Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Manajemen Perpajakan

Dosen Pengampu:
Saprudin, SE, M.Si, Ak, CA

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

1. Siti Rizqa Ratna Sari C1C115052


2. Yessi Suci Risdawati C1C115056
3. Sallis Sofianti Ajizah C1C115111

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN S1 AKUNTANSI

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
tentang “Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh Final” ini dengan baik,
meskipun terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Saprudin SE, M.Si, Ak, CA selaku dosen mata kuliah
Manajemen Perpajakan yang telah memberikan tugas ini.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai “Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan
PPh Final”. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah dibuat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Banjarmasin, 2 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 PPh Pasal 22 ........................................................................................ 3
2.2 PPh Pasal 23 ................................................................................. .... 9
2.3 PPh Pasal 26 ..................................................................................... 15
2.4 PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Final ....................................................... 18
2.5 Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final ............................... 21

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan........................................................................................ 24
3.2 Saran .................................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting
bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional yang bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
masyarakat diharapkan ikut berperan aktif memberikan kontribusinya bagi
peningkatan pendapatan negara, sesuai dengan kemampuannya. Semenjak
reformasi perpajakan dijalankan dengan dikeluarkannya undang-undang
perpajakan yang baru tahun 1983, sistem perpajakan berubah dari office
assessment menjadi self assessment (misalnya untuk Pajak Penghasilan dan
Pajak Pertambahan Nilai). Dengan sistem yang baru ini, wajib pajak memiliki
hak dan kewajiban, baik dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri
jumlah kewajiban perpajakannya. Hal ini akan terlaksana dengan baik apabila
wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan sesuai undang-undang.
Sebagai suatu beban, pajak menimbulkan pro dan kontra. Mengingat besarnya
tantangan di masa yang akan datang, dimana kompetitor bermunculan dari
berbagai negara dengan beragam produk substitusi yang sangat menarik dan
kompetitif, untuk bisa survive perusahaan dituntut untuk menyesuaikan
produknya dengan membangun posisi kepemimpinan biaya sebagai basis strategi
bisnisnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengusaha adalah dengan
meminimalkan beban pajak dalam batas yang tidak melanggar aturan. Besarnya
pajak, tergantung pada besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan,
semakin besar pula pajak yang terutang. Oleh karena itu perusahaan
membutuhkan perencanaan pajak atau tax planning yang tepat agar perusahaan
membayar pajak dengan efisien.
Pada kesempatan kali ini kami akan membahas tentang Tax Planning PPh
Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh Final. Makalah ini disusun untuk memudahkan
pemahaman terhadap Tax Planning terkait PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh

1
2

Final, sehingga dengan mempelajari makalah ini diharapkan mahasiswa dapat


memahami dan belajar secara mandiri atas materi tax planning, terutama terkait
PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh Final.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan PPh Pasal 22?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan PPh Pasal 23?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan PPh Pasal 26?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan Final Pasal 4 Ayat (2) Final?
1.2.5 Bagaimana Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk menjelaskan mengenai PPh Pasal 22
1.3.2 Untuk menjelaskan mengenai PPh Pasal 23
1.3.3 Untuk menjelaskan mengenai PPh Pasal 26
1.3.4 Untuk menjelaskan mengenai PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Final
1.3.5 Untuk menjelaskan mengenai Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh
Final
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PPh Pasal 22


Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK No. 254/KMK.03/2001
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, pajak ini
menyangkut PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan
BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/APBD. PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil
penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas,
dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah
(PMK No. 253/ PMK.03/2008). Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah
masalah PPh Pasal 22 impor. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang
dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak. PPh pasal 22
impor ini menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang berhubungan
dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar
daerah pabean. Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 bervariasi, dimana apabila
mempunyai API (Angka Pengenal Impor) tarifnya 2,5% dari nilai impor dan
apabila tidak mempunyai API (Angka Pengenal Impor) tarifnya 7,5% dari nilai
impor.
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam
melakukan impor, tax planner sering merekomendasikan impor dengan API,
Akibatnya banyak orang yang memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API,
dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya menggunakan tarif pajak
7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama masa
tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari
PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh badan (apabila perusahaan
dapat profit).

