“TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 DAN PPH FINAL”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Manajemen Perpajakan
Dosen Pengampu:
Saprudin, SE, M.Si, Ak, CA
Disusun oleh:
KELOMPOK 4
JURUSAN S1 AKUNTANSI
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
tentang “Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan PPh Final” ini dengan baik,
meskipun terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Saprudin SE, M.Si, Ak, CA selaku dosen mata kuliah
Manajemen Perpajakan yang telah memberikan tugas ini.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai “Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal 23/26 dan
PPh Final”. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah dibuat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PPh Pasal 22 ........................................................................................ 3
2.2 PPh Pasal 23 ................................................................................. .... 9
2.3 PPh Pasal 26 ..................................................................................... 15
2.4 PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Final ....................................................... 18
2.5 Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final ............................... 21
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
PEMBAHASAN
3
4
Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “handling fee”, yakni
jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara
importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas jasa yang diberikan.
Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini dapat
dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak mempunyai API dengan
“meminjam” bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang
impornya dengan kompensasi pemberian “handling fee”. Apabila benefitnya
(5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% -
2%), maka pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal
22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat
cahs flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut
hanya akan menyebabkan lebih bayar.
Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati,
karena masalah transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan
masalah pajak, juga dapat menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana
transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau melanggar hukum.
Apabila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak
perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak, masalah
pajak dalam suatu aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak
atau tidak dan apakah kewajiban perpajakannya telah dilaksanakan secara benar
sesuai ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan material pembukuannya
terpenuhi dalam arti semua transaksi harus mempunyai bukti pendukung yang
sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal,
seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal
(reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai
(kontrak, invoicen dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi
fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat
kontrak yang jelas dan secara transparan mencantumkan hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.
5
Ada juga pengecualian-pengecualian pajak yang juga harus diperhatikan oleh tax
planner. Yang dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, adalah
sebagai berikut:
(a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
(b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kementerian
Keuangan No. 08/PMK.03/2008.
Contoh kasus:
di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas impor duties: bea masuk,
PPN impor, dan PPh Pasal 22 impor), maka bagi PT B (kontraktor) tekanan
beban cash flow-nya sudah agak ringan.
Dalam hal ini tax planner atau taax manager PT B masih harus bekerja sama
dengan tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak
untuk mendapat surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut
didefinisikan sebagai barang strategis yang mendapat pembebasan bea masuk,
PPN impor dan PPh Pasal 22 impor, karena pengajuan surat permohonan tersebut
harus dibuat secara formal atas nama PT A, bukan atas nama PT B.
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan
PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:
a. Wajib pajak yang dalam tahun berjalan dapat menunjukkan tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang
kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto
tahun pajak yang bersangkutan.
c. Pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan
yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan permohonan
Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, dan tax
planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan
SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak
penghasilan. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 4 kelompok,
yaitu:
7
- Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas
imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal
22 impor.
- Wajib Pajak dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang
yang bersangkutan.
- Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan
untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22
yang terutang akan ditagih beserta sanksi bunganya.
Tabel – 1
Objek PPh Pasal 22
No Objek Pajak Tarif Dasar Sifat Dasar
Pengenaan Hukum
Pajak (DPP)
1. Pembelian Barang Dalam Negeri
a. Pembelian Barang oleh 1,5% Harga
Bendaharawan, BUMN/D dan Pembelian
Badan-badan tertentu.
b. Pembelian Bahan-bahan 0,25%
berupa hasil Perhutanan, Harga
Perkebunan, Pertanian, dan Pembelian
untuk Keperluan Industri dan
Ekspor dari Pedagang
Pengumpul.
2. Impor Barang
a. Importir mempunyai API 2,5% Nilai Impor
b. Importir tidak mempunyai API 7,5% Nilai Impor
c. Pemenang Hasil Lelang Impor 7,5% Nilai Lelang
yang Tidak Dikuasai
3. Penjualan Hasil Produksi Tertentu di
Dalam Negeri
a. Industri Semen 0,25% DPP PPN KEP-4-1/01
b. Industri Kertas 0,10% DPP PPN KEP-69/95
c. Industri Baja 0,30% DPP PPN KEP-01/96
d. Industri Otomotif 0,45% DPP PPN KEP-32/95
Solusinya :
UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh
Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak
termasuk objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa (1) Deviden berasal dari
laba yang ditahan dan (2) Kepemilikan saham Perseroan yang menerima dividen
tersebut paling sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan
yang membayar deviden (operating company). Akibatnya banyak para pemegang
saham orang pribadi membuat PT yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa,
sehingga operating company yang membayar deviden ke PT tanpa dikenai pajak.
Mereka mengubah portofolio investasi menjadi investasi atas nama perusahaan
dengan kepemilikan saham minimal 25% dari jumlah modal yang disetor agar
deviden yang mereka terima tidak kena pemotongan PPh Pasal 23.
memiliki usaha aktif bagi Wajib Pajak yang menerima inter-corporate dividend,
dihapus. Dengan demikian tax planning mesti diubah kembali.
UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan tarif PPh Pasal 23 yang
semula 15% menjadi:
1. 15% dari peredaran bruto atas deviden, bunga, royalti, hadiah, penghargaan,
bonus, dan sejenisnya.
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22 yang telah dibahas di atas, ketentuan yang
sama berlaku juga pada PPh Pasal 23. Tax planner yang baik akan selalu
memanfaatkan momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut
agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu:
12
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pajak penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26
dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan
perlakuan perpajakan sebagai berikut:
Contoh:
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC
adalah Rp 125.000.000 (= Rp 100.000.000 + Rp 25.000.000).
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 23
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal
23 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya
SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan
tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.
Contoh:
PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh
Pasal 26 tersebut adalah:
1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan
WPLN yang berupa:
a. Bunga, deviden, royalty, sewa dan imbalan lain sehubungan dengan
penggunaan harta.
b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT, kecuali
ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
1) Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak
setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal
pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri.
17
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 26
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan bruto
dalam SPT Masa PPh Pasal 26 dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci
per transaksi) dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh
Pasal 26.
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 26 yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan
karena :
Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak
secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang
Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah;
bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak
secara gradual dikenai PPh Pasal 4 (2) Final sebagai berikut :
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan
PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) yang ditentukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga
menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal
ini disebabkan karena :
1. Ditemukan biaya – biaya yang menjadi objek Pasal 4 ayat 2 (Final) yang
belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok
atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 4 ayat 2 (Final).
21
tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia dipotong pajaknya
atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif
pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara
bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada
pada pemberi penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi
ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia
dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu dari dua cara
berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika
perusahaan membayarkan sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut
tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika perusahaan melakukan gross up
maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali dividen, dan PPh Final.
Gross up sebaliknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan
dokumen lain yang terkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan
pemberi jasa.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
24
25
3.2 Saran
Demikian makalah yang kami buat, tentunya dalam makalah kami ini
Dengan ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
sempurnanya makalah Tax Planning Pph Pasal 22, Pasal 23/26 Dan Pph Final
ini dan kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
penulis.
DAFTAR PUSTAKA