Anda di halaman 1dari 33

Kamis, 15 September 2022

HALAMAN JUDUL
RMK RPS 2
Menghitung PPh Pasal 21, 22, 23, 24, 26 dan PPh Final Pasal 4
MATA KULIAH PERPAJAKAN II
KELAS A1

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Farrel Indivara Setiawan (08)


2. Putu Angel Shinta Lestari (09)
3. Ni Komang Priyahita (10)
4. Ni Kadek Yunia Sumirta (11)
5. Putu Risa Intan Purnama Padma Yoni (12)
6. Imelda Serly (13)

Dosen : Dra. Ni Ketut Lely Aryani Merkusiwati, Ak., M.Si., CA

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhang Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Widi Wasa
atas segala rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan ringkasan materi kuliah yang
berjudulmenghitung PPh Pasal 21, 22, 23, 24, 26 dan PPh Final Pasal 4”. Paper ini disusun untuk
memenuhi tugas pada mata kuliahPerpajakan II. Selain itu, bertujuan untuk menambah wawasan bagi
pembaca dan penulis mengenai Cara Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Ni Ketut Lely Aryani Merkusiwati, Ak.,
M.Si., CA,selaku dosen pengempu mata kuliah Perpajakan II yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan kami tentang cara perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam membantu proses
penyusunan ringkasan materi kuliah ini .

Kami menyadari bahwa ringkasan materi kuliah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan ringkasan
materi kuliah ini.

Jimbaran, 11 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 7
2.1 Menghitung PPh Pasal 21........................................................................................................... 7
2.2 Menghitung PPh Pasal 22......................................................................................................... 11
2.3 Menghitung PPh Pasal 23......................................................................................................... 14
2.4 Menghitung PPh Pasal 24......................................................................................................... 18
2.5 Menghitung PPh Pasal 26......................................................................................................... 22
2.6 Menghitung PPh Final Pasal 4 ................................................................................................. 24
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................... 31
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................... 31
3.2 Saran ......................................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayani kepentingan umum
yang, akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, penddidikan,
kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat daan sebagianya. Sehingga pajak merupakan alat untuk
mencapai tujuan Negara.Pemunguta pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber
terpenting dari penerimaan Negara. Penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas
peran serta masyarakat dalam kontribusinya melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran
pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan
berupa pengeluaran rutin dan pembangunan yang berguna bagi rakyat.

PPh 21 merupakan pajak pemotongan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan yang dilakukannya. Pembayar PPh atau subjek pajak disebut juga sebagai Wajib Pajak,
dan hal yang dibayarkan pajaknya disebut sebagai Objek Pajak. Tarif PTKP yang berlaku untuk
perhitungan PPh 21 sampai saat ini masih mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan
No.101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
peraturan tersebut besaran PTKP untuk wajib pajak orang pribadi yakni sebesar Rp 54.000.000 dan
ditambahkan Rp 4.500.000 apabila telah menikah dan kembali ditambahkan Rp 4.500.000 untuk
setiap tanggungan anggota keluarga sampai paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Sedangkan, untuk suami yang penghasilannya digabung dengan istri maka PTKP nya ditambahkan
Rp 54 juta per tahun.

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh
Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap
wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya
obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan
dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan
terhadap perdagangan barang yang dianggap “menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun
pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat
dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

4
PPh pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari model, penyerahan jasa atau
penyelenggara kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21, yang dibayarkan, disediakan, untuk
dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Adapun
subjek pajak yang dikenai tarif PPh pasal 23 adalah wajib pajak orang pribadi (WP OP), yang berasal
dari dalam negeri dan berbentuk usaha tetap. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU
PPh), besarnya tarif PPh pasal 23 dibedakan menjadi dua berdasarkan objek yang dikenakan pajak
penghasilan pasal 23. PPh pasal 23 sebesar 15% dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto atas deviden
atau bunga. PPh pasal 23 sebesar 2% dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto atas sewa dan
penghasilan lain terkait penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan
yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh WP dalam negeri. Atas pajak tersebut, WP dapat mengkreditkan pajak
terutang dalam tahun pajak yang sama . Dalam pph pasal 24 ini aklan menghitung mengenai
pengkreditan pajak luar negeri serta perhitungan pph pasal 24 jika terjafi kerugian di dalam negeri
dan di luar negeri.

PPh Pasal 26 adalah kebijakan yang mengatur dikenakannya pajak kepada Wajib Pajak (WP)
luar negeri (selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia) atas penghasilannya yang bersumber dari
Indonesia. Sementara itu, Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh
subjek pajak luar negeri (pribadi maupun badan) yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. PPh
pasal 26 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang “Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan”. Menurut ketentuan PPh Pasal 26, tarif umum yang dikenakan adalah 20% dan bisa
berubah jika Wajib Pajak mengikuti Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B).