3
4

Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “handling fee”, yakni
jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara
importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan.
Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini dapat
dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak mempunyai API dengan
“meminjam” bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang
impornya dengan kompensasi pemberian “handling fee”. Apabila benefitnya
(5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% -
2%), maka pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal
22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat
cahs flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut
hanya akan menyebabkan lebih bayar.
Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati,
karena masalah transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan
masalah pajak, juga dapat menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana
transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau melanggar hukum.
Apabila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak
perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak, masalah
pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak
atau tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar
sesuai ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya
terpenuhi dalam arti semua transaksi harus mempunyai bukti pendukung yang
sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal,
seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal
(reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai
(kontrak, invoicen dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi
fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat
kontrak yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.
5

Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22


yang tidak bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak
dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.

Pengecualian-pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22

Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax
planner. Yang dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah
sebagai berikut:

(a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
(b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kementerian
Keuangan No. 08/PMK.03/2008.

Contoh kasus:

Suatu perusahaan, katakanlah PT A (BUMN), yang mempunyai fasilitas bebas


impor barang (impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu bersifat
strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN) dan juga dibebaskan dari
pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai. PT A mempunyai
rekanan kontraktor yaitu PT B (kontraktor). Sebenarnya PT B ini juga
mempunyai API tapi tidak memanfaatkan API nya sendiri, tapi memerintahkan
PT A menggunakan API-nya. Jadi segala sesuatu yang melaksanakan impor
seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaannya di lapangan yang
mengeksekusi PT B. Hal ini dilakukan karena API dari PT B yang digunakan
untuk mengeluarkan barang impor, akan terkena Bea Masuk, PPN Masuk, PPN
Impor, dan PPh Pasal 22 Impor, karena PT B tidak memiliki fasilitas impor
barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi disini PT B dapat
menghemat cash flow nya. Seandainya kontrak perjanjian antara PT A dengan
PT B mensyaratkan PT B mengimpor barang dan harus melakukan pembayaran
6

di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas impor duties: bea masuk,
PPN impor, dan PPh Pasal 22 impor), maka bagi PT B (kontraktor) tekanan
beban cash flow-nya sudah agak ringan.

Dalam hal ini tax planner atau taax manager PT B masih harus bekerja sama
dengan tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak
untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut
didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea masuk,
PPN impor dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut
harus dibuat secara formal atas nama PT A, bukan atas nama PT B.

Pengajuan SKB PPh Pasal 22

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan
PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:

a. Wajib pajak yang dalam tahun berjalan dapat menunjukkan tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang
kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto
tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan
yang akan terutang.

Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan
Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, dan tax
planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan
SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak
penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 4 kelompok,
yaitu:
7

1. PPh Pasal 22 Impor


Besarnya PPh pasal 22 Impor adalah:
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
- Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai
tarif pajak sebesar 0,5% dari nilai impor.
- Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki
API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor.
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final

- Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas
imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal
22 impor.
- Wajib Pajak dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang
yang bersangkutan.
- Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan
untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22
yang terutang akan ditagih beserta sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bedaharawan dan BUMN/BUMD


Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan
ke APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5%
dari harga beli yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan
oleh Ditjen Anggaran, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau
BUMN/D yang dananya berasal dari APBN/D. PPh Pasal 22 tersebut
merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus disetor oleh
pemungut dengan menggunakan SSP atas nama wajib pajak yang dipungut
(penjual).
8

3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain


Rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha lain akan diperlihatkan
dalam Tabel dibawah ini:

Tabel – 1
Objek PPh Pasal 22
No Objek Pajak Tarif Dasar Sifat Dasar
Pengenaan Hukum
Pajak (DPP)
1. Pembelian Barang Dalam Negeri
a. Pembelian Barang oleh 1,5% Harga
Bendaharawan, BUMN/D dan Pembelian
Badan-badan tertentu.
b. Pembelian Bahan-bahan 0,25%
berupa hasil Perhutanan, Harga
Perkebunan, Pertanian, dan Pembelian
untuk Keperluan Industri dan
Ekspor dari Pedagang
Pengumpul.
2. Impor Barang
a. Importir mempunyai API 2,5% Nilai Impor
b. Importir tidak mempunyai API 7,5% Nilai Impor
c. Pemenang Hasil Lelang Impor 7,5% Nilai Lelang
yang Tidak Dikuasai
3. Penjualan Hasil Produksi Tertentu di
Dalam Negeri
a. Industri Semen 0,25% DPP PPN KEP-4-1/01
b. Industri Kertas 0,10% DPP PPN KEP-69/95
c. Industri Baja 0,30% DPP PPN KEP-01/96
d. Industri Otomotif 0,45% DPP PPN KEP-32/95

e. Bahan Bakar Minyak dan Gas SPBU


Swastanisasi
- Premium 0,3% Penjualan Final
- Solar 0,3% Penjualan Final
- Premix/Super TT 0,3% Penjualan Final
- Minyak Tanah - Penjualan Final
- Gas/LPG - Penjualan Final
- Pelumas - Penjualan Final

