, baik Wajib Pajak perorangan
maupun Wajib Pajak badan atas penghasilan yang diterimanya dalam

1
setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak
badan dalam penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak. Lapisan
terendah tarif pajak bagi perorangan adalah 5% dan lapisan tertinggi bagi
perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib Pajak Badan tarifnya 25%.
Penghasilan dalam pengertian perpajakan memiliki makna yang
sangat luas, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat
dikonsumsi atau menambah kekayaan. Sehubungan dengan usaha maka
penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah laba usaha,
yaitu penerimaan bruto dikurangi biaya-biaya, yang dalam perpajakan
disebut dengan penghasilan neto. Dalam menghitung besarnya laba usaha,
perpajakan mempunyai ketentuan mengenai penghasilan yang
diperhitungkan dan biaya yang tidak dapat dikurangkan yang diatur dalam
UU PPh.
Laba usaha yang diterima oleh badan usaha maupun perorangan
itulah yang akan dikenai PPh. Namun demikian, bagi Wajib Pajak
perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih dahulu dikurangkan
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya ditetapkan
dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.
Sebenarnya, pihak yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan
adalah juga perorangan sebagai investor. Hasil yang akan diterima oleh
investor sebagai pemilik usaha merupakan penghasilan kembali yang
merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun karena prinsip usaha adalah
“going concern” maka keuntungan dari sebuah badan usaha tidak selalu
langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat ditanamkan kembali
untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima oleh
perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai
keuntungan tersebut dibagikan ke perorangan.
Selain itu dalam memungut pajak juga ditentukan dari omzet yang
didapat. Semakin besar omzet/penghasilan yang didapat maka semakin
besar pula pajak yang dikenakan. Karena kondisi itulah menyebabkan
terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib pajak untuk menghindari pajak atau
meringankan beban pajak pajak yang didapat dengan cara-cara yang tidak

2
melanggar hukum. Sehingga perencanaan perpajakan (tax planning) dapat
digunaan oleh badan usaha tersebut dalam melakukan kewajiban
perpajakannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja bentuk usaha di indonesia?
2. Bagaimana bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan menurut
perpajakan?
3. Bagaimana pengaruh bentuk usaha untuk alternatif perpajakan?
4. Apa yang dimaksud dengan manajemen penutupan usaha dan strategi
perpajakannya?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk memaparkan mengenai bentuk usaha di Indonesia.
2. Untuk memaparkan mengenai bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan
badan menurut perpajakan.
3. Untuk memaparkan mengenai pengaruh bentuk usaha untuk alternatif
perpajakan.
4. Untuk mengetahui yang dimaksud manajemen penutupan usaha dan
strategi perpajakannya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Memilih bentuk usaha/business vehicle yang tepat merupakan hal pertama


yang harus diperhatikan oleh investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk
usaha apa yang dapat memberikan kontribusi profit paling besar dengan tingkat
risiko yang paling rendah. Terkait ketentuan perpajakan yang berlaku,
investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha yang mana yang
memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak yang
paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu
saja untuk mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Pohan (Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk usaha, diantaranya:
1. bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif
pajak penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang
mengatur hal itu
2. pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha,
maupun penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para
pemegang sahamnya
3. kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak
penghasilan lebih kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan
yang terdapat pada tarif pajak penghasilan dari akumulasi penghasilan
perusahaan
4. adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi
kerugian) dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu
5. kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi
laba, pajak atas penghasilan personal, holding company, dan seterusnya
6. liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in
kind.
Secara umum terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:
1. partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan
komanditer (commanditaire vennootschap = CV), dan firma;

4
2. perseroan terbatas (PT)
3. koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain
4. usaha orang pribadi/individual basis
Fokus penjelasan tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan
usaha berbentuk usaha orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Dan disini
kita hanya mendiskusikan masalah pemilihan bentuk usaha dilihat dari aspek
perpajakannya. Banyak pilihan bentuk usaha yang dapat dipertimbangkan
investor, itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan ditanggung.

2.1. Penghematan Pajak (Tax Saving)


Penghematan pajak (tax saving) yaitu suatu cara yang dilakukan oleh
wajib pajak dalam mengelakkan utang pajaknya dengan jalan menahan diri
untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya,
pajak penjualannya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau
pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil
dan terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. Dalam hal ini,
aparat perpajakan tidak dapat berbuat apa-apa, karena hal tersebut berada di
luar ruang lingkup pemajakan.
Secara sepintas terlihat bahwa ada kesamaan antara penghematan
pajak dan penghindaran pajak, tetapi sesungguhnya secara teoritis kedua hal
tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:
Penghematan pajak adalah usaha memperkecil jumlah utang pajak
yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan, sedang penghindaran
pajak juga merupakan usaha yang sama dengan cara mengeksploitir celah-
celah yang terdapat bahwa dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, di mana aparat perpajakan tidak dapat melakukan tindakan apa-
apa.

2.2. Bentuk Usaha di Indonesia


Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian
atas tiga bentuk Badan Usaha tersebut bersumber dari Undang-Undang 1945

5
khususnya pasal 33. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk badan
yaitu:
 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah suatu bangun usaha yang
didirikan oleh Negara dan pemiliknya dipegang oleh Pemerintah atau
Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini terdapat berbagai macam
antara lain yang berupa Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahan
Negara (PN), Perusahaan Umum (PERUM) dan Persero (PT. Persero).
 Koperasi adalah bentuk badan usaha yang beranggotakan orang-orang
atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya pada prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi raktyat yang berdasar atas
azas kekeluargaan.
 Swasta adalah badan usaha yang pemiliknya sepenuhnya berada ditangan
individu atau swasta. Yang bertujuan untuk mencari keuntungan
sehingga ukuran keberhasilannya juga dari banyaknya keuntungan yang
diperoleh dari hasil usahanya. Perusahaan ini sebenarnya tidaklah selalu
bermotif mencari keuntungan semata tetapi ada juga yang tidak bermotif
mencari keuntungan. Contoh : perusahan swasta yang bermotif nirlaba
yaitu Rumah Sakit, Sekolahan, Akademik, dll.

2.3. Bentuk Usaha


Pada perusahaan di Indonesia bentuk usaha yang ada terbagi menjadi
4 bentuk usaha yaitu perseorangan, CV atau Firma, Perseroan Terbatas (PT)
dan koperasi. Setiap dari bentuk usaha memiliki perbedaan masing-masing
serta memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Secara umum terdapat
empat bentuk usaha yang legal, sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan
Rahayu (2013) yaitu:
2.3.1. Perseorangan atau Usaha Pribadi (Individual Basis)
Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya
untuk berusaha selama tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan. Untuk melakukan usaha secara pribadi,
seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya, karena
bukan berupa badan usaha atau badan hukum. Usaha perseorangan

6
ini bisa dijalankan dengan membuat usaha dagang (UD) atau usaha
lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang
dijalankan pun bisa beragam, dari berdagang, manufaktur skala
kecil, jasa, dsb.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan
secara perorangan seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong
pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan dikenai pajak sesuai
dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang
diperoleh di atas Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif
tertinggi perpajakan sebesar 30%.
Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya
dihitung berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh
perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal adanya
pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan,
keseluruhannya adalah harta miliknya perorangan. Namun demikian
untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha tetap harus
dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha,
sehingga dapat dipisahkan biaya penyusutan harta yang berhubungan
dengan usaha. Karena tidak adanya pemisahan antara harta usaha
dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban
mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu
pula dengan kewajiban melaporkan pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak
diperkenankan, seperti biaya gaji pemilik, pengeluaran berupa prive
dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet setahunnya belum
melebihi Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan, sehingga keuntungan dihitung dengan menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto. Konsekuensi menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui
adanya kerugian usaha.

7
Keuntungan dari Perseorangan mempunyai keuntungan:
1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya
2. Pemilik perusahaan mengendalian secara langsung
perusahaannya, yang dengan demikian memungkinkan
pengusaha untuk bertindak lanjut cepat
3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan pemerintahan
4. Pemilik menerima semua keuntungan dan menanggung semua
kerugian usaha
5. Bebas dari pajak penghasilan apabila pengasilannya masih
dibawah PTKP

Kelemahan Perseorangan yaitu Keterbatasa dalam mendapatkan


modal
Dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban
perpajakannya, usaha perseorangan:
1. Menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi,
yaitu pemilik yang sebenarnya dari usaha tersebut untuk
keperluan perpajakan.
2. Pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan
kegiatan usahanya, namun dalam hal peredaran usaha pengusaha
dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar, pengusaha
boleh tidak melakukan pembukuan, namun wajib membuat
pencatatan. Dalam menghitung penghasilan neto untuk
keperluan perpajakan, pengusaha menggunakan norma.
Ketentuan mengenai pembukuan diatur dalam Pasal 28 UU
KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan penghasilan
neto diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015.
3. Selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat
dikurangkan sesuai ketentuan UU PPh, pengusaha juga boleh
mengurangkan penghasilan netonya dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) yang dihitung berdasarkan keadaan/status

8
perkawinan Wajib Pajak dan jumlah tanggungannya. Ketentuan
mengenai biaya yang dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 6
UU PPh, ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU
PPh.
4. Dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak
progresif, yaitu tarif pajak yang semakin meningkat seiring
besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai tarif
pajak diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
5. Apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 46/2013,
bagi pengusaha yang dalam satu tahun pajak peredaran
usahanya tidak lebih dari Rp4,8 miliar, pengusaha wajib
menghitung pajaknya secara final dengan tariff 1% dari
peredaran usaha setiap bulannya.

Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, usaha


perorangan wajib melakukan pembukuan atau hanya melakukan
pencatatan dengan Norma Penghitungan jika peredaran brutonya
kurang dari Rp. 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus juta
rupiah).
Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang
menjadi pertimbangan dalam memilih bentuk usaha Perseorangan
adalah:
1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan
No Batasan Penghasilan kena Pajak % Tarif PPh Progresif
1 s.d 50 Juta 5%
2 Lebih 50 juta s.d 250 juta 15 %
3 Lebih 250 Juta s.d 500 Juta 25 %
4 Lebih 500 Juta 30 %

9
2. Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Pertimbangan memilih bentuk usaha perseorangan adalah
adanya pegurang penghasilan kena pajak yang hanya diberikan
kepada wajib pajakperseorangan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak
No Status PTKT Setahun
1 Tidak kawin anak 0 Rp 54.000.000,-
2 Kawin Anak 0 Rp 58.500.000,-
3 Kawin Anak 1 Rp 63.000.000,-
4 Kawin Anak 2 Rp 67.500.000,-
5 Kawin Anak 3 Rp 72.000.000,-

3. Pertimbangan Kewajiban Pembukuan


Pembukuan adalah salah satu cara yang dipergunakan oleh
wajib pajak untuk dapat mnghitung penghasilan neto yang
berkaitan dengan perhitungan besarnya PPh terutang atas kegiatan
usahanya. Selain menggunakan pembukuan, untuk menghitung
penghasilan neto juga dapat menggunakan norma perhitungan
penghasilan neto.
Bagi wajib pajak badan, pembukuan adalah kewajiban.
Untuk wajib pajak peribadi dengan peredaran usaha sampai
dengan 4.800.000.000 diberi pilihan untuk menghitung besarnya
penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau
menggunakan norma perhitungan penghasilan.
Kewajiban pembukuan merupakan beban tersendiri bagi
wajib pajak, apalagi jika wajib pajak tidak mempunyai karyawan
yang khusus menangani pembukuan tersebut secara khusus.
Biasanya untuk menghindari kewajiban melaksanakan
pembukuan maka wajib pajak biasanya menggunakan bentuk
orang pribadi, yang cukup dilakukan dengan mencaatat peredaran
bruto setialp bulan tanpa harus membuat laporan keuangan.

10
Wajib pajak pribadi yang memiliki omset diatas
4.800.000.000 wajib melakukan pembukuan, jika wajib pajak
tersebut tidak menyelenggarakan pembukuan dengan benar maka
penghasilan netonya akan dihitung dengan norma khusus dan
dikenakan sanki kenaikan sebesar 50% dari PPh yang kurang atau
tidak dibayar.
4. Pertimbangan kewajiban pemungutan pajak
Wajib pajak badan yang bergerak dibidang industri semen,
rokok, kertas, baja, dan otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh
pasal 22 atas penjualan produknya. Namun pemungutan PPh
Pasal 22 tersebut tidak dikenakan kepada wajib pajak perorangan
yang mempunyai industri diatas.
5. Pertimbangan Pertanggung-jawaban Utang Pajak
Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak
terpisahkan dengan aktiva dari kegitan usahanya, sehingga
keuntungan yang didapat dari semua kegiatan usaha dalam bentuk
perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya untuk
kerugian, semua kesulitan dalam kegiatan usaha dari bentuk
perseorangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi wajib
pajak. Berbeda halnya dengan badan usaha yang harus
memisahkan aktiva yang dimiliki oleh pemilik dan aktiva yang
dimiliki perusahaan berbentuk badan usaha dimana keuntungan
maupun kerugian akan diakui sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati baik yang dimasukkan kedalam anggaran dasar atau
tidak.
Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung
jawab bagi badan usaha yang tidak dapat dipisahkan dengan
tanggung jawab pemiliknya yaitu utang pajak. Harta pemilik
modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita apabila
terdapat utang pajak dari wajib pajak badan yang tidak dibayar
walaupun telah dilakukan tindakan surat paksa oleh juru sita
pajak Negara.

11
Jika seseorang ingim memutuskan untuk menanamkan
modal pada badan usaha atau berusaha sendiri melalui bentuk
perseorangan, selain mempertimbangkan kemungkinan besarnya
laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan
seandainya terjadi kerugian atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun
pemilik modal badan usaha tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi
perrmasalahan dengan utang pajak, hartanya dapat dimint untuk
membayar utng pjak dari badan usah dimmana dia menanamkan
modalnya.
Contoh
Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan.
Selama tahun 2015 laporan laba/rugi usaha tuan Anas tersebut
adalah:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Maka penghitungan besarnya PPh terutang Tuan Anas selama tahun


2015 adalah sebagai berikut:
Laba Usaha Rp700.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) * Rp67.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp632.500.000,-
PPh Terutang
5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000,-
Rp134.750.000,-
25% x Rp250.000.000,- = Rp62.500.000,-
30% x Rp132.500.000,- = Rp39.750.000,-

12
Persentase PPh Terutang terhadap laba 19,3%
usaha
*) 54.000.000 + 4.500.000 + (2×4.500.000) = Rp67.500.000

Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu di catat :
1. Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata
lebih kecil dibandingkan daripada usaha berbentuk PT
2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak
yang jauh lebih besar dari pada bentuk badan usaha lainnya. Namun
kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas dasar
pertimbangan ini semata, harus memperhatikan pertimbangan lainnya.
3. Pemihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam
pengambilan keputusan oeh para investor untuk meminimalkan beban
pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-satunya pertimbangan
dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang
harus diperhatikan investor.

2.3.2. Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap = CV)


atau Firma
CV merupakan salah satu bentuk partnership yang paling
umum di Indonesia. CV merupakan suatu persekutuan yang
didirikan oleh seorang atau beberapa orang yang mempercayakan
uang atau barang kepada seorang atau beberapa orang yang
menjalankan perusahaan dan bertindak sebagai pemimpin. Dalam
pendiriannya, CV cukup didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, namun
tidak perlu disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Atau Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma pada
dasarnya adalah bentuk usaha yang didirikan oleh dua orang atau
lebih yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham. Atas bentuk
usaha tersebut dan bentuk usaha lain yang modalnya tidak terbagi

13
atas saham-saham mempunyai perlakuan yang sama dari sudut
perpajakan.

Anggota perseroan kommanditer ada dua golongan :


1. Persero Pengusaha atau pesero aktif/bekerja. Pesero ini selain
menyerahkan modal ke dalam perseroan, jika perseroan jatuh
pailit atau bangkrut, pesero pengusaha bertanggungjawab penuh
atas seluruh harta-harta pribadinya terhadap hutang-hutang
perusahaan.
2. Persero Kommanditer atau pesero diam. Pesero ini hanya
menyerahkan modal ke dalam perseroan dan tidak bertanggung
jawab tentang jalannya perseroan. Jika perseroan jatuh
pailit/bangkrut, pesero ini hanya bertanggungjawab sebesar modal
penyertaannya.
Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana
diuraikan Santoso dan Rahayu, (2013:91) antara lain:
Kelebihan
1. relatif mudah dalam proses pendiriannya
2. kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi
3. cenderung lebih mudah memperoleh kredit
4. dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik
5. lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih mudah untuk
menginvestasikan maupun mencairkan kembali modalnya
6. tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT
7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM
Kekurangan:
1. kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari
sekutu aktif yang bertindak sebagai sekutu pemimpin CV
2. tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat
berpengaruh terhadap semangat untuk memajukan perusahaan
3. kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4. perlindungan hukumnya masih dianggap minim

14
Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma
berkewajiban untuk mendaftarkan NPWP yang terpisah dengan
kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan
penghasilannya CV atau Firma yang akan dikenai pajak dan
dilaporkan oleh CV atau Firma sebagai Wajib Pajak. Sedangkan
penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV atau
Firma adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang
investor juga aktif menjalankan usaha, investor dapat saja menerima
tambahan penghasilan lain berupa gaji dan tunjangan-tunjangan
lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan
dari CV atau Firma kepada pemilik tidak dianggap sebagai
terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui adanya
pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma.
Sebaliknya penerimaan berupa gaji oleh pemilik tidak dianggap
sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik. Demikian juga atas
pembagian laba yang diterima oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan
CV atau Firma diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam
penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu kesatuan dalam hal
ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau
Firma hanya akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan
memiliki persamaan perlakuan perpajakan yaitu keuntungan usaha
sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan penghasilan
pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai
pajak di sisi perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha
CV dikenai pajak di sisi CV sebagai WP badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan
pengurangan biaya berupa gaji pemilik dan pembagian
keuntungannya. Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV
memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan

15
yaitu dari sisi tarif pajak. Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak
bagi CV adalah 28% sedangkan tarif pajak perorangan tertinggi
adalah 30%. Dengan demikian dengan membentuk CV dapat timbul
penghematan pajak sebesar 2%.
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki
keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari
sisi tarif pajak
Secara umum ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:
1. CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh
dijelaskan pengertian subjek pajak badan, bahwa subjek pajak
badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
2. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV,
CV juga harus menyelenggarakan pembukuan.
4. Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai pajak. Hal
ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang
menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
dikecualikan sebagai objek pajak

16
5. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat
menjadi pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh
6. Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25%
atau 12,5% apabila memenuhi ketentuan Pasal 31E UU PPh.

Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan


dengan tarif pasal 17 undang-undang Pajak Penghasilan (sama
dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang saham
(pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh
pasal 23 dan bagi yang menerima bukan sebagai obyek pajak.
Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya dikenakan pada
Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double taxation.

Contoh
CV Aurora bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun
2015 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji para Rp500.000.000,-
sekutu)
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Penghitungan besarnya PPh terutang adalah sebagai berikut:


Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
PPh Terutang Tarif x 25% Rp175.000.000,-
Laba Bersih Setelah Pajak Rp525.000.000
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 25%
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para sekutu tidak lagi dikenai
Pajak.

17
2.3.3. Perseroan Terbatas (PT)
Dalam tatanan ketentuan perundangan di Indonesia, pendirian
dan pengelolaan PT diatur dalam undang-undang Republik Indonesia
No. 1 tahun 1995 yang telah mengalami perubahan menjadi UU No
40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mendirikan sebuah
perusahaan berbentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara RI, diperlukan adanya pengesahan dari Kementrian
Hukum dan HAM.PT merupakan badan hukum yang merupakan
persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar dan seluruhnya terbagi atas saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UU serta peraturan
pelaksanaannya (Pohan, 2015:54).
Berbeda dari usaha berbentuk CV atau Firma, Perseroan
Terbatas (PT) adalah bentuk usaha yang modalnya terdiri atas saham-
saham. Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat atau tanda
kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki
tersebut dikenal sebagai surat berharga (marketable securities) yang
dapat diperjualbelikan kepada pihak lain. Keuntungan yang diperoleh
pemegang saham adalah hanya dari pembagian keuntungan atau
dividen saja, meskipun dalam beberapa kasus –dan sebenarnya tidak
dibenarkan secara aturan–, ada beberapa pemegang saham yang
merangkap juga sebagai pengurus yang ikut aktif menjalankan roda
usaha sehingga kepadanya juga diberikan penghasilan lain berupa
gaji.
Kelebihan dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh
Santoso dan Rahayu (2013:100-101) adalah sebagai berikut :
Kelebihan
1. kewajiban dan tanggung jawab terbatas
2. masa hidup abadi
3. efisiensi manajemen karena adanya pemisahan antara pemilik dan
pengurus

18
4. modal dapat diperoleh dengan menjual saham
Kekurangan
1. kerumitan perizinan dan organisasi
2. besarnya biaya pengorganisasian perusahaan
3. bidang usaha PT relative susah diubah karena harus mengubah
akta pendirian dan sulit mengubah investasi yang telah
ditanamkan
4. hubungan antarperorangan lebih formal dan terkesan kaku

Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham


dengan PT adalah dua Wajib Pajak yang berbeda dan terpisah.
Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik berupa
sumber daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik
dianggap telah terjadi arus mengalirnya penghasilan. Dengan
demikian dividen yang diterima oleh pemegang saham dianggap
sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena
dividen itu dihitung dari laba setelah pajak, maka di sisi perusahaan
dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap besarnya keuntungan
usaha atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas
keuntungan atau laba usaha akan dikenai pajak di PT dan ketika
keuntungan atau laba tersebut dibagi kepada para pemegang saham
akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).

Beberapa ketentuan perpajakan terkait PT diantaranya:


1. Sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak dalam negeri
berbentuk badan
2. PT juga wajib menyelenggarakan pembukuan
3. PT harus mendaftarkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP atas
nama PT
4. Pengenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu pada saat diakui
sebagai laba usaha oleh PT dan pada saat laba usaha tersebut
dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen,

19
dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17
ayat (2c) sebesar 10%
5. Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham dan
komisaris dapat dibiayakan oleh PT
6. Penghitungan PPh terutang mengikuti tarif Pasal 17 UU PPh atau
Pasal 31E UU PPh.

Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak


bisa dibebankan sebagai biaya perusahaan, dikenakan pemotongan
PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit pajak bagi pihak yang
dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.
Contoh
PT Angkasa bergerak sebagai distributor mainan anak yang terbuat
dari bahan yang aman dan berkualitas. Laba/rugi PT Angkasa tahun
2015 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Penghitungan PPh terutang PT Angkasa adalah:


Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
PPh Terutang (PPh Badan) Tarif x Rp175.000.000,-
25%
Laba Bersih Setelah Pajak Rp525.000.000,-

Pada saat laba usaha dibagikan kepada para pemegang saham,


dikenai PPh atas dividen sebesar 10%, yaitu:
Laba usaha yang akan dibagikan sebagai Rp525.000.000,-
dividen
PPh atas dividen (Pasal 17 ayat(2c) UU PPh Rp52.500.000,-

20
Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap
peredaran usaha dapat dihitung sebagai berikut:
Jumlah PPh terutang Rp227.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba 32,5%
usaha

2.3.4. Koperasi dan Yayasan


a. Koperasi adalah organisasi bisnis yang berlandaskan pada asas
kekeluargaan yang dioperasikan oleh orang seorang demi
kepentingan bersama. Koperasi merupakan salah satu bentuk badan
hukum yang cukup banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan
dengan payung hukum UU No. 25 tahun 1992 Tentang
Perkoperasian. Untuk perlakuan perpjakan untuk yayasan
sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya
koperasi dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha,
sehingga atas penghasilan koperasi yang disebut sisa hasil usaha
(SI IU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenai tarif PPh
Badan, dengan tarif tunggal 28% (tahun 2010 dan seterusnya).
b. Yayasan merupakan bentuk organisasi swasta yang didirikan untuk
tujuan sosial kemasyarakatan yang tidak berorientasi pada
keuntungan. Misalnya Yayasan Panti Asuhan,Yayasan yang
mengelola Sekolahan Swasta, Yayasan Penderita Anak Cacat, dll.
Yayasan juga merupakan badan hukum entitas bisnis yang cukup
banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan dengan payung
hukum UU No. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan. Perlakuan
perpajakan yayasan sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya,
pada prinsipnya yayasan dapat melakukan kegiatan hampir semua
bidang usaha, sehingga atas penghasilan yayasan yang disebut
dengan Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan objek pajak
penghasilan yang dikenai tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal
28% tahun 2009 dan tarif 25% tahun 2010 dan seterusnya.

21
2.4. Pemilihan Badan Usaha
Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat kita bandingkan besarnya
PPh terutang yang harus ditanggung oleh masing-masing bentuk usaha
sebagai berikut:
Uraian PT CV Usaha Perorangan
Peredaran Rp60.000.000.0 Rp60.000.000.000 Rp60.000.000.000
Usaha 00, , ,
Laba Usaha Rp700.000.000, Rp700.000.000,- Rp700.000.000,-
-
PPh Terutang Rp227.500.000, Rp175.000.000,- Rp134.750.000,-
-
Persentase 32,5% 25% 19,3%
PPh Terutang
terhadap laba
usaha
Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu kita catat:
1. Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata,
lebih kecil dari pada usaha bertuk PT.
2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak
yang lebih besar dari pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita tidak
boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas dasar pertimbangan ini
semata harus memperhatikan pertimbangan lain.
3. Pemelihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam
pengambilan keputusan oleh para investor untuk meminimalkan beban
pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-satunya pertimbangan
dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang
harus diperhatikan investor.
4. Investor konvensional lebih sering mengandal intuisi (naluri) bisnisnya
dari pada perhitungan diatas kertas. Dalam pengambilan keputusan
mereka hanya bermodalkan pengalaman (learning curve yang tinggi)
yang sangat berharga, sehingga dengan keyakinan penuh menjalankan
usaha dengan giat dan alur pemikiran mereka yang sderhana, tetapi

22
realistis dan terbukti bisa berhasil. Bagaimanapun juga, pengelolaan
bisnis modern dilakukan secara profesional dan tidak bisa mengandalkan
instuisi semata, karena yang terakhir ini hanya dilakukan oleh pelaku
bisnis kawakan.
5. Diantara sederatan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan
bisnis modern, harus juga di akomodasi masalah permodalan advis
Management Risk, lingkungan hidup, tanggung jawab persero bila terjadi
klaim pihak ketiga, Bussiness dan Market Developmet, serta hak dan
kewajiban lainnya yang timbul dari pemilihan bentuk usaha tersebut.
2.5. Memahami Pengaruh Pemilihan Bentuk Usaha untuk Alternatif
Perpajakan
Dalam ketentuan umum perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua
yaitu Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak badan. Pajak Penghasilan
(PPh) dikenakan kepada setiap Wajib Pajak, baik Wajib Pajak perorangan
maupun Wajib Pajak badan atas penghasilan yang diterimanya dalam
setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak
badan dalam penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak. Lapisan
terendah tarif pajak bagi perorangan adalah 5% dan lapisan tertinggi bagi
perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib Pajak Badan tarifnya 28%.
Penghasilan dalam pengertian perpajakan memiliki makna yang
sangat luas, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat
dikonsumsi atau menambah kekayaan. Sehubungan dengan usaha maka
penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah laba usaha,
yaitu penerimaan bruto dikurangi biaya-biaya, yang dalam perpajakan
disebut dengan penghasilan neto. Dalam menghitung besarnya laba usaha,
perpajakan mempunyai ketentuan mengenai penghasilan yang
diperhitungkan dan biaya yang tidak dapat dikurangkan yang diatur dalam
UU PPh.
Laba usaha yang diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah
yang akan dikenai PPh. Namun demikian, bagi Wajib Pajak perorangan,
sebelum laba dikenakan pajak terlebih dahulu dikurangkan dengan

23
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya ditetapkan dan
bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.
Sebenarnya, pihak yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan
adalah juga perorangan sebagai investor. Hasil yang akan diterima oleh
investor sebagai pemilik usaha merupakan penghasilan kembali yang
merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun karena prinsip usaha adalah
“going concern” maka keuntungan dari sebuah badan usaha tidak selalu
langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat ditanamkan kembali
untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima oleh
perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai
keuntungan tersebut dibagikan ke perorangan.

a. Usaha Perorangan
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara
perorangan seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi
perorangan. Keuntungan tersebut akan dikenai pajak sesuai dengan
lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang diperoleh di atas
Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan
sebesar 30%. Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya
dihitung berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan.
Dalam usaha perorangan tidak dikenal adanya pemisahan harta usaha
dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta miliknya
perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan
usaha tetap harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan
untuk usaha, sehingga dapat dipisahkan biaya penyusutan harta yang
berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya pemisahan antara harta
usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban
mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu pula
dengan kewajiban melaporkan pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak
diperkenankan, seperti biaya gaji pemilik, pengeluaran berupa prive dan
sebagainya. Bagi perorangan yang omzet setahunnya belum melebihi
Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan,

24
sehingga keuntungan dihitung dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto. Konsekuensi menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui adanya
kerugian usaha.
b. Persekutuan Komanditer atau Firma
Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma pada dasarnya adalah
bentuk usaha yang didirikan oleh dua orang atau lebih yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham. Atas bentuk usaha tersebut dan bentuk
usaha lain yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham mempunyai
perlakuan yang sama dari sudut perpajakan.

Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban


untuk mendaftarkan NPWP yang terpisah dengan kewajiban para
pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan penghasilannya CV atau
Firma yang akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma
sebagai Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan seorang investor dari
penanaman modal di CV atau Firma adalah penghasilan berupa
pembagian laba. Jika seorang investor juga aktif menjalankan usaha,
investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain berupa gaji dan
tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari
CV atau Firma kepada pemilik tidak dianggap sebagai terjadinya aliran
penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui adanya pengurangan berupa
biaya gaji pemilik di CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan berupa gaji
oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik.
Demikian juga atas pembagian laba yang diterima oleh pemilik. Pajak
memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma
diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas
keuntungan usaha. Satu kesatuan dalam hal ini adalah tambahan
kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma hanya akan dikenai PPh
satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki
persamaan perlakuan perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama

25
diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan penghasilan pemiliknya.
Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak di sisi
perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha CV dikenai
pajak di sisi CV sebagai WP badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan
pengurangan biaya berupa gaji pemilik dan pembagian keuntungannya.
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika
dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak.
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah 28%
sedangkan tarif pajak perorangan tertinggi adalah 30%. Dengan demikian
dengan membentuk CV dapat timbul penghematan pajak sebesar 2%.
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika
dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak
c. Usaha Berbentuk Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk usaha yang modalnya terdiri
atas saham-saham. Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat atau
tanda kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki
tersebut dikenal sebagai surat berharga (marketable securities) yang
dapat diperjualbelikan kepada pihak lain. Keuntungan yang diperoleh
pemegang saham adalah hanya dari pembagian keuntungan atau dividen
saja, meskipun dalam beberapa kasus dan sebenarnya tidak dibenarkan
secara aturan, ada beberapa pemegang saham yang merangkap juga
sebagai pengurus yang ikut aktif menjalankan roda usaha sehingga
kepadanya juga diberikan penghasilan lain berupa gaji.
Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT
adalah dua Wajib Pajak yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada
pengalihan kekayaan atau harta baik berupa sumber daya atau resources
dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi arus mengalirnya
penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang
saham dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak.
Sebaliknya karena dividen itu dihitung dari laba setelah pajak, maka di
sisi perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap besarnya

26
keuntungan usaha atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan
bahwa atas keuntungan atau laba usaha akan dikenai pajak di PT dan
ketika keuntungan atau laba tersebut dibagi kepada para pemegang
saham akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).

2.6. Manajemen Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakannya


Dalam situasi dan kondisi di mana perusahaan mengalami kerugian
beruntun karea kemunduran kegiatan usaha atau karena omzet usaha yang
menurun drastis. Semua simpul kegiatan perusahaan terhenti atau macet,
ditambah kondisi usaha yang terlilit utang sehingga cash flow perusahaan
tidak tertolong lagi. Dalam keadaan demikian, manajemen perusahaan harus
direkayasa ulang strategi perusahaan dengan melakukan berbagai usaha
penyelamatan agar perusahaan terhindar dari kebangkrutan. Selain
melakukan restrukturisasi keuangan (financial reengineerin) dengan
megonversikan utang menjadi modal, dan melakukan penjadwalan ulang
pembayaran utang, serta renegosiasi suku bunga pinjaman, manajemen bisa
melakukan upaya persuasif terhadap investor agar mau menyuntikan dana
talangan (bridging fund) atau membeli atau mengakuisisi perusahaan
tersebut.
Bila usaha penyelamatan tersebut juga buntu, tidak ada pilihan lain
selain menutup atau melikuidasi perusahaan. Keputusan melikuidasi
perusahaan merupakan pilihan terakhir yang harus diambil pengusaha,
karena tindakan tersebut selain berdampak pada berhentinya pemasukan,
perusahaan juga harus menyelesaikan kewajiban terhadap pihak ketiga,
termasuk kewajiban utang pajak yang dilidungi undang-undang.

2.7. Penyelesaian Kewajiban Perpajakan


Negara mempunyai hak mendahulu (hal preferensi) pembayaran utang
pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

27
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi, maka
kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan, dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit,
pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harga tersebut untuk membayar utang pajak wajib
pajak tersebut (Pasal 21 Ayat 1 dan (3a) UU KUP No. 28 Tahun 2007)).
Saat penutupan usaha tidak bisa lagi dihindari oleh pengusaha, dan
legalisasi dari pihak yang berwenang seperti notaris dan pihak-pihak
berwenang lainnya telah didapatkan, maka penutupan usaha idealnya
ditindaklanjuti dengan pengajuan permohonan penghapusan NPWP dan
pencabutan NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak). Hal ini
disebabkan karena penghapusan NPWP atau pencabutan NPPKP tidak dapat
terjadi secara otomatis karena alasan perusahaan tidak beroperasi lagi.
Seringkali wajib pajak memberikan kondisi tersebut menggantung,
walaupun mereka khawatir juga bila perusahaan sewaktu-waktu didatangi
orang pajak untuk pemeriksaan. Sebainya penyelesaian masalah ini tidak
ditunda-tunda, karena penundaan tersebut hanya solusi semu, karena saat
gilirannya tiba wajib pajak akan semakin terpuruk dengan timbulnya
akumulasi sanksi perpajakan.
NPWP tidak dapat dihapus bila Wajib Pajak masih memiliki utang
pajak. Lalu apa yang harus dilakuka oleh wajib pajak yang cash flow-nya
tidak memungkinkan untuk membayar utang pajak sekaligus? Solusinya
adalah mengangsur atau menunda pembayarn pajak.

2.8. Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak


Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak dalam Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pebetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, srta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang terutang bertambah, serta Pajak Penghasilan Pasal 29,
kepada Direktur Jenderal Pajak. (Peraturan Menkeu No. 184/PMK.03/2007
jo 80/PMK.03/2010)

28
Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak
1. Permohonan harus diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja
sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir, dengan
disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak yang dimohonkan untuk
diangsur atau ditunda.
2. Apabila batas waktu 9 (sembilan) hari kerja tidak dapat dipenuhi oleh
wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaannya, permohonan wajib
pajak masih dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak,
sepanjang wajib pajak dapat membutikan kebenaran keadaan di luar
kekuasaannya tersebut. Selanjutnya:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitka surat keputusan atas
permohonan berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian,
atau
b. Jenis-jenis dokumen yang harus dilampirkan pada permohonan
penghapusan NPWP, ini tergantung kebijakan dari masing-masing
Kantor Pelayanan Pajak.
3. Permohonan penghapusan NPWP yang telah dilengkapi dengan
dokumen pendukung yang telah ditentukan (antara lain Neraca
Likuidasi perusahaan) akan ditindaklanjuti dengan suatu pemeriksaan
pajak.
4. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan dari wajib
pajak orang pribadi diterima dengan lengkap, Dirjen Pajak harus
memberikan keputusan. Sedangkan untuk wajib pajak badan, jangka
waktu pemberian keputusannya lebih lama 6 (enam) bulan atau dengan
kata lain mencapai 12 bulan.
5. Dalam hal Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, maka permohonan penghapusan NPWP
dianggap dikabulkan. Kemudian dalam waktu 1 (satu) bulan setelah
jangka waktu pemberian keputusan berakhir, Dirjen Pajak harus
menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP.

29
2.9. Penghapusan NPWP
1. Diajukan permohonan penghapusan NPWP antara lain oleh:
a. Wajib pajak dan atau ahli warisnya karena wajib pajak sudah tidak
memenuhi persyaratan subjektif dan atau objektif sesuai dengan
ketentuan undang-undang perpajakan.
b. Wajib pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena
penghentian atau penggabungan usaha.
c. Wajib pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan
usahanya di Indonesia.
2. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan
NPWP dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Penghapusan NPWP


1. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, harus
memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan untuk wajib pajak orang pribadi atau 12
(dua belas) bulan untuk wajib pajak badan, sejak tanggal permohonan
wajib pajak diterima secara lengkap.
2. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, permohonan penghapusan NPWP
dianggap dikabulkan.
3. Dalam hal permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan, Direktur
Jenderal Pajak harus menerbirkan surat keputusan penghapusan NPWP
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah itu.

Tata Cara Penghapusan NPWP


1. Wajib pajak mengajukan Permohonan Penghapusan NPWP secara
tertulis dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
Permohonan ditujukan ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) di mana wajib
pajak telah terdaftar.

30
2. Permohonan tersebut harus dilampiri dengan dokumen pendukung
penghapusan NPWP, di antaranya:
a. RUPS pembubaran perusahaan khusus untuk wajib pajak badan atau
paling tidak surat keputusan pembubaran dari pemilik usaha.
b. SPT (Surat Pemberitahuan) PPh Tahun Pajak terakhir yang belum
disampaikan
c. Jenis-jenis dokumen yang harus dilampirkan pada permohonan
Penghapusan NPWP, ini tergantung kebijakan dari masing-masing
kantor pelayanan pajak.
3. Permohonan penghapusan NPWP yang dilengkapi dengan dokumen
pendukung yang telah ditentukan (antara lain Neraca Likuidasi
perusahaan) akan ditindaklanjuti dengan suatu pemeriksaan pajak.
4. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan dari wajib pajak
orang pribadi diterima dengan lengkap, Dirjen Pajak harus memberikan
keputusan. Sedangkan untuk wajib pajak badan, jangka waktu
pemberian keputusannya lebih lama 6 (enam) bulan atau dengan kata
lain mencapai 12 bulan.
5. Dalam hal Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, maka permohonan penghapusan NPWP
dianggap dikabulkan. Kemudian dalam waktu 1 (satu) bulan setelah
jangka waktu pemberian keputusan berakhir, Dirjen Pajak harus
menerbitkan surat keputusan peughapusan NPWP.

Penghapusan NPWP dalam Keadaan Khusus


Penghapusan NPWP dalam kondisi utang pajak belum dilunasi hanya
dapat terjadi jika berdasarka pemeriksaan diketahui bahwa:
a. Penghapusan pajak tidak dapat ditagih lagi kepada wajib pajak karena
sudah tidak adanya harta kekayaan.
b. Wajib pajak meninggal dunia dengan tida meninggalkan warisan dan
tidak mempunyai ahli waris tidak dapat ditemukan.
c. Hak negara untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa.

31
NPWP Tidak Dapat Dihapuskan

NPWP tidak dapat dihapus jika hasil pemeriksaan menginformasikan


bahwa wajib pajak masih memiliki utang pajak dan negara masih berhak
untuk menagih.

Pencabutan NPPKP
Terdapat 2 (cara) pencabutan NPPKP:
a. Pencabutan NPPKP berdasarkan permohonan wajib pajak.
b. Pencabutan NPPKP dapat dilakukan secara jabatan oleh Dirjen Pajak.

Tata Cara Pencabutan NPPKP


1. Wajib Pajak mengajukan permohonan pencabutan NPPKP secara
tertulis dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh KPP
setempat, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan
pajak.
2. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap, Dirjen Pajak harus memberikan keputusan.
3. Bila jangka waktu untuk memberikan keputusan telah lewat, maka
pencabutan NPPKP dianggap dikabulkan.
4. Surat keputusan mengenai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.

Apakah Penghapusan NPWP atau Pencabutan NPPKP Menghilangkan


Kewajiban Perpajakan?

Penghapusan NPWP atau pencabutan NPPKP tidak menghilangkan


kewajiban perpajakan.

Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Pencabutan Pengukuhan


Pengusaha Kena Pajak

32
1. Direktur Jenderal Pajak, karena jabatan atau atas permohonan wajib
pajak dapat melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
2. Atas permohonan wajib pajak untuk melakukan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus memberikan keputusan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
3. Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi keputusan, maka Permohonan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak dianggap dikabulkan dan surat keputusan
mengenai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah itu.

33
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pilihan bentuk usaha ternyata berpengaruh terhadap aspek PPh yang
akan dihadapi oleh seorang investor. Kajian dari tiga pilihan apakah usaha
perorangan, badan usaha yang modalnya tidak terbagi atas saham seperti
CV atau Firma atau PT ternyata menunjukkan bahwa pilihan bentuk usaha
yang tidak terbagi atas saham memiliki keuntungan pajak tersendiri.
Keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan usaha perorangan adalah
pengenaan tarif pajak tertinggi yang lebih rendah dibandingkan tarif pajak
tertinggi perorangan. Jika dibandingkan dengan bentuk PT maka
keuntungan CV atau Firma adalah tidak dikenakannya pajak ganda (double
tax) atas pembagian laba atau dividen.
Kajian di atas tentunya hanya memandang dari sudut perpajakan
khususnya PPh dengan kondisi apapun bentuk usaha yang dipilih
memberikan hasil yang sama bagi seorang investor. Secara lebih mendalam
tentu pertimbangan pemilihan bentuk usaha tidaklah sesederhana itu.
Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, seperti aspek tanggung
jawab pemegang saham, aspek kemudahan akses ke pihak lain seperti bank,
dan lain sebagainya. Namun demikian sudut pandang aspek pajak ini
setidaknya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam memilih
bentuk usaha.
Usaha bisnis dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Pembagian
atas tiga bentuk Badan Usaha tersebut bersumber dari Undang – Undang
1945 khususnya pasal 33. Di Indonesia kita mengenal 3 macam bentuk
badan yaitu Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ), Koperasi dan Swasta.
Bentuk badan usaha swastadapat dibagi kedalam beberapa macam :
Perseorangan, Firma, Perserikatan Komanditer (CV), Perseroan Terbatas
(PT), Yayasan Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum
adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Kommanditer (CV)
atau Perorangan (Pribadi). Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total

34
beban pajak PT akan selalu lebih besar dari CV, karena adanya tambahan
PPh pasal 23 yang harus dipotong dari dividen yang dibayarkan oleh PT,
sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak (bukan obyek
pajak). Sedangkan (seperti ilustrasib tabel 2) perbedaan besarnya total beban
pajak yang dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada
besarnya Penghasilan kena pajak (laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan tariff PPh pasal 17 untuk badan (dengan tariff maximum 30%)
dan orang pribadi (dengan tariff maximum 35%).
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak bukanlah
satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan bentuk
usaha yang tepat dapat memberikan penghematan pajak.

3.2. Saran
Pajak bukanlah satu-satunya alasan dalam pemilihan bentuk usaha,
namun pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat memberikan penghematan
pajak. Sehingga dalam melakukan penghematan tersebut bisa dengan cara
perencanaan pajak agar kewajiban perbajakan dapat dilakukan oleh wajib
pajak dengan baik.

35
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan


umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan undang undang nomor 16 tahun 2009

Undang-undang republic Indonesia nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan


keempat atas undang undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan

Pohan, chairil anwar. 2003. Manajemen perpajakan. Gramedia pustaka utama

Santoso, imam dan ning rahayu (2013. Corporate tax management, mengulas
upaya pergelolaan pajak perusahaan secara konseprual-praktikal. Ortax

Nasikhudin. (2016. Artikel. Mengulas tentang memilih badan usaha yang tepat
bagi perencanaan pajak. Ortax

http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=85

https://books.google.co.id/books?id=9nAeg3xbW48C&pg=PA3&lpg=PA3&dq=p
emilihan+bentuk+usaha+dalam+tax+planning&source=bl&ots=Q6MaQk1
OSd&sig=kLsmTTQr59cOMO2eq8nWJE30Z0k&hl=id&sa=X&ved=0ahU
KEwjr4v3EoanWAhUHTo8KHb3iDYUQ6AEIYjAJ#v=onepage&q=pemili
han%20bentuk%20usaha%20dalam%20tax%20planning&f=true

36

Anda mungkin juga menyukai