Pajak penghasilan (pph) pasal 4 ii merupakan pajak penghasilan yang bersifat final, sehingga
apabila wajib pajak sudsh melunasinya, maka kewajiban pajak telah selesai. Penghasilan yang
dikenakan pph final tidak akan digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang tidak bersifat final.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang
diangkat yaitu sebagai berikut :

5
1.1.1 Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 ?
1.1.2 Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 22 ?
1.1.3 Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 23 ?
1.1.4 Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 24 ?
1.1.5 Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 26 ?
1.1.6 Bagaimana cara menghitung PPh Final Pasal 4 ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan rumusan masalah yang diangkat,
maka adapun tujuan penulisan ringkasan materi kuliah ini yaitu sebagai berikut:

1.1.7 Untuk mengetahui cara menghitung PPh Pasal 21.


1.1.8 Untuk mengetahui cara menghitung PPh Pasal 22.
1.1.9 Untuk mengetahui cara menghitung PPh Pasal 23.
1.1.10 Untuk mengetahui cara menghitung PPh Pasal 24.
1.1.11 Untuk mengetahui cara menghitung PPh Pasal 26.
1.1.12 Untuk mengetahui cara menghitung PPh Final Pasal 4.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menghitung PPh Pasal 21


A. Pengertian dan Landasan Hukum PPh 21
PPh 21 merupakan pajak pemotongan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan yang dilakukannya. Pembayar PPh atau subjek pajak disebut juga sebagai Wajib Pajak,
dan hal yang dibayarkan pajaknya disebut sebagai Objek Pajak.
Adapun landasan hukum atas PPh 21 yang dibahas di depan mengacu pada beragam peraturan yang
mengatur ketentuan-ketentuan pemotongan PPh 21, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 hingga Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan.
2. Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.
3. Peraturan Pemerintah No. 68/2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua
yang Dibayarkan Sekaligus.
4. Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
5. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak.
7. Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Menimbang Pajak Penghasilan.
8. Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

B. Tarif PKP dan PTKP Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21


Tarif PKP PPh pasal 21 yaitu dijelaskan dalam tabel berikut :
7
UU PPh UU HPP
Lapisan Tarif Rentang Penghasilan Kena Pajak Rentang Penghasilan Kena Pajak
Tarif Tarif
(PKP) (PKP)

I Rp 0 - Rp 50.000.000 5% Rp0 - Rp60.000.000 5%


II >Rp50.000.000 - Rp250.000.000 15% >Rp60.000.000 - Rp250.000.000 15%
III >Rp250.000.000 - Rp500.000.000 25% >Rp250.000.000 - Rp500.000.000 25%
IV >Rp500.000.000 30% >Rp500.000.000 - Rp5.000.000.000 30%
V >Rp5.000.000.000 35%

Terdapat beberapa perubahan atas rentang penghasilan kena pajak serta penambahan lapisan
penghasilan kena pajak pada peraturan perpajakan PPh pasal 21 terbaru yakni Undang-Undang nomor
7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Perubahan tersebut dapat terlihat pada
rentang PKP dari yang sebelumnya 0 – Rp 50 juta untuk lapisan terendah sekarang menjadi 0 – Rp
60 juta serta terdapat juga pergantian dalam lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) dimana telah
ditambahkan satu lapisan baru yaitu tarif tertinggi sebesar 35% bagi WP OP dengan penghasilan lebih
dari Rp 5 miliar per tahun.

Terdapat juga ketentuan khusus tarif PKP bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP namun
memperoleh penghasilan. Setiap karyawan yang akan membayar PPh 21 tetapi belum memiliki
NPWP harus mengalikan jumlah penghasilannya dengan persentase Wajib Pajak ditambah dengan
120.

Untuk tarif PTKP yang berlaku untuk PPh 21 dapat dijelaskan melalui tabel berikut :

Golongan Kode Tarif PTKP


TK/0 (Tanpa Tanggungan) Rp54.000.000
TK/1 (1 Tanggungan) Rp58.500.000
Tidak Kawin (TK)
TK/2 (2 Tanggungan) Rp63.000.000
TK/3 (3 Tanggungan) Rp67.500.000
K/0 (Tanpa Tanggungan) Rp58.500.000
K/1 (1 Tanggungan) Rp63.000.000
Kawin (K)
K/2 (2 Tanggungan) Rp67.500.000
K/3 (3 Tanggungan) Rp72.000.000
K/I/0 (Tanpa Tanggungan Rp112.500.000
Kawin dengan
K/I/1 (1 Tanggungan) Rp117.000.000
penghasilan istri
K/I/2 (2 Tanggungan) Rp121.500.000
digabung (K/I)
K/I/3 (3 Tanggungan) Rp126.000.000

Tarif PTKP yang berlaku untuk perhitungan PPh 21 sampai saat ini masih mengacu kepada Peraturan
Menteri Keuangan No.101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Dalam peraturan tersebut besaran PTKP untuk wajib pajak orang pribadi yakni sebesar Rp
54.000.000 dan ditambahkan Rp 4.500.000 apabila telah menikah dan kembali ditambahkan Rp
4.500.000 untuk setiap tanggungan anggota keluarga sampai paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap

8
keluarga. Sedangkan, untuk suami yang penghasilannya digabung dengan istri maka PTKP nya
ditambahkan Rp 54 juta per tahun.

C. Contoh Kasus dan Perhitungan PPh pasal 21


• Kasus 1 perhitungan PPh 21 untuk wajib pajak tidak kawin (TK)

Seorang karyawan bernama Budi Setiawan (lajang) yang mempunyai 2 orang adik bekerja pada PT
ABC dan memperoleh gaji sebesar Rp15.000.000 per bulan. Perusahaan tempat Budi bekerja
mengikuti program jamsostek. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan premi Jaminan Kematian
(JKM) serta Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing
sebesar 1,5%, 0,3%, dan 3,7% dari gaji. Selain itu, Budi juga membayar iuran pensiun Rp150.000
dan membayar biaya jabatan sebesar 6.000.000. Pada tahun berjalan, Budi juga menerima bonus
sebesar Rp10.000.000. Pertanyaannya, berapa besar PPh Pasal 21 atas bonus tersebut ?

Perhitungan PPh 21 tidak kawin

Gaji setahun (15.000.000×12) Rp180.000.000


Bonus Rp10.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), 1,5% dari gaji Rp2.700.000
Premi Jaminan Kematian (JKM), 0,3% dari gaji Rp540.000
Penghasilan Bruto Setahun Rp193.240.000
Dikurangi :
Biaya Jabatan Rp6.000.000
Iuran pensiun setahun Rp1.800.000
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 3,7% dari gaji Rp6.660.000
Rp14.460.000
Penghasilan neto setahun Rp178.780.000
PTKP (TK/2) Rp63.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun Rp115.780.000

Perhitungan PPh pasal 21 terutang


5%×Rp60.000.000 Rp3.000.000
15%×Rp55.780.000 Rp8.367.000
PPh pasal 21 yang terutang selama setahun Rp11.367.000

• Kasus 2 perhitungan PPh 21 untuk wajib pajak kawin

Ricky (menikah) yang mempunyai 1 orang anak bekerja pada PT. XYZ dan memperoleh gaji sebesar
Rp10.000.000 per bulan. Perusahaan tempat Ricky mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan.
Perusahaan membayarkan iuran pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar 1% dari perhitungan
gaji. Di samping Ricky membayar iuran (JHT) setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah

9
masing-masing sebesar 0,24% dan 0,3% dari gaji. Pada tahun berjalan, di samping menerima
pembayaran gaji, Ricky juga menerima uang lembur (overtime) senilai Rp 5.000.000.

Perhitungan PPh 21 kawin

Gaji setahun (10.000.000×12) Rp120.000.000


Uang lembur Rp5.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), 0,24% dari gaji Rp288.000
Premi Jaminan Kematian (JKM), 0,3% dari gaji Rp360.000
Penghasilan Bruto Setahun Rp125.648.000
Dikurangi :
Biaya Jabatan Rp6.000.000
Iuran pensiun, 1% dari gaji Rp1.200.000
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2% dari gaji Rp2.400.000
Rp9.600.000
Penghasilan neto setahun Rp116.048.000
PTKP (K/1) Rp63.000.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) setahun Rp53.048.000

Perhitungan PPh pasal 21 terutang


5%×Rp53.048.000 Rp2.652.400

PPh 21 terutang selama 1 tahun Rp2.652.400

• Kasus 3 perhitungan PPh 21 untuk wajib pajak kawin penghasilan digabung

Andy dan Lucy merupakan sepasang suami istri yang memiliki 2 anak. Andy bekerja di PT. ABC
dengan besaran pendapatan netto yang telah disetahunkan yaitu Rp150.000.000. Sedangkan Lucy
bekerja di PT. DEF dengan besaran pendapatan netto yang jika disetahunkan berjumlah
Rp100.000.000. Dalam melakukan perhitungan PPh 21 terutang, mereka memutuskan untuk
menggabungkan penghasilan mereka. Berapakah jumlah PPh 21 terutang mereka selama setahun ?

Perhitungan PPh 21 kawin dengan penghasilan digabung

Gaji netto suami setahun Rp150.000.000


Gaji netto istri setahun Rp100.000.000
Total penghasilan netto setahun Rp250.000.000
Dikurangi :
PTKP (K/I/2) Rp121.500.000
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Setahun Rp128.500.000

Perhitungan PPh 21 terutang


5%×Rp60.000.000 Rp3.000.000
15%×Rp68.500.000 Rp10.275.000
PPh 21 terutang selama 1 tahun Rp13.275.000
10
2.2 Menghitung PPh Pasal 22
A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh
Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap
wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya
obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan
dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan
terhadap perdagangan barang yang dianggap “menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun
pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat
dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

B. Tarif PPh Pasal 22


1. Atas impor:
o yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
o non-API = 7,5% x nilai impor;
o yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan
bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =
0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
o Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
o Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
o Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan

11
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.

C. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22


• Kasus 1 Atas Pembelian Barang oleh Instansi Pemerintah
PT DTC berkedudukan di Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas Pendidikan
Kota Tangerang Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT DTC melakukan penyerahan barang
kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah termasuk PPN). Maka,
berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan?
Jawaban:
No Diketahui Nilai (Rp)

1 Nilai kontrak termasuk PPN Rp11.000.000

2 DPP (100/110) x Rp11.000.000 Rp10.000.000

3 PPN dipungut (10% dari DPP) Rp1.000.000

4 PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp150.000


Rp10.000.000)

Jadi, besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan sebesar
Rp150.000. PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN.
Atas pembelian barang yang dananya berasal dari belanja negara atau belanja daerah yang
dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:

1. Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) yang
meliputi jumlah kurang dari Rp1.000.000,00.
2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak,listrik,gas,air minum/PDAM, dan benda-
benda pos.
3. Pembayaran/ pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara.

• Kasus 2 Atas impor barang


Pada tanggal 1 Januari 2016, PT ABC mengimpor barang dari Jerman dengan harga faktur
US$100.000. Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-barang
tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.010/2016. Biaya asuransi
yang dibayar di luar negeri sebesar 5% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 10% dari harga
faktur.

12
Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20% dan 10%. Kurs yang ditetapkan
Menteri Keuangan pada saat itu sebesar US$1= Rp10.000. Hitunglah PPh Pasal 22 yang dipungut
oleh Ditjen Bea Cukai jika PT ABC memili API (Angka Pengenal Impor) dan jika tidak memiliki
API?

Jawaban:

No Diketahui Perhitungan Nilai (US$)

a. Harga faktur (cost) US$100.000

b Biaya asuransi (insurance) (5% x US$100.000) US$5.000

c Biaya angkut (freight) (10% x US$100.000) US$10.000

CIF (cost, insurance & freight) (a+b+c) US$115.000

d. CIF (dalam rupiah) (US$115.000 x Rp10.000) Rp1.150.000.000

e. Bea masuk (20% x Rp1.150.000.000) Rp230.000.000

f Bea masuk tambahan (10% x Rp1.150.000.000) Rp115.000.000

Nilai Impor (d+e+f) Rp1.495.000.000

Jadi, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC, jika PT ABC memiliki API (2,5% x Nilai Impor):
2,5% x Rp1.495.000.000 = Rp37.375.000
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC jika PT ABC tidak memiliki API (7,5% x Nilai Impor):
7,5% X Rp1.495.000.000 = Rp112.125.000
• Kasus 3 Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Tertentu

1. Pada bulan Agustus, PT Semen Sentosa menjual hasil produknya kepada PT Indah
Bahagia senilai Rp825.000.000. harga tersebut sudah termasuk PPN sebesar 10%.
2. Pada bulan April, PT Gerhana yang bergerak dalam industri kertas menjual hasil
produksinya senilai Rp550.000.000 kepada PT Halilintar. Harga tersebut sudah termasuk
PPN sebesar 10%.
3. Pada bulan Juli, PT Baja Perkasa menjual hasil produknya kepada PT Adi Karya senilai
Rp1.100.000.000. Harga tersebut sudah termasuk PPN sebesar 10%.

13
Jawaban:

No PPh Pasal 22 yang Dipungut Nilai (Rp)

1 DPP PPN = (100/110) x Rp825.000.000 Rp750.000.000

0,25% x Rp750.000.000 Rp1.875.000

2 DPP PPN = (100/110) x Rp550.000.000 Rp500.000.000

0,25% x Rp500.000.000 Rp500.000

3 DPP PPN : (100/110) x Rp1.100.000.000 Rp1.000.000.000

0,25% x Rp1.000.000.000 Rp3.000.000

• Kasus 3 Dipungut oleh Pertamina dan Badan Usaha Selain Pertamina


PT Pertamina selaku produsen bahan bakar minyak, gas, dan pelumas menyerahkan bahan bakar
minyak senilai Rp300.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada non-SPBU. Maka, berapakah PPh
Pasal 22 yang dipungut?
Jawaban:
PPh Pasal 22 yang dipungut atas penyerahan bahan bakar minyak adalah:
0,3% x Rp 300.000.000 = Rp900.000

2.3 Menghitung PPh Pasal 23


A. Pengertian PPh Pasal 23

Ketentuan dalam PPh pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari model,
penyerahan jasa atau penyelenggara kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21, yang dibayarkan,
disediakan, untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarkan oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya. Adapun subjek pajak yang dikenai tarif PPh pasal 23 adalah wajib pajak orang
pribadi (WP OP), yang berasal dari dalam negeri dan berbentuk usaha tetap.

B. Tarif dalam PPh Pasal 23

14
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), besarnya tarif PPh pasal 23
dibedakan menjadi dua berdasarkan objek yang dikenakan pajak penghasilan pasal 23.

a. Tarif PPh pasal 23 sebesar 15%

PPh pasal 23 sebesar 15% dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto atas :

• Dividen
• Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
• Royalti
• Hadiah, penghargaan, bonus, atau sejenisnya, selain yang belum dipotong oleh PPh
pasal 21.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23 sebesar 15% :

• Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen


Penghasilan berupa dividen akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15%
dari jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Contoh : PT Solusidon membayarkan dividen kepada CV Perkasa sebesar Rp


200.000.000,00. PPh Pasal 23 dipotong Solusidon adalah

PPh Pasal 23 = 15% x Rp 200.000.000,00.

= Rp 30.000.000,00

• Perhitungan PPh Pasal 23 atas Bunga termasuk Premium, Diskonto, dan


Imbalan karena jaminan pengembalian utang
Penghasilan berupa bunga dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Contoh : PT Karya Utama membayar bunga atas pinjaman kepada PT Indo Jaya
sebesar Rp 80.000.000,00. PPh Pasal 23 yang dipotong PT Karya Utama adalah

PPh Pasal 23 = 15% x Rp 80.000.000,00.

15
= Rp 12.000.000,00

• Perhitungan PPh Pasal 23 atas Royalti


Penghasilan yang berupa royalti akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar
15% dari jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Contoh : CV Seleran Makan membayar royalti kepada NY. Sulastri atas pemakaian
meek Ayam Goreng “Bu Lastri” sebesar Rp 30.000.000,00. PPh Pasal 23
yang dipotong CV Selera Makan adalah

PPh Pasal 23 = 15% x Rp 30.000.000,00.

= Rp 4.500.000,00

Apabila Ny. Sulastri belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 23 yang dipotong CV
Selera Makan adalah

PPh Pasal 23 = 30% x Rp 30.000.000,00.

= Rp 9.000.000,00

• Perhitungan PPh Pasal 23 atas Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya

Hadiah sehubungan kegiatan dan penghargaan oleh wajib pajak badan termasuk BUT
dikenakan pemotongan PPH Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Contoh : CV Perdana mendapatkan hadiah sebuah mobil senilai Rp 200.000.000,00


sebagai distrobutor terbaik dari PT Artha Raya. PPH Pasal 23 yang dipotong
PT Artha Raya adalah

PPh Pasal 23 = 15% x Rp 200.000.000,00.

= Rp 30.000.000,00

b. Tarif PPh pasal 23 sebesar 2%

PPh pasal 23 sebesar 2% dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto atas :


16
• sewa dan penghasilan lain terkait penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa
konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih dari 100%. Kepemilikan Nomor
Pokok WAjib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak antara lain dengan cara
menunjukkan katur Nomor Pokok Wajib Pajak.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23 sebesar 2% :

• Perhitungan PPh Pasal 23 atas Sewa dan Penghasilan Lain sehubungan dengan
Penggunaan Harta
Penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta ( kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan perdewaan tanah dan/atau bangunan)
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.

PPh Pasal 23 = 2% x Bruto

Contoh : PT Sejahtera Raya menyewa sebuah traktor milik Susanto dengan nilai dewa
sebesar Rp 10.000.000,00. PPh Pasal 23 yang dipotong PT Sejahtera Raya
adalah

PPh Pasal 23 = 2% x Rp 10.000.000,00.

= Rp 200.000,00

Apabila Susanto belum memiliki NPWP, maka PPH Pasal 23 yang dipotong PT
Sejahtera Raya adalah

PPh Pasal 23 = 4% x Rp 10.000.000,00.

= Rp 400.000,00

• Perhitungan PPh Pasal 23 atas Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa
Manajemen, Jasa Kontruksi, Jasa Konsultan dan Jasa Lain
Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
kontruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
17

PPh Pasal 23 = 2% x Bruto


Penghasilan Pasal 21 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah
bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

Contoh :

• PT Pilar Utama yang baru berdiri meminta jasa dari Cv Konsultindo untuk
membuat sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan sebesar Rp 11.000.000,00(
termasuk PPN Rp 1.000.000,00). PPh pasal 23 yang dipotong oleh PT Pilae Utama
adalah
PPh Pasal 23 = 2% x Rp 10.000.000,00.
= Rp 200.000,00
• CV Duta Bangsa membayar jasa cleaning service kepada PT Mitra Makmur
sebesar Rp 15.000.000,00. PPh pasal 23 yang dipotong oleh CV Duta Bangsa
adalah
PPh Pasal 23 = 2% x Rp 15.000.000,00.
= Rp 300.000,00
Apabila PT Mitra Makmur belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 23 yang
dipotong CV Duta Bangsa adalah
PPh Pasal 23 = 4% x Rp 10.000.000,00.
= Rp 600.000,00
• CV Terang Abadi mengikat kontrak dengan PT Indah yang merupakan perusahaan
katering makanan untuk menyediakan makan siang bagi karyawan perusahaan
tersebut selama satu tahun dengan nilai kontrak sebesar Rp 100.000.000,00. PPh
Pasal 23 yang dipotong adalah
PPh Pasal 23 = 2% x Rp 100.000.000,00.
= Rp 1.500.000,00

2.4 Menghitung PPh Pasal 24


A. Pengertian PPh Pasal 24
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun
berjalan yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri. Atas pajak tersebut, WP dapat
mengkreditkan pajak terutang dalam tahun pajak yang sama.
18
B. Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)

Kasus dan Pertanyaan:


PT Sinar Gemilang di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%) Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?
Jawaban:
Penghitungan PPh Pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan kena pajak:

Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000

Penghasilan dari Vietnam Rp200.000.000

Jumlah Penghasilan Neto Rp600.000.000

2. Menghitung total PPh terutang:

Pajak terhutang 25% x Rp 600.000.000 = Rp150.000.000

3. Menghitung PPh maksimum yang dapat


dikreditkan:

(penghasilan Luar Negeri : total penghasilan) x


total PPh terutang

(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp50.000.000


Rp150.000.000 = Rp49.999.999 (dibulatkan)

4. Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di


Luar Negeri:

20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000

19
Dari perhitungan di atas, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebesar Rp40.000.000
atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri. Jumlah ini diperoleh dengan
membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang
atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih jumlah yang terendah.

C. Penghitungan PPh Pasal 24 Jika Terjadi Kerugian Usaha di Dalam Negeri


Kasus dan Pertanyaan:
PT Selera Rakyat berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2015
sebagai berikut:
Di Belanda memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 30%). Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?
Jawaban
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan kena pajak:

Penghasilan dari Belanda Rp600.000.000

Penghasilan dari dalam negeri (Rp200.000.000)

Jumlah Penghasilan Neto Rp400.000.000

2. Menghitung total PPh terutang:

Pajak terhutang 25% x Rp 400.000.000 = Rp100.000.000

3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:

(penghasilan Luar Negeri : total penghasilan) x total PPh


terutang

(Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x Rp100.000.000 = Rp150.000.000

4. Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di Luar


Negeri:

20
30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000

Kredit pajak yang diperoleh (PPh pasal 24) adalah Rp150.000.000. Jumlah ini diperoleh dengan
membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh yang terutang
atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih jumlah yang terendah.

D. Perhitungan PPh Pasal 24 Jika Terjadi Kerugian Usaha di Luar Negeri

Kasus dan Pertanyaan:


PT Selaras Abadi pada tahun 2013 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Di Thailand memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 40%). Di Jerman menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku
25%). Di dalam negeri memperoleh laba usah sebesar Rp500.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?
Jawaban:
Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total penghasilan kena pajak:

Penghasilan dalam negeri Rp300.000.000

Penghasilan dari luar negeri Rp500.000.000

Jumlah Penghasilan Neto Rp800.000.000

2. Menghitung total PPh terutang:

Pajak terhutang 25% x Rp800.000.000 = Rp200.000.000

3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:

(penghasilan Luar Negeri : total penghasilan) x total


PPh terutang

(Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp200.000.000 = Rp75.000.000

4. Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di Luar


Negeri:

21
40% x Rp300.000.000 = Rp120.000.000

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah
Rp75.000.000.

2.5 Menghitung PPh Pasal 26


A. Pengertian PPH Pasal 26

PPh Pasal 26 adalah kebijakan yang mengatur dikenakannya pajak kepada Wajib Pajak (WP)
luar negeri (selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia) atas penghasilannya yang bersumber dari
Indonesia. Sementara itu, Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh
subjek pajak luar negeri (pribadi maupun badan) yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. PPh
pasal 26 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang “Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan”. Menurut ketentuan PPh Pasal 26, tarif umum yang dikenakan adalah 20% dan bisa
berubah jika Wajib Pajak mengikuti Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B).

B. Objek pasal 26

Pasal 26 mengatur tentang kebijakan tarif sebesar 20% (final) atas jumlah bruto dari
pendapatan yang diperoleh dari:

 Dividen.
 Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran
pinjaman.
 Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset.
 Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 Hadiah dan penghargaan.
 Pensiun dan pembayaran berkala.
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya.
 Perolehan keuntungan dari penghapusan utang.

Selain pajak atas pendapatan (omzet), Wajib Pajak Luar Negeri yang terkena PPh Pasal 26 juga
terkena kebijakan tarif pajak dari laba bersih. Tarif 20% (final) dari laba bersih dikenakan bagi yang
memiliki penghasilan dari:

22
 Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
 Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung ataupun melalui pialang
kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Ketentuan tarif 20 % mengikuti kriteria sebagai berikut:

 Tarif 20% (final) dari laba bersih juga berlaku atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak,
termasuk dalam BUT di Indonesia.
 Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak
termasuk di dalamnya dalam BUT di Indonesia. Tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang
penghasilannya tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
 Tax Treaty atau P3B antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian
bisa saja berbeda satu sama lain. Tarifnya biasanya bisa untuk mengurangi tingkat dari tarif
biasa yang sebesar 20% dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.

C. Menghitung PPH Pasal 26


1. PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat ke
perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 1995 sebesar
Rp1 miliar. Dengan demikian, penghitungan PPh Pasal 26-nya adalah sebagai berikut.

Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-

PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)

Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui perusahaan
yang ada di Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar
Rp1 miliar. PT XYZ mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi di
luar negeri, misalnya PT KLM, dengan membayar premi sebesar Rp500 juta. Maka ketentuan
PPh Pasal 26-nya adalah:

Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000

PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)

2. David Beckham yang adalah Warga Negara Inggris memiliki 25% saham PT Persipura
Indonesia. Tahun ini Beckham menjual seluruh sahamnya senilai Rp5 miliar kepada Kaka,
seorang Warga Negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina
serta Inggris sehubungan dengan transaksi tersebut maka besarnya:

23
PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp5.000.000.000 = Rp250.000.000 (dan bersifat final).

Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 Tanggal 31


Desember 2008 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari
Penjualan atau Pengalihan Saham maka: Penghasilan atas penjualan saham tersebut
dikenakan pajak sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan Neto, sedangkan besarnya
Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual. Jika ada P3B antara negara yang terkait
transaksi tersebut (penjual berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri), pemotongan PPh Pasal
26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.
Penting bagi Wajib Pajak yang akan memotong PPh Pasal 26 kepada Wajib Pajak Luar Negeri
untuk mengetahui apakah Wajib Pajak Luar Negeri tersebut berasal dari negara yang
mempunyai Tax Treaty atau P3B dengan Indonesia atau tidak. Sebab ketentuan tarif pajaknya
akan berbeda.

2.6 Menghitung PPh Final Pasal 4

Pajak Penghasilan Final atau PPh Final adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dasar
pengenaan pajak tertentu yang berbeda dengan skema pajak secara umum atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh sepanjang tahun berjalan. Jadi, Pajak Penghasilan Final ini merupakan pajak
yang tidak diikutsertakan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Terutang tahunan.
Artinya pajak penghasilan yang sudah bersifat final ini tidak dapat dikreditkan dengan PPh Terutang.
Dengan demikian, penghasilan yang telah dikenakan PPh Final ini tidak akan dihitung lagi pajak
penghasilannya pada Surat Pemberitahuan ( SPT ) Tahunan dengan penghasilan lain yang tidak final
(non final) untuk dikenakan tarif progresif sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh.

Secara umum, merujuk Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan (UU PPh), ada 5 pengelompokan penghasilan yang dikenakan PPh
Final sesuai Pasal 4 ayat 2, yaitu:
1. Penghasilan berupa Bunga Deposito dan Tabungan lainnya, Bunga Obligasi dan Surat
Utang Negara (SUN), dan Bunga Simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi
2. Penghasilan berupa Hadiah Undian

24
3. Penghasilan dari Transaksi Saham dan Sekuritas lainnya, Transaksi Derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan
Modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
4. Penghasilan dari Transaksi Pengalihan Harta berupa tanah dan/atau bangunan, Usaha
Jasa Konstruksi, Usaha Real Estate, dan Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
5. Penghasilan Tertentu lainnya.

Adapun tarif dari PPh Final Pasal 4 ayat (2) yaitu :

1. Tarif PPh Final Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto SBI

a. Tarif PPh Final Deposito dalam mata uang USD


Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia dikenai Pajak Penghasilan Final dengan tarif:

• Deposito jangka waktu 1 bulan = 10% dari jumlah bruto

• Deposito jangka waktu 3 bulan = 7,5% dari jumlah bruto

• Deposito jangka waktu 6 bulan = 2,5% dari jumlah bruto

• Deposito jangka waktu lebih dari 6 bulan = 0%

b. Tarif PPh Final Deposito dalam mata uang Rupiah


Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa
Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak
Penghasilan Final dengan tarif:

• Deposito jangka waktu 1 bulan = 7,5% dari jumlah bruto

• Deposito jangka waktu 3 bulan = 5% dari jumlah bruto

• Deposito jangka waktu 6 bulan atau lebih dari 6 bulan = 0% dari jumlah bruto

c. Tarif Pajak Penghasilan Final Diskonto SBI


25
Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), serta bunga dari
deposito selain dari deposito di atas, dikenai Pajak Penghasilan Final dengan tarif:

• Bagi WP dalam negeri dan BUT = 20% dari jumlah bruto


• WP luar negeri = 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku

d. Tarif Pajak Penghasilan Final Bunga dan Diskonto Obligasi


Obligasi adalah Surat Utang Negara (SUN) yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan
yang merupakan imbalan diterima dan/atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk
bunga dan/atau diskonto. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh wajib pajak
berupa bunga obligasi ini dikenai Pajak Penghasilan Final yang tarifnya dibedakan
berdasarkan:

• WP dalam negeri dan BUT


• WP luar negeri
• WP reksa dana

Maka tarif Pajak Penghasilan Final Bunga dan Diskonto Obligasi ini adalah:

a. Tarif PPh Final bagi WP dalam negeri dan BUT = 15% dari:
b. Tarif Pajak Penghasilan Final bagi WP luar negeri selain BUT = 20% atau sesuai
tarif P3B (tax treaty)
c. Tarif Pajak Penghasilan WP reksa dana sebesar = 10%

2. Pajak Penghasilan Final Diskonto Surat Utang Negara (SUN)


Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah Surat
Utang Negara yang memiliki tenor paling lama 12 bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto. Diskonto SPN adalah selisih lebih antara:

26
• Nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar
Sekunder

• Harga jual di di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar
Sekunder, tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.

Maka, besar PPh Final atas Diskonto SPN = 20% dari diskonto SPN.

3. Tarif PPh Final atas Penjualan Saham Pendiri dan Bukan Pendiri di Bursa Efek
Pada dasarnya penghasilan atas penjualan saham di bursa dikenakan tarif Pajak Penghasilan
Final = 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham. Khusus untuk transaksi
penjualan saham pendiri, maka ketentuannya adalah Tarif Pajak Penghasilan Final atas
transaksi penjualan saham pendiri dikenakan tambahan PPh dengan tarif = 0,5% dari nilai
saham perusahaan sehingga tarif efektifnya menjadi 0,6%

4. Tarif PPh Final Hadiah Undian Besar tarif Pajak Penghasilan Final atas hadiah atau
undian adalah 25%. Pajak Penghasilan atas hadiah atau undian ini wajib dipotong oleh
penyelenggara undian atau pemberi hadiah.

5. Tarif PPh Final Bunga Simpanan Anggota Koperasi


Tarif Pajak Penghasilan Final atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi orang pribadi adalah:

• Penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000 per bulan = 0% dari
jumlah bruto bunga
• Penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp240.000 per bulan = 10% dari jumlah
bruto bunga

6. Tarif PPh Final Penjualan Tanah dan/atau Bangunan


Tarif Pajak Penghasilan Final penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
melalui Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016 adalah:

• 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

27
• 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

• 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha
milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik
daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.

7. Tarif PPh Final Persewaan Tanah dan/atau Bangunan


Tarif PPh Final persewaan tanah dan/atau bangunan, baik yang menyewakan WP Pribadi
maupun WP Badan adalah = 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.

8. Tarif PPh Final atas Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura
Besar tarif PPh Final atas penjualan saham milik perusahaan modal ventura adalah =
0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.

9. Tarif PPh Final Jasa Konstruksi

• Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi Usaha
Kecil = 2%
• Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi
usaha = 4%
• Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa di atas = 3%
• Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha = 4%
• Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha = 6%

Pelunasan atas Pajak Penghasilan Final Jasa Konstruksi dapat berupa:


d. Dipotong
Pelunasan atas Pajak Penghasilan Final Jasa Konstruksi ini dapat dipotong oleh
Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan
Pemotong Pajak.

28
b. Disetor
Pelunasan atas Pajak Penghasilan Final Jasa Konstruksi juga dapat disetor sendiri
oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.

Contoh kasus dan perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2)

• Bunga Deposito
Aditya menyimpan uang di Bank ABC dalam bentuk deposito sebesar Rp100.000.000 dengan
tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Aditya menerima bunga setiap bulan
sebesar Rp1.000.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas bunga deposito Aditya?
Perhitungan :
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong Bank ABC adalah 20% x Rp1.000.000 = Rp200.000
Pajak deposito per tahun = Rp200.000 x 12 bulan = Rp2.400.000

• Diskonto SBI
Dana Pensiun Solusi Abadi yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan membeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari Bank Indonesia dengan nominal Rp1.000.000.000 dengan
memperoleh diskonto sebesar Rp20.000.000. Pada tanggal 1 April 2017, Dana Pensiun Solusi
Abadi menjual SBI tersebut kepada PT Rosa Sentosa dengan harga Rp980.000.000 dan
dibayarkan pada saat yang sama. Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas
transaksi tersebut?
Perhitungan :
Besarnya diskonto SBI yang diperoleh PT Rosa Sentosa adalah Rp1.000.000.000 –
Rp980.000.000 = Rp20.000.000.
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Dana Pensiun Solusi Abadi adalah 20% x Rp20.000.000
= Rp4.000.000.

29
• Pajak atas hadiah undian dan penghargaan
PT Oke Indonesia menyelenggarakan penarikan hadiah undian atas kupon-kupon yang telah
dikirimkan oleh para pelanggannya, dengan hadiah senilai Rp100.000.000. Dalam penarikan
undian tersebut nama Budiman muncul sebagai pemenang hadiah undian. Bagaimana
penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 atas hadiah undian yang harus dipotong
oleh PT Oke Indonesia?
Perhitungan:
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT Oke Indonesia adalah 25% x Rp100.000.000 =
Rp25.000.000.

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pajak merupakan sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayani kepentingan umum
yang, akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, penddidikan,
kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat daan sebagianya. Sehingga pajak merupakan alat untuk
mencapai tujuan Negara. PPh 21 merupakan pajak pemotongan yang dikenakan atas penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri. Dalam peraturan besaran PTKP
untuk wajib pajak orang pribadi yakni sebesar Rp 54.000.000 dan ditambahkan Rp 4.500.000 apabila
telah menikah dan kembali ditambahkan Rp 4.500.000 untuk setiap tanggungan anggota keluarga
sampai paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Sedangkan, untuk suami yang
penghasilannya digabung dengan istri maka PTKP nya ditambahkan Rp 54 juta per tahun.

Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak
yang dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.
Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap
“menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari
perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun
pembelian.

Adapun subjek pajak yang dikenai tarif PPh pasal 23 adalah wajib pajak orang pribadi (WP
OP), yang berasal dari dalam negeri dan berbentuk usaha tetap. Berdasarkan Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh), besarnya tarif PPh pasal 23 dibedakan menjadi dua berdasarkan objek yang
dikenakan pajak penghasilan pasal 23. PPh pasal 23 sebesar 15% dibayarkan oleh WP dari jumlah
bruto atas deviden atau bunga. PPh pasal 23 sebesar 2% dibayarkan oleh WP dari jumlah bruto atas
sewa dan penghasilan lain terkait penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan
yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh WP dalam negeri. Atas pajak tersebut, WP dapat mengkreditkan pajak
terutang dalam tahun pajak yang sama.

31
Menurut ketentuan PPh Pasal 26, tarif umum yang dikenakan adalah 20% dan bisa berubah
jika Wajib Pajak mengikuti Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Pajak penghasilan (pph) pasal 4 ii merupakan pajak penghasilan yang bersifat final, sehingga
apabila wajib pajak sudsh melunasinya, maka kewajiban pajak telah selesai. Penghasilan yang
dikenakan pph final tidak akan digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang tidak bersifat final.

3.2 Saran
Dari uraian menganai pembahasan materi mengenai perhitungan pajak penghasilan pasal 21,
22, 23, 24, 26,dan pajak penghasilan final pasal 4. Penulis menyarankan kepada pembaca sekalian
agar manfaat dari pembahasan tersebut dapat memberikan wawasan positif. Dimana sisi positif dari
uraian tersebut bisa dijadikan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan tentang pajak penghasilan
pasal 21, 22, 23, 24, 26, dan pajak penghasilan final tersebut dan sisi kurang baiknya bisa dijadikan
sebagai bahan pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran
dari pembaca.

32
DAFTAR PUSTAKA

Cara Perhitungan PPh Pasal 21. (2016). Online-pajak.com. Diakses tanggal : 9 September 2022.
https://www.online-pajak.com/tentang-pph21/cara-perhitungan-pph-21.

Contoh Soal Perhitungan PPh Pasal 21. (2016). Atpetsi.or.id. Diakses tanggal : 9 September 2022.
https://atpetsi.or.id/contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-21/.

Pajak Penghasilan Pasal 21. (2021). djpb.kemenkeu.go.id. Diakses tanggal : 9 September 2022.
https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/kotabumi/id/informasi/perpajakan/pph-pasal-
21.html#:~:text=%2D%20PPh%20pasal%2021&text=Peraturan%20Menteri%20Keuangan%20No
mor%20252,Jasa%2C%20dan%20Kegiatan%20Orang%20Pribadi.

Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan


Tidak Kena Pajak.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Klikpajak.2022. Perhitungan PPh 23 dan Contoh Menghitung Pajaknya.


https://klikpajak.id/blog/perhitungan-pph-23-dan-contoh/, diakses pada 8 Agustus 2022
Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta: CV Andi Offset

Contoh Soal Perhitungan Pph Pasal 24-Atpetsi, Diakses pada 09 September 2022, dari:
https://atpetsi.or.id/contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-24
PPh Pasal 24, Ini Penjelasan dan Perhitungannya, Diakses pada 09 September 2022, dari:
https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-24-ini-penjelasan-dan-perhitungannya
Pajak. 2016. Pajak Penghasilan Pasal 22.Diakses pada 10 September 2022, dari https://www.online-
pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

Atpensi. 2016. Contoh Soal Perhitungan PPh Pasal 21. Diakses pada 10 September 2022, dari
https://atpetsi.or.id/contoh-soal-perhitungan-pph-pasal-22

Cermati. 2016. Pph Pasal 26. Diakses pada: 09 September 2022, dari:
https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-26-inilah-penjelasan-dan-perhitungannya

Msmconsulting.co.id. 2022. Diakses pada: 09 September 2022, dari:


https://msmconsulting.co.id/news/33/pph-pasal-26-pengertian-tarif-objek-dan-subjeknya

33

Anda mungkin juga menyukai