4. Penjualan Barang yang Tergolong 5% Harga Jual


Sangat Mewah Tidak
Termasuk
PPN &
PPnBM
9

4. PPh Pasal atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah


Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual, tidak termasuk
PPN, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Barang yang tergolong sangat
mewah sebagaimana dimaksud adalah:
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20 miliar.
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar.
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp 10 miliar dan atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
d. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle
(MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 miliar
dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

2.2 PPh Pasal 23


Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh
Pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan
adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan
pihak memberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak
ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik
proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus
pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan
dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang
ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.

Solusinya :

1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp 72 juta


- Di gross up → 100/90 x Rp 72 juta = Rp 80 juta
- Pajak yang harus dibayarkan → Rp 80 juta – Rp 72 juta = Rp 8 juta
- Rp 8 juta ini boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final
dan dividen.
10

2. Apabila perusahaan pemilik proyek membayar sendiri PPh Pasal 23


- Tanpa di gross up → 10% x Rp 72 juta = Rp 7,2 juta
- Pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Agar biaya sewa bangunan dapat dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible),


maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk mengubah invoice,
faktur pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir pemotongan pajak PPh
Pasal 23 atas transaksi pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat
kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus
direvisi dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di gross up sebesar
Rp 80 juta, dan setelah itu pemilik gedung memotong PPh Pasal 4 (2) final 10%
x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi.

Pengenaan Pajak Atas Deviden

UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh
Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak
termasuk objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa (1) Deviden berasal dari
laba yang ditahan dan (2) Kepemilikan saham Perseroan yang menerima dividen
tersebut paling sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan
yang membayar deviden (operating company). Akibatnya banyak para pemegang
saham orang pribadi membuat PT yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa,
sehingga operating company yang membayar deviden ke PT tanpa dikenai pajak.
Mereka mengubah portofolio investasi menjadi investasi atas nama perusahaan
dengan kepemilikan saham minimal 25% dari jumlah modal yang disetor agar
deviden yang mereka terima tidak kena pemotongan PPh Pasal 23.

Akhirnya pemerintah merevisi pasal 4 ayat 3 (f), dengan menambahkan,


Perseroan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham sebagaimana
disebut di dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000. Terakhir, dalam UU PPh No. 36
Tahun 2008 yang mulai berlaku awal 2009, dijelaskan bahwa, untuk syarat
11

memiliki usaha aktif bagi Wajib Pajak yang menerima inter-corporate dividend,
dihapus. Dengan demikian tax planning mesti diubah kembali.

Apabila kepemilikan saham kurang 25%, merger merupakan cara untuk


mencukupi kekurangan dana yang harus di investasikan ke operating company.

Perubahan Tarif PPh Pasal 23

UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan tarif PPh Pasal 23 yang
semula 15% menjadi:

1. 15% dari peredaran bruto atas deviden, bunga, royalti, hadiah, penghargaan,
bonus, dan sejenisnya.
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.

Pengajuan SKB PPh Pasal 23

Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang
sama berlaku juga pada PPh Pasal 23. Tax planner yang baik akan selalu
memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut
agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.

PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh


wajib pajak dalam negeri, dan BUT (bentuk usaha tetap) yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong PPh Pasal 23/26

1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu:
12

- Akuntan, arsitek, dokter, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan


yang melakukan pekerjaan bebas.
- Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan
pembukuan.

Subjek Pajak PPh Pasal 23/26

1. Wajib Pajak Dalam Negeri


2. Bentuk Usaha Tetap
3. Wajib Pajak Luar Negeri

Objek Pajak PPh Pasal 23/26

Adalah penghasilan yang berasal dari:

1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.


2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23

a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:


1. Deviden; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/D, koperasi, dengan
syarat kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan deviden
tersebut diambil dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan menteri keuangan.
13

c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23


yang Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja

(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung


besarnya Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan,
kecuali:

a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU


PPh tetapi tidak termasuk deviden.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan
dasar untuk pemotongan pajak.

Pajak penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26
dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan
perlakuan perpajakan sebagai berikut:

 Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan, sesuai


dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti
kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan
pegawai yang menerimanya.
 Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali deviden yang ditanggung oleh pemberi
penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut
14

ditambahkan (gross up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar


pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.

Contoh:

PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp


100.000.000 yang sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung
oleh badan tersebut. Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.

Dasar Pengenaan PPh Pasal 26 =

PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000 = Rp 25.000.000

Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC
adalah Rp 125.000.000 (= Rp 100.000.000 + Rp 25.000.000).

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 23

Ekualisasi pajak adalah mencocokkan data di SPT (pencocokannya disajikan


terperinci per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku
pengeluaran/pembelian/penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan
dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebagian maupun keseluruhan).

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal
23 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya
SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:

1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek Pasal 23 yang belum


dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumla PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
15

3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan
tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.

Contoh:

Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23:

- Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan


penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 Rp 400.000.000
- Jumlah PPh Psal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp 200.000.000 -
Kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000

Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar


atau setor PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan
pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan
transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah
disetujui. Wajib pajak akan dikenakan bunga @ 2% setiap bulannya maksimum
24 bulan apabila ada kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang
bayar/setor.

2.3 PPh Pasal 26


PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk
dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Kalau PPh 26 memiliki rate 20% dan
terdapat tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan
bisa juga 0%.

Pasal 26 Ayat (1) d

Imbalan sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan

1. Bila Ada Tax Treaty


a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu): tidak ada
BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh WPLN. Syarat : agar pemotongan pajak bisa dilakukan
16

sesuai tax treaty, WPLN harus dapat menunjukkan atau memberikan


Certificate of Residence Tax Payer (CRT) atau Certificate of Domicile
(COD) dari Competent Authority di Negara bersangkutan.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada BUT,
maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima
oleh WPLN bersangkutan, yang berupa: Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17)
atau Branch Profit Tax (tariff PPh Pasal 26).
2. Bila Tidak Ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu): tidak ada
BUT, maka Indonesia mengenakan pajak: basis bruto dan tarif tunggal
20%.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada BUT,
maka Indonesia mengenakan pajak: basis neto dan tarif tunggal 20%.

Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh
Pasal 26 tersebut adalah:

1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan
WPLN yang berupa:
a. Bunga, deviden, royalty, sewa dan imbalan lain sehubungan dengan
penggunaan harta.
b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT, kecuali
ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
1) Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak
setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal
pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri.
17

2) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia


sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan
kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 tahun
sejak perusahaan tersebut didirikan.
3) Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling
lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan tersebut.
4) Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat
dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan tersebut telah
berproduksi komersial. (lihat PMK No. 257/PMK.03/2008)
2. Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final atas
penghasilan WPLN berupa :
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (20% x 25% x harga jual).
b. Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri :
1) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri oleh
tertanggung (20% x 50% jumlah premi).
2) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 10% x jumlah premi).
3) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh
perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia (20% x 5% x
jumlah premi).

Penggunaan Metode Groos Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan


PPh Pasal 26 yang Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja

(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 tahun 2000)

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung


besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, termasuk Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan,
kecuali:
18

a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU


PPh tetapi termasuk deviden.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan
dasar untuk pemotongan pajak.

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 26

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan bruto
dalam SPT Masa PPh Pasal 26 dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci
per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh
Pasal 26.

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 26 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan
karena :

1. Ditemukannya biaya – biaya yang menjadi objek Pasal 26 yang belum


dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi pajak.
2. Jumlah PPh Pasal 26 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 26 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan
tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 26.

2.4 PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Final


Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh Final dengan tarif 0,1%. Final ini
secara prinsip selalu meringankan. Bunga obligasi dan Surat Utang Negara
dikenai PPh Final tetapi tarif pajak bunganya tetap sebesar 15% bagi Wajib Pajak
Dalam Negeri dan BUT, dan tarif 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto
obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.
19

Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2)

Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak
secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang
Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah;
bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak
secara gradual dikenai PPh Pasal 4 (2) Final sebagai berikut :

1. 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010


2. 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013
3. 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya

Tax planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan


tarif bunga diatas, dengan segala kelebihan dan kekurangan reksadana
disbanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa efek.

Karakteristik PPh Final Pasal 4 Ayat (2) :

 Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah


 Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan
penghasilan lainnya (dianggap selesai/rampung)
 Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh pihak
lain tidak dapat dikreditkan
 Biaya – biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai
PPh final tidak dapat dikurangkan.

Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2):

1. Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan


perdagangannya di bursa efek.
2. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang diperdagangkan di bursa
efek.
20

3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI


4. Penghasilan berupa hadiah atas undian
5. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan
6. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
7. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
8. Deviden yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri
9. Bunga dan atau diskonto obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN)
10. Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi.

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan
PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat (2), jumlah


penghasilan bruto dalam SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokkan
(pencocokannya disajikan terperinci per transaksi) dengan pos pengeluaran yang
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2).

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga
menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal
ini disebabkan karena :

1. Ditemukan biaya – biaya yang menjadi objek Pasal 4 ayat 2 (Final) yang
belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok
atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 4 ayat 2 (Final).
21

2.5 Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final


Dalam praktik, kewajiban memotong, menyetor, dan melaporkan PPh
sesuai mekanisme withholding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang
cukup besar. Apalagi sejak adanya perluasan objek withholding tax sejak tahum
2000.
Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
1. Masalah pembuatan kontrak
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok
yang harus diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa
dikatakan sebagai cikal bakal terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait.
Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK (Surat Perintah Kerja), atau
PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dbuat di dalam
kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.
Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya,
maka PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja,
kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa katering (termasuk nilai materialnya).
Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dan
nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.
Di samping itu juga harus terdapat kejelasan atas hak dan kewajiban
masing-masing pihak agar dalam implementasinya tidak menimbulkan
masalah perbedaan penafsiran. Makin jelas dan detail pengaturan klausul
perpajakannya, akan makin baik karena akan mendukung implementasi
kewajiban perpajakannya. Jadi kata kuncinya adalah “Ingat withholding tax,
ingat kontrak.”

2. Konflik dalam withholding tax


Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk
memungut withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk
melaksanakan kewajibannya ini sebaik-baiknya. Konflik dalam withholding
22

tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya
atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif
pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara
bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada
pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi
ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia
dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara
berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika
perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut
tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan gross up
maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali dividen, dan PPh Final.
Gross up sebaliknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan
dokumen lain yang terkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan
pemberi jasa.

3. Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan


Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau
pemungut (withholder) perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengendalian perpajakan (tax control) untuk
memastikan bahwa seluruh objek withholding tax sudah dilakukan
pemotongan atau pemungutannya.
Caranya adalah melalui rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa
dengan objek PPh yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.
Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek
withholding tax dapat langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun
yang di dalamnya hanya terdapat sebagian saja yang merupakan objek
withholding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek dan yang
bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu
23

untuk mencatat rincian objek withholding tax dikaitkan dengan buku


besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher,
jenis transaksi, jumlah objek , masa pelaporan dan nomor serta tanggal bukti
pemotongan PPh yang dibuat.

4. Klausul Kontrak dengan WPLN


Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci,
khusus kontrak dengan pihak Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan
beberapa hal, antara lain:
 Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah
perlu melihat pada ketentuan tax treaty atau tidak.
 Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu
diperhatikan agar WPLN memberikan CRT (certificate of residence
taxpayer) kepada perusahaan sebelum dilakukan pembayaran atau
penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN
tersebut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK No. 254/KMK.03/2001


sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, pajak
ini menyangkut PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan
BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan barang
yang dibebankan ke APBN/APBD. PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain
(hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja,
kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong
sangat mewah (PMK No. 253/ PMK.03/2008).
PPh Pasal 23, di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa
mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak
ketiga, sedangkan pihak memberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong
pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian.
Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan
transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak,
maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar
PPh Paal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda keterlambatan
penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk
dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Kalau PPh 26 memiliki rate 20%
dan terdapat tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga
5% dan bisa juga 0%. Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh Final
dengan tarif 0,1%. Final ini secara prinsip selalu meringankan. Bunga obligasi
dan Surat Utang Negara dikenai PPh Final tetapi tarif pajak bunganya tetap
sebesar 15% bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, dan tarif 15%

24
25

diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto


obligasi tanpa bunga.

3.2 Saran

Demikian makalah yang kami buat, tentunya dalam makalah kami ini

terdapat kekurangan karena terbatasnya pengetahuan yang kami peroleh.

Dengan ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

sempurnanya makalah Tax Planning Pph Pasal 22, Pasal 23/26 Dan Pph Final

ini dan kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan

penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, C. A. (2013). Manajemen Perpajakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai